• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

2.1.3 Perempuan Sebagai Petani

Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, buah jagung, bawang, cabai, dan lain-lain). Dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri maupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industry, seperti serealia untuk

minuman berarkohol, buah untuk jus, dan wol untuk penenunan dan pembuatan pakaian (Wikipedia, 2010:4).

Defenisi mengenai petani mencakup sedikitnya dua hal pokok. Pertama, petani seorang pencocok tanam di pedesaan yang produksinya terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi keluarga. Kedua, petani merupakan bagian dari suatu masyarakat yang luas (scott, 1994: 238).

Pengertian petani diterjemahkan kedalam Bahasa inggris menjadi farmeryang sebenarnya sangat berbeda sekali dengan petani yang dalam arti peasent. Farmer adalah petani pengusaha, yang menjalankan usaha pertanian sebagai suatu perusahaan, sehingga untung rugi senantiasa menjadi pertimbangan didalam menjalankan usahanya dan memproduksi hasil pertania. Peasent yaitu petani kecil sebagai produsen pertanian, menguasai lahan sempit dengan orientasi produk untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bersifat subsistem.

Sektor pertanian merupakan sector utama jika dilihat dari sumbangannya dalam pendapatan nasional dan jumlah penduduk dan hidupnya yang tergantung kepadanya. Seperti yang terjadi di banyak negara berkembang lain, pemberian prioritas pada sector pertanian dalam kebijaksanaan ekonomi tidak selalu menghasilkan pertumbuhan produksi yang tinggi belum lagi dalam hal peningkatan pendapatan petani. Sector pertanian selalu ditandai dengan kemiskinan yang structural yang berat, sehingga dorongan pertumbuhan dari luar tidak selalu mendapatkan tanggapan positif dari penduduk petani berupa kegiatan investasi (subri,2007:197)

Terdapat tiga golongan petani yaitu petani berlahan sempit, yaitu golongan pemilik-penyewa penggarap, pemilik penggarap dan penyewa penggarap serta dua golongan petani berlahan luas yaitu golongan pemilik-penyewa penggarap dan pemilik penggarap. Kendala utama bagi usaha tani lahan luas golongan pemilik penyewa adalah modal. Sedangkan untuk golongan pemilik penggarap adalah biaya pupuk kandang. Harga bayangan dari setiap kendala atau sumber daya langka tersebut menunjukkan bila menambah ketersediaan sumber daya tersebut satu rupiah akan mendatangkan pendapatan sebesar harga bayangannya (shadowprice). Analisis sensitivasi menunjukkan batasan perubahan dari harga dan biaya agar tidak merubah keadaan optimal (Yuningsih, 1999:21).

Kemiskinan structural seringkali dikaitkan dengan kebijakan yang digariskan oleh pemerintah, pada umumnya kebijakan dibidang pembangunan.

Sebagai contoh, kebijakan industrialisasi di pulau jawa secara signifikan mempersempit lahan pertanian. Akibatnya, terjadi penurunan yang sangat tajam dan rasio penduduk dan lahan pertanian, yang mana secara signifikan akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan sebagai konsekwensi logis dari penurunan pendapatan masyarakat. Bentuk lainnya adalah kelembagaan, seperti kelembagaan sewa-menyewa lahan yang senantiasa lebih menguntungkan pemilik lahan. Juga kelembagaan system upah di sector pertanian yang tidak menguntungkan buruh tani, karena proses penyempitan lahan pertanian mengakibatkan posisi buruh tani semakin power less(Siagian, 2012: 62-63).

Pertanian yang ada sekarang didominasi oleh pertanian rakyat yang bercorak subsistem yang memiliki kelemahan sebagai berikut : (a) skala usaha kecil (sebesar 60% usaha tani dengan kisaran kurang lebih sama dengan 0,30

hektar, jadi sebagai usaha tani “gurem”); (b) lokasi usaha tani yang terpencar- pencar; (c) tingkat teknologi dan kemampuan manajemen rendah; (d) permodalan lemah; (e) kurang akses terhadap pasar dan struktur pasar (Subri,2002: 197).

Di masa kini dan mendatang, profil sumber daya manusia (SDM) pertanian yang diharapkan adalah yang mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:

1) Petani yang benar-benar memahami potensi, persoalan-persoalan yang dihadapi, serta perannya dalam kegiatan pembangunan (dalam arti luas).

2) Memiliki keterampilan teknisi dan manajerial yang sesuai dengan kondisi yang selalu berkembang, dan memiliki kesiapan menerima imperative perubahan yang terjadi.

3) Memiliki kedewasaan dalam perilaku dan pola pikir, sehingga memahami hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat dan pelaku pembangunan.

4) Sosok manusia pertanian yang dikemukakan tersebut berdimensi sangat holistic, sehigga masukan system, dan strategi yang diperlukan untuk menyiapkan memerlukan pula kemajemukan yang integrative (Subri, 2002: 198).

Perempuan juga memiliki kesempatan yang terbuka untuk pendukung antara lain:

1. Berkembangnya kesadaran laki-laki tentang faham feminisme, yang berarti mereka yang mau menghargai dan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berkembang sebagai pribadi.

2. Makin banyak perempuan yang sadar akan potensinya, sehingga muncul pemimpin perempuan diberbagai bidang.

3. Terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk meningkatkan pengetahuannya melalui berbagai pendidikan.

4. Ada jalinan kerjasama yang semakin luas bagi perkembangan perempuan, sehingga perempuan semakin percaya diri dan menyadari bahwa mereka tidak sendiri (Murniati, 2004: 116-117).

Pada dasarnya perempuan Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di desa, peranan ganda bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Pada masyarakat pedesaan para perempuan sudah dituntut untuk hidup mandiri dan bekerja karena tuntutan perekonomian, hal ini yang mendasari peran perempuan desa tidak hanya lagi bekerja sebagai pembantu laki-laki khususnya dalam pertanian, perempuan sudah memiliki kesempatan untuk bekerja sebagai petani dan mengelola lahan pertanian dengan sendiri. Dalam pertanian perempuan juga sudah dapat memiliki tanah pertanian dan mengawasi penggarapannya. Dengan demikian perempuan tidak mengalami kesulitan utuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya.

Dalam rumah tangga biasanya perempuan yang menjadi pengelola dalam menyelesaikan proses pekerjaan domestic. Karena perempuan dinilai lebih mampu bekerja dalam hal membersihkan dan memelihara lingkungan rumah tangganya seperti menyapu lantai, mencuci piring, memasak, dan merawat anak, hal-hal tersebut menjadi tanggungjawab perempuan. Pada keluarga yang kaya dan mampu seringkali jenis pekerjaan domestic dibebankan kepada pembantu rumah tangga. Sedangkan pada keluarga miskin, seluruh pekerjaan domestic harus dikerjakan oleh perempuan itu sendiri dan seringkali perempuan juga yang harus

mencukupi kebutuhan hidup untuk keluarganya. Kebanyakan perempuan desa melakukan tugas rutin pemeliharaan rumah tangga dan selain itu perempuan juga harus ke ladang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari (Listanti dkk, 2002: 21).

Keterlibatan perempuan dalam pertanian yang masih tradisional cukup besar. Perempuan khususnya terlihat dalam rentetan panjang pekerjaan menanam padi di sawah. Ketika gulma-gulma datang menyerbu, perempuanlah yang dengan tekun mencabuti rumputnya satu persatu untuk dilemparkan ke pematang atau dibenamkan jauh-jauh kedalam lumpur di sela-sela tanaman padi yang masih muda (Rahardi, 1994: 3).

Perempuan tani pedesaan merupakan kelompok orang yang tak berupaya, yang tercampak dari proses pembangunan. Pada tahun enam puluh, pemandangan perempuan jawa yang selalu berduyun-duyun turun dari gunung untuk menuai padi di dataran rendah menjadi pemandangan yang tidak asing, kini pemandangan yang seperti itu sudah tak ada lagi. Hal ini terjadi karena kehidupan di desa yang dulunya merupakan basis penuai padi sudah lebih baik. Di kawasan yang agak terpencil seperti di pedalaman Sumatera Utara, masih terlihat pemandangan perempuan yang dengan tegar menggendong anak serta menenteng cangkul berangkat ke ladang (Rahardi, 1994: 4-6). Berkurangnya jumlah perempuan yang bekerja di sector pertanian disebabkan oleh kehadiran sector non-pertanian, seperti sector industry dan jasa. Dengan terbukanya kesempatan kerja di sector non-pertanian mengakibatkan tersebarnya alokasi tenaga kerja keluarga ke berbagai sector tersebut, kadang-kadang di luar desa atau di luar negeri.

Jadi dapat disimpulkan petani perempuan adalah perempuan yang bekerja sebagai petani yang bercocok tanam dengan melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan merawat tanaman sehingga diperoleh hasil yang dapat digunakan sendiri maupun dijual kepada orang lain untuk memperoleh pendapatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan tidak bergantung pada laki-laki.

Dokumen terkait