• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pemarintah Dalam Bidang Ekonomi dan Penetapan Harga Menurut Ekonomi Islam

BAB III. KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP HARGA BBM TAHUN 2005

TERHADAP PENETAPAN HARGA BBM DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

C. Peranan Pemarintah Dalam Bidang Ekonomi dan Penetapan Harga Menurut Ekonomi Islam

Patut dicatat bahwa mengatur segala urusan masyarakat itu merupakan salah satu hal penting yang diperlukan (wajibat) dalam agama (addin). Ad-din

sesungguhnya tidak bisa dibangun tanpa itu. Seluruh manusia di dunia ini merupakan anak cucu Adam yang tak bisa disempurnakan urusannya kecuali melalui organisasi masyarakat yang baik (ijtimai’). Sebab mereka saling membutuhkan satu sama lain; dan masyarakat seperti itu sangat membutuhkan pemimpin.”26

Kutipan pernyataan Ibnu Taimiyah di atas adalah penegasan tentang kelahirn manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial. Masyarakat sebagai basis hubungan horizontal antara-individu ditekankan tentang kebutuhan sebuah organisasi yang menciptakan relasi yang seimbang dan adil. Keseimbangan dan keadilan terwujud sehingga tercipta tatanan masyarakat yang baik hanya bisa muncul bila rasa

25

Ibid., h. 65

26

28

kebutuhan itu bisa dipenuhi dengan baik oleh seluruh komponen masyarakat. Karena kehidupan manusia saja mencakup satu demografi kecil, tetapi juga meliputi suat wilayah yang luas, dimana keanekeragaman tercipta dengan sendirinya disertai dengan keinginan yang berbeda. Disinilah Ibnu Taimiyah menganggap pemimpin sebagai satu pra syarat untuk bisa mengatasi keanekaragaman itu.

Penegasa Ibnu Taimiyah ini ditegaskan dengan kalimat yang lain bahwa, “jika seorang pemimpin dibutuhkan dalam sebuah perjalanan yang secara temporer dilakukan dan hanya terdiri dari beberapa orang sungguh merupakan perintah untuk memililki seorang pemimpin pula untuk mengatur sebuah asosiasi banyak orang yang sangat besar.27

“asosiasi banyak orang yang sangat besar” yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah adalah pemerintahan atau negara. Pemerintahan atau negara menunaikan banyak tugas seperti halnya bebuat kebaikan dan mencegah segala pebuatan jahat yang terjadi. Tugas ini tak bisa dilaksanakan tanpa adanya sebuah legitimasi masyarakat tetang seorang pemimpin (imarah) dan adanya kekuatan yang dibangun untuk melaksanakan tugas-tugasnya itu.

Ibnu Taimiyah menyamakan hal ini dengan kewajiban agama seperti pelaksanaan jihad, keadilan, pelaksanaan haji, membantu orang yang bersalah untuk memperoleh jalan yang benar serta jaminan akan adanya penegakan hukum yang adil, yang kesemuanya merupakan satu perintah (kewajiban) agama yang tak bisa ditunaikan dengan baik tanpa kehadiran seorang pemimpin dan kekuatan untuk

27

29

mengatur. Maka, kebutuhan akan kekuasaan politik dengan tujuan memperkuat ajaran Islam sepenuhnya, baik secara personal maupun dalam kehidupan sosial adalah kebutuhan yang pasti. Dengan demikian negara adalah sebuah kebutuhan untuk masyarakat itu sendir dengan segala penuaian tugas yang sudah ada padanya.28

Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang kebutuhan adanya negara ini, sebagaiman Al-Ghazali, diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusuhan dan keadaan tanpa hukum. Bila suatu pemerintahan tidak menjalankan tugas dengan baik, Ibnu Taimiyah menganjurkan untuk tidak menaatinya. Namun demikian, Ibnu Taimiyah juga melarang melakukan pemberontakan terbuka atau menggulingkan kekuasaan, meski ia juga tak menganjurkan untuk bekerja sama dengan penguasa yang zalim.29

Ibnu Taimiyah adalah pencinta perdamaian. Ia melihat bahwa akan lebih banyak orang yang buruk ketimbang yang baik dalam usaha untuk melakuakan penggulingan itu. Tidak ada yang menjamim bahwa orang yang menggantikan mempunyai inkompetensi yang lebih baik ketimbang yang dijatuhkannya itu. Di lain pihak, kondisi stabilitas membutuhkan jangka waktu yang sangat lama. Enam puluh tahun di bawah kekuasaan yang tak adil, lebih baik dari sebuah negara yang semalam tak mempunyai pemimpin,” demikian ungkapan terkenal Ibnu Taimiyah yang sering dikutip banyak orang.30

28 Ibid. 29 Ibid., h. 16 30 Ibid., h. 185

30

Negara, karena ia mengfungsikan dirinya sebagai pelaksana masyarakat yang baik, ia tak bisa bersifat absolut dalam artian ia bisa melaksanakan tugasnya tanpa pertanggungjawaban. Ibnu Taimiyah menganggap negara sebagai kewenangan amanat dari Allah yang harus ditunaikan sesuai dengan cara yang berpihak pada hukum-hukum syari’ah. Memerintah adalah kewajiban agama untuk memperoleh ridah Allah SWT dengan memenuhi segala kewajiban dimana setiap orang dianjurkan untuk berbuat baik, demikian tegas Ibnu Taimiyah.31

Untuk melaksanakan itu, Ibnu Taimiyah mengatakan tentang perlunya hubungan yang harmonis dan kerja sama yang erat antara masyarakat dan pemerintah. Ibnu Taimiyah tidak mengatakan bahwa kesejahteraan negara ditinjau dari perbaikan hidup para individual, tetapi lebih melihat bahwa adanya negara dengan otoritas yang dimilikinya dipergunakan untuk mengembangkan kondisi material dan agama serta mempersiapkan penduduk yang berdiam diwilayah itu mengadapi kehidupan yang lebih baik.32 Pemikiran ini berbeda dengan pandangan kaum merkantilis yang meyakini bahwa kesejahteraan negara dilihat dari peningkatan sisi material kehidupan penduduk. Agama sama sekali tidak menjadi pilihan. Dalam pandangan kaum merkantilis, usaha apapun akan dilakukan meski ia melanggar batas

31

Ibnu Taymiyyah, Al-Hisbah fi Al-Islam, (Kairo: Dar Al-Sha’ab, 1976), h. 11

32

Ibnu Taymiyyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah …, Op.Cit., h.36

31

etika dan moral dan bahwa kekuasaan yang ada tidak dipertanggungjawabkan kepada publik.33

Karenanya, untuk menjalankan pemerintahan yang baik. Ibnu Taimiyah melihat perlunya persyaratan seorang pemimpin negara yang dianggap cocok duduk di tampuk kekuasaan, yakni kompetensi (quwwah) dan integritas (amanah).34 Alasan ini dipertimbangkan melihat tujuan besar dari sebuah negara yakni mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran yang kesemuanya itu ditujukan untuk mensejahterakan kehidupan masyarkat dalam arti yang sangat luas.35 Tujuan negara ini memang sangat komprehensif, termasuk didalamnya mengajak malaksanakan praktik-praktik sosial dan ekonomi yang bermanfaat. “kesejahteraan penduduk dan negeri hanya bisa dicapai melalui perintah melaksanakan kebaikan dan mencegah perbuatan yang menyimpang (keburukan).36

Di sini Ibnu Taimiyah ingin memberikan gambaran bahwa segala kegiatan manusia yang bersifat horizontal maupun diagonal frontal mempunyai keterkaitan dengan garis vertikal kepada tuhannya. Tidak melulu ibadah yang ia anjurkan, tetapi juga semangat untuk memjukan ekonomi, terutama ketika ia membahas keadilan dalam sebuah negara. Ibnu Taimiyah benar-benar mengharagai kegiatan ekonomi dan agama sebagai perpaduan garis kehidupan untuk mencapai maksud kesejahteraan

33

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 1997), h. 92

34

Ibnu Taymiyyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah …, Op.Cit., h. 35

35

Ibid., h. 90-91

36

Ibid., h. 89

32

yang sesungguhnya. Ia menekankan kerangka tanggung jawab yang tak terpisahkan antara keduanya itu.37 Kesejahteraan agama Islam, dengan demikian diperlukan untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial bagi seluruh warga negaranya. Karenanya, merupakan tugas utama dari negara untuk memenuhi setiap kebutuhan pokok atas pangan, sandang, papan, kesejahteraan dan pendidikan dan kemudian pengawasan atas harga, penetapan upah kerja, penyediaan lapangan kerja, intervensi (bila diperlukan) dalam pemilikan hak milik dan pelarangan atas kegiatan bisnis uang mengandung unsur riba. Negara harus berusaha keras untuk meghilangkan kemiskinan dan mewujudkan perokonomian yang stabil dan menetapkan tujuan-tujuan organisasi dan kebutuhan perencanaan.38

Untuk mencapai semua itu, Ibnu Taimiyah menekankan keadilan sebagai asas pelaksanaan.39 Dalam Al-hisab Ibnu Taimiyah menulis bahwa “jika pengeluaran untuk belanja itu dilakukan sesuai dengan nilai kebenaran, keadilan, menafaat dan kejujuran dalam mekanisme pasar, hasilnya pun akan mancapai kesana. Sebaliknya jika pengeluaran belanja dilakukan dengan cara yang salah, sewenag-wenang, tidak adil dan jujur, kondisi yang sama juga akan mengarah kesana.”40

Ini bisa diartikan bahwa jika pengusa meletakan dasar-dasar kebenaran, kejujuran dan keadilan serta memberlakukan nilai-nilai positif sebagai tonggak utama

37

AA Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taymiyyah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), h. 221

38

Ibid., h. 222

39

Ibnu Taymiyyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah …, Op.Cit., h. 178

40

33

dalam tata laksana kepemerintahan, tentu para pelaku ekonomi yang ada dalam wilayah kekuasaan penguasa itu juga akan melakukan respons yang positif pula. Itu pula yang menjadi tujuan utama para pemimpin dalam pandangan Ibnu Taimiyah, yakni mengatur negara dengan adil dan menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada siapa saja yang memintanya serta mengatur prinsip-prinsip dasar dari pemerintahan yang adil (al-siyasah al-adilah) dan lebih mengutamakan kebaikan urusan publik (al-wilayah al-shalihah).41

Keadilan bagi penguasa yang dimaksudkan disini bisa berarti dua: yakni pertama, otoritas meminta dari masyarakat yang benar-benar sesuai dengan adil, semisal pajak dan bea cukai dan penduduk segera membayarnya sesuai dengan beban yang di emban. Ketidakadilan, kata Ibnu Taimiyah, sebagian besar dilakukan oleh dua pihak, yakni penguasa dan warga negaranya. Yang pertama meminta ke masyarakat melebihi kewenangan, sementara yang kedua menunda atau bahkan mengelak pelaksanaan kewajiban yang sudah seharusnya segera dilaksanakan;.

Kedua, berkaitan dengan distribusi. Distribusi berarti memberikan ganjaran kepada siapa saja yang berhak menerimanya, dan sebaliknya penduduk tidak meminta apa yang memang tidak menjadi hak-haknya.

Hal lain yang berkaitan dengan keadilan ekonomi adalah tidak adanya monopoli kekuasaan ekonomi sentral. Semua orang dipahami sebagai individu yang berhak memperoleh kesempatan yang sama. Tidak ada pengecualian bagi siapapun

41

34

untuk turut serta berpartisipasi dan melakukan kegiatan bisnis. Karenanya, negara mempunyai hak pula untuk mengawasi upah dan harga yang berlangsung di pasar untuk menciptakan stabilitas ekonomi penduduk.42

Dalam perkembangan sejarah Islam, masalah pematokan harga barang sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad saw. Dilaporkan dari Anas bin Malik pada suatu saat ketika terjadi kenaikan harga-harga barang di kota Madinah, beberapa sahabat menghadap Nabi saw mengaduakan masalah itu dan meminta beliau agar mematok harga-harga barang di pasaran. Lalu Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang menahan dan melapaskan, dan yang mengatur rezeki. Dan, aku mengharapkan agar saat berjumpa Allah dalam keadaan tidak ada seorangpun di antara kalian yang menggugatku karena kezaliman dalam soal jiwa dan harta. Singkat kata, Nabi saw. menolak permintaan tersebut.43

Menurut Ibnu Taimiyah, hadis itu memang mengungkapkan betapa Nabi saw. tidak mau campur tangan dalam soal pengaturan harga-harga barang. Akan tetapi, keengganan Nabi saw. sebagai pemimpin di Madinah saat itu untuk intervensi sebetulnya lebih karena kenaikan harga-harga barang memang dipicu oleh kondisi obyektif pasar Madinah, dan bukannya karena tindak kecurangan yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengejar-ngejar keuntungan belaka.

42

AA Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taymiyyah …, Op.Cit., h.35

43

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP HARGA BBM TAHUN 2005 SERTA ANALISIS EKONOMI ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN TERSEBUT

A. Deskriptif Tentang Kebijakan Pemerintah Terhadap Kenaikan Harga BBM.