• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komersialisasi pariwisata telah menjadikan perempuan di desa Tugu mengalami pergeseran dan berperan aktif dalam kegiatan ekonomi, yang awalnya hanya sebagai ibu rumah tangga, kini mereka bekerja pada ranah publik. Terjadinya diversifikasi terhadap pekerjaan hingga pola migrasi, tanpa disadari telah mempengaruhi peran dan posisi perempuan dalam pola aktivitas nafkah tersebut. Kebutuhan hidup yang terus meningkat, yang pada akhirnya mengharuskan perempuan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi keluarga. Pembagian kerja antara suami dan istri tidak menjadi persoalan, bahkan perempuan tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah tambahan tetapi juga sebagai tulang punggung keluarga.

Perempuan pada dasarnya bisa diberdayakan diberbagai bidang kehidupan. Namun hingga kini keberadaan perempuan masih dinomor-duakan. Ketimpangan gender menjadi permasalahan utama di pedesaan, perempuan biasanya mendapatkan hambatan terhadap aktifitas ekonomi, mereka tidak mendapatkan peluang pekerjaan di pertanian, kalau pun bekerja dalam pertanian biasanya mereka hanya dianggap membantu pekerjaan suami tanpa diberikan upah. Ruang aktifitas perempuan hanya berada pada ranah domestik, yang terkontruksi pada nilai-nilai tradisional. Ranah domestik merupakan ranah pekerjaan perempuan, yang tugasnya melayani suami, mengurus anak dan rumah tangga, pada akhirnya mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk bisa berkembang diruang publik.

Namun hal ini tidak terjadi pada perempuan di desa Tugu, disini justru perempuan berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Pekerjaan dijadikan sebagai suatu kebutuhan, yang pada akhirnya mengharuskan perempuan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi keluarga. Pembagian kerja suami dan istri tidak menjadi masalah besar, bahkan perempuan tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah tambahan tetapi juga sebagai tulang punggung keluarga. Pembagian kerja menurut Blood dan Wolfe dalam bukunya yang berjudul Husbands and Wives (1960, p. 47-52), terbentuk dalam pola tradisional dan kontemporer. Pola tradisional memandang perempuan hanya mengerjakan pekerjaan yang dasarnya adalah pekerjaan rumah tangga, mulai dari mengurus anak hingga mengurus rumah tangga, sehingga perempuan harus tetap berada dirumah. Pola kontemporer memandang bahwa suami dan istri bersama-sama saling membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sehingga ada keselarasan.

Perempuan di Desa Tugu, terutama ibu-ibu yang sudah menikah bekerja sebagai hadamah(tukang masak), pekerjaannya antara lain melayani kebuhutan rumah tangga turis Arab selama ada di vila. Penghasilan mereka dalam satu hari berkisar seratus ribu rupiah hingga dua ratus ribu rupiah, maka tidaklah heran jika secara ekonomi mereka mengalami mobilisasi vertikal naik. Dengan pendapatan yang mereka miliki, mereka mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya, seperti : menyekolahkan anak dan membantu perekonomian keluarga. Secara sosial bekerja sebagai seorang hadamah mungkin terkesan rendah, tetapi secara ekonomi mereka mampu menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari pada suami mereka.

Besarnya penghasilan mereka tidak menjadikan kesenjangan ekonomi dalam rumah tangga. Posisi suami tetap berada dalam koridornya, sebagai

63 manusia yang dihormati dan dihargai. Justru dalam menjalankan peran ekonomi dalam mencari nafkah, antara suami dan istri saling mendukung dan bekerja sama. Ketika perempuan memiliki andil dalam pencarian nafkah, maka beban suami pun menjadi lebih ringan. Misalnya suaminya bekerja sebagai supir tamu, lalu yang menjadi hadamahnya istrinya. Jadi, suami dan istri mendulang rupiah dari subjek yang sama. Bahkan tidak sedikit yang sekeluarga melayani kebutuhan orang Arab, sepertinya yang dialami oleh keluarga Hsn, bapaknya sebagai penjaga vila, ibunya sebagai hadamah dan anaknya sebagai pedagang keliling. Dalam kondisi seperti ini jelas peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi saling mendukung, sehingga tidak terjadi ketimpangan akses. Justru para suami lebih diuntungkan dengan begitu mereka masih tetap bisa menjaga dan mengawasi istrinya sambil juga mencari nafkah bersama. Ekonomi keluarga pada akhirnya tidak lepas dari peran perempuan. Jaringan ekonomi pun terbentuk dalam institusi keluarga, sehingga memperkuat akses pendapatan keluarga dan tentu saja ini lebih menguntungkan.

Bagan 5. Pola Jaringan Ekonomi Keluarga Bapak Hsn

Berdasarkan bagan 4. mengenai posisi anggota keluarga bapak Hsn, menunjukkan : 1) posisi sosial kerja menjadi hadamah lebih rendah jika dibandingkan menjadi penjaga vila dan pedagang, 2) posisi ekonomi, pendapatan menjadi hadamah jauh lebih besar jika dibandingkan menjadi penjaga vila dan pedagang, 3) meskipun posisi ekonomi lebih baik bagi perempuan yang menjadi hadamah, jika dibandingkan laki-laki yang menjadi penjaga vila dan pedagang tetapi tidak menyebabkan kesenjangan dalam keluarga bapak Hsn.

Partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi di Desa Tugu, berdimensi struktural dikarenakan terjadinya perubahan struktur ekonomi yang pada akhirnya menimbulkan peluang kerja dan usaha bagi perempuan di desa Tugu, yang tidak hanya terbatas pada warga asli desa Tugu saja tetapi juga memberikan peluang bagi perempuan-perempuan pendatang.

Para pendatang sebagai pelaku migrasi sirkular yang berasal dari Jawa Tengah, ikut menikmati peluang berusaha di desa Tugu. Pekerjaan mereka di desa hanyalah sebagai petani dengan pendapatan yang minim, melalui teman-teman yang sudah terlebih dahulu berhasil, memotivasi para perempuan lainnya untuk juga berusaha di desa Tugu dengan menjual pakaian. Hubungan yang terjadi antara sesama pedagang adalah kekeluargaan, ditandai dengan pola hidup bersama yang mereka jalankan. Mereka hidup dalam satu kontrakan yang sama, mengerjakan pekerjaan rumah secara bersamaa-sama, meskipun jelas terdapat pola hubungan patron-klien antara penyedia barang dengan pedagang, tetapi tidaklah membuat mereka merasa tereksploitasi. Secara kolektif mereka menyadari hubungan yang terjadi adalah hubungan yang saling menguntungkan.

Turis Arab Anak : Pedagang

Istri : Hadamah Suami : penjaga vila

64

Berdasarkan hasil wawancara mendalam maka dapat disimpulkan mengenai alasan kenapa perempuan Desa Tugu memilih untuk bekerja, diantaranya karena adanya :

a. Harga kebutuhan yang naik terus-menerus, sehingga mendorong para perempuan untuk bekerja, demi terpenuhinya kebutuhan keluarga.

b. Adanya keinginan hidup mandiri, kemandirian perempuan biasanya menjadi tuntutan perempuan lajang. Belum terikatnya dalam perkawinan membuat perempuan lajang pada akhirnya memutuskan untuk hidup mandiri, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pribadinya.

c. Memberikan penghasilan tambahan kepada keluarga, mereka menyadari jika penghasilan suami mereka yang tidak terlalu besar, membuat perempuan bersedia ikut andil dalam upaya memenuhi pendapatan keluarga dengan cara bekerja.

Peran dan posisi perempuan dalam perekonomian keluarga memiliki hal penting dalam peningkatan kesejahteraan keluarga, seperti peningkatan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan akan gizi keluarga dan lain-lain. Berikut upaya perempuan di kampung Tugu dalam mencari nafkah tambahan bagi keluarga, diantaranya :

Pertama, menjadi tukang masak atau hadamah. Sebagian besar perempuan di warung kaleng bekerja menjadi tukang masak (hadamah), ada sekitar 80% ibu- ibu yang bekerja sebagai hadamah, dan sisanya yaitu sekitar 20% bekerja menjadi pegawai travel, pelayan toko, pelayan restoran, pembantu rumah tangga serta memilih untuk menjadi ibu rumah tangga biasa. 20% perempuan tersebut biasanya terkendala karena bahasa, mereka tidak bisa berbahasa Arab, ada juga karena mereka belum menikah sehingga tidak bisa menjadi hadamah, dan biasanya perempuan yang masih muda memilih pekerjaan yang lain.

Hadamah dibutuhkan seiring dengan kebiasaan turis Arab yang hanya ingin mengkonsumsi makanan khas negaranya. Turis Arab tidak suka mengkonsumsi makanan Indonesia, sehingga mereka lebih menyukai memasak makanannya sendiri. Tugas hadamah diantaranya adalah memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti : mencuci, beres-beres, dan memasak. Dalam satu hari hadamah mendapatkan upah sekitar Rp. 100.000,- hingga Rp. 150.000,- tergantung pada jumlah turis yang dilayaninya, jika jumlahnya lebih dari 2 orang mereka akan mendapat upah Rp. 150.000,- bahkan ibu Sarah pernah mendapatkan upah Rp. 400.000,- per hari. System upah tergantung dari kedermaan turis Arab tersebut. Upah yang didapatkan tentunya harus dibagi lagi dengan para penjaga vila sekitar 10 persen hingga 20 persen sebagai uang “pengertian”.

Meskipun tugas seorang hadamah hanyalah mengurus rumah tangga, tapi profesi ini sangat menjanjikan. Dalam beberapa minggu saja mereka sudah bisa mendapat Rp. 2.000.000,- belum termasuk bonus yang akan mereka terima dari orang Arab jika pelayanannya memuaskan, selain itu terkadang mereka mendapatkan sisaan bahan-bahan makanan. Biasanya mereka akan menjual kembali barang sisaan tersebut ke toko atau warung-warung, seperti makanan- makanan kaleng, bumbu hingga beras. Meskipun harga yang dibeli lebih murah tapi itu cukup memberikan tambahan penghasilan. Kefleksibelan waktu juga menjadi alasan mereka mau menjadi hadamah. Biasanya mereka bekerja mulai pukul 07.00 WIB untuk menyiapkan sarapan, setelah dzuhur biasanya turia Arab akan pergi keluar untuk jalan-jalan dan disaat itulah mereka bisa pulang kerumah

65 untuk mengurusi rumah tangganya sendiri, selepas magrib mereka akan kembali ke vila untuk menyiapkan makan malam sekitar jam 19.00 WIB barulah mereka kembali kerumah masing-masing.

Menjadi hadamah merupakan kebanggan tersendiri bagi ibu-ibu di warung kaleng, hal ini karena kerja keras mereka bisa dimanfaatkan untuk menyekolahkan anak. Ada beberapa hadamah yang bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Dengan begitu mereka bisa merubah strata pendidikan mereka yang mayoritasnya hanya bersekolah hingga SMP.

Kedua, pedagang pakaian keliling. Selain penduduk lokal, penduduk pendatang pun memiliki kesempatan bekerja dan berusaha di Warung Kaleng, seperti yang dilakukan oleh para perempuan asal Jawa Tengah. Mereka datang ke Warung Kaleng karena melihat peluang yang tidak dilakukan oleh warga sekitar. Mereka berkeliling menjajakan baju berupa kaos dan celana. Bapak Stn sebagai ketua kelompok pedagang keliling yang mengaku sudah dari sejak tahun 1990 berada di Warung Kaleng untuk menjajakan dagangannya kepada para wisatawan keliling vila-vila. Ketika 3 (tiga) tahun kebelakang mulai ramai orang Arab, banyak perempuan yang berasal dari berbagai kota di Jawa Tengah seperti Sragen, Karang Anyar, Kudus dan Boyolali, yang juga berdatangan untuk menjajakan dagangan. Bapak Stn sebagai koordinator yang merupakan pedagang besarnya, lalu pedagang keliling nanti membeli barang-barang dagangannya kepada bapak Stn. Sistem jual belinya adalah sistem putus sehingga pedagang bisa menentukan sendiri harganya. Biasanya mereka berdagang tidak sendiri tetapi berkelompok, bersama 2 (dua) hingga 3 (tiga) orang dalam satu kelompok keliling. Barang yang dijual tidak hanya berupa pakaian seperti kaos dan celana pendek, tetapi ada juga yang menjual kayu gahru3, dan obat-obatan yang menghangatkan tubuh seperti balsam, minyak angin, hingga parem kocok. Namun untuk perempuan biasanya mereka berjualan pakaian. Sedangkan yang menjual kayu gahru dan obat-obatan biasanya laki-laki.

Kelompok Bapak Stn mendiami rumah kontrakan yang terdiri dari 5 kepala keluarga, mereka tinggal bersama dalam satu rumah, dengan kisaran usia 25 tahun hingga 40 tahun. Tiap harinya mereka diberikan kewajiban untuk membayar iuran rumah kontrakan sebesar Rp. 1.000,- dan iuran untuk makan yang besarnya tergantung dengan apa yang mereka masak. Sore hari biasaya mereka kembali kerumah, sebagian sesuai dengan piketnya menyiapkan makan malam, dan sebagian hanya bersenda gurau dengan teman-teman yang lainnya.

Di kawasan ini ada beberapa kelompok pedagang, ada kelompok Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk kelompok Jawa Tengah biasanya mereka menjual sandang dan obat-obatan, sedangkan untuk kelompok Jawa Barat mereka menjual cindera mata. Biasanya mereka dapatkan barangnya dari Bandung. Tidak semua kelompok Jawa Barat berkeliling, ada juga yang berjualan dipinggir jalan menjual topi dan tas kecil.

Ketiga, Pramuniaga atau pelayan restoran. Banyaknya kunjungan dari turis Arab menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan konsumsi mereka terhadap kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan). Hal ini dilihat sebagai peluang bagi para pengusaha diantaranya pengusaha restoran. Cita rasa makanan Indonesia yang cenderung pedas dianggap tidak sesuai dengan selera mereka. Di wilayah

3

66

Warung Kaleng sendiri terdapat 7 (tujuh) buah restoran. Salah satunya adalah Kmn Restoran. Kmn restoran merupakan restoran cabang Jakarta yang bernama Hdr. Pemilik restoran adalah orang Yaman yang bernama Hmd, yang kemudian berpindah tangan kepada Ksd, pengusaha asal Yaman yang beristrikan seorang mantan TKW yang berasal dari Sukabumi dan perempuan berasal dari Majalengka. Posisi atas diisi oleh para pegawai yang didatangkan langsung dari Yaman dari mulai manager hingga chef-nya.

Adanya restoran tentunya memberikan peluang kerja bagi penduduk sekitar warung kaleng. Seperti yang dialami Ev(28), Ev mengetahui ada lowongan pekerjaaan, diperoleh dari informasi mulut ke mulut, meskipun demikian prosedurnya jelas mereka harus menyertakan berkas lamaran kepada pengelola. Menurut Ev terkadang ada beberapa pekerjaan yang tidak membutuhkan persyaratan khusus dalam bekerja, yang dibutuhkan hanyalah kepiawaian dalam berbahasa Arab, walaupun hanya sebagai lulusan SMP jika memiliki kemampuan berbahasa Arab akan lebih mempermudah mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Rata-rata mereka bisa berbahasa Arab secara otodidak, belajar karena mendengarkan.

Jam kerja yang diterapkan terdiri dari dua shift yaitu pukul 09.00 – 20.00 dan pukul 12.00 – 01.00 WIB. Jumlah karyawan Kmn sebanyak 12 orang, yang terdiri dari 2 orang kasir dengan upah sebesar Rp. 750.000,- 8 orang waiters dengan upah sebesar Rp. 500.000,- dan 2 orang koki yang berasal dari Yaman.

Berdasarkan keterangan tersebut bisa kita simpulkan bahwa dengan 12 jam hingga 13 jam bekerja dan dengan upah yang hanya Rp. 500.000,- hingga Rp. 750.000,- tentu saja ini sudah melanggar aturan ketenaga-kerjaan yang seharusnya batas jam bekerja itu adalah 8 jam dan jika melebihi pun harus dianggap sebagai lembur.

Hubungan antara satu sama lain antara pekerja bisa terjalin dengan baik karena mereka berasal dari wilayah yang sama, tetapi mereka sangat menjaga jarak dengan atasannya sehingga ada batasan-batasan. Selama bekerja mereka tidak mendapatkan libur selama 3 bulan pertama, karena dianggap masa percobaan. Tetapi setelah 3 bulan dilalui barulah mereka mendapatkan jatah liburan selama 1 bulan sekali.

Menurut Urry (1994) dalam I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri (2005) menemukan bahwa pariwisata telah memberikan peluang kepada wanita untuk secara sosial ekonomi lebih independen sehingga perbedaan gender semakin menipis, terjadinya perubahan penduduk, timbulnya peluang kerja, merangsang penduduk lain untuk pada akhirnya pindah ke lokasi wisata. Apa yang terjadi pada komunitas Desa Tugu pun demikian, dimana partisipasi perempuan terhadap pekerjaan bukanlah hal yang sulit, karena perempuan juga memiliki andil dalam roda perekonomian Desa Tugu, yang bukan hanya mensejahterakan masyarakatnya tetapi juga mensejahterakan para pendatang baik dalam maupun luar negeri.

Perempuan bekerja memiliki manfaat dalam kontribusi ekonomi rumah tangga dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Besarnya penghasilan keluarga akan berpengaruh juga pada peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan anak-anak, perbaikan gizi keluarga sehingga keluarga akan terhindar dari penyakit. Kesemuanya itu secara tidak langsung mempengaruhi pada peningkatan perekonomian daerah.

67

8

PERKEMBANGAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

Dokumen terkait