• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perda Mendiskriminasi Kelompok Tertentu

T. Agama: Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru. Ini

4.3.3 Perda Mendiskriminasi Kelompok Tertentu

Meskipun tidak mendapat tempat sebanyak dua wacana sebelumnya, wacana perda mendiskriminasi kelompok tertentu ditemukan dalam bagian isi balada perda, secara spesifik perda mendiskriminasi perempuan melalui larangan duduk mengangkang.

Pada menit 05.53-06.00 Najwa memunculkan wacana ini dengan mengumpan Suaidi untuk memberikan detail dengan bertanya “Kalau laki-laki yang duduk mengangkang, menurut Anda itu budaya Aceh atau?” Suaidi kemudian memberikan detail bahwa duduk mengangkang merupkan kodrat laki-laki sebagai orang yang kasar. Temuan data menunjukkan dalam teks yang sama Suaidi memberikan koherensi pembeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki boleh duduk mengangkang sedangkan perempuan harus bersikap sopan sehingga tidak boleh duduk mengangkang.

Setelah Suaidi memberikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, Najwa kembali mempertanyakan perbedaan laki-laki dan perempuan pada menit 09.39-09.52 dalam percakapan berikut:

NS: Dan duduk mengangkang tidak sopan. SY: Tidak sopan.

1

NS: Tidak sopan (SY: iya). Tapi bagi laki-laki tidak apa-apa duduk mengangkang?

132

Universitas Kristen Petra SY: Aaa itu memang laki-laki memang orang yang agak-agak kasar gitu..

NS: Hmmm, jadi kalau orang kasar biasa ya lah duduk mengangkang.

Sebelum kalimat 1, percakapan yang terjadi membahas larangan duduk mengangkang dan perempuan, baru tiba-tiba Najwa kembali memunculkan laki-laki dengan teknik pengingkaran untuk menegaskan bahwa menurut Suaidi, laki-laki dan perempuan dapat diperlakukan dengan berbeda. Laki-laki boleh duduk mengangkang dan perempuan tidak boleh duduk mengangkang sehingga harus diatur. Mata Najwa menunjukkan adanya perlakuan yang tidak sama terhadap perempuan dengan larangan duduk mengangkang.

Pembentukan wacana ini dilanjutkan dalam sub episode tanggapan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dengan menggunakan strategi grafis. Mata Najwa memunculkan kombinasi teks dan visual sebagai berikut:

Nah kalo yang aneh-aneh saya lihat perda-perda yang cenderung apa, bias gender, diskriminatif…

Pada saat Gamawan mengucapkan kalimat tersebut, Mata Najwa memasukkan insert gambar Suaidi sedang menempel himbauan larangan mengangkang. Mata Najwa secara tidak langsung mengungkapkan bahwa larangan mengangkang adalah aturan yang bersifat diskriminatif.

UU no.32 tahun 2004 pasal 138 ayat 1 menyebutkan asas-asas yang harus ada dalam materi muatan perda, di antaranya bhineka tunggal ika dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Pada UU yang sama pasal 136 ayat 2 ditegaskan pula bahwa perda digunakan demi kepentingan umum. Artinya, muatan materi perda tidak boleh memberikan

133

Universitas Kristen Petra perlakuan yang spesial kepada kelompok tertentu dan membatasi kelompok lainnya.

Terkait dengan teks Balada Perda, penilaian mengenai wacana diskriminasi terlihat jelas dalam kognisi SF. SF menggunakan skema peristiwa yang menilai bahwa aturan larangan mengangkang mendiskriminasi kaum perempuan. SF tidak menerima keputusan Suaidi untuk mencegah fitnah kaum laki-laki dengan cara mengatur dan membatasi kaum perempuan (kalimat 2).

2

Aturannya menurutku konyol. Kalau tujuan dari si Suaidi Yahya ini adalah untuk menghilangkan pancingan syahwat buat laki-laki gitu. Kalau itu yang jadi tujuannya ya gak bisa menganggap, semerta-merta wanitanya yang diatur gitu lho.

Sementara itu, ER menganggap larangan duduk mengangkang dan aturan nama bayi memiliki unsur diskriminasi.

3

Kalau saya sendiri lihat kan ada apa ya, nuansa seksis lah ya di situ. Ada diskriminasi terhadap perempuan. Kenapa? ketika perempuan saja yang kena perda itu (ER, personal communication, May 24, 2013).

4

Apa iya hanya gara-gara itu, terus yang situ, apa ya… hanya gara-gara nama saja terus merasa inferior. Ah nama Jawa gak punya ciri khas (SF, telephone communication, June 19, 2013). Pada larangan mengangkang, ER menggunakan skema peristiwa untuk menilai adanya diskriminasi karena hanya pihak perempuan yang diatur (kalimat 3) dan pada aturan nama bayi, ER kembali menggunakan skema peristiwa untuk menunjukkan unsur diskriminasi karena menurutnya aturan tersebut membuat orang Jawa menjadi inferior hanya karena nama mereka bias (kalimat 4).

Seperti dua wacana sebelumnya, Mata Najwa melakukan pembentukan wacana hingga bagian penutup. Pada bagian Catatan Najwa, Najwa melontarkan kalimat:

134

Universitas Kristen Petra “Perda seharusnya memajukan kesalehan sosial, bukan memformalkan ritual. Membela hidup bersama, bukan meruncingkan yang berbeda.”

Awalan “perda seharusnya” menjadikan kalimat pada proposisi di awal sebagai kondisi ideal, sedangkan proposisi di akhir merupakan kondisi yang sedang terjadi. Dengan demikian Mata Najwa menunjukkan bahwa kondisi ideal adalah perda membela hidup bersama, namun yang sedang terjadi adalah perda

meruncingkan perbedaan yang telah ada di Indonesia.

Lontaran kalimat tersebut diikuti dengan penggunaan grafis tulisan, seperti di samping. Grafis tulisan sesuai ucapan yang dilontarkan

semakin memperkuat ide Mata Najwa bahwa perda bersifat diskriminatif. Najwa menjalin jari-jari tangan yang dapat berarti Najwa menyimpan perasaan dan penilaian negatif terhadap perda karena perda meruncingkan perbedaan gender, ras, etnik yang ada di Indonesia.

Pembentukan wacana di atas sekaligus mendefinisikan dan memposisikan pihak-pihak atau individu ke dalam posisi tertentu. Althusser (dalam Eriyanto, 2012) menjelaskan Wacana berperan dalam mendefinisikan individu dan memposisikan seseorang dalam posisi tertentu. Berbicara mengenai wacana yang dibangun dalam pemberitaan mengenai peraturan daerah dalam Mata Najwa, ada empat pihak yang terlibat dalam produksi wacana yaitu masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat yang diwakili Menteri Dalam Negeri, dan Najwa Shihab sendiri.

a. Masyarakat.

Episode Balada Perda menunjukkan masyarakat sebagai korban; sebagai pihak yang dirugikan; sebagai pihak yang tidak menyetujui keberadaan perda -perda. Analisis data pun menunjukkan bahwa masyarakat didiskriminasi melalui peraturan di daerah masing-masing. Hal ini tidak hanya dilakukan melalui

135

Universitas Kristen Petra pemojokkan argumentasi narasumber tetapi juga memberikan akses terhadap pendapat warga melalui pemutaran video komentar. Mata Najwa memutar video komentar dari dua warga perempuan Lhokseumawe yang tidak setuju karena merasa susah dan tidak nyaman dengan aturan larangan mengangkang. Mata Najwa memberikan batasan pandangan bahwa masyarakat tidak setuju, padahal dalam kenyataannya ada juga masyarakat yang mendukung aturan tersebut. ER pun mengaku hasil vox pop menunjukkan ada juga warga yang setuju dengan aturan mengangkang, namun tidak ditampilkan.

ER: ketika kita bikin apa namanya, vox pop, banyak juga yang merasa itu gak terlalu penting, masih banyak yang lebih penting dari perda itu misalnya.

P: Vox pop itu ada yang setuju tidak?