• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN BPOM NOMOR 11 TAHUN 2019 BAHAN TAMBAHAN PANGAN

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. PERATURAN BPOM NOMOR 11 TAHUN 2019 BAHAN TAMBAHAN PANGAN

menetapkan ketentuan mengenai jenis bahan tambahan pangan dan batas maksimal pengggunaan bahan tambahan pangan sesuai kategori pangan.

Penetapan peraturan ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi tenaga pengawas dalam melakukan tugas pengawasan, acuan bagi pelaku usaha dalam produksi pangan, dan melindungi masyarakat dari penggunaan bahan tambahan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan. Hasil survei terhadap pengetahuan dan pemahaman responden, serta bagaimana pelaksanaan penerapan peraturan memberikan gambaran efektivitas pencapaian tujuan penetapan peraturan.

4.1.1 Gambaran Pengetahuan Stakeholder

Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa semua responden BPOM/UPT (100%); 96,6% responden pelaku usaha, dan 94,4%

responden pemerintah daerah mengetahui Peraturan BPOM No. 11 Tahun 2019. Jika dibandingkan dengan peraturan lainnya, Peraturan ini paling banyak diketahui oleh responden secara keseluruhan.

Penyampaian informasi mengenai peraturan telah secara rutin dilakukan setiap tahun dalam bentuk kegiatan advokasi dan sosialisasi. Peraturan yang diterbitkan oleh Badan POM dapat diakses melalui laman standarpangan.pom.go.id dan jdih.pom.go.id.

Sosialisasi juga dilakukan melalui layanan konsultasi online KUSAPA, media sosial, maupun saat menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan lintas sektor.

Berdasarkan hasil survei sumber informasi yang banyak digunakan oleh stakeholder secra keseluruhan dalam memperoleh informasi mengenai peraturan pangan olahan yang diterbitkan oleh Badan POM yaitu laman BPOM (http://jdih.pom.go.id) (78,9%);

sosialisasi/advokasi (70,4%) dan rekan kerja (54,3%). Akan tetapi untuk responden dari Pemerintah daerah, sumber informasi yang banyak digunakan adalah Balai besar/Balai/Loka POM setempat (74,6%) dan sosialisasi/advokasi (59,2%). Dari data tersebut, media informasi yang masih dapat dioptimalkan pemanfaatannya sebagai sumber informasi peraturan adalah subsite direktorat dan media sosial.

4.1.2 Tingkat Pemahaman Stakeholder

Hasil survei juga menunjukkan tingkat pemahaman responden secara keseluruhan terhadap Peraturan Badan POM No. 11 Tahun

41 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan sebesar 5,3% cukup baik, 48,8% baik, dan 45,9% sangat baik. Tingkat pengetahuan dipengaruhi faktor internal maupun eksternal. Pada umumnya tingkat 41endidikan berkorelasi dengan tingkat pengetahuan dan tingkat pengetahuan juga dapat ditingkatkan dengan proaktif mencari informasi.

Sebesar 81,9% responden menyatakan paham terhadap Peraturan Badan POM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Pemahaman terendah terdapat pada kelompok responden pemerintah daerah yaitu 75,4%. Hal ini dapat menjadi dasar penetapan target sosialisasi kedepannya, karena pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan tugas pengawasan premarket dan postmarket terhadap pangan olahan. Pemahaman yang baik menunjang pelaksanaan tugas sebagai tenaga pengawas.

Sebesar 73,3% menganggap sangat penting untuk memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang tidak dapat difahami oleh stakeholder adalah mengenai penetapan batas maksimum penggunaan BTP; cara perhitungan BTP berdasarkan jenis pangan olahan, dan ketentuan carry over dan hal ini juga akan menjadi fokus sosialisasi dan advokasi kedepannya.

Pegawai Badan POM yang mengalami kesulitan dalam memahami peraturan, maka sebagian besar responden akan mencari sumber informasi dari pegawai Badan POM (83,7%), internet (57,4%), pedoman implementasi peraturan (47,03%), dan layanan konsultasi online KUSAPA (37,1%). Sedangkan bagi pelaku usaha, sebagian besar responden (81,8%) lebih memilih layanan konsultasi online KUSAPA sebagai sumber informasi jika mengalami kesulitan dalam memahami peraturan, selanjutnya internet (33,0%) rekan kerja (31,8%), dan pedoman implementasi peraturan (28,4%). Untuk pemerintah daerah, sebagian besar responden (85,9%) lebih memilih mencari sumber informasi dari Balai Besar/Balai/Loka POM setempat, internet (52,1%), rekan kerja (35,2%) dan pedoman implementasi peraturan (29,6%).

Dari data di atas diketahui bahwa responden sebagian besar memilih sumber informasi resmi baik dari pegawai maupun layanan konsultasi yang disediakan pihak institusi yang terpercaya. Selain itu, pedoman implementasi peraturan menjadi salah satu pilihan yang dimanfaatkan oleh Badan POM dan pemerintah daerah untuk lebih memahami peraturan. Dari hasil survei juga diketahui bahwa ULPK menjadi sumber informasi yang paling sedikit dimanfaatkan oleh stakeholder untuk mencari informasi jika mengalami kesulitan dalam memahami peraturan.

42 4.1.3 Gambaran Implementasi Stakeholder

Berdasarkan hasil survei diperoleh informasi bahwa seluruh responden Badan POM/UPT dan Pemerintah Daerah (100%) menyatakan seluruh ketentuan dalam Peraturan Badan POM dapat diterapkan. Tujuan regulasi untuk menciptakan suatu iklim usaha yang adil dan perlindungan konsumen diharapkan dapat terwujud serta pengawas (Badan POM dan Pemerintah Daerah) maupun pelaku usaha mempunyai acuan yang dapat diterapkan. Namun terdapat sebagian kecil pelaku usaha yaitu 2,4% yang menyatakan peraturan tidak dapat diterapkan dikarenakan peraturan dianggap terlalu kompleks dan ada beberapa ketentuan yang perlu ditinjau ulang.

Akan tetapi mayoritas responden pelaku usaha (97,6%) menyatakan bahwa peraturan tersebut dapat diterapkan.

Hasil survei juga menggali beberapa kendala dalam penerapan peraturan diantaranya adalah tidak semua bahan tambahan pangan bisa diuji di laboratorium. Hal tersebut dinyatakan oleh 35,6%

responden dari kelompok Badan POM/UPT dan 31,7% pelaku usaha.

Alasan yang disampaikan oleh responden dari Badan POM/UPT adalah dikarenakan adanya keterbatasan alat dan reagen pengujian, serta tidak semua UPT memiliki laboratorium. Responden pelaku usaha menyampaikan bahwa tudak semua bahan tambahan pangan dapat diuji di laboratorium baik internal perusahaan maupun di dalam negeri, sehingga untuk beberapa jenis BTP harus di uji di laboratorium luar negeri.

Temuan lain menunjukkan bahwa sebesar 6,81% responden Badan POM menyatakan bahwa pengaturan batas maksimal bahan tambahan pangan tidak mudah diterapkan di produk yang akan mengajukan izin edar Badan POM. Kendala ini dijumpai terutama untuk produk UMKM dalam menentukan takaran yang sesuai juga dalam menghitung batasan penggunaan BTP. Disampaikan pula bahwa sering sekali dijumpai kendala dalam penggunaan BTP Sulfit pada produk gula coklat sukrosa, dimana pelaku usaha selalu menggunakan jauh diatas batas yang ditetapkan dalam Peraturan BPOM nomor 11 tahun 2019.

Adapun kendala yang dialami oleh responden pemerintah daerah dalam mengimplementasikan peraturan ini adalah pengaturan batas maksimal bahan tambahan pangan tidak mudah diterapkan di produk yang akan mengajukan nomor P-IRT, hal ini disampaikan oleh 14,5%

responden pemerintah daerah. Responden menyampaikan bahwa pemilik PIRT tidak memiliki alat timbang maupun alat takar BTP sehingga penggunaannya tidak dapat terukur dan pemerintah daerah kesulitan dalam meniliai batas maksimal BTP yang telah digunakan oleh produsen PIRT.

43 4.1.4 Gambaran Efektifitas

Evaluasi kebijakan juga dilakukan untuk menilai efektifitas penerapan kebijakan, hal ini termasuk untuk penerapan Peraturan Badan POM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Penilaian efektifitas dilakukan melalui survei terhadap responden dari internal Badan POM dan pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan terhadap pangan olahan sesuai kewenangan masing-masing.

Sesuai Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, pengawasan pangan olahan dilakukan terhadap keamanan, mutu, gizi, label, dan iklan pangan olahan. Salah satu aspek pemenuhan pengawasan tersebut yaitu untuk memantau apakah pangan olahan yang beredar sudah memenuhi ketentuan terkait jenis, batas maksimal, serta label bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan olahan. Peraturan Badan POM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan merupakan acuan bagi Badan POM dan pemerintah daerah dalam melakukan tugas pengawasan tersebut baik di pre-market maupun post-market.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa sebesar 99,5% responden Badan POM dan 98,6% responden pemerintah daerah menyatakan bahwa Peraturan Badan POM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan mempermudah pekerjaan di instansi masing-masing. Hanya 1,4% responden pemerintah daerah yang menjawab bahwa peraturan ini tidak mempermudah pekerjaan, dengan alasan terkait perlunya pengawalan dengan pengujian laboratorium.

Memperhatikan gambaran tersebut menunjukkan bahwa implementasi peraturan ini cukup efektif sebagai acuan dalam pengawasan keamanan khususnya pengawasan Bahan Tambahan Pangan. Namun mengantisipasi dinamika perkembangan lingkungan strategis perlu tetap ada upaya peningkatan pemahaman, kapasitas, dan kompetensi pengawas secara berkesinambungan agar pengawasan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Upaya peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan melalui sosialisasi termasuk peningkatan kompetentensi pengujian dan kapasitas laboratorium pengujian bahan tambahan pangan di UPT Badan POM.

Dari sisi pelaku usaha, sebanyak 95,1% responden pelaku usaha menyatakan bahwa dengan terbitnya Peraturan Badan POM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan mempermudah pekerjaan mereka. Bagi pelaku usaha, Peraturan ini sangat diperlukan sebagai acuan dalam penggunaan BTP yang aman dalam memproduksi atau mengimpor pangan olahan agar mutu dan keamanan pangan olahan yang akan diedarkan dapat terjamin.

44 Berdasarkan amanah Pasal 10 ayat (2) PP No. 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, Kepala Badan POM menetapkan jenis BTP yang dapat ditambahkan pada pangan olahan. Dalam Peraturan Badan POM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan telah diatur 27 (dua puluh tujuh) golongan BTP yang terdiri dari ± 300 jenis senyawa BTP yang diizinkan sesuai kategori pangan. Peraturan ini telah memenuhi kebutuhan sebagian besar pelaku usaha terhadap jenis BTP. Sebesar 78,0% responden pelaku usaha menyatakan bahwa BTP yang diizinkan telah memenuhi kebutuhan produknya.

Nilai tersebut menunjukkan bahwa dengan terbitnya Peraturan ini, sebagian besar pelaku usaha pangan olahan telah terpenuhi kebutuhannya dalam penggunaan BTP yang diizinkan.

Mempertimbangkan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi serta inovasi di bidang pangan, hal ini juga mendorong bervariasinya jenis BTP dan pemanfaatannya pada kategori pangan sehingga belum semuanya diatur dalam regulasi yang ada. Penetapan persyaratan BTP baru dan/atau pemanfaatannya pada kategori pangan yang lain juga diatur pada Peraturan ini, dan harus didasarkan pada kajian risiko untuk menilai keamanan dan fungsi teknologinya sehingga dapat menjamin keamanannya bagi perlindungan konsumen. Bagi pelaku usaha yang memerlukan, dalam Peraturan ini diatur proses permohonan pengkajian keamanan BTP, sehingga tetap terbuka kesempatan bagi pelaku usaha yang akan menggunakan jenis BTP baru atau menggunakan BTP pada jenis pangan yang belum diatur.

Dengan penetapan Peraturan Badan POM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan, baik Badan POM, pelaku usaha, dan pemerintah telah melakukan penyesuaian. Berdasarkan hasil survei, 80,3% dari total responden menjawab bahwa penyesuaian penerapan peraturan ini sangat mudah dan mudah diterapkan dibandingkan peraturan sebelumnya. Penyesuaian yang dilakukan Badan POM antara lain peningkatan kompetensi SDM (48,0%

responden), perubahan prioritas sampling/pedoman tindak lanjut (15,4% responden), dan perubahan persyaratan registrasi/aplikasi (14,3% responden). Sedangkan sebesar 43,3% responden menganggap tidak perlu melakukan penyesuaian karena sudah sesuai.

Dari sisi pelaku usaha, penyesuaian yang dilakukan antara lain perubahan formulasi produk (46,1% responden), peningkatan kompetensi SDM (18,5% responden), dan perubahan persyaratan registrasi (10,8% responden). Sedangkan sebesar 55,4% responden menganggap tidak perlu melakukan penyesuaian karena sudah sesuai.

Sedangkan di sisi pemerintah daerah, penyesuaian yang dilakukan antara lain perubahan peningkatan kompetensi SDM (46,9%

45 responden), perubahan prioritas sampling/pedoman tindak lanjut (26,5% responden), dan perubahan metode analisis (8,2%).

Sedangkan sebesar 34,7% responden menganggap tidak perlu melakukan penyesuaian karena sudah sesuai.

Penetapan peraturan selain memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pekerjaan, juga dengan ditetapkannya masa penyesuaian selama 24 bulan dinilai memadai untuk menerapkan peraturan ini, hal tersebut dinyatakan oleh 92,6% total responden.

Akan tetapi terdapat 7,4% dari total responden yang menilai 24 bulan terlalu singkat untuk produk yang slow moving dikarenakan memerlukan penyesuaiannya terkait dengan perubahan pada kemasan, selain itu ada yang memerlukan waktu reformulasi produknya lebih dari 24 bulan. Dari sisi pemerintah daerah menyatakan bahwa dalam waktu 24 bulan pengasawan BTP yang sesuai dengan peraturan belum dapat mencapai sasaran IRTP yang ada di Kabupaten, sedangkan dari sisi responden Badan POM/UPT ada yang berpendapat bahwa masih diperlukan waktu untuk sosialisasi ke seluruh wilayah indonesia agar pengetahuan dan pemahaman meratas sehingga dapat menerapkan peraturan ini, dan diusulkan waktu penyesuaiannya adalah 36 bulan.

4.2. PERATURAN BPOM NOMOR 13 TAHUN 2019 BATAS MAKSIMAL CEMARAN

Dokumen terkait