• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlawanan Tertutup terhadap Chevron

PERLAWANAN PETANI GEMPUR DENGAN PERUSAHAAN GEOTHERMAL

B. Perlawanan Tertutup

2. Perlawanan Tertutup terhadap Chevron

Perlawanan tertutup yang dilakukan kepada Chevron dan pihak-pihak yang pro-Chevron adalah perlawanan tertutup kelanjutan dari TNGC. Perlawanan tertutup ini dilakukan sepanjang waktu. Bahkan setelah adanya isu Chevron, wargatetap melakukan perlawanan tertutup terhadap TNGC. Dapat dikatan bahwa, setelah ada isu Chevron, perlawanan tertutup kepada TNGC dan Chevron dilakukan secara bersamaan. Perlawanan tertutup yang dilakukan untuk melawan Chevron adalah bergosip buruk tentang Chevron, memberikan julukan negatif, dan berpura-pura tidak tahu.

Salah satu gosip buruk tentang TNGC dan Chevron yang beredar di masyarakat adalah TNGC merupakan pintu masuk bagi Chevron. Tanah di lereng Gunung Ciremai diibaratkan sebagai rumah mereka, TNGC adalah pintu untuk memasuki rumah, dan Chevron adalah maling. Saat ini, wargasedang berjuang untuk mengamankan rumah mereka dengan cara mengunci jendela, mengamankan barang-barang berharga, dan bersatu untuk waspada jika sewaktu-waktu ada serangan dari maling. Namun ada daya perjuangan itu semua jika pintu rumah mereka tidak dikunci, maling akan dengan mudah membuka pintu dan masuk ke rumah mereka. untuk itu, perjuangan masyarakat akan dirasa sia-sia jika pemerintah pusat melalui TNGC memberikan ijin bagi Chevron untuk mengeksploitasi panas bumi di lereng Gunung Ciremai.

Warga juga memberikan panggilan buruk kepada Chevron dengan julukan „Chevwrong‟. Ketika membicarakan Chevron, wargatidak lagi menggunakan

berasal dari kata „Chevwrong‟, namun lidah orang Sunda identik menyebut huruf

v dengan p, sehingga yang timbul adalah lafaz „cep-rong‟.

Wargajuga berpura-pura tidak tahu jika ditanya oleh pihak yang pro- Chevron. Warga pernah ditanya oleh beberapa aparat desa, aparat pemerintah, dan pihak Kapolsek mengenai Gempur. Mereka menanyakan tentang Gempur itu siapa, siapa otak dibalik itu, bagaimana strateginya, dan lain sebagainya. Namun, wargaberpura-pura tidak tahu apa itu Gempur, dan mereka berpura-pura tidak pernah ikut campur dalam urusan Gempur. Hal ini pernah dialami oleh salah satu tukang ojek di Desa Cisantana, tutur beliau adalah sebagai berikut:

“Dulu saya pernah neng pas ngobrol-ngobrol biasa gitu ya sama orang desa, eh terus dia nanyain Gempur. Dia bilang gini, “kamu ngapain sih ikut demo-demo itu? Emang ga ada kerjaan?” Terus saya bilang aja gini neng, “iih, saya mah mau membela tanah air bangsa, makanya saya ikut.” Terus dia nanya tentang Gempur, ini itu, sebenernya Gempur siapa, strateginya kaya gimana kok yang ikut bisa banyak banget. Ya udah, saya bilang aja saya ga tau apa-apa, da saya mah cuman ikut-ikutan doang biar rame demonya masak demo cuma sedikitan orangnya ya ga seru lah. Terus saya bilang mana ngerti saya strategi-strategi gituan orang cuman ngikut komando aja bisanya. Dia kira ya, kita tu yang ikut demo dibayar neng, masak dia bilang gini, “emang kalian tu dibayar berapa sama Gempur kok sampe pada mau ikut demo?” Padahal mah, kita tu pada ikut demo karena kita tau kalo Chevron masuk desa udah lah bakal abis semuanya, kalap sama tu si Chevron, pan udah dikasih tau dulu sama Gempur dampaknya apa kalo kita negbiarin Chevron masuk.”

Tantangan dan Hambatan yang Dialami GEMPUR dalam Perlawanan

Dari awal terbentuknya Gempur hingga saat ini, perjuangan mereka tidak selalu berjalan lancar. Gempur juga mengalami tantangan dan hambatan yang diduga merupakan strategi dari pihak pro-Chevron untuk menjatuhkan Gempur. Tantangan dan hambatan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Strategi “belah bambu”

Menurut penuturan warga, pihak-pihak yang pro-Chevron termasuk Pemda Kuningan melakukan cara yang disebut dengan “belah bambu” untuk memecah belah Gempur. Cara ini disebut dengan “belah bambu” karena orang yang membelah bambu tidak bisa membelahnya sekaligus. Biasanya mereka menancapkan pisau ke bambu, kemudian menaikan dan menurunkan pisau tersebut agar bambu terbelah sedikit demi sedikit. Lalu mengulang hal yang sama hingga bambu terbelah. Strategi ini diterapkan untuk membelah Gempur. Cara yang dilakukan pihak yang pro-Chevron adalah mengangkat „orang-orang dalam‟ contohnya beberapa mahasiswa yang dulu pernah menjadi bagian dari Gempur pada sebuah posisi di kantor mereka dengan tujuan untuk membelah dan menginjak Gempur. Mereka memberikan janji sebuah jabatan dan upah yang tinggi jika mahasiswa tersebut mau bergabung bersama mereka. Mereka memberikan ideologi bahwa mahasiswa fresh-graduated harus realistis bahwa mereka butuh pekerjaan untuk meningkatkan perekonomian keluarga mereka,

bukan terus menjadi aktivis. Ada beberapa mahasiswa yang termakan ideologi tersebut.

b. Memancing Emosi Masyarakat Agar Melakukan Tindakan Kriminal

Dalam setiap aksi demonstrasi, Gempur tidak pernah melakukan suatu tindakan kriminal, seperti membakar ban, memecah kaca toko di pinggir jalan, melempar batu ke petugas kepolisian yang berjaga saat demo, memecah pot bunga di trotoar, dan lain sebagainya. Setiap aksi Gempur selalu aman, meskipun jumlah massanya dapat mencapai 10.000 orang. Hal ini disebabkan massa yang ikut demo sudah dibekali dengan pengetahuan bahwa tidak boleh merusak apa pun saat demo, karena jika ada sesuatu yang rusak demonstran dapat ditahan oleh aparat kepolisian karena tindakan kriminal. Gempur juga selalu menghimbau agar masyarakat tetap tenang, dalam satu komando dari pemimpin demo, tidak terpancing emosi, dan jangan sampai memukul lebih dulu jika ada permasalahan dengan pihak kepolisian atau pihak lawan. Hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk menahan orang-orang Gempur. Jika satu saja dari Gempur berhasil ditangkap polisi karena tindakan kriminal, maka hal tersebut dapat melemahkan Gempur. Tuduhan kriminalisasi merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan pihak lawan untuk menghancurkan Gempur. Salah satu contoh tindakan tuduhan kriminalisasi yang dilakukan oleh Polsek Cigugur pernah dialami oleh salah satu jawara (seperti preman) di Desa Cisantana. Sebagai jawara, beliau berkarakter keras, tidak pernah takut jika diajak berkelahi, dan mempunyai keahlian bela diri. Beliau adalah simpul di Dusun Malaraman, Desa Cisantana. Beliau sangat aktif di Gempur, sehingga namanya cukup terkenal di telinga lawan dan menjadi incaran.

Beliau pernah mengalami beberapa kali tuduhan kriminalisasi. Pertama yaitu saat acara Misbar (Pemutaran Film) di Desa Pajambon pada 15 Juni 2014. Misbar pada waktu itu mengalami kericuhan karena kepala desanya melarang acara pemutaran film dilanjutkan, kemudian ada beberapa polisi yang datang. Warga bersikeras ingin melanjutkan acara dan protes kepada kepala desa. Pihak kepolisian mengamankan warga yang protes, salah satunya adalah beliau. Menurut penuturan beliau, sikap polisi tersebut sangat kasar. Polisi seperti ingin memancing emosi warga, bahkan mengajak beliauuntuk berkelahi. Beliauingat bahwa Gempur pernah menghimbau agar beliaujangan pernah terpancing emosi dan memukul dulu, namun beliauboleh memukul jika dipukul terlebih dulu. Ketika diajak berkelahi oleh polisi, beliaupun menawarkan polisi agar memukul dirinya terlebih dahulu. Berikut adalah kutipan langsung dari penuturan beliau:

Tu di Desa Pajambon, misbarnya kan dibubarin neng sama kepala desanya. Ya warga protes lah, termasuk saya yang waktu itu juga lagi di sana. Tiba-tiba polisi dateng aja gitu, mau ngamanin ricuh, tapi kasar banget. Orang warga mah ya protesnya biasa aja, eh polisinya marah-marah, dorong-dorong warga. Nah polisinya tu bentak-bentak saya juga neng, uuh kesel banget saya udah pingin mukul, tapi saya inget kata Den OS kan ga boleh mukul duluan. Ya udah saya tahan emosi neng. Saya cuman nunduk aja, polisi bentak saya iya iya aja nunduk. Terus dia bilang gini “Apaan kamu cuma iya-iya doang? Sini

kalo berani lawan saya!” Polisinya tu megang kerah baju saya neng. Terus saya bilang “Ayo Pak kalo mau pukul saya dulu ni, pukul aja Pak silahkan, saya ga bisa mukul bapak duluan soalnya, sok tah pukul!” Saya sambil nunjuk-nunjuk pipi saya ke polisinya neng biarin dipukul duluan, habis itu kan saya bisa nonjok dia, gregetan saya. Untung kita tu inget kata Den OS, kalo enggak udah abis tu polisi di keroyok warga, orang di sana juga banyak jawara yang ikut.

Warga merasa bahwa polisi sengaja memancing emosi para jawara agar mereka melakukan tindakan kriminal, sehingga polisi dapat menangkap mereka. Pada misbar di Desa Pajambon, beliauberhasil menahan emosi, sehingga tidak terjadi perkelahian. Namun, pada tuduhan kriminalisasi yang kedua, beliauberhasil ditangkap polisi karena tidak dapat menahan emosi. Hal ini terjadi pada awal Bulan Februari 2015. Saat itu, setelah isya, beliausedang berada di pangkalan ojek beserta rekan ojek yang lain. Sekitar pukul 21.00 WIB, ada mobil polisi datang dan tiba-tiba marah di depan beliau. Menurut penuturan beliau, beliau tidak tahu mengapa tiba-tiba polisi tersebut marah dan beliau merasa aneh. Polisi membentak-bentak dan menantang beliauuntuk berkelahi. Seperti yang dituturkan beliausebagai berikut:

Saya lagi duduk di PO, tu sama Mang TT sama si NS juga, orang ramean di PO juga. Kita lagi ngopi aja kaya biasa, ngarokok, tiba- tiba polisi dateng maen marah-marah aja. Begitu turun dari mobil polisinya teriak-teriak “Mana si LO? Katanya dia jagoan? Kamu yang namanya LO? Dedengkot Gempur? Sini kita duel kalo berani!” Ya saya ngerasa aneh lah, ni orang ngapain marah-marah ngajak berantem sama saya. Saya cuman nunduk aja, diem, dia marahin saya iya-iya aja. Dalam hati saya bilang kalo bukan karena perkataan Den OS ni udah saya hajar ni orang. Saya tahan tu emosi saya neng, taahaaaan terus, saya tunggu sampe dianya mukul duluan. Masak dia ngomong di depan muka saya neng, ni dahinya dia udah nempel di dahi saya ini ni, tangannya megang kerah baju saya. Saya ni jawara di sini neng, jawara kalo digituin siapa yang ga emosi. Da saya mah ga takut lah, saat itu juga bisa saya matiin tu orang. Tapi karena inget kata Den OS, uuuh kudu bener-bener ni jaga emosi, kalo dia ga nyerang duluan kita ga boleh mukul, karena saya tau ini jebakan mereka biar saya ditangkep. Nah, begitu dia dorong badan saya duluan, langsung saya tonjokin tu orang, emosi saya neng.

Pada tuduhan kriminalisasi yang kedua ini, beliau ditangkap oleh polisi dan sempat ditahan satu malam di penjara. Mengetahui hal tersebut, pada malam hari itu juga, orang yang menjadi otak Gempur bersama sekitar 500 orang Gempur mendatangi kantor polisi untuk membebaskan anggta Gempur yang ditahan. Penangkapan salah satu anggota Gempur tersebut dirasa tidak adil, karena beliaumelakukan pemukulan untuk pembelaan diri. Selain itu, saat peristiwa itu terjadi banyak tukang ojek yang berada di TKP dan dapat menjadi saksi ketidakbersalahan beliau. Sebanyak 500 orang Gempur mengancam tidak akan pulang dari kantor polisi jika salah satu anggota Gempur yang

ditahantidak dibebaskan malam itu juga. Setelah dilakukan beberapa pengecekan, pada hari berikutnya anggota Gempur dinyatakan tidak bersalah dan dapat bebas dari penjara.

Berbeda dengan kisah tersebut, beberapa warga simpul Gempur di Desa Linggah Sana, Kecamatan Cilimus juga pernah dipancing emosinya agar melakukan tindakan kriminal. Pada awal tahun 2014, sekitar pukul 22.00 hingga 24.00 WIB, ada dua orang menggunakan jaket Chevron ngetuk dengan keras dan kasar rumah simpul Gempur. Mereka bertanya apakah ada masyarakat di desa ini yang ingin menjual tanahnya untuk Chevron. Menurut penuturan simpul Gempur yang mengalami kejadian tersebut, pada saat ini mereka ingin sekali memukul orang Chevron yang datang malam-malam. Namun, sekali lagi, mereka ingat bahwa ini bisa saja jebakan untuk memancing emosi mereka agar mereka ditangkap polisi. Sadar akan hal tersebut, mereka hanya berkata „tidak ada‟ lalu segera menutup dan mengunci pintu mereka kembali agar tidak terpancing emosi. Mereka merasa tidak wajar jika ada orang malam-malam menanyakan tanah untuk dijual ke Chevron, padahal itu adalah rumah simpul Gempur yang jelas-jelas melawan Chevron. Jika mereka benar- benar ingin menanyakan tanah seharusnya dilakukan siang hari dan menanyakannya pada calo-calo tanah dengan gerilya agar tidak diketahui Gempur. Untuk itu, mereka meyakini bahwa ini adalah salah satu jebakan dari pihak lawan.

c. Dugaan Adanya Mata-mata

Gempur menduga bahwa pihak lawan memasang mata-mata untuk mengintai aktivitas Gempur. Mata-mata tersebut bisa saja dari orang dalam (masyarakat desa yang diminta jadi mata-mata) atau orang luar. Dugaan ini diindikasi karena setiap Gempur akan melakukan aksi, pihak lawan selalu sudah mengetahuinya dan ada beberapa hambatan. Beberapa contoh adalah ketika Gempur akan melakukan demo ke kantor Pemda atau DPR-D, di depan kantor Pemda dan DPR-D sudah ada banyak polisi untuk mengamankan para demonstran. Padahal pengumuman aksi ini tidak dipublikasikan di media sosial atau media publikasi lain. Koordinasi aksi ini hanya antar simpul kemudian simpul memberitahu masyarakat, sehingga tidak ada pengumuman resmi dan besar tentang adanya rencana demo ini. Namun, pihak Pemda dan DPR-D sudah tahu dan langsung memasang pihak kepolisian untuk mengamankan wilayah mereka. Gempur menduga ada orang dalam yang mendengar berita akan adanya aksi kemudian melaporkannya kepada pihak Pemda dan DPR-D.

Contoh lain adalah ketika Gempur memerlukan 2 bus untuk mobilisasi demonstran ke Komnas HAM Jakarta. Pada saat itu seluruh bus di wilayah Kuningan tidak dapat dipesan. Para pemilik bus mengaku bahwa sudah ada agenda pemakaian bus untuk hari itu. Padahal, Gempur memesan bus untuk hari kerja bukan hari weekend. Pada akhirnya, Gempurdapat menyewa bus dari kenalan salah satu anggota Gempur. Satu hari sebelum aksi, 2 buah bus sudah disewa dan diparkir di depan secretariat Gempur. Pada hari H, ditemukan ban kedua bus tersebut sudah dikempiskan. Gempur menduga bahwa ada pihak yang sengaja melakukan penggembosan ban bus untuk menghambat aksi Gempur. Namun, aksi Gempur tetap dilanjutkan setelah memperbaiki ban walaupun waktu keberangkatan tidak sesuai dengan jadwal.

d. Dugaan Adanya Penyadapan Hp

Ada tiga anggota Gempur yang Hp-nya diduga pernah disadap. Ketiga orang tersebut merupaka otaknya Gempur. Menurut penuturan mereka, setelah aksi demonstrasi yang kelima, Hp mereka tidak bisa menerima SMS maupun telfon selama 3 hari. Hp mereka bisa mengirimkan SMS namun ternyata tidak pernah terkirim ke nomor sasaran. Saat adanya penyadapan tersebut sempat terjadi miss-komunikasi dalam Gempur, karena pusat komunikasi Gempur adalah pada mereka bertiga. Namun, waktu penyadapan yang dialami mereka berbeda, misalnya yang pertama terkena sadap adalah otak Gempur, kemudian hari berikutnya adalah mahasiswa yang aktif dalam Gempur, dan setelah itu adalah simpul Gempur. Penyadapan ini terjadi tidak hanya satu kali. Otak Gempur mengaku pernah mengalami hal tersebut tiga kali, mahasiswa satu kali, dan simpul Gempur satu kali.

e. Gosip bahwa Otak Gempur adalah Suruhan PT Hitai Turki

Setelah aksi demonstrasi yang keenam, di desa-desa wilayah Gunung Ciremai tersebar berita bahwa otak dari Gempur adalah suruhan PT Hitai Turki untuk mejatuhkan Chevron. Berita yang beredar adalah PT Hitai Turki yang merupakan pesaing PT Daya Jasa Chevron saat proses tender merasa tidak terima dengan kekalahannya. Untuk itu, PT Hitai membayar otak Gempur untuk menggerakkan masyarakat agar dapat menolak Chevron, dengan tujuan setelah Chevron mundur PT Hitai dapat menguasai lahan panas bumi di Gunung Ciremai. Berita tersebut sempat membuat masyarakat khawatir. Masyarakat pun takut jika mereka selama ini ditipu oleh orang yang menjadi otak Gempur. Namun, otak Gempur dan beberapa mahasiswa Gempur segera meyakinkan masyarakat kembali bahwa otak Gempurbukanlah suruhan dari PT Hitai. Masyarakat diyakinkan bahwa ini adalah salah satu trik dari pihak lawan untuk melemahkan kekuatan Gempur. Usaha Gempur untuk meyakinkan masyarakat pun berhasil sehingga kepercayaan masyarakat pada Gempur meningkat kembali.

f. Ajakan Makan Bersama dari Pemda Kuningan

Setelah aksi keempat, pihak Pemda Kuningan mengundang otak Gempuruntuk makan bersama di sebuah restoran. Menurut otak Gempur, saat itu Pemda mengundang beliau untuk mendiskusikan aspirasi masyarakat dengan proyek geothermal, Pemda ingin tahu pendapat masyarakat dari otak Gempur, dan bagaimana keinginan masyarakat. Namun, otak Gempurtidak bersedia menghadiri pertemuan itu karena menganggap bahwa itu merupakan suatu jebakan dari pihak lawan, atau Pemda ingin menyuap otak Gempuragar tidak lagi melawan. Menurut otak Gempur, beliau tidak akan pernah berhenti berjuang membela masyarakat walau disuap dengan uang sebanyak apa pun. Namun, jika beliau tetap datang, lalu ada kamera tersembunyi yang memotret diskusi beliau dengan Pemda, dan foto tersebut dijadikan barang bukti untuk menyebarkan berita buruk ke masyarakat, maka hal itu dapat menjadi bumerang bagi Gempur. Berikut adalah kutipan dari beliau:

Ya dulu aku diundang makan sama Pemda, ya ga mau datang lah, ngapain. Halaah itu udah pasti jebakan. Paling mau nyuap, haha. Kalo enggak ya pasti intinya itu untuk melemahkan Gempur. Kalo aku ya, mau disuap sama uang satu trilyun pun ga akan mempan, buat apa uang banyak? Uang sebanyak apa pun pasti akan habis. Kita di sini ga butuh uang sebanyak itu, kita cuman butuh tempat tinggal kita, sawah, guyup sama tetangga, kita cuman butuh tanah air kita. Ya aku ga datang lah, buat apa. Sekarang gini, kalo aku dateng walaupun niatnya baik dan akan tetap teguh membela rakyat, tapi kalo ternyata ntr difoto cepret gitu, terus disebar ke orang-orang gimana? Terus isunya ntr gini, tu Kang O ternyata udah mau diskusi sama Pemda menyetujui Chevron, atau isunya oh ternyata Kang O udah menyerah sekarang dan berpihak ke Pemda dan Chevron karena disuap, gitu gimana? Kan bahaya.

Kemudian, otak Gempurmenyuruh sekitar 10 orang Gempur yang terdiri dari mahasiswa, pemuda desa, dan jawara untuk datang ke pertemuan tersebut mewakili dirinya. Otak Gempurmeminta mereka agar tidak makan dari pagi, agar saat siang hari di pertemuan tersebut mereka dapat makan makanan restoran dengan lahab. Berikut ini merupakan penuturan salah satu mahasiswa yang saat itu juga datang ke pertemuan dengan Pemda:

Kita sekitar 9 sampe 10 orangan lah yang disuruh Kang … dateng. Waktu itu tu yang ikut dateng saya, Kang …, …, …, Mang …, terus siapa lagi ya lupa pokoknya 10-an orang lah. Kata Kang …, kita ke sana disuruh dateng aja, makan, dan bilang kalo Kang … ga bisa dateng. Kita ga boleh makan dari pagi, biar laper, haha, jadi pas perut kosong kita bisa makan sebanyak-banyaknya sepuasnya, mumpung gratiiiis, haha.

Menurut penuturan mahasiswa tersebut, Pemda terkejut karena ternyata yang datang bukanlah otak Gempur. Gempur datang sekitar pukul 14.00 WIB, langsung memesan makan dan berkata kepada pihak Pemda bahwa otak Gempursibuk sehingga tidak bisa datang. Perwakilan Gempur yang datang memperkenalkan diri sebagai tukang santet, dukun, dan preman. Saat memperkenalkan diri mereka, pihak Pemda terkejut dan hanya bisa diam. Gempur memesan semua makanan yang ada di restoran tersebut. Jika ada makanan yang dirasa kurang enak, mereka langsung memesan menu lain. Begitu seterusnya, hingga makanan di restoran tersebut habis. Saat ada pembeli yang ingin datang ke restoran, pihak restoran mengatakan bahwa makanan telah habis, sehingga setelah pertemuan tersebut berakhir restoran langsung tutup. Ini adalah taktik Gempur agar Pemda merasa takut dan tidak jadi membahas masalah Chevron. Gempur memperibahasakan ini sebagai „senjata makan tuan‟ karena yang awalnya Pemda ingin menjebak Gempur, ternyata malah Pemda yang berbalik termakan oleh jebakan yang mereka buat sendiri.

g. Mengangkat Isu Perbedaan Agama

Tantangan lain yang dialami saat perjuangan Gempur adalah pengadudombaan masyarakat yang berbeda agama. Masyarakat yang ikut dalam Gempur memang terdiri dari berbagai agama, yaitu Islam, Kristen, Khatolik, dan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Pusat Gempur kebetulan adalah di Paseban yang merupakan pusat kegiatan masyarakat adat Sunda Wiwitan, sehingga acara rapat, pelatihan, dan diskusi sering dilakukan di Paseban. Isu yang diangkat untuk menjatuhkan Gempur adalah Gempur merupakan sarana agar masyarakat masuk ke agama Sunda Wiwitan. Mengetahui isu tersebut, sebagian besar masyarakat beragama Islam langsung tidak respek terhadap Gempur.

Beberapa informan kunci pada kasus ini adalah Ustad RH dan Ustad TW. Beliau berdua merupakan ustad di Desa Cisantana yang aktif dalam kegiataan