• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI LANDASAN TEORI

2.1 Teori yang mendukung .1 Teori belajar .1 Teori belajar

2.1.8 Permainan anak

Kegiatan menyenangkan yang biasa dilakukan oleh siswa sekolah dasar yaitu bermain. Bermain merupakan dunianya anak karena melalui bermain anak dapat meningkatkan perkembangan fisik, kecerdasan, emosi, dan sosial. Selain meningkatkan beberapa perkembangan tersebut kegiatan bermain bagi anak adalah kegiatan yang menyenangkan (Prasetyo: 2008). Kegiatan bermain dapat membangun karakter anak karena anak akan belajar membayangkan peran dan kedudukannya (Dharmamulya: 2005). Bermain dapat disebut aktivitas yang dilakukan oleh anak dari suatu permainan yang diinginkannya. Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajahi dunianya, dan yang tidak ia kenali sampai pada

yang ia ketahui dan dari yang tidak dapat diperbuatnya sampai mampu melakukannya (Semiawan: 2002). Permainan merupakan suatu hal yang penting karena memiliki makna dari nilai kebudayaan (Dharmamulya: 2005). Tashadi (dalam Dharmamulya: 2005) berpendapat bahwa permainan yang mengandung nilai-nilai budaya serta memiliki fungsi melatih pemain dalam melakukan hal-hal yang akan berguna dikehidupannya yaitu dengan permainan tradisional.

Permainan tradisional adalah sebuah sarana hiburan gratis bagi warga masyarakat, yang dapat menjadi pelepas rasa jengkel, sedih, marah, dan sebagainya. Permainan tradisional anak dapat dianggap sebagai aset budaya, sebagai modal bagi suatu masyarakat untuk mempertahankan keberadaannya dan identitasnya di tengah kumpulan masyarakat lain (Dharmamulya: 2005). Dharmamulya (2005) memaparkan ada 36 macam permainan di Jawa yaitu “ancak-ancak alis, bethet thing-thong, bibi tumbas timun, cacah bencah, cublak-cublak suweng, genukan, gowokan, jamuran, koko-koko, lepetan, nini thowong, dhingklik oglak-aglik, dhoktri, epek-epek, gajah talena, gatheng, kubuk, kubuk manuk, kucing-kucingan, layangan, sliring gendhing, soyang, anjir, angklek, bengkal, benthik, dekepan, dhing-dhingan, dhukter, dhul-dhulan, embek-embekan, jeg-jegan, jirak, layung, pathon, dan pathil lele”.

Pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan kegiatan dari suatu permainan guna membantu anak dalam mengembangkan karakternya. Pengembangan karakter salah satunya dapat dilakukan melalui permainan tradisional karena pemainan tradisional masih mempertahankan nilai-nilai budaya pada setiap daerah. Kurikulum 2013 mengharapkan adanya muatan

pendidikan karakter di dalam pembelajaran agar membantu perkembangan karakter anak yang tidak jauh dari nilai-nilai budaya bangsa. Metode melalui permainan menjadi salah satu alternatif yang tepat untuk membantu guru dalam proses belajarnya. Selain siswa akan belajar pengetahuan, siswa akan belajar mengembangkan karakter nilai-nilai budaya dengan pembelajaran yang menyenangkan sesuai karakteristik perkembangan siswa. Peneliti akan mengembangkan produk RPPH dengan metode permainan yaitu “layangan, cublak-cublak suweng, dan layung”. Peneliti hanya memilih tiga macam permainan ini karena permainan ini sesuai dengan kompetensi dasar dalam subtema “kegiatanku”. Metode permainan yang digunakan peneliti juga hanya pada tiga RPPH agar menjauhi rasa bosan siswa terhadap metode bermain.

2.1.8.1 Permainan “Layangan”

Permainan pertama yang digunakan oleh peneliti adalah “layangan”. Dharmamulya (2005) “layangan” adalah benda yang dipergunakan untuk bermain. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) permainan “layangan” biasa disebut ngundha layangan atau menaikkan ke udara. Seiring dengan perkembangan zaman “layangan” yang dulu hanya berbentuk layang-layang muncul dengan beberapa bentuk yaitu manusia, pesawat, burung, tugu, ular, kupu-kupu, dan lain-lain. Perkembangan tersebut terjadi karena adanya festival “layangan” baik nasional maupun internasional, sehingga “layangan” sekarang tidak hanya menjadi permainan lokal. Bermain “layangan” baik jika dilaksanakan pada musim kemarau dan di tanah lapang. Permainan ini paling tidak dilakukan oleh dua orang dan tidak mengenal batas umur. Adapun perlengkapan yang harus dimiliki oleh

pemain “layangan” yaitu (1) layangan, layangan terdiri dari kerangka dan penutup untuk ragangan. Ragangan terdiri dari 2 komponen yaitu deder (kerangka tegak) dan palang (kerangka yang menyilang deder). Penutup ragangan dapat menggunakan kertas tela atau sutra. (2) benang, benang yang biasa digunakan adalah benang nomor 50 sampai 20 tergantung dari besar kecilnya layangan. (3) bendrong, tempat menggulung benang. Perlengkapan tersebut dirangkai menjadi satu yang kemudian baru dapat dipakai untuk bermain dengan memperhatikan langkah-langkah bermain “layangan”.

Langkah-langkah bermain “layangan” yaitu (1) layang-layang dinaikkan ke udara dengan menggunakan tenaga angin. Pemain pertama ada yang memegang bendrong dan benang, sedangkan pemain kedua methek atau memegang layangan. Setelah layangan terbang pemain kedua harus membantu memegang bendrong atau menarik benang. (2) Pemain mulai memainkan dengan cara nyiruke (menyorongkan), nggoling (berputar), dan sebagainya. “Layangan” bila putus disebut tatas. “Layangan” dapat dilakukan dengan cara beradu yaitu 2 atau lebih. Peneliti akan menggunakan permainan “layangan” ini pada pembelajaran kedua. Alasan peneliti menggunakan permainan ini yaitu sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai pada pembelajaran kedua subtema “kegiatan sore hari” dan sesuai dengan kegiatan pada buku siswa. Pengembangan atau modifikasi yang akan dilakukan oleh peneliti dari permainan ini yaitu peneliti akan menggunakan permainan ini sebagai wadah dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran akan diperoleh siswa dari cara membuat layangan sampai menerbangkan. Siswa akan belajar membuat layang-layang yang merupakan

pelajaran Seni Budaya dan Prakarya (SBdP), gerak lokomotor atau berlari, berjalan yang merupakan pelajaran PJOK, dan tinggi rendah layangan setelah diterbangkan yaitu pada mata pelajaran matematika.

2.1.8.2 Permainan “Layung”

Permainan kedua yang dipakai oleh peneliti adalah permainan “layung”. Dharmamulya (2005) berpendapat bahwa “layung” berarti awan berwarna merah kekuning-kuningan di senja hari. “Layung” merupakan permainan yang atraktif dan kompetitif, juga berguna untuk melatih ketangkasan gerak dan ketahanan jasmani. Permainan “layung” memakai alat berbentuk mirip bulat yang dibuat dari janur, karena apabila bola dilempar ke udara dan terkena sinar matahari akan berwarna seperti “layung”. Alat ini biasanya disebut Gendhok. Selain janur permainan ini memerlukan sebidang tanah berukuran 5x12 meter yang diberi garis tengah, namun ukuran dapat sesuai keinginan. Permainan “layung” paling tidak dimainkan oleh 4-16 anak. Misalnya ingin menambah anak boleh asalkan jumlahnya genap. Permainan ini dapat dilakukan oleh anak perempuan maupun laki-laki pada usia sekolah dasar (7-12 tahun). Permainan ini hampir mirip dengan bola voly, namun ada sedikit perbedaan pada langkah-langkahnya.

Langkah-langkah bermain “layung” yaitu (1) membuat arena permainan; (2) menentukan jumlah pemain dan membagi menjadi 2 kelompok; (3) Kelompok mewakilkan satu orang untuk sut (suit) untuk menentukan arena dari kelompok dan kelompok yang main terlebih dahulu; (4) Permainan dilakukan dengan cara melempar dan menangka bola, hampir seperti voli. Hanya saja tidak ada smash, servis, dan lain-lain. Adapun aturan dalam permainan yaitu pelempar dianggap

mati jika ada peserta menginjak atau melewati garis batas dan bola yang dilempar jatuh di luar arena permainan atau jatuh di arena permainan sendiri. Kelompok penerima lemparan dianggap gagal mematikan bila tidak dapat menangkap bola secara langsung (bola menyentuh tanah) dan dapat menangkap bola secara langsung tetapi gendhok kemudian jatuh di tanah. Pindah bola terjadi setiap kematian masing-masing kelompok. (5) Setiap poin diberi skor satu. Bila jumlah nilai salah satu kelompok telah mencapai 15, maka menjadi kelompok yang menang.

Peneliti akan menggunakan permainan “layung” untuk pembelajaran ketiga. Alasan peneliti menggunakan permainan ini yaitu karena permainan ini sesuai dengan kompetensi yang diharapkan pada pembelajaran ketiga. Alasan lain permainan ini tidak banyak yang mengetahuinya sehingga permainan ini baik jika diperkenalkan kembali agar anak dapat belajar melalui benda-benda di lingkungan. Modifikasi yang dilakukan peneliti hanya pada alatnya saja ditempel dengan simbol-simbol pada Pancasila. Bola jatuh pada simbol ketuhanan maka siswa menyebutkan apa saja nilai dari simbol Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu untuk pemain yang kalah akan melakukan kegiatan bermain peran tentang kegiatan di sore hari dengan mengingat materi yang sebelumnya. Materi yang peneliti masukan pada permainan ini yaitu gerak lokomotor dan manipulatif (PJOK) dan simbol-simbol sila Pancasila (PPKn).

2.1.8.3 Permainan “Cublak-Cublak Suweng”

Permainan ketiga yang akan dipakai peneliti yaitu permainan “cublak-cublak suweng”. Dharmamulya (2005) permainan ini dinamakan permainan

“cublak-cublak suweng” karena mulanya dicublek-cublek (ditonjok-tonjokan) yaitu suweng (subang) yang terbuat dari tanduk (uwer). “Cublak-cublak suweng” berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Permainan ini dapat dilakukan di halaman maupun teras rumah karena tidak membutuhkan halaman yang terlalu luas. Pemain “cublak-cublak suweng” berkisar antara 5-7 orang dengan umur sekitar 6-14 tahun. Pemain dapat laki-laki maupun perempuan. Alat yang digunakan untuk bermain “cublak-cublak suweng” cukup menggunakan kerikil atau biji-bijian (uwer). Selain perlengkapan tersebut “cublak-cublak suweng” disertai lagu pengiring yaitu,

Cublak-cublak suweng Suwenge teng gelenter Mambu ketundhung gudhel Pak empo lera lere

Sopo ngguyu ndhelikake Sir sir pong dhele kopong Sir sir pong dhele kopong

Langkah-langkah dalam bermain “cublak-cublak suweng” yaitu (1) semua pemain hom pim pah atau suit untuk menentukan pemain yang dadi sedangkan pemain yang menang menjadi pemain yang mentas; (2) pemain yang dadi telungkup di lantai atau tanah yang dikelilingi oleh pemain yang menang; (3) salah seorang pemain yang menang ditunjuk menjadi embok; (4) kedua belah tangan pemain yang menang diletakkan pada punggung pemain yang kalah; (5) para pemain mulai menyanyikan lagu sambil si embok tadi memutarkan uwer ke

setiap tangan pemain yang menang; (6) ketika lagu “sir sir pong dhele kopong” tangan para pemain mengenggam sambil telunjuk dan jari tengah melakukan gerakan seolah-olah menyisir gula; (7) saat syair terakhir uwer digenggam oleh pemain yang menang, kemudian harus ditebak oleh pemain yang kalah.

Peneliti akan menggunakan permainan “cublak-cublak suweng” dalam pembelajaran keempat. Alasan peneliti menggunakan permainan ini yaitu permainan sesuai kompetensi yang diharapkan pada pembelajaran keempat. Selain itu peneliti memilih permainan ini karena masih banyak anak yang tahu lagu “cublak-cublak suweng” hanya saja untuk langkah-langkah dalam memainkan ada yang belum mengerti. Modifikasi yang dilakukan peneliti terhadap permainan ini yaitu saat menebak batu siswa yang yang kalah menyebutkan dan mempraktikan contoh-contoh dalam kegiatan sore hari dan aturan yang baik menyambut ayah atau ibu pulang kerja. Apabila tidak berhasil pemain yang kalah menjadi pemain yang kalah lagi, namun jika berhasil pemain yang kalah digantikan pemain yang menang atau memegang batu terakhir. Materi yang dimasukan dalam permaiinan ini yaitu arutan dalam bermain (PPKn) dan macam-macam kegiatan sore hari serta aturan menyambut orang tua pulang kerja (Bahasa Indonesia).

Dokumen terkait