• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Dan Tantangan Pengembangan Drainase

Kebijakan 4 : Penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas personil pengelolaan air limbah permukiman

C. Permasalahan Dan Tantangan Pengembangan Drainase

Penanganan drainase pada umumnya masih bersifat parsial, sehingga tidak menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan secara tuntas. Karenanya, pengelolaan drainase perkotaan harus dilaksanakan secara menyeluruh, dimulai tahap perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan, serta didukung oleh kelembagaan dan pembiayaan yang mumpuni. Selain dari itu, dalam pengelolaan Drainase, hendaknya partisipasi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan. Dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan Drainase di wilayah Kabupaten Mukomuko, perlu diidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi.

a. Identifikasi Permasalahan Drainase Perkotaan

Pada prinsipnya ini merupakan bagian awal dari proses pendefinisian masalah yang menjadi bagian awal dari proses perencanaan system secara keseluruhan.

Indikasi permasalahan merupakan hasil analisis detail berdasarkan data – data hasil survai. Karena terbatasnya data–data drainase yang bersifat data teknis detail, maka Inventarisasi permasalahan sebagai hasil analisis pada tahap ini lebih merupakan permasalahan yang bersifat umum atas dasar masukan dari berbagai sumber. Indikasi permasalahan menyangkut isu – isu penting yang terkait dengan Program Investasi Jangka Menengah untuk komponen drainase di wilayah studi, yaitu meliputi permasalahan genangan, kebijakan pembangunan antar kawasan, koordinasi pengawasan pembangunan dan kondisi eksisting system drainase. 1. Genangan

Genangan dengan parameter luas genangan, tinggi genangan, dan lamanya genangan merupakan permasalahan utama yang menjadi fokus perhatian penangaan drainase. Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di wilayah Kabupaten Mukomuko akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada system interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya.

2. Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penanganan permasalahan drainase harus merupakan suatu kegiatan yang berskala regional dan bersifat lintas wilayah maupun lintas sektoral. Penanganan permasalahan di Kabupaten Mukomuko tanpa menangani permasalahan yang ada di kawasan hulu (maupun kawasan hilir tidak akan memberikan solusi yang bersifat jangka panjang. Demikian juga kaitan antara infrastruktur drainase dengan infrastruktur lainnya harus mendapat perhatian yang seksama, sehingga penanganan yang dilakukan merupakan suatu kegiatan yang komprehensif. Dalam kaitan dengan topik ini, maka permasalahan yang terkait dengan kebijakan pembangunan antar kawasan antara lain adalah :

a. Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kota dan kabupaten di Propinsi Bengkulu untuk pengendalian kawasan resapan di daerah hulu sungai.

b. Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka sebagai daerah resapan air.

c. Belum adanya koordinasi dari para pelaku pengelolaan dari setiap komponen infrastruktur dalam perencanaan maupun pembangunannya. 3. Koordinasi Pengawasan Pembangunan

Koordinasi pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah terjadinya permasalahan yang menimbulkan dampak merugikan dari aspek drainase (termasuk mencegah terjadinya banjir). Sebagai contoh suatu kawasan dengan elevasi di bawah muka air banjir sungai terdekat, maka perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan tersebut harus sudah

mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir, yaitu dengan melakukan penimbunan sampai batas peil banjir sebelum prasarana tersebut dibangun. Pembangunan suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya didasarkan pada data masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran yang direncanakan harus memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada di kawasan lain, sehingga sistem yang dibangun tidak memberikan dampak negatif terhadap kawasan lain. Dengan koordinasi pengawasan yang efektif dampak negatif tersebut dapat dihindarkan.

Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang sering terjadi dalam pembangunan wilayah Kabupaten Mukomuko. Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :

a. Perubahan Peruntukan Lahan

Pada dasarnya, peruntukan lahan pada suatu kawasan sudah ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disyahkan oleh Bappeda. Namun pada prakteknya, ketentuan tersebut tidak selalu dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di Wilayah Kabupaten Mukomuko.

Hal yang paling sering terjadi adalah kawasan penampungan/resapan air atau kawasan hijau terbuka dirubah peruntukannya menjadi kawasan perumahan atau kawasan industri. Akibat dari perubahan peruntukan lahan tersebut, maka luasan dari kawasan ”parkir” air hujan akan berkurang secara sistematis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir pada zona-zona tertentu.

b. Pelanggaran terhadap Rasio KDB

KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah suatu rasio yang menunjukan perbandingan antara luas bangunan terhadap luas lahan yang tersedia. Sehingga untuk luas lahan yang sama, apabila rasio tersebut semakin besar maka bangunan yang boleh didirikan juga semakin luas. Rasio KDB ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum dengan mengacu pada kondisi dan peruntukan lahan pada lahan yang akan didirikan bangunan. Dengan demikian, rasio KDB merupakan batas maksimum yang diperbolehkan oleh Dinas Pekerjaan Umum untuk mendirikan bangunan pada suatu wilayah.

Namun pada umumnya, batas rasio tersebut seringkali dilanggar oleh para pemilik bangunan dalam upaya untuk mendapatkan bangunan yang lebih luas. Apabila pelanggaran rasio KDB tersebut dilakukan secara massal dan terus menerus, maka luas lahan terbuka akan menurun secara drastis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir.

c. Diabaikannya Batas Peil Banjir

Sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dimana salah satu penyebab banjir di wilayah studi adalah elevasi kawasan perumahan yang berada di bawah muka air banjir sungai maupun di bawah muka air normal, sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi kawasan yang rawan banjir.

Kondisi tersebut terjadi karena pelaksanaan pembangunan kawasan perumahan oleh Pengembang tidak memperhatikan peil banjir yang ada. Pengembang seharusnya melakukan penimbunan sampai pada batas peil banjir sebelum mulai melaksanakan pembangunan perumahan.

d. Pelanggaran Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi

Hal lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan adalah digunakannya lahan yang berada pada kawasan kon-servasi untuk keperluan pembangunan. Pelanggaran tersebut mengakibat-kan berkurangnya luasan dari kawasan konservasi dan pada akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan resapan atau ruang terbuka hijau.

4. Tinjauan Terhadap Sistem Penyaluran Air Hujan yang Ada

Tinjauan terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada akan mencakup tinjauan terhadap sungai sebagai badan penerima air utama, dan sistem saluran sebagai badan pembawa.

a. Tinjauan Terhadap Sungai Induk

Perhitungan mengenai kapasitas sungai berdasarkan profil sungai yang ada untuk kemudian dibandingkan dengan debit banjir hasil perhitungan dengan periode ulang 10 tahun, akan memberikan gambaran mengenai kemungkinan terjadinya atau tidak terjadinya luapan pada sungai dimaksud. Sampai saat ini data profil sungai dan data debit banjit dari sungai–sungai utama di wilayah studi belum didapatkan.

b. Tinjauan Terhadap Saluran yang Ada

Meliputi tinjauan dimensi, keadaan saluran, perlengkapan saluran yang ada, serta hal–hal lain yang dianggap perlu sehingga dapat diharapkan akan didapat dimensi saluran yang sesuai.

Hasil pengamatan lapangan adalah sebagai berikut :

a. Tingkat pelayanan sistem yang ada masih rendah dalam konteks perbandingan antara luas yang harus dilayani dengan panjang sistem yang sudah terbangun/terpasang.

b. Kapasitas saluran belum di disain menurut sistem blok kawasan yang harus dilayani, sehingga ada beberapa saluran yang melayani suatu kawasan terlalu luas.

c. Sedimentasi dan timbulan sampah menyebabkan kapasitas pengaliran saluran berkurang, akibatnya terjadi luapan.

d. Genangan yang terjadi dari hasil pengamatan disebabkan oleh luapan, baik dari jaringan tersier, sekunder maupun primer.

e. Sistem jaringan belum tertata menurut hirarki saluran, dimana hirarki ini akan menentukan besarnya kapasitas pengaliran yang direncanakan. Dari hasil pengamatan ada sistem sekunder yang dimensinya lebih kecil dari sistem tersiernya.

f. Ukuran gorong–gorong yang terlalu kecil, kerusakan gorong–gorong maupun kerusakan pada saluran merupakan salah satu penyebab terjadinya luapan dan genangan.

5. Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase

Akibat keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana drainase kurang mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang berwenang. Pemeliharaan prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu pola yang teratur. Biasanya pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi kerusakan sudah parah atau untuk mengatasi kondisi darurat dan pemeliharaan tersebut dilakukan secara partial tidak secara menyeluruh. Akibat dari tidak teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka :

 Prasarana/sarana drainase tidak berfungsi dengan optimal.

 Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.

 Meningkatnya biaya pemeliharaan.

Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai arti penting sarana drainase untuk menjaga kesehatan lingkungan juga merupakan salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Semua pihak paham bahwa membuang sampah di selokan akan dapat menimbulkan banjir karena

kapasitas saluran menjadi berkurang. Namun faktanya hal–hal tersebut masih terus terjadi.