• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Partai Politik di Aceh Paska MoU dan UUPA

Dalam dokumen Relasi Politik OMS dengan Partai Politik (Halaman 124-134)

DINAM IKA RELASI POLITIK OM S DENGAN PARTA

5.2. Perkembangan Partai Politik di Aceh Paska MoU dan UUPA

Posisi gerakan sipil terhadap partai politik di Aceh mengalami dinamika yang sangat fluktuatif. Sebelum adanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, aktivis sipil di Aceh umumnya mengambil posisi anti terhadap partai politik. Gerakan anti terhadap

95

partai politik karena partai politik dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah Jakarta. Partai politik juga dianggap tidak mampu merubah kondisi Aceh yang tertindas oleh operasi militer yang terus berkelanjutan, sebaliknya mendukung proses demokrasi dan eksistensi parpol dianggap hanya akan membuktikan bahwa Aceh menjadi bagian dari sistem Indonesia. Sehingga kesimpulan untuk memboikot boikot pemilu pada tahun 1999 dan tahun 2004 merupakan bentuk perjuangan melawan hegemoni Indonesia dalam perspektif politik.64

Pasca ditanda-tangani MoU Helsinki antara pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, dan pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia secara singnifikan. Salah satu terobosan yang dituangkan dalam UUPA adalah pembentukan partai politik berbasis lokal seperti disebutkan pada Bab XI pasal 75 sampai pasal 95 UUPA. Pembentukan partai lokal ini juga dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (Parlok).

Kehadiran Parlok ini memberikan warna politik berbeda di Aceh jika dibandingkan sebelum adanya partai lokal. Disatu sisi, pembentukan Parlok sebagai

64

Wawancara dengan Tarmizi, Ketua Aceh People Forum (APF), Banda Aceh, 19 November 2013

96

bagian dari konsesi politik dari perjanjian damai, dimana Parlok menjadi instrumen perjuangan politik eks-GAM untuk berkuasa di Aceh, dan disisi lain pembentukan Parlok sebagai bentuk re-integrasi arah politik eks-GAM dari gerakan untuk memerdekaan Aceh dari NKRI kepada gerakan penguatan demokrasi dalam NKRI.

Proses pembentukan Parlok pertama diinisiasi oleh aktivis sipil yang bergabung dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), yang membentuk Partai Rakyat Aceh (PRA). Kemudian, mantan aktivis GAM membentuk Partai GAM yang kemudian berubah nama menjadi Partai Aceh (PA), Politisi senior PAN Dr.Farhan Hamid membentuk Partai Aceh Bersatu (PAB), kemudian ormas Islam membentuk Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) yang dipelopori oleh Ghazali Abbas Adan yang juga ketua dewan Pembina Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Disisi lain, aktivis yang berbasis pesantren dan didukung oleh ulama tradisional membentuk Partai Daulat Aceh (PDA). Terakhir aktivis yang tergabung dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) membentuk partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).

Pesta demokrasi pertama setelah perjanjian damai dilakukan pada tahun Juli 2009 menjadi pertarungan politik pertama antara partai lokal (Parlok) dan partai nasional (Parnas). Ada hal yang menarik dimana partai

97

lokal yang dibentuk oleh eks-GAM yaitu Partai Aceh membangun koalisi dengan Partai Demokrat yang merupakan partai berbasis nasional. Sebuah kontrak politik dimana untuk calon legislatif tingkat nasional (DPR-RI), Partai Aceh akan mendukung calon yang diusulkan oleh partai Demokrat, sebaliknya untuk calon legislatif provinsi dan kabupaten/kota akan dikuasai oleh Partai Aceh. Hasil pemilu menunjukkan skenario itu berjalan, dimana dari 10 DPR-RI perwakilan Aceh, 7 diantaranya berasal dari partai Demokrat. Hal yang sama juga perolehan kursi ditingkat provinsi dari 53 jumlah kursi, 33 diantaranya dikuasai oleh PA, 1 kursi oleh PDA dan sisanya partai 5 kursi Golkar, 10 partai Demokrat, 6 PAN, 2 PPP, 5 PKS dan 1 PKPI. Sementara Parlok lainnya tidak memperoleh satupun kursi.

Salah satu faktor kemenangan Partai Aceh adalah euforia keacehan dan harapan rakyat yang besar terhadap Partai Aceh bentukan GAM itu. Rakyat berharap PA mampu mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik, disisi lain, Partai Aceh juga mendapat sokongan yang besar dari berbagai pengusaha yang mendukung secara financial kampanye partai. Pengaruh Gubernur Irwandi Yusuf dari mantan GAM juga menjadi faktor dukungan pengusaha ke Partai Aceh menjadi lebih dominan dibandingan dengan partai lain, dan terakhir karena pengikut Partai Aceh yang umumnya eks-kombatan

98

mempunyai sifat militansi yang kuat dalam memenangkan pemilu legislatif saat itu.65

Konstelasi politik dan demokrasi semakin tajam ketika pelaksanaan pemilukada kedua setelah perdamaian Aceh ditanda tangani. Konstelasi pertama dimulai ketika aksi boikot untuk ikut pemilukada yang dilakukan oleh Partai Aceh (PA) sebagai partai mayoritas di Aceh. Aksi boikot ini dilakukan karena Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menerima judicial review untuk membatalkan pasal 256 UUPA tentang calon independen yang membatasi hanya untuk sekali saja. Sehingga konsekuensinya setiap orang berhak mencalonkan diri melalui calon independen, disamping yang diajukan oleh partai politik.

Keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA dianggap oleh PA sebagai bentuk kebijakan Jakarta yang tidak “menghargai” UUPA sebagai UU khusus bagi Aceh. Disisi lain, secara politis juga memberikan peluang bagi incumbent untuk kembali mencalonkan diri melalui jalur independen pada pemilukada 2011 tersebut.

Akibat dari dinamika ini telah menyebabkan pelaksanaan pemilukada ditunda. Karena keputusan MK memberikan konsekuensi terhadap tahapan pelaksanaan

65

Aryos Nivada, Pemetaan Political Marketing Partai

Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh,

99

pemilukada itu sendiri. Disisi lain, upaya untuk menunda pemiluka sampai masa jabatan Gubernur berakhir juga dilakukan dengan berbagai skenario politik. Salah skenarionya adalah kebijakan Dirjen OTDA Kementerian Dalam Negeri yang membuat nota kesepahaman antara Kemendagri dengan petinggi PA. Salah satu item yang disepakati yaitu PA akan mendaftarkan calonnya pada pemilukada 2012, dan Kemendagri akan mengungat ke MK terkait tahapan pelaksanaan pemilukada yang sedang berlangsung.

Dominasi PA dalam setiap perkembangan politik di Aceh sangatlah kental. Proses perubahan jadwal pemilukada sebenarnya hanya dibenarkan oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu terdapat 4 sebab, diantaranya, (1) calon tunggal, (2) tidak ada dana daerah, (3) keadaan darurat karena bencana alam, (4) gangguan keamanan/konflik.

Secara perundang-undangan, penundaan pemilukada tidaklah memenuhi satupun kriteria di atas, namun kebijakan politik dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI dan juga keputusan “politis” MK tentang perpanjangan tahapan pelaksanaan pemiluka, telah menyebabkan pemiluka tertunta sampai 4 kali, yang akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012.66

66

Kemendagri Daftarkan Perkara ke MK Terkait Tahapan

100

Pemilukada ini akhirnya dimenangkan pasangan yang diusulkan oleh PA yaitu Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang ditetapkan sebagai Gubernur dan wakil Gubernur terpilih untuk periode 2012-2017.

Dalam pelaksanaan tahapan tersebut, beberapa tindakan kekerasan menjadi potret pelaksanaan pemilukada tersebut, disamping juga kecurangan lainnya seperti money politic. Namun demikian, tidak satupun kekerasan dan temuan politik uang (money politics) tersebut diproses secara hukum dengan delik pidana pemilu. Satu-satunya perbuatan melawan hukum yang diproses adalah kasus pembunuhan etnis jawa yang dilakukan oleh salah satu aktivis PA dengan UU anti- terorisme.67

Menjelang pelaksanaan pemilu nasional pada April dan Juli 2014, beberapa partai berbasis lokal yang tidak menempatkan wakilnya di parlemen akhirnya membubarkan diri dan atau tidak lulus verifikasi faktual. Dari 6 Parlok yang ikut pemilu 2009 lalu hanya 1 partai yang lulus parliamentary thresold yaitu Partai Aceh. Namun demikian, terdapat 2 Parlok lainnya yang lolos verifikasi akhir dari Kementarian Hukum dan HAM dan Komisi Independen Pemilu (KIP) provinsi Aceh, yaitu: (1) Partai Damai Aceh, dulu namanya Partai Daulat

67

Chairul Fahmi dan Sudarman (Ed), Kekerasan dalam

Demokrasi, Banda Aceh: The Aceh Institute dan Forum LSM

101

Aceh (PDA), dan (2) Partai Nasional Aceh (PNA), yaitu partai yang didirikan oleh mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama dengan mantan eks-komandan GAM seperti Sofwan Dawod, Irwansyah, Muharram, Abu Sanusi, Ligadinsyah, Abrar Muda, dan beberapa mantan kombatan lainnya.

Secara umum, perkembangan partai politik di Aceh, khususnya Parlok terdapat 3 partai politik, 2 diantaranya merupakan partai politik yang didirikan oleh mantan eks-kombatan GAM, dan 1 (satu) lagi merupakan partai yang berbasis santri di pesantren. Secara khusus, pemilu Legisatif 2014 di Aceh akan diikuti oeh 13 partai Nasional dan 3 partai lokal Aceh. Beberapa partai yang tidak lolos verifikasi melakukan pembubaran diri dan atau melakukan merger dengan partai politik lainnya, seperti yang dilakukan oleh PRA yang bergabung dengan PNA.

Proses pendirian Parlok di Aceh, baik oleh mantan kombatan GAM maupun oleh para aktivis menunjukkan kesadaran berpolitik dalam proses penguatan demokrasi di Aceh menjadi lebih positif, khusus dari perspektif struktur demokrasi itu sendiri. Pemilu pada 9 April 2014 akan menjadi ajang yang menarik untuk melihat kekuatan parpol mana yang akan mendominasi kekuasaan secara politik di Aceh dimasa yang akan datang. Setidaknya ada dua Parlok yang memiliki kekuatan basis karena relasi eks-kombatan

102

dengan warga dibeberapa wilayah mempunyai kedekatan emosional yaitu PA dan PNA. Namun posisi Parnas juga sudah mulai mengambil hati masyarakat lagi, setelah dua periode pemerintahan di Aceh dipegang oleh mantan kombatan belum menunjukkan arah pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Namun meminjam istilah Sidney Jones (2012) pertentangan eks-GAM versus eks- GAM akan menjadi bagian yang akan terlibat dalam konstelasi perpolitikan di Aceh pada 9 April 2014.

Hal menarik yang akan terlihat dalam pemilu 9 April 2014 mendatang juga terkait dengan koalisi PA dengan partai Gerindra, yang secara langsung menunjukkan proses re-integrasi politik antara mantan eks-kombatan yang merupakan refleksi dari PA, dengan mantan kopassus yang merujuk kepada pribadi Prabowo sebagai pendiri dan ketua pembina partai Gerindra. Lebih dari itu, seperti dikatakan oleh Ruslan bahwa koalisi dengan partai Gerindra karena ada kepentingan partai Aceh yang diperjuangan dan didukung secara penuh oleh partai milik Prabowo tersebut.68

Disisi lain, kehadiran Partai Nasdem yang membawa slogan “restorasi” juga menjada fenomana baru dalam proses demokrasi khususnya di Aceh. Setidaknya partai ini menjadi pilihan anak muda, dan

68

Ruslan adalah salah satu aktivis Partai Aceh untuk Kabupaten Pidie, disampaikan pada FGD “Potensi Konflik di Aceh pasca MoU dan UUPA”, Sigli, 3 Desember 2013

103

beberapa aktivis OMS yang bergabung dengan partai tersebut. Secara umum struktur kepengurusan umumnya diisi oleh para aktivis muda Aceh, seperti Wiratmadinata yang menjabat sebaga wakil ketua umum DPW Partai Nasdem, Ramadhana Lubis sebagai sekjen, dan sejumlah elit partai ini umumnya merupakan aktivis gerakan sipil baik ditingkat DPW maupun ditingkat DPD kabupaten/kota.

Namun melihat kenyataan yang ada, Fuad Mardhatillah melihat dari sisi yang berbeda. Menurutnya, OMS seharusnya berada pada backstage atau dipanggung belakang dari panggung politik praktis. Namun tumbuhnya “libido” untuk berkuasa, telah mendorong mereka untuk tampil ke frontstage. Namun sayangnya meskipun telah berada di frontstage yang lebih banyak ditonjolkan adalah pencitraan, kemunafikan dan kepalsuan. Salah satu contoh bentuk kepalsuan itu adalah penampilan dibaliho-baliho dengan tanpa ada bukti yang nyata terhadap kata-kata yang diucapkannya.69

Berdasarkan uraian di atas memperlihatkan bahwa dinamika politik di Aceh paska ditanda-tangani perdamaian pada 15 Agustus 2005 dan disahkannya

69

Fuad Mardhatillah adalah salah satu pendiri dan pembina The Aceh Institute, aktivis kemanusiaan Aceh serta akademisi di UIN Ar-Raniry, disampaikan pada Seminar Para Stakeholders OMS di Banda Aceh, November 2013

104

UUPA tahun 2006 menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam proses demokrasi sangat tinggi. Bahkan semua elemen yang ada, baik yang berasal dari eks-kombatan GAM, aktivisi sipil dan para politisi lainnya mempunyai “libido” yang sangat tinggi dalam memperebutkan kekuasan ditingkat lokal Aceh, baik dilevel eksekutif maupun legislatif.

Dalam dokumen Relasi Politik OMS dengan Partai Politik (Halaman 124-134)