• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perangkap Kemiskinan (Poverty Trap)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Perangkap Kemiskinan (Poverty Trap)

Berbagai pandangan yang terkait dengan jebakan kemiskinan telah menjadi pandangan umum bagi pengambil kebijakan namun sampai saat ini belum terlihat formula mempuni yang dapat mengeluarkan penduduk miskin dari jebakan kemiskinan tersebut. Lingkaran setan kemiskinan salah satunya sebagaimana yang telah diungkap oleh Nurkse (1953) dalam Rustiadi et al. (2009) yang dikenal sebagai “The Vicious Circle” secara skematik dapat dilihat pada gambar 3.

Di sektor masyarakat tradisional banyak sekali sumberdaya alam yang belum terkelola dan dikembangkan secara optimal (1) sebagai akibat masih

terkebelakangnya masyarakat tersebut; (2) dan kurangnya modal untuk mengelola sumberdaya tersebut; (3) Kenyataan ini menyebabkan tingkat

50 produktivitas di sektor tersebut sangat rendah yang berimplikasi terhadap tingkat pendapatan yang rendah; (4) pada kondisi tingkat pendapatan yang rendah tersebut; (5) selain kemampuan menabung yang rendah; (6) juga tingkat permintaannya rendah. Karena tingkat permintaan yang rendah tidak mampu mendukung terhadap perkembangan ekonomi wilayah, sehingga tidak menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya atau investasi rendah; (7) Akhirnya jumlah modal yang terbentuk; dan (8) di wilayah tersebut masih tetap di bawah yang dibutuhkan untuk memutuskan lingkaran perangkap kemiskinan tersebut.

Gambar 6. Lingkaran Perangkap Kemiskinan (Nurkse 1953 dalam Rustiadi et al. (2009)

Berbeda dengan Daimon (2001) yang menjelaskan bahwa tidak ada daerah yang miskin, akan tetapi yang ada hanya orang miskin, yang secara geografis terkonsentrasi di lokasi tertentu. Masalahnya adalah keberadaan pada lingkaran kemiskinan yang terkunci di suatu lokasi, kemiskinan tidak ditempatkan secara acak atas ruang tetapi berpola secara sistematis. Fenomena ini yang disebut sebagai perangkap kemiskinan spasial “spatial trap poverty”, yang menjelaskan hubungan struktural antara ruang geografis dan akibat kemiskinan. Perangkap kemiskinan spasial terjadi dimana situasi kemiskinan disebabkan lokasi tertentu dimana faktor biaya mobilitas yang cukup tinggi. Perangkap kemiskinan spasial biasanya dicirikan oleh kurangnya transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur

Kekayaan alam yang kurang dikembangkan (1) Masyarakat masih terkebelakang

(2)

Kurangnya Modal (3)

Tabungan Rendah (6) Produktivitas Rendah (4)

Pendapatan Riil Rendah (5) Pembentukan Modal Rendah (8) Rangsangan Investasi Rendah (7)

51 yang menjadikan mobilitas tenaga kerja mahal. Tradisi masyarakat lokal, hambatan budaya dan agama (misalnya sistim kasta di India) akan menambah biaya substansial non-ekonomi. Jenis hambatan kelembagaan di negara-negara berkembang juga membuat biaya mobilitas tenaga kerja yang tinggi.

Sedangkan Barret (2007), menjelaskan bahwa perangkap kemiskinan disebabkan oleh beberapa kasus, seperti ketidaksempurnaan pasar (market imperfection), pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect learning), keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), kegagalan koordinasi (coordination failures), kelembagaan tidak berfungsi secara ekonomi (economically dysfunctional institutions) pada tingkat ruang dan waktu yang berbeda.

2.8. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia.

Tujuan utama penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan dan melindungi masyarakat dari kemiskinan dalam arti luas, jadi bukan hanya mencakup upaya mengatasi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga sejauh mana masyarakat miskin atau kelompok miskin mempunyai akses terhadap berbagai aspek kebutuhan dasar lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, dan partisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik secara penuh.

Untuk mengatasi problema kemiskinan dirumuskan lima strategi utama, yaitu (1) Strategi Perluasan Kesempatan. Strategi ini ditujukan untuk

menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dapat

memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; (2) Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Strategi ini dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar; (3) Strategi Peningkatan Kapasitas. Dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha

52

masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan; (4) Strategi Perlindungan Sosial.

Dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial; dan (5) Strategi Kemitraan Global. Dilakukan untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerjasama global, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi di atas (TKPK 2006).

Selama 30 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik melalui pendekatan sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus. Pada era Orde Baru misalnya, pembangunan ekonomi merupakan fokus utama

pemerintah saat itu, sehingga program-program dan strategi yang dilaksanakan tidak dinyatakan secara resmi untuk tujuan penanggulangan

kemiskinan, melainkan hanya diletakkan dalam kerangka pembangunan nasional melalui pendekatan sektoral (Pelita).

Baru pada 1994-1998 diperkenalkan secara eksplisit program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan regional, yaitu IDT (Instruksi

Presiden tentang Desa Tertinggal). Dalam pelaksanaannya, IDT didampingi oleh P3DT (Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal) yang didanai oleh berbagai dana internasional. Pada 2001, P3DT diubah menjadi P2D (Pengembangan Prasarana Desa).

Pada saat krisis ekonomi, pemerintah Indonesia merancang program penanggulangan kemiskinan di bawah payung Program JPS (Jaring Pengaman Sosial), di antaranya untuk bidang pendidikan dan kesehatan, yang diikuti dengan program lainnya, baik dari LSM lokal maupun lembaga keuangan internasional. Beberapa di antaranya masih berlangsung sampai sekarang, walaupun telah beberapa kali mengalami perubahan nama dan orientasi kegiatan. Salah satu contohnya adalah OPK (Operasi Pasar Khusus), bantuan pangan yang

53 dilaksanakan sejak 1998 sebagai bagian dari Program JPS dalam rangka meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada 2001, dengan tujuan untuk mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Berbagai evaluasi dan studi terhadap program OPK dan Raskin menunjukkan kelemahan program tersebut, terutama dalam penetapan sasaran.

Program Subsidi Langsung Tunai (SLT) merupakan program kompensasi kenaikan harga BBM kepada rumah tangga miskin yang diluncurkan pemerintah pada kuartal terakhir 2005. Melalui kantor-kantor cabang PT Pos Indonesia, setiap rumah tangga miskin menerima Rp.100.000 per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Kemudian digantti nama menjadi Bantuan Langsung Tunai yang dilaksanakan sampai sekarang.

Program P4K (Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil) yang merupakan kerja sama antara Departemen Pertanian dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Indikator keberhasilan yang ditetapkan untuk Program P4K adalah tumbuh dan berkembangnya KPK (kelompok petani-nelayan kecil) menjadi kelompok mandiri yang ditandai dengan pengurus dan anggota yang aktif, dana bersama yang terus berkembang, dan terintegrasinya Program P4K ke dalam program pembangunan daerah. Namun demikian, dari dokumen-dokumen yang ada, baik dalam petunjuk pelaksanaan maupun hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal, tidak ditemukan adanya pedoman mengenai bagaimana indikator-indikator keberhasilan tersebut bisa tercapai dan bagaimana strategi pengakhiran program.

Dalam beberapa dokumen disebutkan bahwa salah satu penggerak utama

program ini adalah para PPL (petugas penyuluh lapangan), yang bertugas mendampingi KPK dalam mengembangkan usaha mereka dan sekaligus membantu mengelola uang hasil pinjaman. Dengan berakhirnya

program, maka tidak ada lagi insentif yang akan diterima PPL terutama dalam penetapan sasaran.

PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) adalah program penanggulangan

54 kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerja sama Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, dan diluncurkan pada kurun waktu 1998-1999 dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana perkotaan (P2KP) dan pedesaan (PPK).

PPK dan P2KP terdiri dari beberapa fase dan pada fase terakhir tercakup di dalamnya strategi pengakhiran. Pada program PPK, tujuan strategi pengakhiran adalah terjadinya alih kelola program kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar prinsip, tujuan, dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan (PPK 2006). Sementara itu, pada P2KP, strategi pengakhiran dilakukan pada fase terminasi yang bertujuan untuk menjamin agar indikator keberlanjutan P2KP dapat tercapai. Langkah-langkah penyiapan yang dilakukan pada fase ini di antaranya: evaluasi partisipatif P2KP di tingkat kelurahan, penguatan kembali lembaga lokal, perluasan program oleh masyarakat, dan mengintegrasikan P2KP dengan program lainnya (P2KP, 2005). Namun, rencana strategi pengakhiran kedua program ini menjadi pertanyaan karena pada 2007, seiring dengan pengembangan kebijakan payung (umbrella policy) untuk program-program pemberdayaan masyarakat, PPK dan P2KP diintegrasikan di bawah payung PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) dan direvisi menjadi PNPM Mandiri dan diimplementasikan sampai sekarang.

Semua program pengentasan kemiskinan yang diuaraikan di atas di rancang dan di desain oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah, walaupun dalam pelaksanaannya beberapa program telah melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Permasalahan yang muncul seringkali dalam implementasi program tidak terjadi sinkronisasi dan terjadi pemahaman yang parsial antara semua level baik di birokrasi maupun dalam level masyarakat. Tidak menyatunya dan lemahnya komitmen antara pemerintah di semua level berdampak pada banyaknya program yang diimplementasikan hanya berorientasi proyek, ketika akhir anggaran berakhir maka selesai pula program tersebut. Hal ini diperparah karena tidak adanya strategi pengalihan program antara pemerintah pusat dan daerah serta kepada masyarakat sebagai sasaran kegiatan. Akhirnya,

55 yang terjadi adalah banyaknya program pengentasan kemiskinan tidak mampu menurunkan atau mereduksi jumlah penduduk miskin secara permanen dan bahkan diindikasikan justru menimbulkan budaya malas dan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah yang semakin meningkat.

Mengacu pada program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan nasional, pemerintah daerah Kabupaten Barru mempertegas komitmen penanggulangan kemiskinan melalui Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) tahun 2003-2008 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Barru Nomor 11 Tahun 2003. SPKD ini merupakan payung hukum penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Barru dengan sasaran yang ingin dicapai yaitu menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 60% dari 11.864 KK pada tahun 2003 menjadi 7.118 KK pada tahun 2008.

Pada tahun yang sama di bawah Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Barru melakukan kajian berdasarkan pengalaman empiris implementasi program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Hal ini dilakukan mengingat upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini pada umumnya berorientasi terhadap permasalahan ekonomi, bersifat parsial, sektoral dan tidak terintegrasi. Hasilnya, secara absolut memang terjadi penurunan angka kemiskinan, tetapi hal itu tidak tahan terhadap berbagai kerentanan baik yang berdimensi ekonomi, sosial, sumberdaya alam maupun politik yang terjadi disekitarnya. Hal ini terbukti oleh masih tingginya jumlah penduduk miskin dan menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi terutama setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998.

Menyadari akan kondisi dan kejadian yang tercipta pada berbagai upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dan sekaligus menghindari replikasi kelemahan dan kekurangan yang terjadi, maka pada tataran Pemerintah Daerah Kabupaten Barru, dilakukan upaya khusus dengan mengangkat isu kemiksinan sebagai “arus utama” tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam proses mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Upaya khusus tersebut dikemas dalam bentuk “Pilot Proyek Penanggulangan Kemiskinan Terpadu dan Terintegrasi atau disingkat dengan PIK-PAKET”.

56 Prinsip-prinsip yang dianut dalam pelaksanaan PIK-PAKET tersebut, adalah transparansi, partisipasi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kolaborasi. Prinsip transparansi mengisyaratkan bahwa serangkaian proses manajemen kegiatan dan organisasi yang dilakukan oleh unit pengelola kegiatan dapat dilakukan dengan jelas, terbuka dan mudah diketahui oleh semua pihak yang terkait, khususnya masyarakat termasuk kemudahan cara untuk mengakses dan mengetahuinya. Prinsip partisipasi, mengisyaratkan bahwa setiap langkah kegiatan PIK-PAKET harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa memiliki dan proses belajar dan bekerja bersama dari para pihak. Partisipasi dibangunan dengan penekanan bahwa partisipasi dimulai dari tahap identifikasi masalah, identifikasi potensi, identifikasi peluang, perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pemupukan sumberdaya, pelaksanaan kegiatan hingga tahap monitoring dan evaluasi serta keberlanjutan hasil.

Prinsip akuntabilitas, mengandung isyarat bahwa setiap bentuk kegiatan yang dilakukan harus jelas siapa yang bertanggung jawab tentang apa, dan kepada siapa serta bagaimana caranya dan kapan dilakukan. Selanjutnya, prinsip keberlanjutan mengisyaratkan bahwa segala bentuk kegiatan yang dilakukan haruslah selalu mempromosikan dan menumbuhkan peluang pemindahan kemampuan dan kekuasaan pengelolaan kegiatan kepada masyarakat miskin sehingga segala bentuk ketergantungan masyarakat miskin terhadap sumberdaya dari luar sedapat mungkin dielaminir baik dari segi jumlah maupun dari segi rentang waktu. Terakhir, prinsip kolaborasi mengisyaratkan bahwa setiap tahap pelaksanaan haruslah dilakukan dengan melibatkan pihak terkait dalam suatu bentuk kerja sama yang melembaga sehingga dapat menciptakan sinkronisasi energi dalam mencapai keluaran dan hasil pada tiap tahapan kegiatan.

Organisasi pengelolaan dilakukan dengan jelas dan tegas termasuk dalam pengaturan tata peran tiap pelaku pada semua level dari tingkat kabupaten sampai pada tingkat kelompok masyarakat miskin (POKMAS). Dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan dengan pendekatan partisipatif “Partisipatory Rural Appraisal/PRA”, dengan memberi ruang gerak sebesar-besarnya kepada masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam perjalanannya

57 pelaksanaan PIK-PAKET mengalami hambatan dan kendala terutama dalam mengorganisir instansi teknis terkait dalam memberdayakan anggota kelompok masyarakat miskin, termasuk dalam komitmen pembiayaan dan belum berjalannya kolaborasi antar semua stakeholder dalam semua proses pelaksanaan program tersebut.