• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANFORM ASI GERAKAN ORGANISASI M ASYA RAKAT

Dalam dokumen Relasi Politik OMS dengan Partai Politik (Halaman 102-119)

SIPIL DI ACEH

Bab ini akan menjelaskan gerakan organisasi masyarakat sipil di Aceh yang terbagi menjadi empat sub-bab, terdiri dari: gerakan OMS paska reformasi, gerakan OMS paska gempa dan tsunami, gerakan OMS paska MoU Helsinki, dan gerakan OMS paska disahkan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Secara umum gerakan organisasi masyarakat sipil di Aceh tumbuh setelah era reformasi di Indonesia, dan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1998 oleh Panglima ABRI Wiranto. Gerakan OMS yang pada awalnya menolak penerapan operasi militer

73

pada saat ditetapkan darurat militer dan darurat sipil pada tahun 2003, sampai kepada perubahan gerakan dari anti terhadap simbol politik pemerintah Republik Indonesia, menjadi bagian dari pendiri partai politik, khususnya partai lokal. Secara lengkap hal ini akan dibahas pada bab ini.

4.1. Gerakan OMS Paska Reformasi

Tumbangnya orde baru menuju reformasi telah membuka ruang gerakan masyarakat sipil diranah publik. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa juga menjadi momentum bangkitnya gerakan masyarakat sipil lebih luas, baik dalam hal politik, ekonomi, sosial-budaya. Selain itu, pembagian kekuasaan dari konsep sentralistik berubah menjadi desentralisasi mendorong lahirnya berbagai gerakan OMS diseluruh daerah di Indonesia, termasuk di Aceh. Namun karena kondisi pemberlakuan operasi militer menyebabkan gerakan OMS masih sangat terbatas.

Secara umum, gerakan OMS paska reformasi di Aceh memiliki agenda bersama saat itu. Menurut M. Alkaf49 gerakan masyarakat sipil paska reformasi telah bersepakat membangun agenda bersama, tidak hanya

49

M.Alkaf,”Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi Kasus Power Movement Referendum Aceh 1998-1999)”, Thesis tidak dipublikasi, 2012, hlm. 1-2.

74

sebatas agenda bersama akan tetapi dilakukan secara nyata. Agenda bersama terbagi menjadi dua aras di level nasional dan level lokal. Untuk level nasional terdiri dari; tegakkan supremasi hukum, Adili Soeharto, Amandemen UUD 1945, Otonomi daerah seluas- luasnya, Berantas KKN dan Perlindungan HAM. Sedangkan pada konteks lokal Aceh, dimana OMS memiliki agenda berbeda dengan nasional. Agendanya adalah tuntuan pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM). Setelah itu berturut-turut isu-isu kemanusiaan dan keadilan dijadikan sebagai masalah yang harus diselesaikan pemerintah pusat di Aceh, seperti pengusutan pelanggaran HAM, menarik tentara non- organik, aksi boikot pemilu dan akhirnya tuntutan referendum untuk Aceh.

Seperti dijelaskan di atas, bahwa paska reformasi Aceh dilanda konflik. Ketika itu pembagian peran antar OMS sangat solid, terarah, dan terkoordinasi. Namun tidak semua yang dikatagorikan OMS melakukan upaya gerakan bersama. Faktanya hanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat (buffer aksi) yang berani bersikap untuk melaksanakan agenda bersama yang telah disepakati bersama dengan mahasiswa. Ketika itu OMS yang berbentuk ormas umumnya mengambil posisi menjadi oposisi dengan

75

pemerintah dan terdapat juga pihak-pihak yang mendukung kebijakan operasi militer di Aceh50

“....Beberapa OMS, khususnya ormas tidak berani untuk mengambil posisi sebagai oposisi terhadap pemerintah, khususnya ketika Aceh dalam kondisi darurat militer. Hal ini dikarenakan kondisinya sangat tidak aman. Sehingga sikap keabu-abuan terkadang sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dari klaim sebagai lawan pemerintah. Inilah yang membuat tekanan dalam gerakan tidak begitu masif dan kuat terhadap berbagai kebijakan pemerintah saat itu”.

Selain itu, kondisi di Aceh pada saat itu berbeda dengan gerakan sipil di Indonesia secara umum, dimana gerakan sipil di Aceh masih berjuang mewujudkan perdamaian dan demokrasi. Gerakan sipil pada saat ini bahkan tidak terlalu tertarik dengan partai politik, bahkan sebagian menentang eksistensi partai politik karena dianggap tidak mampu memperjuangan perdamaian di Aceh. Gerakan OMS yang dipelopori oleh LSM dan buffer aksi lebih cenderung bekerja untuk isu- isu kemanusian di Aceh. Seperti membantu para pengungsi yang melakukan eksodus dari kampungnya

50

Wawancara dengan Helmy M Hakim, di Banda Aceh pada tanggal 25 November 2013.

76

karena menghindari kontak senjata antara TNI/Polri dengan GAM.

Data dari PCC (People Crisis Center) menunjukkan bahwa pengungsian di Aceh mencapai 250.000 jiwa yang tersebar di sepanjang jalan Banda Aceh-Medan sejak penerapan Darurat Militer dan Darurat Sipil. Pengungsian terjadi paska kontak senjata antara TNI dengan GAM, masyarakat berupaya untuk mengamankan diri dengan menciptakan rasa keamanan bersama-sama di kamp-kamp pengungsian. Beberapa organisasi mahasiswa membentuk kelompok pendamping kemanusiaan, misalnya SMUR membentuk PCC, KARMA dan SIRA membentuk PEMRAKA. Kegiatan yang dilakukan antara lain: pertama, manajemen pengungsian, pendidikan dan pendidikan keagamaan, sanitasi, dan mengumpulkan bantuan kemanusiaan51.

Sementara perkembangan gerakan aktivis melakukan transformasi dengan membentuk berbagai lembaga perkumpulan seperti; Forum LSM Aceh52, Suloh Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh dan beberapa

51

Data People Crisis Center, 2008.

52

Pada Musyawarah II tahun 1992 di Saree Aceh Besar dibentuk lembaga dipermanenkan dengan nama Forum Regional LSM (FR-LSM) Aceh. Selanjutnya dalam perjalanan dan dinamika organisasi pada akhirnya berdasarkan hasil Musyawarah IV tanggal 2 s/d 4 Januari 1997 Forum Regional LSM Aceh berubah menjadi Forum LSM Aceh.

77

yang lain53. Tetapi terdapat juga gerakan aktivis yang tidak tergabung dalam lembaga perkumpulan melainkan berdiri sendiri, seperti; ACSTF, The Aceh Institute, Gerak Aceh, Katahati Institute, dll54.

4.2. Gerakan OMS Paska Gempa &Tsunami

Bencana tsunami yang terjadi di Aceh telah mengakibatkan kerusakan yang parah, korban jiwa dan kehancuran di beberapa kawasan Asia Selatan, bahkan hingga Afrika. Kerusakan dan kerugian akibat gempa dan tsunami yang diderita masyarakat di Indonesia sangat besar, melampaui negara-negara lainnya. Korban meninggal dilaporkan sebanyak 128.845 jiwa, dan yang hilang 94.682 jiwa. Sementara itu, jumlah orang yang menjadi pengungsi (IDP’s) sebanyak 513.278 jiwa di Aceh dan 19.620 di Sumatera Utara. Pada sisi lain,

53

Koalisi NGO HAM Aceh didirikan pada 7 Agustus 1998. Sebagai lembaga advokasi hak asasi manusia, Koalisi NGO HAM Aceh bersifat nirlaba, non partisipan dan memiliki mandat membangun aliansi dengan organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional.

54

54 orang yang berasal dari komponen yang berbeda dalam masyarakat sipil Aceh menghadiri “Brotherly Dialog among Acehnese for a Just Peace in Aceh” di Washington DC, 5 s.d. 8 Oktober 2001 membentuk ACSTF (Acehnese Civil Society Task Force). Konferensi ini diadakan oleh International Forum For Aceh (IFA) dan Global peace Centre of American University.

78

tsunami telah membuka beberapa peluang bagi kehidupan di Aceh.

Perkiraan terakhir total korban jiwa sekitar 230.000 jiwa. Sedangkan Badan Pusat Statistik NAD memperkirakan korban jiwa hampir setengah juta penduduk Aceh. Bencana yang cukup besar ini telah memicu kehadiran bantuan internasional, baik untuk mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka panjang.

Sejak 26 Desember 2004, Aceh menjadi wilayah terbuka untuk dimasuki oleh sekitar 300 organisasi internasional yang memberikan bantuan kemanusiaan dan terlibat dalam proses-proses rekonstruksi. Selain itu, penandatangan MoU antara pemerintah Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, telah menyebabkan situasi yang lebih kondusif bagi OMS untuk terlibat dalam proses rekonstruksi dan pembangunan di Aceh pada masa-masa mendatang.

Kehadiran lembaga internasional, baik negara asing maupun international NGO telah membentuk kesadaran masyarakat sipil dan OMS untuk bekerja mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka panjang. OMS juga sudah bekerja secara praktis dalam kegiatan rekonstruksi seperti pembangunan perumahan, prasarana jalan dan pasar, serta mengembangkan struktur

79

sosial masyarakat. Kondisi ini secara tidak langung memberikan penguatan terhadap organisasi masyarakat sipil di Aceh, baik secara kapasitas personal maupun kapasitas kelembagaan. Selain itu, lahir beberapa kesadaran sekaligus persoalan sosial di Aceh paska bencana tsunami seperti:55:

Adanya kesenjangan antara OMS yang ada dengan kemampuan yang mereka miliki untuk memperkuat modal sosial di dalam komunitas (kelemahan dalam analisis sosial dan kapasitas pengorganisasian masyarakat)

Kesadaran mengenai pentingnya membangun organisasi rakyat yang solid untuk memperjuangkan kepentingan bersama sudah muncul, tetapi masih ada masalah dalam kapasitas membangun organisasi

Masyarakat pada umumnya sadar bahwa tanggungjawab pemerintah menyediakan pelayanan publik yang paling mendasar (seperti kesehatan dan pendidikan) tetapi kurang dorongan untuk menuntut tanggung jawab pemerintah menyangkut kebutuhan mereka

55

Sutoro Eko, dkk., Masyarakat Sipil Mendemokrasikan

Daerah, Program Acehnesse Civil Society Organization Strengthening –ANCORS, Jakarta: CIDA dan Yappika, 2009

80

Adanya kesenjangan pengetahuan masyarakat mengenai proses penyusunan kebijakan dan saluran-saluran untuk menyampaikan aspirasi mereka, termasuk tidak mengetahui bagaimana cara berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan

Ada peningkatan jumlah organisasi baru, tetapi tidak memiliki visi yang jelas untuk pemberdayaan masyarakat dan lemah dalam membangun jaringan atau aliansi strategis

Pertumbuhan OMS pada fase ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jumlah dana pembangunan untuk Aceh yang berlimpah baik dari dana APBN maupun dari lembaga dan negara asing. Faktor kedua Aceh sudah sangat terbuka paska bencana gempa dan tsunami, dikarenakan pemerintah pusat membuka seluas-luasnya bagi pihak asing memberikan bantuan bencana.

Table 2: On Budget (APBN) Dana yang dikelola oleh BRR NAD-Nias

Bidang Program Utama Dalam Rupiah

Perumahan dan

Perumahan dan permukiman

81

Tata Ruang dan pertanahan 883.913.433.837

Infrastruktur

Perhungunan, ASDP dan ESDM

774.108.505.194 Jalan dan Jembatan 800.032.250.603 Air Bersih, Sampah dan

Irigasi 781.049.807.678 Sosial Kemasyarakata n Pendidikan 400.157.959.445 Kesehatan 600.491.793294

Peran Perempuan dan Anak 42.077.362.497 Sosial dan Budaya 757.660.076.317 Perekonomian Pengembangan Ekonomi 968.498.929 Kelembagaan

dan Hukum

Kelembagaan dan Pemerintahan

686.181.114.269 Hukum dan Keamanan 278.726.875.934 Biaya Manajemen 642.866.772.394

TOTAL 9.467.571.357.000

Sumber : http://www.e-aceh-nias.org, dan Gerak Aceh, Desember 2006

Data GeRAK Aceh, mencatat pada tahun 2005- 2006 khususnya alokasi anggaran yang telah dibelanjakan melalui bantuan off budget cukup tinggi, hal ini tercatat berdasarkan penulusuran data-data yang dikeluarkan sehingga perlu untuk diperjelas soal berapa alokasi anggaran yang sudah dibelanjakan sehingga menjadi aset bagi masyarakat Aceh.

82

Table 3: Off Budget (Bantuan NGO) Tahun Anggaran 2005-2006

Bidang Program Utama Dalam Rupiah

Perumahan dan permukiman

Perumahan dan permukiman

3.678.832.106.000 Tata Ruang dan

pertanahan

255.886.389.600

Infrastruktur

Jalan dan Jembatan 806.758.515.600

Listrik 5.807.785.200

Air Bersih, Sampah dan Irigasi 1.337.171.525.200 Sosial Kemasyarakatan Pendidikan 1.783.247.297.600 Kesehatan 2.182.454.314.000 Peran Perempuan dan

Anak

266.144.895.600 Sosial dan Budaya 373.258.306.000 Perekonomian Pengembangan Ekonomi 1.823.313.601.200 Kelembagaan dan

Hukum

Kelembagaan dan Pemerintahan

1.058.604.541.200 Hukum dan Keamanan 275.413.960.000 Biaya Manajemen 983.295.632.200

TOTAL 14.830.188.869.400

Sumber : BRR NAD-Nias dan GeRAK Aceh, 2011.

Salah satu dampak negatif dalam gerakan OMS paska program rehab-rekon dampak dari bencana gempa dan tsunami adalah perubahan sebagian maindset di kalangan aktivis, dimana perubahan sifat kerelawanan

83

berubah menjadi sifat material. Hal ini dikarenakan fasilitas gaji yang tinggi. Secara tidak langsung kondisi ini melahirkan depedensi (ketergantungan) dari gerakan OMS terhadap dukungan dari lembaga asing. Disamping juga berdampak pada munculnya kesenjangan satu organisasi dengan organisasi lainnya, serta hilangnya agenda bersama karena sudah terfokus pada program masing-masing lembaga.56

Tumbuhnya OMS karena mendapat sokongan dari LSM internasional tidak mengherankan, karena kebutuhan terhadap mitra lokal akan mempermudah kerja-kerja LSM asing di Aceh. Kondisi ini digambarkan oleh Afrizal Tjoetra, bahwa kemunculan LSM pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh seperti jamur adalah sesuatu yang sifatnya alamiah, yang pada akhirnya juga akan hilang seperti halnya kemarau dimusim hujan.57

Selain itu, menurutnya, saat ini LSM atau OMS yang tersisa di Aceh adalah lembaga-lembaga yang dari awal berkomitmen tinggi melakukan kerja-kerja untuk mendorong perubahan paska gempa dan tsunami bagi Aceh. Jadi fenomena 8 tahun paska tsunami dan

56

Wawancara dengan Mulyadi Rusman (Peneliti Jaringan Survey Inisiatif), pada 15 November 2013

57

Afrizal Tjoetra, Delapan tahun tsunami dan matinya ratusan LSM di Aceh, http://www.bisnisaceh.com, Rabu, 26 Desember 2012

84

banyaknya LSM lokal yang tidak lagi aktif adalah seleksi alam.

Menurut Gading Hamonangan, bentuk relasi OMS dengan partai politik paska gempa dan tsunami di Aceh sudah mulai terbuka, namun masih terjebak pada kepentingan urusan kepartaiannya sendiri, dimana fokus pemberdayaan hanya terhadap organisasi masyarakat di bawah partai alias underbow partai. Sebaliknya relasi yang dibangun secara kontinue antara OMS non- underbow dengan partai politik hanya sebatas personal orangnya dengan OMS. Tetapi tidak memiliki relasi dengan OMS melalui agenda bersama merespon dan membantu advokasi hak-hak korban tsunami.58

4.3. Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU

Pemerintahan Aceh

Secara umum, paska ditanda-tangani MoU Helsinki dan pengesahan UUPA oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2006, beberapa OMS terlibat langsung dalam pembentukan partai politik berbasis lokal. Sementara aksi-aksi kontra-politik (gerakan jalanan) yang digerakkan oleh aktivis sipil menjadi meredup.

58

Wawancara dengan Gading Hamonangan, Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 30 November 2013

85

Proses meredupnya gerakan jalanan yang menjadi ciri khas gerakan OMS juga dipengaruhi oleh faktor pengkaderan yang tidak berjalan. Sementara senior aktivis OMS telah merubah orientasi pergerakan dari jalanan ke parlemen.

Disisi lain, pengaruh dari pembangunan paska tsunami yang membuat beberapa OMS bekerja untuk isu-isu tertentu, telah menyebabkan hilangnya isu bersama seperti halnya terjadi sebelum adanya MoU dan tsunami. Perpecahan dikalangan aktivis OMS yang disebabkan oleh perbedaan orientasi politik juga memperparah melemahnya pergerakan sipil di Aceh.

Bebarapa aktivis senior OMS “terjebak” dalam memperjuangkan kepentingan partai politik tertentu. Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi pada gerakan OMS dalam menyingkapi dinamika yang berkembang karena relasi senioritas yang sangat kental mempengaruhi indepedensi dari organisasi itu sendiri. Hal ini terlihat dalam sikap OMS di Aceh yang menyingkapi perdebatan terhadap pasal 256 UUPA tentang Calon Independen. Disatu sisi beberapa aktivis yang bergabung dalam Partai Aceh mencoba mempengaruhi beberaba OMS untuk menolak calon independen. Disisi lain, terdapat OMS yang berjuang untuk tetap diberlakukannya Calon Independen pada pemilukada tahun 2012.

86

Terkait dengan tranformasi aktivisi OMS ke dalam partai politik yang makin terbuka dan menjadi bagian di dalam sistem partai politik menjadi fenomena menarik dalam gerakan sipil di Aceh. Sayangnya masih terdapat personal aktivis yang pasang dua kaki, dimana disatu sisi tetap aktif di LSM dan disisi lain aktif di partai politik atau kegiatan politik lainnya. Sebaiknya hal itu harus dipisahkan. Ini terkait dengan etika dalam dunia gerakan di LSM. Selain itu makin membuat aktivis bertanggung jawab terhadap mandat secara kelembagaan di LSM. Akan tetapi fenomenanya sekarang banyak aktivis hijrah ke partai politik, sehingga membuat kekosongan kader di tingkat gerakan OMS.59

Meskipun demikian, dengan adanya aktivis OMS di partai politik menjadi hal yang juga akan memudahkan kegiatan advokasi kebijakan yang dilakukan OMS sendiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh Juanda Djamal salah satu aktivis yang tergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) dalam memperjuangakan rancangan UUPA versi masyarakat sipil. Menurutnya, dengan adanya anggota parlemen dari aktivis sipil akan memudahkan komunikasi dengan partai politik dalam memperjuangkan aspirasi OMS.

59

FGD dilakukan di Takengon (31 Oktober 2013), Lhokseumawe (3 November 2013), dan Banda Aceh (25 November 2013)

87

Hal yang sama juga dikatakan oleh Burhanuddin, yang menulis disatu sisi adanya aktivisi OMS di partai politik akan memberikan akses bagi kita dalam mempengaruhi kebijakan parlemen sesuai dengan kebutuhan publik. Namun disisi lain, OMS harus tetap independen dan tidak terjebak dalam kepentingan pragmatisme politisi tersebut60.

Hal ini juga terungkap dalam FGD The Aceh Institute (2013) tentang “Pemetaan Relasi Politik OMS dan dampaknya”61, dimana kondisi gerakan OMS tidak begitu kuat lagi secara independen keorganisasian, dikarenakan hampir sebagian besar senior telah hijrah ke partai politik, dan disisi lain dukungan dari LSM internasional berkurang. Kondisi ini memerlukan strategi-strategi lain dalam menjalankan visi dan misi OMS di Aceh. Salah satunya adalah membangun stretegi relasi dengan politisi di partai politik untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gerakan OMS, seperti:

1. Melakukan advokasi agar terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dengan mempengaruhi kader OMS yang sudah masuk kepartai penguasa, seperti ke partai Aceh.

60

Mohamad Burhanudin, Paradoks Demokrasi Aceh dan

Problem Rekonsiliasi, http://regional.kompas.com. 28 Oktober 2011 61

Hasil FGD, Pemetaaan Relasi Politik OMS dan

88

2. Melakukan advokasi kewenangan turunan UU tentang Pemerintah Aceh yang belum dibuat dan disahkan Pemerintah Pusat melalui dorongan di media massa.

3. Membantu implementasi dari kewenangan UUPA yang telah dimandatkan pada pasal- pasalnya.

4. Mengontrol dan mengevaluasi implementasi dari kewenangan UUPA bagi Provinsi Aceh.

Kegiatan-kegiatan ini sebagai bentuk strategi dari gerakan OMS untuk menemukan kembali format dan agenda kerja-kerja OMS paska konflik dan pembangunan akibat gempa dan tsunami. Sehingga posisi dan peran OMS tetap terjaga dalam membangun demokrasi dan pembangunan yang berkeberlanjutan.

89

DINAM IKA RELASI POLITIK

Dalam dokumen Relasi Politik OMS dengan Partai Politik (Halaman 102-119)