• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serbuan Bahasa Inggris dalam Iklan Perdagangan dan Pengaruhnya Terhadap Rasa Percaya Diri Bangsa Indonesia di antara Bangsa Lain

Dalam dokumen Derogasi dan Eufemisasi pada Film Crash (Halaman 89-94)

Aulia Luqman Aziz, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Abstrak

Saya selalu percaya bahwa untuk membangun hal-hal yang besar, terlebih dahulu hal-hal yang kecil harus dilakukan. Dalam isu penguatan persatuan bangsa—di tengah makin gencarnya serbuan budaya asing ke hampir semua sendi kehidupan masyarakat Indonesia—hal kecil yang saya maksud adalah penguatan kembali peran Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di dalam kehidupan keseharian setiap warga negara. Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat istimewa dalam merekatkan hubungan antar warga negara yang berbeda suku dan bahasa, suatu hal yang tidak banyak dimiliki oleh bangsa lain di dunia. Sayangnya, peran istimewa ini nampaknya sudah mulai memudar. Dalam konteks perdagangan, jamak ditemui berbagai iklan barang, jasa, maupun acara seminar di sepanjang jalan yang ditulis dalam Bahasa Inggris. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Kepada siapakah iklan itu ditujukan? Artikel ini akan membahas beberapa fenomena penggunaan Bahasa Inggris dalam iklan perdagangan, potensi sumbangsihnya terhadap rasa inferioritas bangsa terhadap bangsa-bangsa lain, dan saran solusi yang perlu ditempuh.

Kata Kunci: Bahasa Inggris, iklan perdagangan, rasa percaya diri bangsa

1. Bahasa Indonesia, Anugrah Besar Bangsa Indonesia

Sebagai bangsa yang besar, kita bangsa Indonesia haruslah senantiasa bersyukur atas setiap anugerah yang diberikan kepada kita. Salah satu anugerah terbesar yang kita miliki, namun mungkin tak banyak orang yang merasakannya, adalah anugerah kepemilikan terhadap Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Betapa tidak, sebanyak 1.128 suku bangsa di Indonesia (JPNN Mobile, 2010) dan 576 bahasa daerah (Akuntono, 2012) hidup dan tinggal berdampingan di seluruh wilayah Indonesia berkat adanya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sekaligus identitas bangsa. Dengan Bahasa Indonesia, masyarakat dari beragam bahasa daerah tersebut dapat saling berinteraksi, membangun kehidupan, sekaligus merekatkan tali persatuan di antara sesama anak bangsa.

Tak banyak bangsa lain di dunia yang bisa menikmati anugerah yang sama. Warga India, sebagaimana yang dituturkan oleh Sari (2010), tidak memiliki satu bahasa nasional yang dapat diterima oleh semua warganya. Hal ini nampak ketika salah satu temannya yang berasal dari India bagian Selatan masih harus menggunakan Bahasa Inggris saat bercakap-cakap dengan rekan sebangsanya yang berasal dari India bagian Utara. Singapura adalah contoh negara lain yang memiliki masalah bahasa lebih pelik. Meskipun bahasa Inggris telah ditetapkan sebagai bahasa resmi negara tersebut, empat suku bangsa yang tinggal di sana ternyata tidak serta-merta mau dan mampu menggunakannya. Banyak pedagang makanan dan minuman yang berkebangsaan Cina tidak mampu dan tidak mau menggunakan bahasa Inggris ketika melayani pengunjung dari bangsa lain seperti saya.

Meski demikian, menurut para ulama yang saya temui atau dengar ceramahnya, manisfestasi rasa syukur harus terlihat minimal dari dua aspek, yakni rasa syukur di hati dan lisan (dengan mengucap rasa syukur dan menghaturkan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan rasa syukur yang terwujud dalam aksi nyata sehari-hari. Saya yakin mayoritas anak bangsa secara diam-diam telah menyatakan rasa syukurnya, baik secara umum dengan bungkus kehidupan yang damai di negeri ini maupun secara khusus atas nikmat bahasa persatuan ini. Akan tetapi, manifestasi yang terwujud dalam aksi nyata barangkali masih menjadi kelemahan kita bersama.

2. Serbuan Bahasa Inggris dalam Iklan Perdagangan

Seharusnya, kepemilikan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa pemersatu, sekaligus identitas bangsa ini menjadi sebuah kekuatan untuk unjuk diri di kancah pergaulan internasional. Akan tetapi, yang terjadi adalah justru kita mudah sekali menjadi sasaran gempuran bahasa asing dalam aktivitas keseharian kita, dalam hal ini Bahasa Inggris. Contoh yang paling kentara adalah penggunaan bahasa dalam iklan-iklan perdagangan. Banyak kita temui di sekitar kita iklan perdagangan yang banyak menggunakan Bahasa Inggris. Misalnya, beberapa hotel baru di Kota Malang memilih menggunakan Bahasa Inggris dalam iklan-iklannya ketimbang menggunakan Bahasa Indonesia.

Setidaknya ada dua penyebab mengapa Bahasa Indonesia cenderung tersisih oleh Bahasa Inggris dalam iklan perdagangan (para cendekiawan bahasa menyebutnya sebagai fenomena ‘imperialisme bahasa’), yakni sebab internal dan eksternal. Sebab internal berkaitan dengan mentalitas kita sebagai bangsa yang terjajah yang dicirikan dengan lebih percaya diri bila menggunakan bahasa asing dalam komunikasi (Kontjaraningrat, 1983, dalam Suyatno, 2010). Sejarah menunjukkan adanya diskriminasi atas perlakuan penjajah (bangsa Belanda) kepada rakyat pribumi, mulai dari pembedaan sekolah, bahasa, hingga pakaian sehari-hari. Tidak mengherankan jika selama kurang lebih 350 tahun nenek moyang kita hidup dengan pola kehidupan diskriminatif semacam itu pastilah menghasilkan sebuah mental pemikiran yang melihat bahwa bahasa dan budaya asing itu lebih baik daripada milik sendiri.

Kemudian, sebab eksternal berkaitan dengan pengaruh budaya dan teknologi dari bangsa lain yang lebih maju. Sudah jamak diketahui bahwa kehidupan kita di masa sekarang hampir tak dapat lepas dari produk-produk kebudayaan Barat, misalnya teknologi komunikasi. Bersamaan dengan masuknya produk-produk tersebut, masuklah pula budaya-budaya mereka yang sedikit banyak akan memengaruhi pola pikir kita, salah satunya berkaitan dengan bahasa. Maka, gambaran yang terbentuk dalam benak kita adalah segala hal yang datang dari Barat adalah kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan yang lebih baik, dan puncak aktualisasi diri sebagai manusia. Tak heran, kita pun, secara sadar maupun tak sadar, akan terbawa ke arus budaya Barat, termasuk dalam pola-pola pragmatis dalam perdagangan seperti menggunakan bahasa mereka dalam iklan.

Dalam benak para pelaku perdagangan di Indonesia, sebagai akibat dari pengaruh budaya tadi, akan muncul keniscayaan bahwa sebuah produk yang ditawarkan dengan menggunakan Bahasa Inggris akan dinilai lebih bagus, lebih bergengsi bagi penggunanya, dan lebih bermanfaat. Padahal, mungkin produk tersebut dibuat oleh anak bangsa kita sendiri dan berkualitas sama dengan produk-produk lain yang dipasarkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena masyarakat kita juga sudah memiliki pola pikir demikian, maka mereka akan lebih memilih untuk membeli produk yang ditawarkan dengan Bahasa Inggris daripada produk dengan iklan berbahasa Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah, “Sebenarnya kepada siapa iklan-iklan itu ditujukan?”

Sigalingging (2013) menyatakan bahwa sebuah iklan yang bertujuan untuk mendorong orang untuk membeli sebuah produk haruslah mudah dipahami oleh target sasarannya, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan gaya bahasa dan jenis bahasa. Bila target sasaran pembuat iklan adalah orang-orang Jawa, maka wajar saja bila iklan itu ditulis atau dibuat dalam Bahasa Jawa (seperti dalam iklan produk minuman instan Sari Jahe Keraton). Bila target sasarannya adalah orang Indonesia, maka mestinya iklan itu ditulis dalam Bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah iklan di Indonesia ditulis dalam Bahasa Inggris? Kecuali, jika iklan tersebut memang ditujukan bagi mereka yang sehari-harinya berbahasa Inggris. Maka, kita dapat bertanya, “Berapa banyakkah orang asing yang sehari-hari menetap di Indonesia (khususnya di Kota Malang), sehingga produsen barang dan jasa harus bersusah payah bersaing dengan iklan berbahasa Inggris?”

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang (2010) merilis data bahwa dari 61 hotel yang ada di Kota Malang, jumlah tamu asing yang menginap di hotel berbintang adalah 20.916 orang. Angka ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tamu domestik yang

menginap di hotel berbintang, yakni mencapai 161.098 orang. Sementara, jumlah tamu asing yang menginap di hotel non bintang hanya 186 orang dan tamu domestik mencapai 133.257 orang. Jadi, biar bagaimanapun, potensi tamu domestik masih jauh lebih besar dibandingkan tamu asing ke Kota Malang. Mengapa iklan-iklan hotel di Kota Malang malah didominasi oleh penggunaan Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia?

Apalagi, Kota Malang telah dikenal luas sebagai Kota Pendidikan dengan berdirinya 61 perguruan tinggi di seluruh pelosok kota. Bila setiap perguruan tinggi menyelenggarakan banyak pertemuan akademik seperti seminar dan lokakarya setiap tahunnya, potensi kedatangan tamu domestik ke Kota Malang akan sangat besar, sedangkan setiap tamu yang berkunjung membutuhkan informasi akomodasi selama kegiatannya di Kota Malang. Akan lebih baik bila tempat-tempat penginapan di Kota Malang lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia dalam iklan di tempat-tempat umum.

3. Dampak Serbuan Bahasa Inggris terhadap Mentalitas Inferior Bangsa

Fenonema imperialisme Bahasa Inggris terhadap Bahasa Indonesia dalam iklan ini akan berdampak besar pada mentalitas bangsa ini sebagai bangsa yang besar. Artinya, kepercayaan diri warga negara Indonesia sebagai pemilik jatidiri Bahasa Indonesia ini dapat memudar secara perlahan dan tergantikan oleh pemikiran keharusan menguasai Bahasa Inggris. Dalam praktiknya, Bahasa Inggris akan diposisikan setara dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, dampak yang lebih berbahaya adalah upaya-upaya tak sadar untuk menafikan Bahasa Indonesia, khususnya dalam perdagangan. Masyarakat Indonesia yang terkena dampak buruk ini akan merasa malu dan khawatir dianggap tidak maju bila tidak menguasai Bahasa Inggris.

Yang terjadi sekarang adalah dunia pendidikan kita, yakni sekolah dan perguruan tinggi, merasa perlu mewajibkan penguasaan Bahasa Inggris. Berbagai kebijakan di dunia pendidikan, menurut hemat saya, telah menyimpang dari prinsip dasar penempatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Seorang anak yang hendak kuliah kini dikenai kewajiban untuk memiliki skor kecakapan Bahasa Inggris tertentu (melalui TOEFL atau sejenisnya). Di kampus, mahasiswa yang hendak memprogram skripsi atau mengikuti wisuda diharuskan memiliki skor kecakapan Bahasa Inggris tertentu. Di dunia kerja, seorang pelamar disyaratkan memiliki skor kecakapan Bahasa Inggris tertentu. Ironisnya, Bahasa Inggris itu sendiri tidak dipakai selama proses pembelajaran di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kalaupun ada, porsi pembelajarannya sangat sedikit, yakni hanya satu kali selama berkuliah di kampus tersebut. Padahal, sama seperti berenang, kemampuan berbahasa tidak akan pernah berkembang jika tidak pernah dilatih dan digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Lalu, bagaimana kita akan berharap seorang Sarjana yang menguasai Bahasa Inggris jika kita tidak pernah menyediakan fasilitas pembelajaran untuk kecakapan tersebut?

Jika mengacu pada beberapa bangsa lain, kecakapan berbahasa Inggris bukanlah sesuatu yang sangat vital sehingga kegagalan menguasainya seolah-olah berdampak besar pada nasib kehidupan. Seorang kawan saya yang beberapa kali bepergian ke beberapa negara maju di Asia bercerita bahwa masyarakat di negara tersebut malah mayoritas tidak menguasai Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Di Jepang, mayoritas penduduknya tidak memahami Bahasa Inggris, bahkan penduduk yang tinggal di kota besar sekalipun seperti Tokyo. Masyarakat Cina juga sama, tak banyak di antara mereka yang mampu berbahasa Inggris. Demikian juga di Thailand, baik mayoritas penduduk asli di Thailand bagian Utara (yang berbahasa Thai) maupun pendatang minoritas di Thailand bagian Selatan (yang berbahasa Melayu) tak banyak di antara mereka yang mampu berbahasa Inggris. Akan tetapi, negara-negara tersebut bisa dikatakan lebih maju secara ekonomi, pendidikan, teknologi, hingga sepakbola.

4. Upaya Melindungi Bahasa Indonesia dari Serbuan Bahasa Inggris

Dengan adanya masalah yang nampak sepele tapi berdampak besar pada mental dan pola pikir bangsa ke depan, terlebih menjelang diberlakukannya berbagai kesepakatan perdagangan terbuka Indonesia dengan negara-negara lain seperti AFTA 2015 atau ASEAN Community 2015, Crystal (2003, dalam Sofyan, 2012) mengusulkan enam upaya pemertahanan

bahasa. Keenam upaya tersebut adalah gengsi, kesejahteraan, bahasa tulis, pendidikan, teknologi, dan kekuasaan.

Dari keenam upaya tersebut, saya memandang aspek teknologi cukup sulit untuk diterapkan mengingat serbuan produk teknologi asing ke Indonesia sangatlah gencar. Meskipun pakar-pakar bahasa yang bekerja di bawah naungan Badan Pengembangan dan Pengawasan Bahasa telah berusaha keras memadankan istilah-istilah asing dalam bidang teknologi, masyarakat masih sulit mencerna, menghafal, dan lalu menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Masih agak sulit bagi kita untuk lepas dari istilah-istilah seperti smartphone,

flashdisk, mouse, slide, atau paste ketika bergelut dengan teknologi. Maka, saya memilih untuk

tidak memasukkan aspek teknologi ke dalam salah satu upaya yang dicetuskan oleh Crystal ini. Sebaliknya, saya akan mengusulkan satu aspek yang saya pandang cukup penting untuk disisipkan, yakni keteladanan.

Lebih jelasnya, berikut adalah enam upaya pemertahanan bahasa yang terdiri dari lima aspek Crystal plus satu aspek usulan saya.

a. Gengsi

Untuk mendorong masyarakat, khususnya para pelaku bisnis, menggunakan Bahasa Indonesia di sebagian besar aktivitas kebahasaan mereka, termasuk dalam pembuatan iklan, gengsi penggunaan Bahasa Indonesia perlu ditingkatkan. Salah satu upaya praktisnya adalah dengan memberi penghargaan kepada mereka yang setia menjaga penggunaan Bahasa Indonesia dalam aktivitasnya. Penghargaan tersebut dapat diberikan kepada orang-orang dari beragam kategori, misalnya kategori seniman atau artis, tokoh politik, tokoh pemerintahan, sastrawan, pelaku bisnis, dan lain-lain. Dengan adanya penghargaan ini, diharapkan masyarakat terpacu untuk sebisa mungkin menggunakan Bahasa Indonesia di segala aktivitas harian mereka.

b. Kesejahteraan

Mirip dengan langkah peningkatan gengsi, langkah meningkatkan kesejahteraan pengguna Bahasa Indonesia yang baik dapat diberikan dengan cara memberikan hadiah atau posisi kerja yang lebih baik kepada mereka yang memenuhi syarat. Misalnya, dalam institusi pemerintahan atau perusahaan, pegawai yang memiliki kecakapan berbahasa Indonesia yang baik dapat diberikan suatu penghargaan, insentif tambahan, atau posisi kerja yang lebih baik. Tindakan ini akan memicu pegawai yang lain untuk selalu berusaha menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selain itu, para pemberi kerja hendaknya mengubah pola pikir mereka dengan cara memberlakukan syarat tes kecakapan Bahasa Indonesia bagi para pelamar kerja dan meninggalkan tes kecakapan Bahasa Inggris, kecuali bila memang posisi kerja yang ditawarkan adalah posisi yang berhubungan dengan komunikasi dengan dunia internasional.

c. Bahasa Tulis

Melalui langkah ini, kita dapat memotivasi penggunaan bahasa tulis yang sesuai dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di media cetak maupun elektronik dengan memberikan penghargaan kepada penulisnya. Selain itu, karya tulis oleh sang penulis tersebut dapat direkomendasikan secara luas agar ia tetap termotivasi untuk menjaga kebiasaan penggunaan bahasa yang baik tersebut.

d. Pendidikan

Langkah praktis dalam pendidikan adalah dengan mengubah kebijakan-kebijakan yang sebelumnya mensyaratkan siswa atau mahasiswa untuk memiliki nilai TOEFL atau sejenisnya sebelum mendapatkan haknya untuk bersekolah, berkuliah, maupun wisuda. Seharusnya, setiap siswa dan mahasiswa diberikan ujian kecakapan Bahasa Indonesia yang disebut sebagai UKBI.

Misalnya, di perguruan tinggi, mahasiswa diberikan dua kali UKBI, yakni pada saat masuk kuliah pertama kali dan saat akan lulus. Dengan begitu, perguruan tinggi dapat memantau pergerakan nilai UKBI mahasiswa sembari menugaskan kepada setiap dosen untuk turut serta memerhatikan kecakapan berbahasa mahasiswa dalam penyelesaian tugas-tugas.

Dosen harus ikut memberi masukan tentang kecakapan berbahasa mahasiswa dalam tugas menulis maupun tugas lisan (presentasi).

e. Kekuasaan

Dalam struktur pemerintahan Indonesia, harus ada badan yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan memberi penghargaan sekaligus sanksi kepada lembaga milik negara maupun swasta yang tidak mengindahkan aturan mendahulukan Bahasa Indonesia daripada bahasa asing. Saya masih teringat pada era 1990an yang lalu, pemerintah bersikap tegas untuk meminta pelaku bisnis mengubah nama usahanya yang berbau bahasa asing menjadi Bahasa Indonesia. Di Kota Malang, hotel yang semula bernama “Kartika Prince” kini berubah menjadi “Kartika Graha”, dan yang semula bernama “Regent’s Park” kini berubah menjadi “Taman

Regents”. Di masa kekinian, badan tersebut telah terbentuk, yakni Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, yang dapat memberikan teguran hingga sanksi kepada pelaku bisnis yang berlebihan dalam mengiklankan usahanya dari segi penggunaan bahasa asing. Dengan cara ini, upaya menjaga kedaulatan bahasa Indonesia pun dapat terlaksana.

Dalam proses eksekusi wewenang tersebut di lapangan, Badan Pengembangan dan Pengawasan Bahasa yang bertugas dapat mewakilkan pekerjaan kepada para Duta Bahasa yang rutin dipilih setiap tahun. Hendaknya pemerintah membantu membentuk Lembaga Duta Bahasa yang rata-rata diisi oleh anak-anak muda (mahasiswa) yang akan aktif bergerak mengawasi dan memberi teguran kepada pelaku usaha yang berlebihan dalam penggunaan bahasa asing dalam iklannya.

f. Keteladanan

Yang terakhir adalah perlunya keteladanan dari pemimpin bangsa, tokoh-tokoh masyarakat dan politik, untuk selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pada momentum mereka berbicara kepada rakyat Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengemban amanah tersebut beberapa tahun yang lalu, yang berbuah penghargaan sebagai tokoh berbahasa terbaik. Sayangnya, jelang masa pergantian kepemimpinan ini, beliau menjadi lebih banyak menggunakan kata-kata asing (Bahasa Inggris) dalam pidato-pidatonya. Hal ini berpotensi berpengaruh di lingkup masyarakat luas karena apa yang dilakukan seorang pemimpin dapat serta merta ditirukan oleh rakyat yang dipimpinnya.

5. Simpulan

Tak dapat dipungkiri bahwa iklan-iklan perdagangan yang menggunakan Bahasa Inggris memang lebih menarik, menjanjikan nilai manfaat sekaligus gengsi yang lebih baik bagi penggunanya. Hanya saja, para pelaku bisnis tidak boleh hanya bersikap mementingkan keuntungannya saja. Sebagai anak bangsa, mereka juga berkewajiban untuk turut serta membangun bangsa dengan cara mempertimbangkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam iklan-iklan untuk produk mereka. Selain karena jauh lebih besar potensi konsumen dari kalangan wisatawan domestik daripada wisatawan mancanegara, penggunaan Bahasa Indonesia dalam iklan adalah sebuah sumbangsih nyata mereka untuk turut serta memperkuat posisi Bahasa Indonesia dalam masyarakat.

Kita tidak ingin bangsa kita sendiri menjadi lemah dan tidak percaya diri di dalam pergaulan internasional, padahal kita memiliki bahasa persatuan yang besar, yang mampu menyatukan ribuan suku, yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa di dunia. Maka, kita harus terus menggunakan Bahasa Indonesia dalam aktivitas keseharian kita dan sebisa mungkin menghindari penggunaan Bahasa Inggris, kecuali bila memang sasaran yang dituju sesuai.

Pustaka Acuan

Akuntono, Indra. 2012. Mau Tahu Jumlah Ragam Bahasa di Indonesia? Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2012/09/01/12030360/Mau.Tahu.Jumlah.Ragam.Baha sa.di.Indonesia. (Tanggal akses 6 Juli 2014).

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. Diakses dari http://digilib.unimed.ac.id/UNIMED-Undergraduate-sk130306/25844. (Tanggal akses 6 Juli 2014).

JPNN Mobile, 2010. Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa. Diakses dari http://m.jpnn.com/news.php?id=57455. (Tanggal akses 6 Juli 2014).

Sari, Rosnida. 2010. Bahasa Persatuan. Diakses dari http://rosnidasari-simahbengi.blogspot.com/2010/04/bahasa-persatuan.html. (Tanggal akses 6 Juli 2014). Sigalingging, Gessi Debora. 2013. Analisis Pemakaian Gaya Bahasa pada Iklan Produk

Kecantikan di RCTI dan SCTV. Diakses dari

http://digilib.unimed.ac.id/UNIMED-Undergraduate-sk130306/25844. (Tanggal akses 6 Juli 2014).

Sofyan, Dedi. 2012. Pengaruh Bahasa Inggris pada Penggunaan Bahasa di Indonesia. Diakses dari http://dsofyan.wordpress.com/2012/08/12/pengaruh-penggunaan-bahasa-inggris-terhadap-penggunaan-bahasa-indonesia/. (Tanggal akses 6 Juli 2014).

Suyatno, Suyono. 2010. Maraknya Penggunaan Bahasa Asing dari Perspektif Poskolonial.

Dalam dokumen Derogasi dan Eufemisasi pada Film Crash (Halaman 89-94)