• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Anak Usia Dini

LINGKUNGAN KELUARGA

4.3 Perkawinan Anak Usia Dini

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

34 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014 tujuan membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam undang-undang perkawinan tersebut, umur menjadi salah satu syarat dalam melaksanakan perkawinan. Dalam undang-undang tersebut telah ditentukan batas minimal usia perkawinan bagi pria adalah 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun. Dalam pasal 7 ayat (1), pada usia tersebut baik pria maupun wanita diasumsikan telah cukup matang untuk memasuki gerbang perkawinan dengan segala permasalahannya. Selain itu, penetapan batas usia minimal perkawinan ini dimaksudkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Namun pada kenyataannya masih saja terjadi perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai batas umur yang ditentukan yang dikenal dengan istilah perkawinan usia dini.

Faktor-faktor penyebab perkawinan usia dini dapat berasal dari dalam diri anak maupun dari luar diri anak. Faktor yang berasal dari dalam diri anak antara lain faktor pendidikan, pemahaman agama, telah melakukan hubungan biologis, dan kehamilan sebelum pernikahan. Faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain faktor orang tua, faktor ekonomi, dan faktor sosial budaya.

Perempuan yang melahirkan pada usia muda memiliki resiko yang lebih besar. Belum kuatnya fungsi rahim dan hormonal serta kurang pahamnya perawatan pada masa kehamilan berakibat pada rentannya kehamilan seperti terjadinya tekanan darah tinggi, lahir prematur, berat bayi lahir rendah, serta

tingginya angka kematian ibu dan bayi. Perkawinan usia dini juga sangat

memengaruhi fisik ataupun psikologis anak yang dilahirkan kelak. Ketrampilam mengasuh anak serta pengendalian emosi seorang ibu yang menikah pada usia dini pada umumnya masih kurang. Hal ini menimbulkan resiko anak yang dilahirkan akan mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, dan gangguan psikologis.

Ditinjau dari sisi sosial, perkawinan dini dapat berdampak negatif yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta meningkatnya kasus perceraian. Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda, dan cara pola pikir yang

35 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014

belum matang. Di samping ego yang tinggi dan kurangnya tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami-istri. Jika dilihat dari segi kependudukan, perkawinan usia dini mengakibatkan tingginya tingkat fertilitas sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kependudukan. Dalam publikasi ini, perkawinan usia dini diartikan sebagai keadaan dimana anak wanita berumur 10-17 tahun telah berstatus kawin atau pernah kawin dengan umur kawin pertama 15 tahun ke bawah.

Gambar 4.3

Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Kawin dan Pernah Kawin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014

Di Provinsi Banten terdapat sebesar 1,71 persen anak perempuan berumur 10-17 tahun berstatus kawin dan pernah kawin dengan persentase terbesar terdapat di Kabupaten Lebak (4,52 persen) dan persentase terkecil terdapat di Kota Tangerang (0,23 persen).

Persentase anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin di daerah perdesaan lebih banyak dibanding di daerah perkotaan. Persentase anak perempuan 10-17 tahun yang berstatus kawin dan

1,56 4,32 2,17 0,76 0,23 0,68 0,43 2,02 1,71 Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Serang Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten

36 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014 pernah kawin di daerah perdesaan sebesar 2,69 persen, dengan rincian sebesar 2,34 persen berstatus kawin dan 0,35 persen berstatus cerai hidup. Sementara untuk daerah perkotaan sebesar 1,20 persen, dengan rincian sebesar 1,20 persen berstatus kawin dan 0,00 persen berstatus cerai hidup. Kecenderungan melakukan perkawinan pada usia muda di daerah perdesaan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti faktor ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Sebagian orang tua di perdesaan menikahkan anaknya dengan harapan setelah anak menikah dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Selain itu, pada umumnya anak perempuan yang memasuki usia remaja dan belum menikah akan dianggap sebagai perawan tua. Hal inilah yang menyebabkan perkawinan pada usia muda di daerah perdesaan lebih tinggi dibanding daerah perkotaan.

Tabel 4.3 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014

Tipe Daerah

Status Perkawinan

Belum Kawin Kawin Cerai Hidup Cerai Mati

(1) (2) (3) (4) (5)

Perkotaan 98,80 1,20 - 0,00

Perdesaan 97,31 2,34 0,35 0,00

Perkotaan+Perdesaan 98,29 1,59 0,12 0,00

Sumber: Susenas 2014, BPS Provinsi Banten

Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak perempuan berumur 10-17 tahun (98,29 persen) masih berstatus belum kawin dan sisanya 1,71 persen pernah kawin dengan rincian 1,59 persen berstatus kawin dan 0,12 persen berstatus cerai hidup. Hal ini sangat memprihatinkan karena dalam usia yang sangat muda anak-anak tersebut sudah mengalami perceraian yang tentunya akan menimbulkan dampak psikologis bagi perkembangan anak ke depannya.

37 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014

Gambar 4.4

Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan di Provinsi Banten, 2014

Anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu yang umur kawin pertamanya 15 tahun ke bawah, 16 tahun, serta 17 tahun. Dari keseluruhan anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin, sebesar 41,35 persen diantaranya melakukan perkawinan usia dini (umur perkawinan pertama 15 tahun ke bawah). Sedangkan sisanya sebesar 35,87 persen melakukan perkawinan pertama di umur 16 tahun dan sebesar 22,77 persen melakukan perkawinan pertama di umur 17 tahun.

Perkawinan usia dini dapat berakibat pada tidak terpenuhinya secara optimal salah satu hak anak yaitu mendapatkan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu cara untuk peningkatan kualitas hidup warga. Namun pada sebagian

besar kasus perkawinan usia dini, anak akan terhenti pendidikannya. Hal ini dapat

meningkatkan angka putus sekolah. Selain itu, banyak pihak masih berpikir ketika seorang siswa hamil tidak berhak mengikuti Ujian Akhir Nasional. Namun, dengan membiarkan anak putus sekolah adalah bentuk pelanggaran hak anak untuk

Belum Kawin;

98,29 Kawin; 1,59

Cerai Hidup; 0,12 Cerai Mati; 0,00

38 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014 mendapatkan pendidikan. Lebih jauh lagi, membiarkan anak dengan pernikahan dini putus sekolah akan membuat kemiskinan berulang serta kemungkinan

kejadian pernikahan anak-anak pada generasi selanjutnya terus berlanjut. Oleh

karena itu, perhatian dari berbagai pihak diperlukan dalam menanggulangi perkawinan usia dini agar tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Gambar 4.5

Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Pernah Kawin Menurut Umur Kawin Pertama di Provinsi Banten, 2014

Berbagai upaya pemerintah kabupaten/kota terkait peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya perkawianan usia dini telah banyak dilakukan, salah satunya adalah sosialisasi terhadap pendewasaan umur pernikahan kepada para remaja. Selain sosialisasi dibentuk juga berbagai wadah terkait dengan

pemberian informasi dan edukasi, salah satunya adalah Forum Komunikasi Informasi Remaja (KIR) di Kota Cilegon.

kurang dari 15 tahun 41,35% 16 tahun 35,87% 17 tahun 22,77%

39 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.Kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menentukan nasib suatu bangsa, atau khususnya di Provinsi Banten. Pentingnya pembangunan kesehatan ini telah menjadikannya sebagai salah satu tujuan

Millennium Development Goals (MDGs). Oleh karena itu, pemerintah baik pusat maupun daerah terus berupaya keras dalam meningkatkan pembangunan kesehatan dengan membuat kebijakan-kebijakan serta penyediaan fasilitas penunjang dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Pemantauan kondisi kesehatan masyarakat sangat diperlukan untuk melihat perkembangan capaianyang didapat serta dapat dijadikan sebagai landasan untuk membuat kebijakan-kebijakan baru dengan hasil yang lebih baik.

Kebutuhan hak dasar akan kesehatan harus dimulai sejak masa anak-anak. Pemenuhan kebutuhan kesehatan pada anak sejalan dengan Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989. Pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa negara-negara Pihak mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Pihak harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya atas akses kepelayanan perawatan kesehatan tersebut.

Berikut akan disajikan gambaran kondisi kesehatan anak di Provinsi Banten, yang terdiri dari sub bab penolong kelahiran, Air Susu Ibu (ASI), imunisasi, keluhan kesehatan, akses ke pelayanan kesehatan dan tingkat kunjungan. Informasi tentang

5

KESEHATAN DASAR