• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Keperawanan

2. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

a. Pengertian permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang

Hilangnya keperawanan wanita, baik secara fisik maupun psikologis, yang belum pernah menikah sering memicu terjadinya berbagai problema, seperti yang sudah dicontohkan pada bab sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa problema-problema itu terkait

dengan permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang. Dalam penelitian ini, khususnya permisivitas kaum pria.

Kata permisif memiliki idiom dengan kata serba boleh (Sarwono, 1989). Permisivitas sendiri adalah suatu sikap atau karakteristik seseorang yang cenderung liberal dan memperbolehkan kebebasan perilaku dan sikap kepada orang lain yang ia punyai wewenang (Reber, 1995).

Dari definisi permisivitas tersebut, maka permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang dapat disimpulkan sebagai suatu sikap atau kecenderungan untuk lebih terbuka dan membebaskan wanita untuk kehilangan keperawanannya sebelum ikatan pernikahan.

b. Faktor-faktor dari jurnal ilmiah yang diduga berhubungan dengan

permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

Dari berbagai jurnal ilmiah yang Penulis jadikan referensi penelitian ini, diduga ada bermacam-macam faktor yang berhubungan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang. Faktor yang pertama adalah faktor standar ganda. Gonzáles-López (2004) mengatakan bahwa persepsi seorang ayah berkebangsaan Meksiko terhadap keperawanan anak perempuannya diwarnai/dipengaruhi budaya maskulin dan patriarki di daerah asalnya. Sementara menurut Berggren, Ahmed, Hernlund, Johansson, Habbani, & Edberg (2006), beberapa pria Sudan sesungguhnya merasa frustrasi dengan kebudayaan

mereka yang mengharuskan mereka selalu menunjukkan maskulinitas dalam kehidupan seksual mereka, sementara para wanita disosialisasikan untuk tidak mengekspresikan hasrat seksual mereka.

Isu standar ganda seperti ini juga dinyatakan dalam penelitian Muehlenhard & Cook (1988), bahwa standar ganda di Amerika Serikat menuntut wanita untuk tidak kehilangan keperawanannya sebelum pernikahan, sementara pria bukan hanya diperbolehkan melakukannya, tapi bahkan dituntut untuk kehilangan keperjakaannya sebelum menikah. Namun, penelitian Damanik (2006) mengatakan hal yang lain, bahwa sebagian besar responden yang notabene adalah orang Indonesia telah menyadari bahwa tuntutan untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah seharusnya diberlakukan seimbang untuk laki-laki dan perempuan. Terbukti, bahwa persentase responden yang menganggap perempuan harus perawan hingga saatnya menikah (82,58%) hampir seimbang dengan responden yang merasakan laki-laki juga mesti perjaka sebelum menikah (76,35%). Sedangkan Topan (1995) mengungkapkan bahwa walau sesungguhnya pria dan wanita di komunitas Swahili di Afrika sama-sama diharapkan untuk menghindari seks sebelum pernikahan, tetap saja budaya ini terfokus pada keperawanan wanitanya.

Sementara itu, Sa’ar (2004) menemukan bahwa wanita Israel-Palestina dituntut untuk menjaga keperawanannya secara fisik maupun psikologis sebelum menikah. Hal ini didasari oleh budaya patriarki

yang menjadi tradisi di sana. Crawford & Popp (2003) mengutip bahwa keperawanan para wanita Hispanik atau keturunan Latin di Amerika Serikat yang belum menikah bersifat imperatif atau mutlak diperlukan, dikarenakan hal ini menunjukkan kehormatan keluarga yang membesarkan wanita tersebut. Kurang lebih sama dengan apa yang dikatakan Derné (1994), yaitu bahwa para ayah di India sangat memonitor perilaku anak perempuan mereka yang belum menikah, demi menjaga agar keperawanan sang anak yang diyakini sebagai kehormatan keluarga mereka tetap utuh sebelum hari pernikahan.

Keperawanan, menurut Castelli (1986), dikatakan sebagai alat ukur untuk menilai seorang wanita di zaman Roman yang menganut tradisi maskulinitas. Sementara itu, menurut Leclerc-Madlala & Leclerc-Madlala (2003), isu mengenai keperawanan wanita lebih marak dibicarakan di masyarakat yang menganut garis keturunan patrilineal. Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Forster (2005), peraturan mengenai seksualitas dibuat untuk memperkuat sistem patriarki. Trisnawati & Wulanyani (2006) juga menyatakan bahwa persepsi remaja Bali tentang kehamilan di luar nikah sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya.

Faktor kedua yang diduga berhubungan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang adalah faktor daerah asal. Menurut Gonzáles-López (2004), para ayah yang berasal dari daerah perkotaan menganggap keperawanan anak perempuannya tidak begitu

penting, sementara para ayah yang berasal dari daerah pedesaan justru sebaliknya. Sementara itu, Amuchástegui (1999) menyatakan bahwa penerimaan masyarakat Meksiko terhadap kondisi keperawanan seorang wanita bervariasi, tergantung pada daerah asal mereka. Wanita yang berasal dari daerah pedesaan akan lebih menjaga keperawanannya sebelum menikah dibandingkan wanita dari daerah perkotaan. Bila seorang wanita desa pindah ke kota besar, pemikirannya terhadap seks akan lebih terbuka, tetapi dia cenderung akan tetap merasa bersalah jika sampai melakukan hubungan seks di luar nikah karena merasa telah menodai norma di daerah asalnya. Sama halnya seperti di Meksiko, berdasarkan penelitian Knodel, Low, Saengtienchai, & Lucas (1997), persepsi masyarakat Thailand terhadap keperawanan lebih konservatif atau tidak permisif di daerah rural dibandingkan di daerah urban. Sedangkan Hill, Cleland, & Ali (2004) menemukan fakta bahwa kecenderungan pria untuk melakukan hubungan seks di luar nikah lebih tinggi 3 kali lipat di bagian utara Brazil dibandingkan di bagian selatan atau tengah negara tersebut.

Faktor ketiga adalah faktor sosio-ekonomi. Faktor ini meliputi strata sosial dan kondisi finansial seseorang. Selain oleh budaya maskulin dan patriarki, Gonzáles-López (2004) juga mengatakan bahwa persepsi seorang ayah terhadap keperawanan anak perempuannya diwarnai/dipengaruhi oleh faktor kesenjangan sosio-ekonomi di daerah miskin di perkotaan. Malhotra (1997) menyatakan bahwa status

sosio-ekonomi sebuah keluarga di Jawa sangat relevan dengan pernikahan anak perempuan mereka. Sementara itu, Forster (2005) menyebutkan bahwa peraturan mengenai seksualitas juga dibuat untuk mencegah terjadinya ketidakstabilan secara finansial dalam sebuah keluarga. Pada penelitian Schlegel (1991), dikatakan bahwa masyarakat yang melakukan pertukaran hadiah atau mas kawin antara keluarga mempelai wanita dan mempelai pria cenderung memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap keperawanan sang mempelai wanita. Masyarakat yang melakukan tradisi pertukaran mas kawin ini adalah masyarakat dari kalangan atas. Sementara masyarakat yang tidak melakukan tradisi ini, yang notabene adalah kalangan menengah ke bawah, cenderung tidak begitu mementingkan keperawanan sang mempelai wanita. Hasil penelitian Sari (2003) menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap terhadap keperawanan antara wanita dengan kelas sosial ekonomi atas, menengah, dan bawah. Perbedaan tersebut secara signifikan ditunjukkan oleh kelas sosial bawah terhadap kelas atas maupun terhadap kelas menengah, yaitu lebih tidak permisif terhadap seks pra-nikah. Trisnawati dkk. (2006) juga mengatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara seksualitas, khususnya kehamilan di luar nikah, dengan kasta.

Untuk faktor keempat adalah faktor religiusitas. Renne (1993) menemukan bahwa beberapa wanita Nigeria yang diwawancara untuk penelitiannya memandang keperawanan sebagai suatu hal yang penting

untuk dipertahankan sebelum menikah karena itulah yang diajarkan dalam Kristianitas. Sama dengan apa yang ditemukan Castelli (1986) dalam penelitiannya. Para wanita yang tidak permisif ini sangat mengikuti ajaran agama yang mereka anut. Begitu pula yang dikatakan Sa’ar (2004) dan Topan (1995), bahwa masyarakat Arab dan Swahili cenderung tidak permisif terhadap aktivitas seks di luar nikah karena ajaran agama Islam yang melarang hal tersebut. Hill dkk. (2004) menyebutkan bahwa pria Brazil yang menganut agama evangelical

cenderung melakukan seks di luar nikah lebih sedikit dibandingkan pria yang tidak menganut agama apapun. Penelitian Ku, Sonenstein, Lindberg, Bradner, Boggess, & Pleck (1998) mengungkap bahwa semakin religius seseorang, maka ia akan semakin tidak permisif dan tidak menyetujui hubungan seks pra-nikah. Sebuah kutipan dari penelitian Bearman & Brückner (2001) juga mengatakan bahwa remaja yang religius cenderung untuk terlibat dalam hubungan seks pra-nikah lebih terlambat daripada remaja yang tidak religius.

Selanjutnya, yang kelima adalah faktor pengetahuan tentang

hal-hal seputar seks. Leclerc-Madlala dkk. (2003) mengatakan bahwa

ketertarikan publik terhadap isu keperawanan wanita lebih banyak terlihat atau muncul di negara-negara yang bergumul dengan angka penderita HIV dan AIDS yang tinggi. Menurut Ku dkk. (1998), edukasi mengenai AIDS juga terkait dengan turunnya aktivitas seksual pada remaja. Sama dengan yang dikatakan Sprecher & Regan (1996), bahwa

para responden yang menyatakan diri mereka masih perawan menjelaskan bahwa rasa takut terhadap AIDS atau penyakit menular seksual lainnya adalah alasan mereka mempertahankan ‘kesucian’ mereka. Sementara itu, Damanik (2006) mengungkap bahwa kebanyakan responden penelitiannya mungkin belum mampu menempatkan keperawanan dalam konteks dan proporsi sewajarnya, karena mereka mengatakan bahwa perempuan mutlak harus perawan hingga saatnya menikah (48,99%). Mutlak berarti sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal, ada banyak alasan lain dari hilangnya keperawanan, seperti sudah dipahami oleh sebagian lagi responden (51,95%).

Faktor keenam adalah faktor ras / suku / etnis. Crawford dkk. (2003) menjelaskan tentang sebuah studi yang dilakukan oleh Ward & Taylor (1994). Dalam studi tersebut, enam focus group dibentuk dan keenamnya adalah kumpulan pelajar dari grup etnis yang berbeda-beda, yaitu Vietnam, Portugis, African American, kulit putih, Haiti, dan Hispanik. Dari focus group discussion yang dilakukan pada semua grup itu, ditemukan bahwa para pelajar dari semua etnis memiliki cara pandang standar ganda terhadap seksualitas pria dan wanita. Namun, beberapa grup etnis menekankan pentingnya keperawanan sebelum pernikahan lebih dari grup etnis yang lain. Sementara itu, Ku dkk. (1998) menemukan bahwa perilaku seks anak muda dari ras kulit hitam tidak terpengaruh oleh adanya edukasi mengenai AIDS, padahal tampak

perubahan perilaku pada anak muda dari ras lain. Sedangkan pada penelitian Deardorff, Schann, Flores, & Ozer (2010), terungkap bahwa di Amerika Serikat, remaja perempuan Latin memiliki angka kehamilan 2,8 kali lebih tinggi daripada remaja kulit putih. Padahal, rata-rata usia di mana remaja Latin melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya justru lebih tua dibandingkan remaja kulit putih. Namun, remaja Latin cenderung untuk tidak memakai alat kontrasepsi ketika mereka mulai aktif secara seksual.

Faktor ketujuh adalah faktor keperjakaan. Sherwin & Corbett (1985) menulis bahwa responden penelitiannya yang mengaku masih perjaka cenderung lebih konservatif terhadap aktivitas seks di luar nikah dibandingkan responden yang sudah tidak perjaka.

c. Faktor-faktor dari biro jodoh yang diduga berhubungan dengan

permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

Faktor-faktor lainnya Penulis ambil dari data diri yang sering muncul dalam lima biro jodoh lokal yang meliputi tiga biro jodoh

online dan dua biro jodoh koran. Tiga biro jodoh online tersebut adalah www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, dan www.cybermateindonesia.com. Sementara, dua biro jodoh korannya adalah rubrik Pertemuan koran Kompas dan kolom Biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat. Faktor-faktor yang sering muncul tersebut adalah

www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas, kolom Biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), keadaan tinggal

(www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, kolom Biro

Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), kebiasaan merokok

(www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas),

status pernikahan (www.birojodohislami.com,

www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas, kolom Biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), usia (www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas, kolom biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), serta deskripsi diri. Untuk deskripsi diri, yang sering muncul adalah sifat humoris, sabar,

jujur, dan setia (www.birojodohislami.com,

www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas).

Dokumen terkait