• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan Aliran Pendapatan Komunitas Tugu

EKONOMI YANG TERBENTUK

Bagan 2. Tahapan Aliran Pendapatan Komunitas Tugu

Tahapan aliran pendapatan komunitas Tugu yang terpapar diatas menunjukkan bahwa kehadiran turis Arab juga menimbulkan modal finansial yang bermanfaat bagi terjadinya perluasan sistem nafkah di Desa Tugu. Meningkatnya aktifitas nafkah tentunya akan diikuti dengan meningkatnya penghasilan, yang pada akhirnya masyarakat mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan komunitas didapatkan dari keberadaan turis Arab yang berada di Desa Tugu. Pola konsumsi mereka, sebagian besar terpenuhi di Desa Tugu, sehingga aliran uang masuk ke komunitas. Pendapatan yang diperoleh komunitas berasal dari barang atau jasa yang mereka miliki, dan kemudian pendapatannya tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik, menunjukkan bahwa tidak adanya ketimpangan ekonomi dan itu artinya mereka bisa dikatakan sejahtera, karena mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Peningkatan kesejahteraan ditandai dengan minimnya angka masyarakat yang berkunjung ke puskesmas. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Skm (55) pegawai puskesmas Desa Tugu sebagai berikut :

biasanya minimal puskemas melayani 50 orang pasien, sejak ramai turis Arab, justru hanya 20 orang pasien yang dilayaninya tiap hari. Untuk penyakit yang paling sering dikeluhkan warga hanyalah penyakit diare dan flu.

Tahap 4

Terciptanya kesejahteraan komunitas

Tahap 3

Komunitas memanfaatkan penghasilannya untuk pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan), pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial.

Tahap 2

Komunitas mendapatkan penghasilan dari apa yang sudah dikeluarkan oleh turis Arab

Tahap I

46

Selain itu juga masyarakat yang mampu melakukan perubahan pada mata pencahariannya, misalnya dari yang tadinya tukang ojek akhirnya menjadi supir dan memiliki mobil. Bahkan tingkat pengangguran pun bisa ditekan, meskipun tidak ada data pasti, namun mereka mengklaim jika para pemudanya semua bekerja. Tidaklah sulit mendapatkan pekerjaan selama memiliki modal manusia (skill), cukup pandai berbahasa Arab, dari mulai anak-anak hingga orang tua pun bisa mendapatkan penghasilan. Hal inilah yang menjadikan para pemuda memilih mengakhiri pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Rata-rata mereka berpendidikan sekolah dasar. Seperti yang disampaikan bapak Obr (47) :

“bahwa banyak yang putus sekolah, ini terjadi karena mereka berfikirnya sekolah itu kan ujung-ujungnya untuk mencari penghasilan. Jika dengan tidak bersekolah pun mereka mampu memiliki penghasilan, jadi untuk apa mereka mengejar ijasah.”

Pernyataan ini diamini oleh bapak Rul (50), yang cukup bangga dengan anaknya yang pandai mengaji, meskipun tidak melanjutkan sekolah ke SMP, beliau hanya mengharapkan anaknya bisa manjadi anak sholeh tanpa harus berijasah. Kemudian pertanyaan pun ditujukan kepada anak Bapak Rul yaitu Emn (15). Ketika ditanya kenapa Emn tidak melanjutkan sekolah, dituturkan sebagai berikut :

“Saya takut masuk sekolah lagi, karena anak-anaknya suka tawuran. Daripada saya ikut-ikutan lebih baik saya nyatri saja belajar agama dan sambil bantu-bantu bapak jaga vila.”

Pernyataan Emn tersebut cukup menggambarkan tidak adanya motivasi untuk melanjutkan pendidikan, selama kehidupannya mampu di topang oleh keberadaan vila, selama itu pula mereka mampu bertahan. Sehingga pendidikan bukanlah sesuatu yang penting lagi.

Sebagian besar modal yang digunakan oleh komunitas Desa Tugu adalah modal manusia, sebagai modal diri. Komunitas mengkontribusikan tenaganya untuk mendapatkan penghasilan. Selain itu juga komunitas Desa Tugu juga sebagian mengandalkan modal sosialnya, seperti yang dikatakan oleh Szreter (2000), bahwa modal sosial mengacu pada hubungan sosial antara orang yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil yang produktif. Hubungan sosial yang mereka bina dengan turis Arab, memberikan peluang bagi masyarakat. Kemudahan akses turis Arab terhadap sumberdaya menyebabkan keberadaan mereka makin kuat, karena ditunjang oleh keberadaan fasilitas yang diusahakan oleh warga sekitar maupun oleh paran investor.

Pola aktifitas dalam sistem nafkah baru di Desa Tugu berbasis sumber daya non-alam, kegiatan yang dijalankannya berupa kegiatan perdagangan. Banyaknya turis Arab, menginspirasi para pengusaha kecil dan menengah hingga pengusaha besar melakukan investasi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan turis. Mulai dari hanya pedagang kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari, hingga investor besar yang memiliki vila. Terbukanya peluang usaha di Desa Tugu tentunya berdampak pada terbukanya peluang kerja. Peluang usaha dan peluang kerja tidak hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar Desa Tugu saja tetapi juga

47 dimanfaatkan oleh para penduduk di luar Desa Tugu, bahkan dimanfaatkan oleh warga negara asing, yang berinvestasi mulai dari distributor makanan, pemilik maktab (kantor/travel) hingga pemilik vila berkelas. Seperti yang tertera dalam tabel 8, terdapat 6 (enam) jenis usaha yang paling menonjol di Desa Tugu menurut data monografi desa tahun 2012, berikut daya tampung terhadap tenaga kerja. Sebanyak 2.510 jiwa terserap dalam 1.244 lapangan pekerjaan yang tersedia di Desa Tugu.

Tabel 8. Jenis Usaha yang Terdapat di Warung Kaleng dan Serapan Tenaga Kerja

No. Nama Usaha Jumlah Serapan Tenaga Kerja Jumlah Persen 1 Vila/hotel 711 1550 61.75299 2 Restoran 22 93 3.705179 3 Warung/mini market 463 770 30.67729 4 Travel/Maktab 8 32 1.2749 5 Warung pulsa 12 20 0.796813 6 Pusat Oleh-oleh 28 45 1.792829 TOTAL 1.244 2.510 100

Sumber : Data Monografi 2012 Tugu Utara dan Tugu Selatan

Berdasarkan pengamatan dan observasi di lapangan, peneliti mencoba melihat strategi nafkah baru berdasarkan pola normatif dan ilegal seperti yang di bahas oleh Dharmawan (2006), dijelaskan bahwa strategi nafkah bisa dilakukan dengan peaceful ways atau dengan non peaceful. Secara normatif (peaceful ways) didalamnya terjadi kegiatan produksi, pertukaran, migrasi hingga terbentuknya jaringan sosial, hal ini penulis jelaskan melalui sumber pendapatan yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Ada pun jenis usaha yang menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat diantaranya vila, home stay, warung, ojek, maktab, restoran dan supir/guide. Peluang usaha di desa Tugu tidak hanya terbuka untuk strategi nafkah yang normatif saja tetapi juga pada akhirnya membuka peluang usaha yang bersifat ilegal (non peaceful), munculnya jenis pekerjaan yang melanggar nilai dan norma komunitas setempat seperti : adanya para Pekerja Seks Komersil (PSK) dan pengemis. Pekerjaan tersebut diminati oleh para pendatang, seperti warga Cianjur, Sukabumi, Indramayu, Jawa Tengah dan lain sebagainya.

Timbulnya sumber pendapatan baru berasal dari meningkatnya sektor pariwisata Puncak akibat keberadaan turis Arab. Ada pun jenis usaha yang terdapat di Puncak, diantaranya :

Pertama, jasa vila atau penginapan. Menurut keterangan Bapak Rul, terdapat 20 persen dari warga yang memiliki usaha vila, 60 persen dimiliki oleh pendatang lokal, dan sekitar 10 – 20 persen dimiliki oleh warga Arab. Lahan pertanian sekitar 40 – 50 persen ditanami tanaman organik, sayuran dan bunga. Tanaman organik dan sayuran biasanya memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta, hotel dan restoran. Tanaman bunga mampu memenuhi kebutuhan bunga dalam negeri juga untuk memenuhi pasar luar negeri.

Peluang usaha yang ada memberikan peluang kerja baik bagi warga setempat ataupun bagi warga pendatang. Bahkan yang bisa melihat peluang

48

adanya usaha dan lapangan pekerjaan adalah orang-orang yang berada diluar Tugu. Jika dilihat dari jumlah vila atau hotel yang berdiri di Tugu sebanyak 711 dan hanya dimiliki 20 persen saja oleh penduduk sekitar itu artinya hanya 142 vila dan hotel yang mereka miliki, 427 (60 persen) vila dan hotel dimiliki oleh warga pendatang lokal dan 142 (20 persen) vila dan hotel dimiliki oleh orang Timur Tengah (Yaman dan Arab Saudi).

Yang menjadi kekhawatiran dari Bapak Rul selaku tokoh perhimpunan vila dan hotel adalah banyaknya vila yang dimiliki oleh pribumi yang disewakan ke pihak asing dalam hal ini orang Arab selama bertahun-tahun yang kemudian mereka sewakan kembali untuk konsumsi orang Arab lagi. Dalam kurun waktu 9 (Sembilan) bulan penghasilannya bisa mencapai 70 – 80 juta rupiah, yang tentunya penghasilan tersebut yang seharusnya bisa menjadi devisa negara, malah justru di serap oleh negara Arab yang notabene-nya mereka merupakan negara kaya. Belum lagi beberapa vila dan hotel yang mereka miliki, dengan cara meminjam “nama” masyarakat setempat, atau dengan cara menikahi orang Indonesia.

Orang asing menurut peraturan pemerintah no. 41 pasal 1 hanya berhak memiliki satu rumah atau tempat tinggal yang dibangun di atas tanah dengan status hak pakai. Adapun bangunan yang tidak boleh dimiliki, dengan kualifikasi sebagai berikut :

1. Jika rumah tersebut merupakan rumah sederhana atau sangat sederhana 2. Rumah yang pembangunannya dibiayai oleh pemerintah

3. Rumah yang pembangunannya mendapat fasilitas subsidi dari pemerintah Jika pada kondisinya banyak orang-orang asing yang berinvestasi terhadap properti di wilayah Tugu, dengan menggunakan nama kepemilikan pribumi dan atau menikahi wanita pribumi, tentu saja menyalahi aturan yang ada, dimana hak warga negara asing hanya terbatas pada kepemilikan tempat tinggal dengan status hak pakai, bukan hak milik tanah. Apalagi mereka memanfaatkan properti itu untuk menambah penghasilannya. Inilah yang kemudian disesalkan oleh bapak Ruli, upaya-upaya yang dilakukan turis Timur Tengah tersebut tentu saja telah merugikan.

Kedua, penyewaan rumah (home stay). Penduduk kampung Tugu yang memiliki rumah lain selain rumah induknya, sebagian besar menyewakan rumah- rumahnya kepada para imigran atau kepada para turis yang keuangannya minim, bahkan ada diantara mereka yang sanggup menyewakan rumahnya dan lalu mereka memilih mengontrak rumah tetangganya. Mereka melakukan hal tersebut karena harga sewa yang lumayan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, per bulan mereka bisa mengantongi penghasilan minimal Rp. 3.000.000,- sedangkan mereka hanya perlu rela berkorban untuk menyewa rumah ditetangganya yang hanya Rp. 500.000,-. Tentu saja hal ini mampu meningkatkan perekonomian keluarga. Seperti yang dilakukan keluarga bapak Ajg (45), yang pernah menyewakan rumahnya untuk orang Pakistan selama 8 bulan. Pada saat itu kondisinya bapak Ajg sedang tidak memiliki pekerjaan, mereka sekeluarga rela mengontrak dirumah yang lebih kecil dengan perabotan seadanya karena rumah mereka disewakan beserta isinya.

Ketiga, warung atau toko. Di sekitar warung kaleng terdapat 463 warung atau toko. Mulai dari warung yang berjualan di pusat oleh-oleh hingga toko yang menjual berbagai macam kebutuhan turis Arab. Toko-toko besar yang menjual

49 berbagai macam makanan yang di impor langsung dari Arab berada di pinggir jalan warung kaleng, terdapat 4 toko yaitu Toko Dn, Toko Ad, Toko Kbr, dan yang terbaru adalah Al- Shl.

Toko Dn merupakan pelopor dari toko penjual kebutuhan Arab. Awalnya seorang ibu Yah yang berjualan gado-gado dilapak pinggir jalan pada tahun 1980- an, hingga akhirnya berkenalan dengan turis Timur Tengah dan membuka peluang bagi ibu Yah untuk membuat toko, dan merupakan toko paling besar. Awalnya hanya berjualan makanan khas Arab, kini usahanya berkembang menjadi warnet, maktab (travel agent), money changer, pulsa dan toko pakaian.

Langkah ibu Yah tersebut diikuti oleh toko Ad, Toko Kbr dan Al-Shl. Kepemilikan semua usaha tersebut dimiliki oleh warga setempat, barang-barang yang dijual beragam mulai dari produk lokal hingga produk Arab. Untuk mendapatkan barang-barang import mereka tidak mengalami kesulitan karena semuanya sudah ada yang mengirim. Umr (55) seorang pengusaha asal Yaman yang sudah mahir berbahasa Indonesia adalah salah satu importirnya, beliau sudah mengeluti usahanya dari tahun 1990-an. Barang-barang yang dijual cenderung mahal harganya, selain karena barang impor, pertimbangannya karena yang membeli adalah turis sehingga harganya lebih tinggi. Ada hal menarik ketika orang lokal berbelanja di toko Ad, harga yang mereka berikan berbeda dengan harga yang mereka berikan kepada para turis.

Selain toko-toko besar ada juga warung-warung di desa yang menjual kebutuhan sehari-hari. Ada hal menarik adalah adanya keseragaman isi barang dagangannya. Warung-warung biasanya menjual produk kemasan dan sayuran. Sayuran biasanya disimpan di luar dengan asumsi bahwa konsumen bisa melihat ada tidaknya stok barang. Jenis sayuran yang dijual pun seragam, semua warung menjajakan tomat, ketimun, bawang bombay, jeruk nipis, dan kentang. Sayuran tersebut menjadi kebutuhan utama untuk dijadikan shalata (salad).

Keempat, ojek motor. Ojek motor sebetulnya sudah ada dari tahun 1980-an, pada saat itu hanya melayani aktifitas warga saja. Namun dengan adanya turis Arab konsumen ojek pun bertambah. Keberadaan ojek sangat membantu mobilitas warga Tugu dan para turis. Tarif yang diberikan pun berbeda dengan turis, untuk warga sekitar para tukang ojek mengaku hanya membandrol Rp. 5.000,- sekali jalan, tetapi tidak menutup kemungkinan jika ada warga yang memberikan uang dibawah tarif standar dengan alasan memaklumi dan kasihan. Tetapi untuk turis minimal harga di bandrol Rp. 20.000,- hingga Rp. 300.000,- semua tergantung jarak tempuh, terkadang mereka menyewa ojek untuk kepentingan jalan-jalan. Keberadaan mereka tentu saja lebih menguntungkan meskipun demikian tidak menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan warga sekitar karena warga sekitar lebih penting dibandingkan para turis Arab yang perannya hanyalah sebagai pendatang saja. Penghasilan seharinya relatif tergantung pada musim Arab. Jika musim Arab penghasilan satu hari bisa mencapai Rp. 300.000,- hingga Rp. 500.000,- sedangkan jika musim Arab berlalu penghasilan yang didapat 10 persen berkisar Rp. 30.000,- hingga Rp. 50.000,-.

Kelima, Maktab. Maktab dalam bahasa Indonesia artinya kantor. Kantor disini maksudnya adalah travel agent dan money changer. Maktab biasanya dimiliki oleh orang Indonesia yang mayoritas bukanlah penduduk lokal. Seperti yang dimiliki oleh bapak Abd (50), Abd berasal dari Ambon dan mendirikan maktab, usahanya dimulai dari 10 tahun lalu. Sebelumnya Abd adalah supir yang

50

bekerja di Arab Saudi. Ketika pulang ke Indonesia Abd memutuskan untuk membuka maktab money changer. Dalam menjalankan usahanya dibantu oleh keponakannya yang mengurusi usahanya dan merekrut satu pekerja laki-laki yang berasal dari warga sekitar. Maktab Abd bukanlah satu-satunya maktab yang dimiliki oleh pendatang, tetapi ada juga seperti Kaha yang pemiliknya adalah keturunan ras Arab – Palembang.

Keenam, restoran. Banyaknya restoran di sepanjang jalan Tugu menambah ramai suasana Tugu. Gegap gempitanya baru terasa ketika memasuki malam hari. Lampu-lampu berkelap-kelip dan juga diiringi oleh lagu disko Arab menambah meriah suasana malam. Restoran-restoran tersebut mayoritas dimiliki oleh orang Timur Tengah yang berinvestasi di Indonesia. Mereka biasanya menjadikan orang sekitar sebagai orang kepercayaan untuk dipakai “nama”-nya sehingga mereka mendapatkan kemudahan terhadap akses usaha.

Sedangkan untuk restoran kecil dimiliki oleh orang Indonesia, seperti rumah makan yang dimiliki oleh ibu Nng (40). Awal mula berdirinya restoran tersebut karena ibu Nng dan suami ingin memiliki penghasilan untuk keluarga. Ibu Nng tiga tahun lalu bekerja menjadi TKW uang hasil kerjanya dimanfaatkan untuk dijadikan modal, dengan mendirikan rumah makan sederhana yang khusus menyajikan makanan Arab. Keterampilannya memasak didapatkan dari pengalamannya, ketika bekerja di Arab Saudi. Menu yang disajikan biasanya Kabsah, Briani, Roti Hobus dan lain-lain. Dalam menjalankan bisnisnya suami istri ikut andil dalam kegiatan ekonominya. Suaminya ahli membuat roti dan ibu Nng khusus memasak. Hasil usahanya mampu menyekolahkan ketiga anaknya ke pesantren di Sukabumi. Mereka bukanlah penduduk asli, mereka adalah pendatang asal Cianjur. Karena ada kenalan hinga akhirnya mereka mampu membuka rumah makan khas Arab. Ada yang menarik disini, dalam memberikan harga mereka ternyata membedakan antara turis Arab dengan pribumi. Jelas harga pribumi lebih murah.

Ketujuh, supir atau guide. Selain tukang ojek ada juga mata pencaharian sebagai supir. Supir tidak hanya berperan sebagai supir saja tetapi juga merangkap guide, mereka yang akan mengantar para turis keliling mengunjungi tempat- tempat wisata. Mereka terorganisir dalam satu organisasi yang bernama IGP (Ikatan Guide Puncak) yang berdiri sejak tahun 1997. IGP merupakan organisasi yang menaungi para supir dengan memberikan fasilitas dan keamanan dalam mencari nafkah. IGP membawahi 80 supir yang terdaftar dan memiliki KTA dan sekitar 400 orang yang merupakan anggota tidak tetap namun menginduk kepada IGP.

Sebagai anggota para supir hanya dikenakan kewajiban membayar Rp. 100.000,- sebagai dana kas. Dana ini kemudian bisa digunakan sebagai dana kegiatan atau dana sosial. Kegiatan yang biasa dilakukan IGP diantaranya adalah Tabligh Akbar dalam rangka memperingati hari-hari besar keagamaan dan menjelang puasa, hingga ikut serta dalam turnamen bola. IGP dalam setiap kegiatan tabligh-nya selalu menyantuni para kaum dhuafa, anak yatim dan janda tua, selain dari dana kas, pendanaan juga diperoleh dari hasil “door to door” panitia ke vila-vila, dan putra daerah yang sukses disekitar Warung Kaleng, serta berasal dari keropak yang tersebar di 20 titik, baik di vila maupun di restoran. Dengan keberhasilan ini IGP dipercaya oleh pemeritah daerah kabupaten Bogor, sebagai “Bazis” di kawasan puncak, yang kemudian dana zakat tersebut

51 disebarkan kepada penduduk sekitar. Di bidang olahraga tidak sia-sia prestasi yang didapatkan IGP pernah memenangkan juara sepak bola, dengan dana pembinaan selama tanding sebesar Rp. 55.000.000,- yang dikeluarkan dari dana kas.

Anggota IGP tidak hanya orang Warung Kaleng saja, tetapi juga berasal dari daerah lain seperti Kuningan, Cianjur, Sukabumi, Bogor bahkan ada yang berasal dari Aceh, Nusa Tenggara dan daerah lainnya. Rata-rata mereka memiliki mobil sendiri, ada juga yang menitipkan mobilnya untuk disewakan kepada supir-supir yang tidak memiliki kendaraan. Dalam satu hari para supir bisa mendapatkan penghasilan Rp. 500.000,- dan jika beruntung bisa mencapai Rp. 1.500.000,-. Untuk sekali jalan keliling Safari tarifnya Rp. 500.000,- sedangkan ke bandara Rp. 600.000,- jika beruntung setelah mendrop ke bandara, sekalian juga membawa turis lain ke puncak, maka penghasilannya bisa berlipat. Maka tidaklah heran jikalau para supir pada akhirnya mampu memiliki mobil pribadi. Pemilik mobil yang disewakan ke supir bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp. 200.000,- /harinya. Untung yang menggiurkan pada akhirnya memotivasi pemilik kendaraan untuk memiliki mobil lagi, seperti ibu Rsd yang mengatakan bahwa beliau tergiur untuk membeli satu unit mobil lagi jika melihat prospek yang menguntungkan seperti ini.

Namun tidak berarti semua tanpa kendala, setiap pekerjaan pastinya menimbulkan resiko, diantaranya yang dialami salah satu supir. Dimana ia dikeroyok oleh pelanggannya ketika hendak menagih uang bayaran. Awal kesepakatan tarif rental sebesar Rp. 250.000,- namun kenyataannya di bayar Rp. 50.000,- , ketika menagih ia malah dikeroyok. Ketika dari IGP menengahi, akhirnya keluarganya mengganti 4000 real yang jika ditakar dalam kurs rupiah Rp. 9.000.000,- padahal IGP tidak mengintervensi, pada saat itu keluarganya dihadapkan pada persoalan sulit karena anaknya akan diperkarakan ke polisi karena tidak ada itikad baik. Konflik yang terjadi hanya berkutat di masalah kesepakatan ongkos yang tidak sesuai.

Kedelapan, pekerja seks. Seks dan pariwisata merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Seks seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi keberadaan turis. Hal ini pun tidak hanya ditemukan di puncak saja tetapi juga di semua objek wisata. Seperti di Bali, Bali sebagai kota yang memiliki beragam aktifitas wisata, juga tidak terlepas dari aktifitas prostitusi. Prostitusi yang ditawarkan pun tidak hanya prostitusi perempuan tetapi juga prostitusi laki-laki. Bahkan di sekitar Seminyak terdapat klub khusus homo seksual. Selain Bali, di Pangandaran pun terdapat “pasar wanita”, yang setiap malamnya dijajakan para wanita-wanita cantik. Hal ini menunjukkan jika pariwisata tidak bisa terlepas dari aktifitas ekonomi yang terkait dengan seks.

Hal ini pun terjadi di desa Tugu, dimana dengan bebasnya para PSK keluar masuk vila. Warga sebetulanya sudah pernah melakukan pembersihan terhadap PSK namun hal tersebut justru malah mengancam perkembangan pariwisata sekitar, berdampak pada sepinya tamu yang mau singgah di vila mereka. Pada akhirnya mereka membiarkan keberadaan PSK dengan catatan tidak mengganggu aktifitas warga dan juga tamu.

Setiap malam mereka melakukan dawer (berkeliling vila menjajakan PSK) melalui biong (perantara) para PSK ini ditawarkan dari vila ke vila dengan cara door to door. Biasanya mereka di antar dengan menggunakan mobil dan ojek.

52

Mobil khusus dawer berbeda dengan mobil sewaan. Cirinya biasanya ditandai dengan terdengarnya hentakan musik dan penuh dengan aksesoris lampu. Tujuannya untuk menarik perhatian konsumen.

Prostitusi merupakan salah satu pekerjaan yang dianggap mudah, oleh sebagian perempuan yang tidak mampu bertahan hidup di kota. Hasil yang besar dalam waktu yang cepat tentu saja lebih menggiurkan, daripada mereka harus bekerja dengan waktu penuh dan hasil sedikit. Keberadaan mereka pun tidak bisa terlepas dari adanya permintaan akan jasa mereka. Prinsip supply – demand pun dijadikan alasan kenapa praktek-prakter prostitusi itu bisa berjalan langgeng.

Para PSK sebagai pelaku prostitusi biasanya berasal dari luar komunitas, mereka berasal dari Cianjur, Sukabumi, Bandung, Karawang hingga Indramayu. Untuk biong biasanya mereka berasal dari warga sekitaran Tugu, namun bukan warga Tugu.

Selain itu juga karena norma yang mulai melemah sehingga komunitas membiarkan penyimpangan terjadi di lingkungannya. Ini pun diamini oleh Hsn, yang menyatakan bahwa :

“kita pernah menindak, tetapi efeknya wilayah kita menjadi sepi.

Dokumen terkait