• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Perkembangan Inflasi

 

tingkat bunga internasional ditambah dengan relatif stabilnya nilai tukar rupiah

terhadap dolar AS, maka pada Triwulan IV 2009 BI rate ditetapkan sebesar 6,5%.

4.2. Perkembangan Inflasi

Perkembangan inflasi Indonesia sejak Triwulan I 2004 – Triwulan IV 2009 disajikan pada Tabel 4.2. di bawah ini:

Tabel 4.2. Perkembangan Inflasi 2004 – 2009 (dalam persen)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Triwulan I 5.2 8 16.4 6.3 8.2 7.9 Triwulan II 6.8 7.5 15.4 5.9 11.1 4.1 Triwulan III 6.4 11.7 15.7 6.8 11.9 2.7 Triwulan IV 4.2 11.8 3.9 4.4 7.6 2.6 Sumber: 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Inflasi

74   

Perkembangan harga di dalam negeri tahun 2004 relatif terkendali meskipun lebih tinggi dari 2003. Triwulan I 2004 nilai inflasi adalah sebesar 5,2%, Triwulan II sebesar 6,8%, Triwulan III sebesar 6,4%, dan Triwulan IV sebesar 4,2%. Perkembangan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tersebut berada dalam sasaran inflasi IHK 2004 Bank Indonesia sebesar 5,5% ± 1,0% (www.bi.go.id). Kenaikan inflasi IHK terutama dipicu oleh kenaikan harga sejumlah bahan makanan yang berfluktuasi cukup tinggi antara lain beras, bumbu-bumbuan, dan ikan segar. Di lain pihak, inflasi barang-barang yang harganya dikendalikan oleh pemerintah (administered price) menurun karena pemerintah tidak menetapkan perubahan

administered price yang strategis, yaitu harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL). Sementara itu, laju inflasi inti cenderung stabil untuk keseluruhan 2004 seiring dengan relatif minimalnya tekanan inflasi yang berasal dari interaksi antara permintaan dan penawaran agregat, nilai tukar, dan ekspektasi inflasi.

Keberhasilan pencapaian sasaran inflasi tersebut di satu sisi tidak terlepas dari upaya-upaya Bank Indonesia dalam mengendalikan faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi inflasi, di tengah situasi perekonomian yang sedang menghadapi tantangan baik dari aspek eksternal maupun internal. Tantangan di dalam pengendalian inflasi pada 2004 berupa munculnya tekanan inflasi terutama bersumber dari perkembangan nilai tukar yang sempat melemah khususnya pada Triwulan II dan masih tingginya ekspektasi inflasi. Di sisi lain, perkembangan faktor-faktor nonfundamental juga mendukung pencapaian sasaran inflasi 2004.

75   

 

Di sisi ekspektasi inflasi, walaupun kebijakan Bank Indonesia bersifat akomodatif, ekspektasi inflasi tidak memburuk karena didukung oleh perkembangan kondisi makroekonomi yang cukup kondusif, seperti terjaganya kondisi pasokan barang dan tidak diterapkannya kenaikan harga BBM. Sepanjang 2004, ekspektasi inflasi masih relatif stabil pada tingkat yang tinggi, yaitu antara 6 - 7%.

Pada tahun 2005 tingginya inflasi terutama dipengaruhi oleh dampak signifikan kenaikan harga BBM baik melalui dampak langsung maupun dampak lanjutan. Kenaikan harga BBM sebanyak dua kali pada 2005, khususnya kenaikan kedua pada tanggal 1 Oktober 2005, mengakibatkan inflasi melonjak (Triwulan I inflasi sebesar 8%, Triwulan II sebesar 7,5%, Triwulan III sebesar 11,7%, dan

Triwulan IV sebesar 11,8%. Selain itu, beberapa kebijakan administered prices

lainnya seperti harga rokok, tarif tol, dan PAM juga turut mendorong kenaikan harga-harga.

Depresiasi rupiah yang cukup besar dan ekspektasi inflasi yang cenderung meningkat sepanjang 2005 juga turut memberikan tekanan terhadap inflasi. Meskipun demikian, tekanan dari depresiasi rupiah relatif masih terbatas. Terbatasnya dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi disebabkan oleh kecenderungan para produsen untuk menahan sebagian kenaikan harga yang bersumber dari depresiasi rupiah mengingat terbatasnya daya beli masyarakat.

Selama 2005, ekspektasi inflasi cenderung meningkat, terutama menjelang diterapkannya kebijakan kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005. Kecenderungan

76   

peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat telah terlihat sejak triwulan I-2005 berkaitan dengan rencana pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM di dalam negeri dengan harga minyak dunia, yang pada umumnya diikuti oleh kenaikan harga barang lainnya. Disamping itu, perkembangan nilai tukar yang cenderung melemah juga turut mendorong peningkatan ekspektasi inflasi.

Sekalipun ekspektasi inflasi cenderung meningkat sepanjang 2005, perkembangan terakhir survei ekspektasi konsumen dan penjualan eceran mengindikasikan bahwa ekspektasi inflasi baik dari sisi konsumen maupun pedagang sudah cenderung stabil. Hal ini sejalan dengan berbagai kebijakan Bank Indonesia yang telah mampu menahan akselerasi inflasi.

Pada tahun 2006 inflasi meningkat dari tahun sebelumnya. Triwulan I 2006 inflasi adalah sebesar 16,4%, Triwulan II sebesar 15,4%, Triwulan III sebesar 15,7%, dan Triwulan IV turun menjadi 3,9%. Penurunan tekanan inflasi pada Triwulan IV 2006 tidak terlepas dari kontribusi positif pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal, serta langkah-langkah kebijakan lainnya dalam rangka meredam dampak lanjutan kenaikan harga BBM Oktober 2005. Seluruh kebijakan yang ditempuh terutama

diarahkan untuk mencegah munculnya inflation spiral yang dipicu oleh

memburuknya ekspektasi inflasi masyarakat akibat tingginya inflasi pada awal 2006. Beberapa hasil survei menunjukkan perkembangan ekspektasi inflasi yang cenderung membaik. Hasil survei konsumen dan survei penjualan eceran menunjukkan kondisi ekspektasi inflasi yang membaik selama 2006. Terjaganya

77   

 

ekspektasi inflasi tersebut sejalan dengan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah. Kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 sempat memicu peningkatan ekspektasi inflasi yang berlanjut hingga awal 2006. Menyikapi perkembangan tersebut Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkah-langkah untuk

mencegah agar peningkatan ekspektasi tidak menimbulkan inflation spiral yang

berkelanjutan. Dengan kebijakan moneter ketat yang dipertahankan Bank Indonesia hingga April 2006 dan didukung kebijakan fiskal yang cukup berhati-hati telah mampu mencegah akselerasi ekspektasi inflasi masyarakat lebih lanjut dan bahkan menunjukkan kecenderungan membaik. Perbaikan ekspektasi inflasi juga didukung oleh terjaganya kestabilan nilai tukar rupiah dan penundaan kenaikan TDL, serta

minimalnya implementasi kebijakan administered prices.

Sedangkan pada tahun 2007 secara umum, perkembangan harga barang dan jasa di tingkat konsumen relatif terkendali. Relatif stabilnya inflasi tahun 2007 merupakan hasil kontribusi dari relatif rendahnya inflasi yang terjadi sampai dengan paruh pertama tahun 2007. Triwulan I inflasi adalah sebesar 6,3%, Triwulan II sebesar 5,9%, Triwulan III sebesar 6,8%, dan Triwulan IV sebesar 4,4%.

Memasuki paruh kedua tahun 2007 (Juli-Desember), perkembangan inflasi mendapat tekanan yang cukup berat. Meningkatnya harga komoditas internasional

seperti minyak mentah, crude palm oil (CPO), gandum, dan emas, yang disertai

melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu peningkatan inflasi pada paruh kedua tahun 2007. Selain itu, faktor musiman seperti hari besar keagamaan, permulaan

78   

tahun ajaran baru, dan liburan akhir tahun juga memberikan tekanan tambahan kepada inflasi.

Ekspektasi inflasi masyarakat selama tahun 2007 relatif stabil di kisaran 6%-7% (www.bi.go.id). Pada umumnya, pelaku pasar masih meyakini bahwa inflasi tahun 2007 masih berada pada kisaran 6%-7%, atau masih dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2007 yang ditetapkan Pemerintah yaitu sebesar 6%±1%. Meskipun relatif stabil, tingkat ekspektasi inflasi ke depan masih perlu dicermati. Hal tersebut berkaitan dengan meningkatnya ekspektasi kenaikan harga ke depan terutama pada akhir tahun.

Dinamika inflasi pada tahun 2008 banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Lonjakan harga komoditas global, terutama harga komoditas energi dan pangan mendorong tingginya tekanan inflasi IHK. Pada Triwulan I 2008 inflasi adalah sebesar 8,2%, Triwulan II sebesar 11,1%, Triwulan III sebesar 11,9%, dan Triwulan IV sebesar 7,6%. Tingginya harga minyak dunia bahkan memaksa Pemerintah untuk menaikkan harga BBM domestik pada Mei 2008. Tingginya pengaruh global tersebut tercermin pula pada kenaikan inflasi per kelompok barang dimana inflasi kelompok transportasi, kelompok bahan makanan, dan kelompok makanan jadi tercatat meningkat cukup signifikan. Dilihat dari faktor yang mempengaruhi, peningkatan

inflasi IHK terutama dipengaruhi oleh kenaikan inflasi administered prices serta

79   

 

relatif minimal seiring dengan terjaganya kecukupan pasokan serta kebijakan stabilisasi harga kebutuhan pokok yang dilakukan oleh Pemerintah.

Tekanan inflasi cenderung mereda pada semester II-2008. Turunnya tekanan inflasi terutama disebabkan oleh merosotnya harga komoditas internasional yang diikuti dengan penurunan harga komoditas domestik walaupun relatif terbatas, serta penurunan harga BBM jenis Premium dan Solar pada Desember 2008. Ekspektasi inflasi berada pada level yang tinggi sampai dengan triwulan III-2008. Meningkatnya ekspektasi inflasi terutama terjadi pada Mei 2008, terkait dengan keputusan Pemerintah menaikkan harga BBM subsidi. Ekspektasi inflasi kembali menurun pada triwulan IV- 2008 seiring dengan anjloknya harga-harga komoditas internasional.

Sepanjang tahun 2009, inflasi kembali membaik. Ini tercermin dari besarnya nilai inflasi Triwulan I adalah sebesar 7,9%, Triwulan II sebesar 4,1%, Triwulan III sebesar 2,7%, dan Triwulan IV sebesar 2,6%.

4.2.1. Pembentukan Ekspektasi Inflasi di Indonesia

Karakteristik inflasi dapat didekomposisi berdasarkan faktor-faktor

pembentuknya, yakni interaksi permintaan dan penawaran (output gap), pergerakan

nilai tukar, ekspektasi inflasi, dan tekanan yang berasal dari shocks (seperti kebijakan

pemerintah di bidang harga atau shocks lainnya). Berdasarkan dekomposisi tersebut,

dapat dicermati determinan utama pembentuk inflasi. Pengetahuan akan determinan utama dari inflasi sangat penting dalam rangka merumuskan kebijakan moneter yang

80   

tepat dan efisien untuk membawa inflasi ke tingkat yang rendah dan stabil

Dalam kaitannya dengan faktor pembentuk inflasi, penelitian di Bank Indonesia menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi, yakni persepsi masyarakat terhadap kondisi inflasi yang akan terjadi di masa yang akan datang, merupakan faktor utama dalam pembentukan inflasi di Indonesia. Besarnya pangsa ekpektasi inflasi ini memberikan implikasi pada perumusan kebijakan moneter serta pemilihan instrumen kebijakan yang digunakan agar dapat mempengaruhi ekpektasi masyarakat.

Secara umum, ekpektasi inflasi dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Ekspektasi inflasi yang bersifat adaftif, yaitu ekspektasi inflasi yang mengacu

pada inflasi aktual yang terjadi di masa lalu. Umumnya, jenis ekspektasi ini terdapat pada masyarakat yang sederhana.

b. Ekspektasi inflasi yang bersifat forward looking (rational expectation), yaitu

ekspektasi inflasi yang didasari oleh pemahaman terhadap kondisi perekonomian secara keseluruhan, termasuk pemahaman mengenai kebijakan moneter dan fiskal yang akan dianut oleh bank sentral pemerintah.

Dalam kasus Indonesia, hasil Survei Mekanisme Pembentukan Harga yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi yang bersifat

adaftif masih lebih dominan dibandingkan ekspektasi yang forward looking. Survei

lain mengenai dinamika pembentukan harga dan upah yang dilakukan pada tahun 2003 juga menyimpulkan bahwa ekspektasi inflasi masih bersifat adaftif. Meskipun

81   

 

sebagian besar masyarakat masih berekspektasi secara adaftif, pangsa masyarakat

yang sudah berekspektasi secara forward looking cukup besar.

Dengan semakin banyak masyarakat yang memiliki ekpektasi forward

looking, kebijakan moneter akan menjadi lebih efektif. Stance kebijakan moneter akan lebih mudah dipahami dan ekpektasi inflasi masyarakat dapat dikendalikan. Pada gilirannya, upaya pencapaian sasaran inflasi dapat dilakukan secara lebih optimal tanpa memberikan dampak negatif secara berarti bagi kegiatan ekonomi.

Dokumen terkait