• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. ANGGARAN PEMERINTAH DAN KINERJA PEMBANGUNAN

5.1. Perilaku Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi

Pajak daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang utama. Kebijakan desentralisasi fiskal dari aspek pendapatan, antara lain dilaksanakan dengan memberikan berbagai sumber pendapatan pajak dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga daerah dapat mengambil kebijakan untuk mengoptimalkan sumber pendapatan pajak daerah. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pendapatan pajak daerah dipengarui oleh potensi ekonomi daerah sumber pajak, yaitu PDB sektor industri dan jasa, yang pada umumnya menjadi obyek pajak daerah. Selain itu, faktor kebutuhan pengeluaran daerah juga berpengaruh nyata. Artinya semakin besar kebutuhan pengeluaran daerah akan mendorong pemerintah daerah untuk lebih menggali potensi penerimaan pajak daerah. Alokasi dana perimbangan khususnya DAU ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan pajak daerah. Meskipun tidak nyata, nilai parameter yang negatif menunjukkan adanya indikasi fiscal lazyness dari pemerintah daerah. Hal ini diduga berkaitan dengan masih tingginya porsi dana perimbangan dalam struktur penerimaan daerah, sebagai akibat dari kebijakan desentralisasi fiskal yang menganut desentralisasi pengeluaran, bukannya pendapatan daerah (Tabel 26). Meskipun dalam perkebangannya beberapa sumber pajak dan retribusi daerah ditambah, meskipun relatif terbatas. Tabel 26. Hasil Estimasi Pendapatan Pajak Daerah

Variable Parameter Estimate Standard Error Pr > |t| Elastisitas SR LR Intercept -13 294.2 32 568.18 0.6837 PDBIN 0.0031 0.0011 0.0067 0.046 0.046 PDBJS 0.0043 0.0012 0.0006 0.095 0.095 DAUG -0.0072 0.0109 0.5080 -0.023 -0.023 PRTNG 0.0229 0.0075 0.0026 0.105 0.105 D11 47 653.16 31 720.8 0.1351 D12 95 545.92 46 931.23 0.0435 D13 60 694.01 38 693.3 0.1189 D14 41 329.27 34 138.81 0.2279 LPJG 0.8178 0.0426 <.0001

Dari Tabel 26 juga nampak, bila dana transfer dari pusat meningkat, ada kecenderungan pemerintah daerah akan lebih menggantungkan pendapatan daerah dari dana perimbangan dan ada kecenderungan enggan untuk berupaya meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Bila dilihat dari nilai parameter variabel dummy, nilainya positif, mengindikasikan bahwa pendapatan pajak daerah secara relatif lebih besar pada wilayah yang memiliki potensi ekonomi tinggi, misalnya di wilayah Jawa (D12), Kalimantan (D13) dan Sumatera (D11). Sementara untuk Maluku dan Papua pendapatan pajak daerah relaitf lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Dilihat dari nilai parameter dan elastisitas yang kecil menunjukkan bahwa rasio pajak daerah terhadap produk domestik bruto masih relatif kecil. Nilai parameter dari PDB sektor industri misalnya yang sebesar 0.003, menunjukkan bahwa effek marginal dari peningkatan PDB sektor industri sebesar satu juga rupiah, maka pajak daerah akan meningkat Rp 3000 rupiah. Demikian halnya dengan nilai elastisitas yang relatif kecil menunjukkan bahwa pajak daerah relatif lambat meningkat seiring perkembangan potensi ekonomi daerah. Unsur kebutuhan anggaran daerah malah yang lebih sensitif terhadap peningkatan pajak daerah, dengan nilai parameter 0.02 dan elastisitas jangka pendek 0.1. Artinya pajak daerah merespon 10 persen dari peningkatan kebutuhan fiskal daerah, terutama kebutuhan anggaran rutin. Hasil ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah lebih tergerak untuk meningkatkan pajak daerah karena dorongan kebutuhan fiskal dibandingkan dengan mengoptimalkan sumber pendapatan yang ada.

Sementara itu, terkait dengan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi, dipengaruhi oleh potensi ekonomi daerah yaitu PDRB, dana transfer dari pemerintah pusat khsusunya DAU dan pendapatan pajak daerah. Pajak daerah berpengaruh negatif, sementara potensi ekonomi dan DAU berpengaruh positif. Gambaran antar wilayah terkait dengan pendapatan retribusi daerah, menunjukkan bahwa wilayah Maluku dan Papua relatif lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya. Efek marginal relatif kecil dilihat dari nilai parameternya yang relatif kecil. Sementara itu tingkat elastisitas sebenarnya cukup besar dibanding persamaan pajak daerah di atas. Nilai elastisitas jangka pendek untuk ketiga variabel tersebut relatif sama, yaitu berkisar 0.2 dan 0.3. Sementara untuk elastisitas jangka panjang, berkisar satu sampai 1.4, cenderung elastis. Hal ini menunjukkan bahwa potensi penerimaan daerah dari retribusi

sebenarnya masih cukup besar untuk ditingkatkan. Peningkatan pendapatan retribusi ini dapat dilakukan dengan intensifikasi obyek yang terkena retribusi ataupun ekstensifikasi/ perluasan obyek/layanan yang dikenakan retribusi (Tabel 27).

Tabel 27. Hasil Estimasi Pendapatan Retribusi Daerah Variable Parameter Estimate Standard Error Pr > |t| Elastisitas SR LR Intercept -14 227.3 9 117.722 0.1208 PDBTTL 0.0005 0.0002 0.0098 0.213 0.978 DAUG 0.0134 0.0032 <.0001 0.305 1.398 PJG -0.0366 0.0133 0.0069 -0.26 -1.184 D11 7 713.296 9 146.562 0.4004 D12 43 559.48 14 938.720 0.0041 D13 9 178.817 11 291.670 0.4176 D14 9 744.663 9 830.677 0.3231 LRETG 0.7818 0.0512 <.0001 R-Sq = 0.95774, Durbin-Watson =2.2226, FOA = -0.11281

Dana alokasi umum merupakan komponen terbesar dalam struktur dana perimbangan. Dengan pendekatan desentralisasi fiskal di Indonesia yang lebih menitikberatkan pada desentralisasi pengeluaran, bukan desentralisasi pendapatan daerah, maka posisi DAU menjadi sangat strategis sebagai sumber penerimaan daerah. Pendekatan desentralisasi dari aspek pengeluaran menyebabkan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat akan tetap tinggi. Sesuai dengan siklus perencanaan anggaran dan program, Alokasi DAU ditentukan pada tahun sebelumnya. Dengan demikian penentuan jumlah DAU didasarkan pada informasi dan data pada tahun sebelumnya tersebut. Sesuai dengan fungsinya, sebagai pengisi celah fiskal, besaran alokasi DAU pada suatu daerah dipengaruhi oleh kapasitas fiskal daerah dalam hal ini direpresentasikan dengan pendapatan asli daerah, jumlah kabupaten/kota dalam provinsi tersebut, dan jumlah penduduk.

Pendapatan Asli Daerah yang merepresentasikan kapasitas fiskal, berpengaruh negatif terhadap alokasi DAU. Hal ini sesuai dengan kaidah alokasi DAU, dimana pada daerah-daerah yang memiliki potensi fiskal yang tinggi akan mendapatkan alokasi DAU yang lebih rendah, dan sebaliknya. Jumlah penduduk dan jumlah kabupaten/kota sebagai proksi dari kebutuhan fiskal daerah untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dengan demikian

kedua variabel tersebut berpengaruh positif terhadap alokasi DAU. Dilihat dari alokasi DAU antar wilayah, nampak bahwa terdapat kecenderungan DAU di Sumatera dan Sulawesi lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sementara untuk Jawa dan Kalimantan cenderung lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dilihat dari nilai elastisitas dan dampak marginal (nilai parameter) nya, maka variabel jumlah kabupaten/kota dan jumlah penduduk memiliki efek multiplier lebih besar terhadap alokasi DAU. Hal ini sesuai dengan peranan DAU yang utamanya diperuntukan untuk mengisi celah fiskal agar pemerintah daerah dapat menjalankan fungsinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Tabel 28. Hasil Estimasi Penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) Variable Parameter Estimate Standard Error Pr > |t| Elastisitas SR LR Intercept 218 090.6 84 676.04 0.011 LPADG -0.5001 0.0648 <.0001 -0.194 -0.438 LMISKIN 73.1294 71.7011 0.3094 0.028 0.062 LJMLKAB 62 005.72 7 672.889 <.0001 0.303 0.685 PNDDK 109.0937 16.1809 <.0001 0.255 0.577 D11 -98 454.1 79 755.33 0.2190 D12 267 888.2 125 816 0.0349 D13 245 507.9 101 502.8 0.0168 D14 -7 530.64 85 823.96 0.9302 LDAUG 0.5579 0.0407 <.0001 R-Sq = 0.98058, Durbin-Watson = 1.812442, FOA = 0.093613

Bagi hasil pajak diperoleh dari bagi hasil atas perolehan pajak negara yang berasal dari wilayah pemerintah daerah. Selain itu, untuk azas pemerataan, sebagian komponen bagi hasil pendapatan pajak pusat juga diberikan kepada daerah non penghasil. Dengan demikian penerimaan pajak utamanya dipengharui oleh potensi penerimaan pajak di daerah tersebut, dalam hal ini direpresentasikan dari PDRB sektor jasa dan industri. Dilihat dari nilai parameter estimasi dan juga elastisitasnya, nampak bahwa PDB sektor industri berpengaruh lebih besar dibadingkan dengan PDB sektor jasa. Hal ini menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak lebih besar dari sektor industri. Tabel 29 menunjukkan hasil estimasi dan nilai elastisitas pada persamaan bagi hasil pajak. Dari parameter dummy wilayah nampak bahwa bagi hasil pajak, cenderung lebih tinggi untuk wilayah Kalimantan.

Tabel 29. Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak

Variable Parameter Standard Error Pr > |t| Elastisitas

SR LR Intercept 111 298.3 41 801.67 0.0086 LPDBJS 0.0031 0.0012 0.0144 0.105 0.258 LPDBIN 0.0061 0.0017 0.0004 0.145 0.358 D11 7 717.504 48 935.27 0.8749 D12 -86 670.6 72 199.87 0.2318 D13 116 334.4 63 398.89 0.0685 D14 -47 224.5 54 640.84 0.3888 LBHPG 0.5935 0.0654 <.0001 R-Sq =0.86942, Durbin-Watson = 2.368103, FOA = -0.1845

Secara umum pola alokasi bagi hasil sumberdaya mirip dengan bagi hasil pajak, dimana ada komponen penerimaan pusat ada komponen yang dibagi hasilkan kepada daerah, baik daerah penghasil maupun daerah non penghasil sebagai komponen pemerataan. Meskipun perhitungannya berbeda dengan bagi hasil pajak maupun antar jenis penerimaan sumberdaya. Sebagai contoh, perhitungan bagi hasil dari kehutanan akan berbeda aturan pembagiannya dengan bagi hasil dari bahan tambang, perikanan, atau minyak dan gas. Aturan perhitungan ini ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan azas keadilan dan juga pemerataan kepada daerah yang tidak memiliki potensi sumberdaya yang besar. Dengan demikian, potensi dan pengelolaan sumberdaya di suatu wilayah akan berpengaruh positif terhadap penerimaan bagi hasil sumberdaya pada wilayah tersebut. Hal ini direpresentasikan dengan parameter PDRB dari sektor yang berbasis sumberdaya, yaitu sektor pertambangan dan energi, serta sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Tabel 30. Hasil Estimasi Alokasi Dana Bagi Hasil Sumberdaya

Variable Parameter Standard Error Pr > |t| Elastisitas

SR LR Intercept 10 289 70 604 0.8843 PDBSD 0.0029 0.0022 0.0156 -0.302 -0.809 D11 17 958 92 231 0.8459 D12 -97 027 119 593 0.4184 D13 142 605 117 945 0.2285 D14 -25 822 99 485 0.7956 LBHSDG 0.9072 0.034 <.0001 R-Sq = 0.90908, Durbin-Watson = 3.076496, FOA =-0.53881

Nilai elastisitas PDRB sumberdaya relatif besar, yaitu 0.55 untuk jangka pendek dan 1.5 untuk jangka panjag menunjukkan bahwa penerimaan bagi hasil sumberdaya cukup responsif terhadap perubahan PDRB sektor yang berbasis sumberdaya. Dari aspek perubahan marginal, nampak juga setiap terjadi peningkatan PDRB berbasis sumberdaya sebesar satu juta rupiah, maka akan terjadi peningkatan penerimaan bagi hasil sebesar 39 ribu rupiah atau sekitar 3.9 persen dari peningkatan PDRB sektor pertambangan dan energi.

Dana alokasi khusus dialokasikan terutama untuk melaksanakan program tertentu, yang dari pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh daerah. Sesuai dengan peruntukannya, jumlah bidang yang dapat didanai dari DAK ini terus bertambah dari waktu ke waktu, sebagaimana diuraikan di atas. Dengan semakin banyak bidang yang mendapat alokasi DAK, dengan sendirinya alokasi DAK secara nasional akan meningkat, meskipun dalam pendistribusian alokasi antar daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor daerah tersebut.

Tabel 31. Hasil Estimasi Dana Alokasi Khusus Variable Parameter Estimate Standard Error Pr > |t| Elastisitas SR LR Intercept 53 019.87 26 722.74 0.0491 LKAPFIS -0.0098 0.0047 0.0394 -0.010 -0.015 LMISKIN 11.8438 11.7605 0.3155 0.006 0.009 JMLKAB 12 647.9 2 129.374 <.0001 0.085 0.133 D11 -45 453.7 25 462.29 0.0762 D12 -18 837.5 36 346.8 0.6050 D13 -6 973.39 33 073.92 0.8333 D14 -8 399.77 27 015.04 0.7563 LDAKG 0.3616 0.0592 <.0001 R-Sq = 0.73412, Durbin-Watson =2.226254, FOA = -0.11829

Secara empiris, alokasi DAK secara nyata dipengaruhi oleh jumlah kabupaten/kota dalam satu provinsi dan kapasitas fiskal tahun sebelumnya. Kapasitas fiskal daerah berpengaruh negatif terhadap alokasi DAK. Artinya pada daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, alokasi DAK cenderung lebih rendah, dan sebaliknya. Kapasitas fiskal dalam hal ini merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil. Jumlah penduduk miskin diduga berpengaruh positif nyata, terhadap alokasi DAK, karena salah satu peruntukan DAK adalah percepatan pengentasan kemiskinan, ternyata secara statistik tidak nyata, meskipun tandanya positif. Efek terbesar, baik dilihat dari nilai efek marginal

maupun secara relatif berdasarkan nilai elastisitasnya, jumlah kabupaten/kota memiliki nilai parameter yang paling besar. Hal ini sejalan dengan perkembangan jumlah kab/kota dan provinsi yang mendapat alokasi yang terus meningkat, dimana pada awalnya hanya sebagian kabupaten/kota, saat ini, seluruh kab/kota (DKI Jakarta) mendapat alokasi DAK. Bila dilihat pengaruh antar wilayah, nampaknya alokasi DAK di Papua dan Maluku yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.