• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN BPOM NOMOR 18 TAHUN 2019 CARA IRADIASI PANGAN YANG

BAB IV PEMBAHASAN

4.3. PERATURAN BPOM NOMOR 18 TAHUN 2019 CARA IRADIASI PANGAN YANG

Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2019 Cara Iradiasi Pangan Yang Baik mengatur kewajiban pemenuhan cara iradiasi pangan yang baik dalam melaksanakan iradiasi pangan. Penetapan peraturan ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi produsen dan penanggung jawab fasilitas iradiasi dalam melaksanakan iradiasi pangan, tenaga pengawas dalam melaksanakan tugasnya, dan melindungi masyarakat. Hasil survei memberikan gambaran mengenai pengetahuan dan pemahaman responden, serta bagaimana pelaksanaan penerapan peraturan dan gambaran efektivitas pencapaian tujuan penetapan peraturan.

4.3.1. Gambaran Pengetahuan Stakeholder

Berdasarkan hasil survei menunjukkan sebanyak 82,7% responden BPOM/UPT; 68,3% responden pelaku usaha, dan 43,7% responden pemerintah daerah mengetahui Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2019. Tingkat pengetahuan pemerintah daerah sebanyak 43,7% hal ini dapat dipahami mengingat peraturan ini tidak terlalu berkaitan dengan pekerjaan pemerintah daerah.

Implementasi kebijakan dapat terlaksana dengan baik jika dapat menerapkan beberapa strategi kebijakan implementasi, diantaranya melalui komunikasi kebijakan. Strategi komunikasi yang baik merupakan salah satu instrumen untuk mendukung implementasi kebijakan yang efektif. Bentuk komunikasi kebijakan yang dapat

52 dilaksanakan yaitu melalui sosialisasi/advokasi, email, sosial media, termasuk web milik pemerintah. Berdasarkan hasil survei, secara keseluruhan diketahui sumber informasi yang digunakan responden (BPOM/UPT, Pelaku Usaha, dan Pemerintah Daerah) dalam memperoleh informasi mengenai peraturan pangan olahan yang diterbitkan oleh Badan POM yaitu melalui laman BPOM (http://jdih.pom.go.id) (78,9%); sosialisasi/advokasi (70,4%);

rekan kerja (54,3%); dan laman Direktorat Standardisasi Pangan Olahan (41,0%). Hanya 7,2% dan 3,6% responden menggunakan sumber informasi berasal dari email dan sumber lainnya seperti media sosial asosiasi pelaku usaha, asosiasi perusahaan, dan melalui internet. Adapun laman laman BPOM (http://jdih.pom.go.id) menjadi sumber informasi dominan yang digunakan oleh responden BPOM/UPT dan Pelaku Usaha dalam memperoleh informasi mengenai peraturan pangan olahan yang diterbitkan oleh Badan POM yaitu sebesar 86,6% dan 81,8%, sedangkan responden pemerintah daerah sebagian besar menggunakan sumber informasi Balai Besar/Balai/Loka POM setempat sebesar 74,6%.

4.3.2. Tingkat Pemahaman Stakeholder

Hasil survei menunjukkan, responden BPOM memiliki tingkat pemahaman sangat baik, baik, dan cukup terhadap Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2019 sebesar 59,12%; 27,4%; dan 13,6%. Untuk responden pelaku usaha memiliki tingkat pemahaman sangat baik, baik, dan cukup terhadap Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2019 sebesar 55,6%; 22,2%; dan 22,2%. Sedangkan responden pemerintah daerah berada pada kategori sangat baik 12,5%; baik 46,9%; dan 40,6%. Hal ini dapat menjadi dasar penetapan target sosialisasi kedepannya, karena BPOM/UPT serta pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan tugas pengawasan premarket dan postmarket terhadap pangan olahan. Pemahaman yang baik menunjang pelaksanaan tugas sebagai tenaga pengawas.

Kemudian diketahui pula sebanyak 80,8% responden BPOM/UPT, 66,7% responden pelaku usaha, dan 62,5% responden Pemerintah daerah memahami Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2019. Beberapa hal yang tidak dipahami oleh responden terhadap Peraturan ini yaitu:

a. BPOM/UPT: batas maksimal konsumsi pangan yang sudah diiradiasi; jenis pangan yang harus diiradiasi; belum membaca sepenuhnya peraturan ini; belum memahami disain, sarana, dan proses iradiasi; belum pernah menilai,memeriksa, maupun mengawasai produk pangan iradiasi; sistem dosimetri; dan pedoman iradiasi pangan yang baik.

b. Pemerintah daerah: sejauh mana pengaruh iradiasi pada pangan olahan industri rumah tangga.

53 Menurut 77,2% responden BPOM/UPT sangat penting untuk memahami suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan menurut 20,8% responden menganggap penting, dan 2,0% responden menganggap cukup penting. Bagi 62,0% responden Pemda sangat penting, 33,8% responden menganggap penting, dan 4,2% responden menganggap cukup penting.

Berikut pendapat responden untuk sumber informasi yang dimanfaatkan jika mereka tidak paham terhadap suatu peraturan:

d. Responden BPOM akan menggunakan sumber informasi dari pegawai BPOM/UPT (83,7%); internet (57,4%); pedoman implementasi peraturan (47,0%); Layanan konsultasi online pada subsite Direktorat Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id) (37,1%); ULPK BPOM (24,3%);

media sosial (15,8%); dan lainnya (petugas SPO, jdih.pom.go.id) (3,0%).

e. Responden pelaku usaha akan menggunakan sumber informasi dari Layanan konsultasi online pada subsite Direktorat

Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA

(standarpangan.pom.go.id) (81,8%); internet (33,0%); rekan kerja (31,8%); pedoman implementasi peraturan (28,4%); Balai Besar/Balai/Loka POM setempat (27,3%); media sosial (14,8%);

ULPK BPOM (9,1%); dan lainnya (asosiasi industri, GAPMMI) (4,5%).

f. Responden pemerintah daerah akan menggunakan sumber informasi dari Balai Besar/Balai/Loka POM setempat (85,9%);

internet (52,1%); rekan kerja (35,2%); pedoman implementasi peraturan (29,6%); media sosial (19,7%); ULPK BPOM (14,1%);

Layanan konsultasi online pada subsite Direktorat Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id) (9,9%); dan lainnya (bertanya langsung pada petugas Badan POM) (1,4%).

4.3.3. Gambaran Implementasi Stakeholder

Peraturan BPOM No. 18 Tahun 2019 tentang Cara Iradiasi Pangan Yang Baik merupakan panduan untuk memastikan bahwa iradiasi pangan dilakukan dengan benar dan serta menjadi panduan untuk menyiapkan sistem dokumentasi sebelum dan sesudah iradiasi pangan. Panduan ini digunakan oleh Pengawas Pangan, Pelaku Usaha, maupun stakeholder terkait. Dengan terbitnya Peraturan BPOM No. 18 Tahun 2019 diharapkan dapat menjamin bahwa penanganan, penyimpanan, dan transportasi Pangan Iradiasi selama pra-iradiasi, iradiasi, dan pasca iradiasi harus sesuai dengan cara yang baik untuk menghasilkan kualitas produk yang baik dan mencegah kontaminasi. Kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik jika sasaran baik instansi pemerintah maupun pelaku

54 usaha dapat menerapkan Peraturan ini serta Peraturan ini mempermudah pekerjaan mereka.

Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden BPOM/UPT, pelaku usaha, dan pemerintah daerah dapat menerapkan Peraturan BPOM No. 18 Tahun 2019 sebesar 98,4%; 88,9%; dan 84,4%. Hanya sebagian kecil responden yang berpersepsi bahwa peraturan ini tidak dapat diterapkan dengan beberapa alasan yaitu belum mengetahui peraturan ini, tidak ada pelaksanaan iradiasi pangan di daerah, serta kurangnya sarana prasarana iradiasi pangan.

Terkait dengan kendala dalam pengawasan pelaksanaan cara iradiasi pangan yang baik, sebesar 85,6% responden BPOM/UPT menyatakan tidak ada kendala, sedangkan responden pemerintah daerah menyatakan 37,5% tidak ada kendala. Sebagian responden yang menyatakan ada kendala dalam pengawasan disebabkan karena belum pernah melakukan pengawasan pangan iradiasi, kurangnya sumber daya manusia dan sarana penunjang, belum mendapat sosialisasi tentang peraturan ini, serta penerapan khusus hanya untuk pangan iradiasi.

Peraturan BPOM No. 18 Tahun 2019 memuat ketentuan diantaranya mengenai pelabelan pangan iradiasi. Pelabelan pangan iradiasi ini menjadi hal penting untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai apa saja yang terkandung dalam pangan termasuk proses tertentu yang dilakukan. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa semua responden pelaku usaha (100%) berpendapat bahwa persyaratan pelabelan pangan iradiasi dapat diterapkan. Hal ini menandakan bahwa persyaratan pelabelan pangan iradiasi mudah dipahami dan diimplementasikan oleh pelaku usaha.

Jika terdapat kesulitan atau keterbatasan dalam penerapan peraturan, maka 91,1% responden BPOM/UPT akan berkonsultasi dengan unit kerja terkait, sejumlah 52,5% responden akan menerapkan peraturan dengan pertimbangan risiko, 9,4%

responden akan berkonsultasi dengan konsultan/pakar, 2,5%

responden akan melakukan tindakan lainnya seperti mohon arahan pimpinan, konsultasi ke pimpinan unit kerja, berkonsultasi dengan atasan, dan 2,0% responden tidak menerapkan peraturan yang dianggap menyulitkan.

Jika pelaku usaha mengalami kesulitan atau keterbatasan dalam penerapan peraturan, maka sejumlah 77,3% responden pelaku usaha akan berkonsultasi dengan Badan POM Pusat, 75,0%

responden akan berkonsultasi melalui layanan konsultasi online pada subsite Direktorata Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id), 34,1% responden akan berkonsultasi dengan Balai Besar/Balai/Loka POM setempat, 29,5% responden

55 akan berkonsultasi dengan konsultan/pakar, 15,9% responden akan menerapkan peraturan dengan pertimbangan risiko, 4,5%

responden akan melakukan tindakan lainnya seperti info ke GAPMMI, berkonsultasi dengan Asosiasi GAPMMI.

Sedangkan bagi Pemerintah daerah, jika mereka terdapat kesulitan atau keterbatasan dalam penerapan peraturan maka berdasarkan hasil survei, sejumlah 93,0% responden akan berkonsultasi dengan Balai Besar/Balai/Loka POM setempat, 25,4% responden pelaku usaha akan berkonsultasi dengan Badan POM Pusat, 22,5%

responden akan berkonsultasi dengan konsultan/pakar, 21,1%

responden akan menerapkan peraturan dengan pertimbangan risiko, 15,5% responden akan berkonsultasi melalui layanan konsultasi online pada subsite Direktorata Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id), 4,2% responden tidak menerapkan peraturan yang dianggap menyulitkan, dan 1,4%.

Responden akan melakukan tindakan lainnya seperti Konsultasi dan minta arahan kepada Kepala Bidang dan Kepala Dinas. Pemanfaatan sarana komunikasi tersebut dapat meningkatkan implementasi kebijakan.

4.3.4. Gambaran Efektifitas

Beberapa aspek yang digunakan untuk menggambarkan efektivitas peraturan yaitu kemanfaatan peraturan dalam mempermudah pekerjaan responden, memadai atau tidaknya masa peralihan/grace period yang ditetapkan dalam implementasi peraturan, serta kemudahaan penyesuaian dalam mengimplementasikan peraturan.

Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden BPOM/UPT (98,4%) menyatakan bahwa Peraturan BPOM No. 18 Tahun 2019 mempermudah pekerjaan mereka. Sedangkan 88,9% responden pelaku usaha dan 84,4% responden pemerintah daerah menyatakan bahwa peraturan tersebut mempermudah pekerjaan mereka.

Sebagian kecil responden berpendapat peraturan ini tidak mempermudah pekerjaan mereka dengan beberapa alasan yaitu belum mengetahui peraturan ini, buken merupakan kewenangan pemerintah daerah, dan tidak ada pelaku usaha yang menggunakan pangan iradiasi.

Jika dibandingkan dengan penyesuaian antara penerapan Peraturan BPOM No. 18 Tahun 2019 dengan peraturan sebelumnya, menurut responden BPOM/UPT sangat mudah diterapkan (7,2%), mudah diterapkan (78,4%), sulit diterapkan (15,2%), dan sangat sulit diterapkan (0,8%). Sedangkan menurut responden pelaku usaha tidak ada yang menyatakan sangat mudah diterapkan, mudah diterapkan (33,3%), sulit diterapkan (66,7%), dan tidak ada yang menyatakan sangat sulit diterapkan. Bagi responden pemerintah

56 daerah menyatakan sangat mudah diterapkan (3,1%), mudah diterapkan (50,0%), sulit diterapkan (34,4%), dan sangat sulit diterapkan (12,5%).

Berdasarkan hasil survei juga diketahui upaya penyesuaian yang dilakukan terkait penerapan Peraturan BPOM No. 18 Tahun 2019, sebagai berikut:

a. Sejumlah responden BPOM/UPT (36,4%), pelaku usaha (66,7%), dan pemerintah daerah (41,2%) menyatakan tidak memerlukan penyesuaian karena sudah sesuai dengan peraturan tersebut.

b. Responden BPOM/UPT (14,0%) dan pemerintah daerah (5,9%) menyatakan perlu perubahan prioritas sampling/pedoman tindak lanjut.

c. Responden BPOM/UPT (14,0%) dan pemerintah daerah (35,3%) menyatakan perlu perubahan persyaratan registrasi/perubahan aplikasi.

d. Responden BPOM/UPT (9,3%) dan pemerintah daerah (41,2%) menyatakan perlunya penyesuaian jumlah dan mutasi SDM.

e. Responden BPOM/UPT (57,0%) dan pemerintah daerah (58,8%) menyatakan perlunya penyesuaian peningkatan kompetensi SDM.

f. Responden pelaku usaha sendiri menyatakan perlu upaya lain yang dilakukan seperti menganti label (33,3%).

g. Responden BPOM/UPT (2,8%) dapat dilakukan upaya penyesuaian selain yang telah disebutkan.

4.4. PERATURAN BPOM NOMOR 19 TAHUN 2019 PEDOMAN CARA PRODUKSI YANG BAIK UNTUK PANGAN STERIL KOMERSIAL YANG DIOLAH DAN DIKEMAS SECARA ASEPTIK

Masyarakat perlu dilindungi dari peredaran pangan steril komersial yang diolah dan dikemas secara aseptik yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu. Untuk memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan steril komersial yang diolah dan dikemas secara aseptik maka perlu ditetapkan pedoman cara produksi yang baik. Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019 Pedoman Cara Produksi Yang Baik Untuk Pangan Steril Komersial Yang Diolah dan Dikemas Secara Aseptik mengatur ketentuan terkait cara produksi yang baik yang mencakup persyaratan higiene dalam area produksi atau pemanenan, desain dan fasilitas, persyaratan higiene fasilitas, persyaratan higiene dan kesehatan karyawan, persyaratan pengolahan dan pengemasan aseptik, jaminan mutu, penyimpanan dan transportasi produk akhir, prosedur kontrol laboratorium, dan spesifikasi

57 produk akhir. Penetapan peraturan ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi tenaga pengawas dalam melakukan tugasnya dan acuan bagi pelaku usaha dalam produksi pangan sterik komersil yang diolah dan dikemas secara aseptik.

4.4.1 Gambaran Pengetahuan Stakeholder

Data survei menunjukkan bahwa sebesar 88,6% responden BPOM/UPT, 78,4% responden pelaku usaha, dan 54,9% responden Pemerintah Daerah mengetahui Peraturan Badan POM No. 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Cara Produksi Yang Baik Untuk Pangan Steril Komersial Yang Diolah dan Dikemas Secara Aseptik. BPOM telah secara rutin melakukan penyampaian informasi mengenai peraturan setiap tahun dalam bentuk kegiatan sosialisasi atau advokasi.

Peraturan yang diterbitkan oleh Badan POM dapat diakses melalui laman standarpangan.pom.go.id dan jdih.pom.go.id. Sosialisasi juga dilakukan melalui layanan konsultasi online KUSAPA, media sosial, maupun saat menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan lintas sektor.

Berdasarkan hasil survei, sumber informasi yang digunakan dalam memperoleh informasi mengenai peraturan pangan olahan yang diterbitkan oleh Badan POM yaitu laman BPOM (http://jdih.pom.go.id) (78,9%); sosialisasi/advokasi (70,4%);

rekan kerja (54,3%); laman Direktorat Standardisasi Pangan Olahan – http://standarpangan.pom.go.id (41,0%); media sosial (33,5%);

Balai Besar/Balai/Loka POM setempat (18,3%); email (7,2%); dan lainnya (3,6%).

4.4.2 Tingkat Pemahaman Stakeholder

Hasil survei menunjukkan tingkat pengetahuan responden BPOM/UPT terhadap Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Cara Produksi Yang Baik Untuk Pangan Steril Komersial Yang Diolah dan Dikemas Secara Aseptik berada pada kategori sebesar cukup baik (1,4%), baik (7,8%), dan sangat baik (90,8%).

Untuk responden pelaku usaha berada pada kategori cukup (4,5%), baik (18,2%), dan sangat baik (77,3%). Sedangkan untuk responden Pemda berada pada kategori baik (3,0%), dan sangat baik (97,0%).

Selain itu, diketahui sebanyak 84,4% responden BPOM/UPT, 81,8%

responden pelaku usaha, dan 69,7% responden Pemerintah Daerah memahami Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019. Responden yang menyatakan kurang memahami peraturan ini berpendapat bawah masih memerlukan pendalaman terkait ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pedoman, diantaranya terkait perhitungan dan cara menentukan kecukupan panas dalam pengolahan, peralatan, dan prosedur pengolahan. Adapun hal ini dapat menjadi masukan dalam

58 penetapan metode, materi, dan target sosialisasi peraturan kedepannya.

Menurut 77,2% responden BPOM/UPT sangat penting untuk memahami suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan menurut 20,8% responden menganggap penting, dan 2,0% responden menganggap cukup penting. Bagi 62,0% responden pemerintah daerah sangat penting, 33,8% responden menganggap penting, dan 4,2% responden menganggap cukup penting.

Berikut pendapat responden untuk sumber informasi yang dimanfaatkan jika mereka tidak paham terhadap suatu peraturan:

a. Responden BPOM akan menggunakan sumber informasi dari pegawai BPOM/UPT (83,7%); internet (57,4%); pedoman implementasi peraturan (47,0%); Layanan konsultasi online pada subsite Direktorat Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id) (37,1%); ULPK BPOM (24,3%);

media sosial (15,8%); dan lainnya (petugas SPO, jdih.pom.go.id) (3,0%).

b. Responden pelaku usaha akan menggunakan sumber informasi dari Layanan konsultasi online pada subsite Direktorat

Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA

(standarpangan.pom.go.id) (81,8%); internet (33,0%); rekan kerja (31,8%); pedoman implementasi peraturan (28,4%); Balai Besar/Balai/Loka POM setempat (27,3%); media sosial (14,8%);

ULPK BPOM (9,1%); dan lainnya (asosiasi industri, GAPMMI) (4,5%).

c. Responden pemerintah daerah akan menggunakan sumber informasi dari Balai Besar/Balai/Loka POM setempat (85,9%);

internet (52,1%); rekan kerja (35,2%); pedoman implementasi peraturan (29,6%); media sosial (19,7%); ULPK BPOM (14,1%);

Layanan konsultasi online pada subsite Direktorat Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id) (9,9%); dan lainnya (bertanya langsung pada petugas Badan POM) (1,4%).

4.4.3 Gambaran Implementasi Stakeholder

Sesuai Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pengawasan pangan olahan dilakukan terhadap keamanan, mutu, gizi, label, dan iklan pangan olahan. Salah satu aspek pengawasan tersebut adalah penerapan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB), termasuk untuk pangan steril komersil yang diolah dan dikemas secara aseptik. Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Cara Produksi Yang Baik Untuk Pangan Steril Komersial Yang Diolah Dan Dikemas Secara Aseptik merupakan acuan bagi pelaku usaha agar dapat memenuhi persyaratan keamanan dan

59 mutu pangan steril komersil dan juga sebagai panduan pagi pemerintah dalam melakukan pengawasan penerapan CPPOB.

Hasil survei menunjukkan bahwa semua responden BPOM/UPT (100%) dapat menerapkan Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019.

Sedangkan menurut 95,5% responden pelaku usaha dan 97,0%

responden pemerintah daerah peraturan dapat diterapkan. Menurut responden pelaku usaha, peraturan ini belum dapat diterapkan karena jika kecukupan panas diterapkan pada produk maka akan menyebabkan penyimpangan organoleptik pada produk akhir.

Adapun responden pemerintah daerah yang belum dapat menerapkan peraturan ini dikarenakan belum pernah melakukan kegiatan pengawasan pangan steril komersial.

BPOM dan pemerintah daerah juga melakukan verifikasi terhadap pemenuhan persyaratan CPPOB untuk pangan steril komersial yang diolah dan dikemas secara aseptik. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 99,3% responden BPOM dan 97,0% responden pemerintah daerah menyatakan dapat melakukan verifikasi pemenuhan ini.

Namun, terdapat pengawas yang tidak dapat melakukan verifikasi akibat industri pangan olahan yang diawasi sendiri belum dapat memenuhi persyaratan cara produksi yang baik.

Selain itu, berdasarkan hasil survei, sebanyak 95,5% responden pelaku usaha menyatakan dapat memenuhi persyaratan pemenuhan kecukupan panas untuk pangan steril komersil yang dikemas secara aseptik. Sedangkan responden yang tidak dapat memenuhi persyaratan kecukupan panas menyatakan bahwa jika kecukupan panas diterapkan pada produk maka akan menyebabkan penyimpangan organoleptik pada produk akhir. Dari sisi pengawas, sebanyak 96,5% responden BPOM dan 100% responden pemerintah daerah menyatakan dapat melakukan verifikasi terhadap pemenuhan persyaratan kecukupan panas untuk pangan steril komersial yang diolah dan dikemas secara aseptik. Adapun responden BPOM yang tidak dapat melakukan verifikasi kecukupan panas disebabkan karena industri pangan olahan yang diawasi belum dapat memenuhi persyaratan kecukupan panas akibat keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan produksi.

BPOM sesuai tugas dan fungsinya melakukan pengawasan peredaran pangan olahan di mana Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Cara Produksi Yang Baik Untuk Pangan Steril Komersial Yang Diolah Dan Dikemas Secara Aseptik berfungsi sebagai tools pengawasan untuk melindungi masyarakat dari peredaran pangan steril komersial yang diolah dan dikemas secara aseptik yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu. Berdasarkan data survei, sebanyak 83,0% responden BPOM menyatakan tidak terdapat

60 kendala dalam pengawasan produk pangan steril komersil yang diolah dan dikemas secara aseptik. Namun, terdapat 17,0%

responden yang menyatakan terdapat kendala dalam pengawasan, diantaranya keterbatasan kompetensi pengawas (terutama UPT) dalam melakukan pengawasan dan penyuluhan.

Jika terdapat kesulitan atau keterbatasan dalam penerapan peraturan, maka 91,1% responden BPOM/UPT akan berkonsultasi dengan unit kerja terkait, sejumlah 52,5% responden akan menerapkan peraturan dengan pertimbangan risiko, 9,4%

responden akan berkonsultasi dengan konsultan/pakar, 2,5%

responden akan melakukan tindakan lainnya seperti mohon arahan pimpinan, konsultasi ke pimpinan unit kerja, berkonsultasi dengan atasan, dan 2,0% responden tidak menerapkan peraturan yang dianggap menyulitkan,

Jika pelaku usaha mengalami kesulitan atau keterbatasan dalam penerapan peraturan, maka sejumlah 77,3% responden pelaku usaha akan berkonsultasi dengan BPOM Pusat, 75,0% responden akan berkonsultasi melalui layanan konsultasi online pada subsite Direktorat Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id), 34,1% responden akan berkonsultasi dengan Balai Besar/Balai/Loka POM setempat, 29,5% responden akan berkonsultasi dengan konsultan/pakar, 15,9% responden akan menerapkan peraturan dengan pertimbangan risiko, 4,5%

responden akan melakukan tindakan lainnya seperti berkonsultasi dengan asosiasi pelaku usaha.

Sedangkan bagi pemerintah daerah, jika mereka terdapat kesulitan atau keterbatasan dalam penerapan peraturan maka berdasarkan hasil survei, sejumlah 93,0% responden akan berkonsultasi dengan Balai Besar/Balai/Loka POM setempat, 25,4% responden pelaku usaha akan berkonsultasi dengan BPOM Pusat, 22,5% responden akan berkonsultasi dengan konsultan/pakar, 21,1% responden akan menerapkan peraturan dengan pertimbangan risiko, 15,5%

responden akan berkonsultasi melalui layanan konsultasi online pada subsite Direktorat Standardisasi Pangan Olahan KUSAPA (standarpangan.pom.go.id), 4,2% responden tidak menerapkan peraturan yang dianggap menyulitkan, dan 1,4%. Responden akan melakukan tindakan lainnya seperti Konsultasi dan minta arahan kepada Kepala Bidang dan Kepala Dinas,

4.4.4 Gambaran Efektifitas

Beberapa aspek yang digunakan untuk menggambarkan efektivitas peraturan yaitu kemanfaatan peraturan dalam mempermudah pekerjaan responden dan kemudahaan penyesuaian dalam mengimplementasikan peraturan.

61 Hasil survei menunjukkan bahwa semua responden BPOM/UPT menyatakan bahwa Peraturan BPOM No. 19Tahun 2019 mempermudah pekerjaan mereka. Sedangkan 81,8% responden pelaku usaha dan 97,0% responden pemerintah daerah menyatakan bahwa peraturan tersebut mempermudah pekerjaan mereka.

Sebanyak 3,0% responden pemerintah daerah yang menjawab bahwa peraturan ini tidak mempermudah pekerjaan karena saat ini di wilayah pengawasan yang dilakukan tidak terdapat industri yang memproduksi pangan steril komersil yang diolah dan dikemas secara aseptik. Bagi sebagian responden pelaku usaha, adanya peraturan ini tidak mempermudah pekerjaan mereka dengan beberapa alasan yaitu:

a. jika kecukupan panas diterapkan pada produk maka akan menyebabkan penyimpangan organoleptik pada produk akhir;

dan

b. persyaratan yang harus dipenuhi cukup banyak sedangkan volume produksi masih sedikit.

Terkait penerapan Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019, menurut responden BPOM/UPT peraturan sangat mudah diterapkan (7,1%), mudah diterapkan (77,3%), dan sulit diterapkan (15,6%).

Sedangkan menurut responden pelaku usaha peraturan mudah diterapkan (77,3%), sulit diterapkan (13,6%), dan sangat sulit diterapkan 9,1%). Bagi responden pemerintah daerah menyatakan sangat mudah diterapkan (3,0%), mudah diterapkan (51,5%), sulit diterapkan (42,4%), dan sangat sulit diterapkan (3,0%).

Dengan penetapan Peraturan BPOM No. 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Cara Produksi Yang Baik Untuk Pangan Steril Komersial Yang Diolah dan Dikemas Secara Aseptik, baik Badan POM, pelaku usaha, dan pemerintah telah melakukan penyesuaian. Berdasarkan hasil survei, penyesuaian yang dilakukan BPOM antara lain peningkatan kompetensi SDM (60,5% responden), penyesuaian jumlah SDM (15,1% responden), perubahan persyaratan registrasi/aplikasi (12,6% responden), perubahan prioritas sampling/pedoman tindak lanjut (10,9% responden), dan berupaya memahami peraturan baru yang telah diterbitkan (1,7% responden).

Sedangkan sebesar 33,6% responden menganggap tidak perlu melakukan penyesuaian karena sudah sesuai.

Dari sisi pelaku usaha, mayoritas responden (64,7%) menganggap tidak perlu melakukan penyesuaian karena sudah sesuai. Namun, sebagian lainnya menyatakan perlu melakukan konsultasi dengan personel yang kompeten yang memiliki keahlian mengenai proses dan pengemasan aseptik (35,3% responden), penyesuaian sarana dan peralatan produksi (29,4% responden), perubahan formulasi

62 produk (5,9% responden), dan peningkatan jumlah dan kompetensi SDM (5,9% responden).

Sedangkan di sisi pemerintah daerah, penyesuaian yang dilakukan antara lain perubahan peningkatan kompetensi SDM (55,6%

responden), penyesuaian jumlah SDM (33,3% responden), perubahan persyaratan registrasi/perubahan aplikasi (22,2%), dan perubahan prioritas sampling/pedoman tindak lanjut (11,1%

responden). Sedangkan sebesar 44,4% responden menganggap tidak perlu melakukan penyesuaian karena sudah sesuai.

4.5. PERATURAN BPOM NOMOR 20 TAHUN 2019 KEMASAN PANGAN

Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan mengatur ketentuan terkait pengaturan zat kontak pangan yang dilarang, zat kontak pangan yang diizinkan baik dengan maupun tanpa batas maksimal migrasi, dan bahan kontak pangan yang diizinkan. Penetapan peraturan ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi tenaga pengawas dalam melakukan tugasnya, acuan bagi pelaku usaha kemasan untuk memproduksi kemasan yang memenuhi persyaratan serta bagi pelaku usaha pangan untuk dapat memilih kemasan pangan yang aman, sehingga dapat melindungi masyarakat. Hasil survei terhadap pengetahuan dan pemahaman responden, serta bagaimana pelaksanaan penerapan peraturan memberikan gambaran efektivitas pencapaian tujuan penetapan peraturan.

4.5.1 Gambaran Pengetahuan Stakeholder

Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa 97,5% responden BPOM/UPT; 88,6% responden pelaku usaha, dan 90,1% responden pemerintah daerah mengetahui Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019.

Sumber informasi yang digunakan dalam memperoleh informasi

Sumber informasi yang digunakan dalam memperoleh informasi

Dokumen terkait