• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSISI OM S TERHA DA P DINA M IKA DEM OKRA S

Dalam dokumen Relasi Politik OMS dengan Partai Politik (Halaman 184-200)

DA N PEM ERIN TA HA N

Bab ini difokuskan untuk mengkaji posisi OMS terhadap dinamika demokrasi dan pemerintahan. Dimana peran dan posisi OMS dalam mewujudkan demokrasi dengan mendorong dan melahirkan kebijakan partai politik secara aktif dan progresif sesuai dengan kebutuhan publik. Kemudian juga melihat peran OMS dalam proses demokrasi melalui pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah, serta kontribusi OMS dalam mendorong

155

kemajuan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.91

6.1. Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai

Politik

Partai politik bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem demokrasi, bahkan menjadi syarat utama mewujudkan dari sistem tersebut. Melalui partai politik kebijakan dibuat dengan mekanisme proses pembuatan produk perundang-undangan. Sehingga keberadaan OMS sangat dibutuhkan guna mengontrol dan mengevaluasi kinerja partai politik yang berada di legislatif, baik secara internal maupun ekstrenal. Pengawasan internal ini dilakukan dengan peran kader OMS yang menjadi politisi partai politik tertentu. Sementara pengawasan eksternal dilakukan dengan kegiatan advokasi melalui public hearing, demontrasi dan kritikan melalui media massa.

Secara umum, ada beberapa contoh pengaruh OMS terhadap kebijakan parpol diparlemen, baik ditingkat nasional maupun ditingkat lokal. Setidaknya

91

Prinsip Good Governance antara lain: Akuntabilitas,

Pengawasan, Daya Tangkap, Profesionalisme, Efisiensi, Transparansi, Kesetaraan, Wawasan Ke Depan, Partisipasi dan Penegakan Hukum, diunduh dari Komite Nasional Kebijakan

156

ada dua produk hukum yang dilahirkan oleh parlemen dan mempunyai pengaruh advokasi dari gerakan sipil, seperti Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan92 dan UU No.2 tahun 2011 partai politik serta yang terakhir UU Pedesaan93. Sementara di tingkat lokal, OMS berhasil mendorong disahkannya Qanun No.17 tahun 2013 tentang Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh, Qanun No.4 tahun 2010 tentang Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, dan beberapa produk hukum daerah lainnya.

Meskipun demikian, gerakan OMS ini belum terbentuk secara masif. Beberapa advokasi kebijakan terhadap partai politik juga lebih mengedepankan relasi personal dibandingkan dengan “bergaining position” kelembagaan OMS sebagai sebuah komunitas. Seperti halnya advokasi terhadap Qanun KKR, relasi personal aktivis KontraS di parlemen mempunyai pengaruh yang signifikan dalam proses pengesahan qanun tersebut. Hal ini terlepas dari kepentingan Parpol untuk mendapatkan simpati rakyat pada pemilu 2014, namun setidaknya

92

Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri,

Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik, Jakarta,

YAPPIKA, 2006

93

Lihat Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentang Pilihan Sistem Pemilu 2009, dapat diakses di www.parlemen.net

157

peran relasi personal aktivis Kontras dan LBH dengan politisi partai penguasa setidaknya berpengaruh pada pengesahan qanun tersebut.

Artinya, peran secara masif keorganisasian belum terbentuk, seperti temuan penelitian ini dimana relasi OMS secra organisasi belum cukup kuat. Meskipun dengan masuknya kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) ke partai politik, namun belum mampu mempengaruhi kebijakan partai politik secara masif. Hal ini dikarenakan keberadaan aktivis menjadi kader partai tidak memiliki dukungan dari pihak luar yakni kalangan LSM dan Ormas. Selain itu, beberapa aktivis LSM atau Ormas yang menjadi kader partai politik tidak memback-up ide- ide gerakan OMS untuk kepentingan publik secara penuh. Disamping juga sikap LSM yang menjaga “jarak” dengan politisi partai politik secara organisasi, karena khawatir diklaim sebagai underbow partai.

Hal ini juga dikatakan oleh Zaini Djalil94, Ketua Partai Nasdem Provinsi Aceh. Menurutnya kebanyakan dari aktivis yang telah menjadi kader partai politik sangat kurang memiliki komitmen melakukan upaya memperjuangkan kebijakan bersumber kepada kebutuhan publik.

94

158

“...Seharusnya aktivis OMS yang bergabung dalam partai politik mampu menunjukkan ke publik agar publik mengetahui bahwa kader partai berasal dari aktivis serius memperjuangkan aspirasi dari konsistuennya ataupun masyarakat dampingannya. Sebaliknya hal ini tidak terjadi secara penuh, meskipun di Nasdem umumnya berasal dari aktivis OMS”

Namun pendapat Zaini Djalil ini berbeda dengan pengakuan dari Ketua Umum PNA Irwansyah alias Muksalmina. Ia menyatakan bahwa pengalaman PNA terhadap para aktivis OMS yang menjadi kader di PNA telah banyak berkontribusi dalam merumusakan arah kebijakan partai melalui pemikiran mereka yang jelas, terukur, terarah, dan mereka tetap memiliki konsisten kepedulian terhadap masyarakat.95

Namun demikian, menurut Muksalmina tidak semua ide ataupun pemikiran mantan aktivis yang bertransformasi menjadi kader partai diterima sangat tergantung dari persetujuan forum ketika memutuskan kebijakan di partai tersebut. Dirinya menambahkan, ketika mantan aktivis bergabung menjadi kader partai politik maka bentuk mekanisme partisipasi di internal dengan memberikan kontribusi pemikiran/ide. Bahkan

95

Wawancara dengan Muksalmina, Ketua Umum Partai Nasional Aceh, 7 Desember 2013

159

lebih daripada itu, PNA memberikan kesepakatan kepada kader partai berasal dari aktivis menawarkan produk berupa konsep arah kebijakan partai.

Dinamika terhadap peran OMS dalam mempengaruhi kebijakan parpol juga terdapat berbagai pandangan. Sebagian menyatakan bahwa untuk mempengaruhi kebijakan parpol tidak harus melakukan tranformasi ke dalam parpol, melainkan cukup diluar partai politik. Hal yang perlu dilakukan hanya membangun komunikasi secara aktif dan progresif dengan partai politik. Dengan demikian kalangan LSM maupun Ormas mampu menunjukan bahwa tidak harus masuk partai pun mampu mendorong perubahan kebijakan di partai politik.

Tabel 5: Beberapa contoh peran aktivis OMS terhadap kebijakan pemerintah dan partai politik di Aceh.

Lembaga Program Tujuan

Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) dan Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) Pertemuan rutin stakeholder dan komponen masyarakat sipil Menginisiasi perumusan UU Pemerintah Aceh 1. Membicarakan terkait permasalahan serta mencari solusi mengatasinya. 2. Mendiskusikan

agenda bersama guna mendorong pelayanan publik dan tata kelola

160 versi Masyarakat Sipil, serta advokasi proses pembentukan RUU sampai ditetapkan menjadi UU No.11 Tahun 2006 (Support Yappika dan DRSP). pemerintahan Mengusulkan draf UU No. 11 tahun 2006 versi masyarakat sipil

CARe Aceh Pembentukan Forum Komunikasi Partai Politik Dalam Mengatasi Kebutuhan Konstituen (Support International Republican Institute, 2010 dan 2011) 1.Menjembatani komunikasi intensif antara partai politik dengan konstituennya. 2.Mengidentifikasikan masalah-masalah dan kebutuhan dari konstituennya. 3.Menguat dan meningkatnya akses partisipasi dari berbagai komponen masyarakat sipil dan pihak – pihak yang dianggap strategis untuk memenuhi hak dasar rakyat.

161

Aceh Revisi Qanun

Pilkada 2) Advokasi Qanun Penyelenggara an Pemerintahan dan Partisipasi Publik 3) Dll. demokrasi melalui implementasi pemilu. 2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak pemilih dalam melaksanakan pemilu. Katahati Institute Penguatan Pemilu 2009 Kerja Pelayanan Publik Aceh

Program ini mendorong interaksi dan sinergisasi antar kekuatan pemilu, sehingga terpetakannya isu dan kebutuhan dasar masyarakat serta

harapannya (masyarakat) kepada partai politik peserta pemilu 2009. The Aceh Institute Penguatan Peran Masyarakat, Bappeda dan DPRK Banda Aceh terhadap pembangunan partisipatif melalui Untuk mewujudkan sigernisasi antara kebijakan partisipatif (warga), birokratis (Bappeda) dan politis (partai politik)

162

program musrenbang Gerak Aceh Program

Penyusunan anggaran APBK yang berbasis gender Untuk mewujudkan kebijakan partai, khususnya diparlemen dalam pembahasan anggaran yang memperhatikan kebutuhan perempuan diranah social.

Dalam mempengaruhi kebijakan tersebut, OMS akan beririsan (berkorelasi) dengan kepentingan partai politik, dan juga pemerintah. Dengan kondisi seperti itu maka aktivitas LSM dituntut untuk mampu mempengaruhi para politisi diparlemen agar kebijakan- kebijakan pemerintah harus berorientasi kepada kepentingan publik secara umum. Jika tidak maka peran OMS tidak mampu melahirkansubtansi produk kebijakan sesuai dengan keinginan OMS dan masyarakat sipil secara khusus.

Sementara pengaruh secara internal, aktivis OMS yang menjadi pengurus partai politik sangat sulit diwujudkan, khususnya dalam mewujudkan lahirnya prinsip-prinsip good governance secara totalitas. Hal ini dikarenakan posisi aktivis OMS dipartai politik “tersandera” oleh sistem partai politik yang lebih

163

cenderung prakmatis. Salah satu contoh adalah partai Aceh sebagai partai mayoritas di Aceh saat ini, dimana salah satu prinsip good governance, yaitu transparansi dalam hal dana kampanye pemilu tahun 2014 tidak dapat ditunjukkan kepada publik, bahkan permintaan dari LSM MATA melalui proses mediasi ke Komisi Informasi Aceh (KIA) tidak terwujud. Sebaliknya, LSM MATA dituduh sebagai antek-antek asing. Satu-satunya partai politik yang menyerahkan data keuangan secara lengkap dan tepat waktu adalah PKS. Selain itu juga menyerahkan namun tidak selengkap PKS.

165

Gambar di atas menunjukkan bahwa intervensi OMS terhadap kebijakan partai politik dilakukan melalui posisi di eksternal dan juga diinternal, dimana secara internal para aktivis OMS menjadi bagian dari partai politik. Sementara dari eksternal OMS secara organisasi melakukan proses advokasi-advokasi ke partai politik untuk mempengaruhi kebijakan diparlemen atau dipemerintahan.

Dari kedua posisi tersebut, maka posisi ekternal cenderung lebih efektif dalam mempengaruhi kebijakan partai politik di parlemen, dibandingkan dengan intervensi melalui internal partai politik. Kecenderungan posisi eksternal lebih efektif dibandingkan dengan posisi internal karena posisi eksternal posisi OMS lebih independen. Sementara intervensi secara internal, sudah “terkontaminasi” oleh kepentingan partai politik itu sendiri.

6.2. Pengaruh OMS terhadap Pembangunan

Demokrasi

Dalam satu dekade (2004-2013) terakhir, Provinsi Aceh sudah berhasil membangun proses politik melalui instrument sistem demokrasi. Mekanisme menjalankannya dengan pemilihan kepala Negara dan daerah serta pemilihan legislatif. Ukuran berhasil tentunya menjadi perdebatan dari kita dan para penggiat demokrasi. Sangat relatif melihat

166

kemajuan dan keberhasilan dari upaya OMS membangun nilai-nilai demokrasi di Serambi Mekah.

Data Badan Pusat Statistik Indonesia tentang Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2010, menunjukkan skor IDI keseluruhan Indonesia, posisi Provinsi Aceh secara umum memperoleh nilai 65,36. Berdasarkan aspek kebebasan sipil Aceh mendapatkan nilai 69,98, aspek hak- hak politik nilainya 62,63, dan aspek lembaga demokrasi nilainya 63,87. Berpedoman pada data tersebut maka posisi Demokrasi di Aceh berada di tengah-tengah (aman). Berkembang demokrasinya tapi tidak terlalu maju. Meskipun demikian data dari KIP tahun 2012 menunjukkan partisipasi pemilih dalam pemilukada mencapai 76% dari total penduduk yang berhak memilih. Artinya kesadaran berdemokrasi di Aceh paska damai cenderung baik.

Keberadaan OMS Aceh berkontribusi besar mendorong dan mewujudkan pembangunan demokrasi dibuktikan tersebut, salah satunya adalah pembentukan Jaringan Demokrasi Aceh96. Salah satu tujuannya memperjuangkan Undang-undang Pemerintah Aceh sesuai

96

Proses ini dilakukan oleh beberapa LSM yang bergabung dalam Jaringan Demokrasi untuk Aceh atau dikenal dengan istilah JDA. Jaringan ini dibentuk dan diinisiasi oleh beberapa aktivis dan didukung oleh beberapa tokoh sipil lainnya. LSM yang tergabung dalam JDA antara lain: The Aceh Institute, ACSTF, KMPD, Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM, Flower, Mispi, APF, Forum LSM Aceh, SoRAK Aceh, Lappeka, KKP Aceh, PDRM, Forum Akademisi Aceh, Katahati Institute, Yappika, Cetro, LSAM, KontraS, Imparsial, Perkumpulan Demos, Aceh Kita, HRW, dan Konsorsium Aceh Baru (KAB)

167

dengan MoU Helsinki dan kepentingan masyarakat Aceh serta menyukseskan pembangunan demokrasi di Aceh.

Kesadaran masyarakat sipil dalam membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi juga tidak terlepas dari pendidikan demokrasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga demokrasi internasional dan nasional. Peran lembaga trans-nasional tersebut secara langsung telah membentuk karakter demokrasi secara lokal di Aceh. Bahkan pembentukan partai lokal di Aceh menjadi contoh proses demokrasi yang lebih maju dan otonom dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi publik untuk mengisi instrumen yang sudah terbentuk ini agar lebih terisi lagi dengan nilai-nilai good governance dan humanis.

Selain itu kerja-kerja OMS untuk melahirkan system demokrasi yang baik dilakukan sejak Aceh masih dalam kondisi konflik, baik pada masa DOM, Darurat Militer, Darurat Sipil dan pada masa paska perjanjian perdamaian pada 15 Agustus 2005.

Program pengawasan pemilu yang dilakukan oleh Forum LSM sejak tahun 1990 sampai sekarang, dan juga oleh beberapa LSM lainnya adalah bukti peran OMS dalam mewujudkan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, khususnya di Aceh.

Disamping program pemilu legislatif dan pemilu presiden, namun dalam pelaksanaan pemilukada, OMS di Aceh juga turut serta dalam mengawasi proses

168

pelaksanaannya, seperti dilakukan oleh The Aceh Institute dalam kegiatan pemantauan pemilukada tahun 2012. Dalam pemantauan tersebut ditemukan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh para pendukung kandidat tertentu. Laporan ini kemudian disampaikan kepada Panwaslu, KIP dan media massa sebagai bentuk kontrol dan dukungan bagi penyelengara pemilu. Selain itu, The Aceh Institute juga secara berkelanjutan membangun demokrasi melalui penulisan artikel populer tentang perkembangan politik dan demokrasi di Aceh yang dipublikasikan diwebsitenya. Disamping juga berbagai penelitian terkait dengan pembangunan demokrasi di Aceh, seperti penelitian hasil kerjasama dengan ICLD Sweden dengan topic “Ruang Demokrasi di Aceh Selatan”.

Pembangunan demokrasi di Aceh juga dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan politik bagi warga, juga bagi calon legislatif. Salah satu OMS yang aktif melaksanakan pendidikan politik adalah Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU), di bawah dukungan Kemitraan AusAID, SDAU secara konsisten melaksanakan program pendidikan politik secara berkelanjutan.

6.3. Posisi OMS dalam Dinamika Pemilu 2014

Pesta demokrasi, pemilihan umum pada 9 April 2014 akan memilih calon legislatif baik untuk DPR-RI, DPRA, DPRK maupun DPD. Setidaknya terdapat 15 partai politik yang akan bertarung, dan 3 diantaranya adalah partai

169

lokal, yaitu Partai Aceh, Partai Damai Aceh dan Partai Nasional Aceh. Pelaksanaan pemilu ini sangat menentukan arah pembangunan Indonesia, dan Aceh secara khusus untuk lima tahun berikutnya. Sehingga peran semua pihak, baik pemerintah, penyelengara pemilu, organisasi masyarakat sipil dan juga pemilih sangat menentukan kesuksesan dan keberhasilan pelaksanaan pemilu tersebut. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah mewujudkan pemilu yang demokratis, bersih, jujur dan damai.

Dalam konteks konteks, geo-politik pada pemilu 2014 berbeda dengan kondisi pemilu sebelumnya yaitu pemilu 2009. Hal ini dikarenakan partai politik yang bertarung berbeda, calon anggota legislatif yang ikut serta pun banyak yang baru, serta perubahan kekuatan-kekuatan politik yang terjadi baik secara nasional maupun ditingkat lokal.

Selain itu terdapat dinamika baru terkait dengan politik ditingkat lokal. Dimana partai Aceh sebagai pemenang mayoritas pada pemilu 2009, mendapat rival baru yaitu partai Nasional Aceh yang merupakan perpecahan dari partai Aceh. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi posisi dan kekuatan partai Aceh ditingkat komunitas, khususnya di daerah basis GAM. Karena PNA juga merupakan partai yang didirikan oleh mantan kombatan GAM.

Namun dengan adanya koalisi antara partai Gerindra dengan partai Aceh akan membuat partai Aceh akan

170

mendapatkan dukungan baru, khususnya dukungan secara geo-politik nasional dan juga dukungan secara ekonomi. Sebagaimana diindikasikan bahwa Partai Aceh mendapat dukungan dana dari Prabowo pada pemilukada tahun 2012 mencapai 50 milyar.97

Selain itu, dengan jumlah anggota mencapai 33 orang di DPRA dan sejumlah lainnya di berbagai kabupaten/kota, dukungan dana melalui dana aspirasi juga akan memperkuat logistik dana kampanye para calon legislatif incumbent untuk pemilu yang akan datang. Meminjam istilah Sutoro bahwa dana aspirasi ini sering dijadikan sebagai pork barrel (kentong babi) yang menjadi pemancing pemilih agar memilihnya. Istilah lain adalah vote-buying akan menjadi fenomena masif dilakukan melalui mekanisme dana aspirasi ini.

Selain itu, dana aspirasi juga seringkali dimanfaatkan oleh organisasi sipil yang menjadi sayap dari partai politik tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Dimana sulit sekali mengidentifikasi lembaga- lembaga yang bekerja secara langsung terhadap kepentingan partai politik tertentu dengan kompensasi dana aspirasi tersebut.

Penelitian ini menemukan bahwa relasi OMS terhadap partai politik menjelang pemilu sangat mungkin

97

Inilah.com, Partai Aceh Dapat Subsidi 50 M dari Prabowo, http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1845933/partai-aceh-dapat-

Dalam dokumen Relasi Politik OMS dengan Partai Politik (Halaman 184-200)