• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMISIVITAS PRIA TERHADAP KEPERAWANAN WANITA LAJANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERMISIVITAS PRIA TERHADAP KEPERAWANAN WANITA LAJANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

PERMISIVITAS PRIA TERHADAP KEPERAWANAN

WANITA LAJANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

BERHUBUNGAN DENGANNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Ancilla Aisha Johanna

NIM: 079114138

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

 

(3)

iii

(4)

iv

 

HALAMAN MOTTO

“No matter how many mistakes you make or how slow you progress, you are

still way ahead of anyone who is not even trying.”

– Maria Christine Anggraeni Sadipun

Virginity is such a personal thing. You can't judge anyone on it. A lot of

young women feel they want to save themselves for the man who they

think they'll love forever.

– Joyce Brothers

“People with lost personalities will suffer a great deal more than those with 

lost virginities.”  

(5)

v

 

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Semua wanita yang cantik, pintar, dan kuat

di seluruh dunia, terutama yang paling saya

cintai, yaitu mama saya, Kiki Maria, yang

sepenuhnya mendukung saya untuk meraih

segala cita-cita dan selalu ada untuk saya

(6)

vi

(7)

vii

 

PERMISIVITAS PRIA TERHADAP KEPERAWANAN WANITA LAJANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

Ancilla Aisha Johanna

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang memiliki korelasi signifikan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang adalah suatu sikap atau kecenderungan pria untuk lebih terbuka dan membebaskan wanita untuk kehilangan keperawanannya sebelum ikatan pernikahan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya fenomena terkait dengan keperawanan wanita lajang yang membuat wanita, khususnya yang sudah tidak perawan, merasa tidak nyaman dengan status keperawanannya sendiri. Penulis pun menjadi tertarik untuk meneliti apa yang sebenarnya ada dalam pikiran masyarakat mengenai keperawanan wanita lajang, kemudian secara khusus meneliti apa saja yang diduga berhubungan dengan toleransi pria terhadap hal tersebut. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 110 orang untuk Kuesioner I dan 200 orang untuk Kuesioner II. Kuesioner I melibatkan subjek campur yaitu pria dan wanita, sedangkan Kuesioner II hanya ditujukan bagi subjek pria yang berusia minimal 19 tahun. Kedua kuesioner online tersebut

disebarkan ke subjek dari berbagai daerah di Indonesia menggunakan link dari program

GoogleDocs melalui promosi di Facebook, Twitter, dan Kaskus. Data penelitian dari Kuesioner I dianalisis menggunakan teknik PairedComparison. Sedangkan untuk Kuesioner II, menggunakan analisis regresi, uji-T, dan analisis varians, dibantu dengan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang akhirnya ditemukan memang berkorelasi signifikan dengan permisivitas pria adalah standar ganda (b = 0,158; p = 0,001), religiusitas (b = 0,120; p = 0,001), dan keperjakaan (p = 0,005).

(8)

viii

 

MEN’S PERMISSIVENESS TOWARDS THE VIRGINITY OF UNMARRIED WOMEN AND THE FACTORS RELATED TO IT

Ancilla Aisha Johanna

ABSTRACT

The aim of this study is to investigate the factors that have significant correlation with men’s permissiveness towards the virginity of unmarried women. Men’s permissiveness towards virginity of unmarried women is an attitude or a tendency of men to be more open and liberating for the women to lose their virginity before marriage. This research was motivated by a number of phenomena associated with the virginity of unmarried women which caused women, especially who are no longer virgins, to feel uncomfortable about their own virginity status. The Researcher became interested in studying what is actually inside the mind of the people in general about such thing, and then specifically in studying the factors that were assumed to be related to the tolerance of men towards the unmarried women’s virginity. The number of subjects of this study is 110 for Questionnaire I and 200 for Questionnaire II. Questionnaire I involved mixed subjects, men and women, whereas Questionnaire II was intended only for male subjects with 19 years old as the minimum age. Both online questionnaires were distributed to the subjects from various regions of Indonesia by using the link from GoogleDocs program through promotion on Facebook, Twitter, and Kaskus. The data from Questionnaire I was analyzed by using Paired Comparison technique, as for Questionnaire II, the data was analyzed by using regression analysis, T-test, and variance analysis, assisted by the program of SPSS 16.0 for Windows. The results of this research indicated the factors that are ultimately found to correlate significantly with men’s permissiveness are double standard (b = 0,158; p = 0,001), religiosity (b = 0,120; p = 0,001), and male virginity (p = 0,005).

(9)

ix

(10)

x

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat-Nya yang senantiasa

menyertai saya sehingga akhirnya saya berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan

baik.

Dalam proses panjang selama satu tahun merampungkan skripsi ini, Penulis

telah melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis hendak mengucapkan

terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan

kepada:

1. Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

2. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku dosen pembimbing

skripsi saya. “Terima kasih sudah sabar menghadapi dan membimbing saya

dengan segala ide saya yang sebelumnya tidak terarah, dan juga untuk semua

snack yang Bapak sediakan selama sesi bimbingan. Two words, YOU ROCK.”

3. Para dosen penguji saya: Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi; Bapak

Agung Santoso, S.Psi., M.A.; dan Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum,

M.App.Psych.

4. Bapak Agung Santoso, S.Psi., M.A., atas bantuannya dalam menjelaskan

(11)

xi

 

5. Mbak Elisabeth Haksi Mayawati, atas bantuannya dalam meng-input data ke dalam program SPSS 16.0 for Windows dan penjelasannya mengenai bagaimana menulis pembahasan penelitian yang baik.

6. Segenap dosen dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma, khususnya Mas Gandung, Pak Gik, Mbak Nanik, Mas Doni, Mas

Muji, yang telah membantu kelancaran administrasi skripsi saya.

7. Orang tua saya, Mama Kiki, Papa Abri, Ayah Bobby, dan Ibu Rani, yang

telah membesarkan saya dan mencintai saya setulus hati. “I love you all.” 8. Ketiga adik saya, Ignatz, Abby, dan Bia, yang telah membuat saya merasa

bahwa saya adalah seorang kakak yang beruntung. “I love you, bros and sis!” 9. Nenek saya, Mama Uzie, yang telah menjadi salah satu bagian terbesar dalam

hidup saya. “I will always love and miss you.

10. Semua anggota keluarga besar yang telah mewarnai hidup saya.

11. Isabella Floriana, teman terbaik saya selama menjalani perkuliahan di kampus

tercinta ini. “Thanks buat semua suka-duka yang kita lewati bareng! Semua pasti ada hikmahnya, beb. Always remember that we are beautiful, smart, and strong at the same time.”

12. Brigitta Santa dan Fransiska Maharani, dua teman seangkatan saya yang

sudah mengajari saya program SPSS 16.0 for Windows.

13. Semua teman di Fakultas Psikologi angkatan 2007, atas segala kenangan

(12)

xii

 

14. Maria Christine Anggraeni Sadipun dan Andre Wijaya Binarto, kedua sahabat

terbaik saya yang paling mengerti dan menerima saya luar-dalam. “Thanks for all the good and bad times we spent together, and for the support and the spirit you guys always gave me. I love you both.

15. Joaquin Angel Oliveras Vega, yang telah memotivasi saya untuk memulai

skripsi ini dan senantiasa mendukung saya selama proses penyelesaiannya.

Gracias por tu apoyo, tu cuidado, tu paciencia... y sobre todo, tu amor. Tuvimos nuestros momentos buenos y malos... pero la razón porque te amo es todo lo que hemos pasado juntos...

16. Teman-teman dari Facebook, Twitter, dan Kaskus yang telah bersedia

menjadi subjek penelitian saya. “Guys, without you, my research is nothing. Thanks a lot!

17. Teman-teman yang sudah ikut membantu menyebarkan kuesioner online

saya, khususnya Mas Felix, Bang Tama, dan Adit.

18. Teman-teman dari Seems Today yang sabar menunggu saya menyelesaikan

skripsi.

19. Semua pihak terkait yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan

skripsi ini, namun kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan

(13)

xiii

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 11

(14)

xiv

 

1. Pengertian keperawanan ... 11

a. Keperawanan secara fisik ... 12

b. Keperawanan secara psikologis ... 14

2. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 14

a. Pengertian permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang ... 14

b.Faktor-faktor dari jurnal ilmiah yang diduga berhubungan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 15

c. Faktor-faktor dari biro jodoh yang diduga berhubungan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 22

B. Pria Dewasa Awal ... 23

1. Pengertian ... 23

a. Perkembangan fisik pada masa dewasa awal ... 24

b.Perkembangan kognitif pada masa dewasa awal ... 25

c. Perkembangan sosio-emosional pada masa dewasa awal ... 27

2. Batasan ... 28

C. Hipotesis ... 28

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

(15)

xv

 

B. Identifikasi Variabel ... 31

1. Variabel bebas (independent) ... 31

2. Variabel tergantung (dependent) ... 31

C. Definisi Operasional ... 31

1. Standar ganda ... 31

2. Daerah asal ... 32

3. Status sosio-ekonomi ... 33

4. Religiusitas ... 33

5. Pengetahuan tentang hal-hal seputar seks ... 34

6. Ras / suku / etnis ... 34

7. Keperjakaan ... 35

8. Agama / kepercayaan ... 35

9. Keadaan tinggal ... 35

10.Kebiasaan merokok ... 36

11.Status pernikahan... 36

12.Usia ... 36

13.Sifat humoris ... 37

14.Sifat sabar ... 37

15.Sifat jujur ... 37

16.Sifat setia ... 38

17.Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 38

(16)

xvi

 

1. Populasi ... 39

2. Sampel ... 39

E. Metode Pengumpulan Data ... 40

1. Survei Awal ... 40

2. Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang ... 40

3. Kuesioner II: Pandangan Pria Terhadap Keperawanan Wanita Lajang ... 41

F. Validitas Alat Ukur ... 42

G. Teknik Analisis ... 43

1. Survei Awal ... 43

2. Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang ... 43

3. Kuesioner II: Pandangan Pria Terhadap Keperawanan Wanita Lajang ... 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Pelaksanaan Penelitian ... 46

B. Hasil Penelitian ... 47

1. Hasil penelitian dari Survei Awal ... 47

2. Hasil penelitian dari Kuesioner I ... 49

3. Hasil penelitian dari Kuesioner II ... 50

a. Variabel tergantung ... 50

b.Variabel bebas ... 52

(17)

xvii

 

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(18)

xviii

 

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nilai / bobot jenis-jenis keperawanan wanita lajang ... 49

Tabel 2 Permisivitas pria pada wanita lajang untuk dijadikan istri berdasarkan jenis keperawanannya ... 51

Tabel 3 Uji normalitas untuk 6 variabel dengan data interval ... 53

Tabel 4 Analisis regresi untuk 6 variabel dengan data interval ... 53

Tabel 5 Uji normalitas variabel keperjakaan ... 55

Tabel 6 Uji-T variabel keperjakaan ... 55

Tabel 7 Uji normalitas variabel sifat humoris ... 56

Tabel 8 Uji-T variabel sifat humoris ... 56

Tabel 9 Uji normalitas variabel sifat sabar ... 57

Tabel 10 Uji-T variabel sifat sabar ... 57

Tabel 11 Uji normalitas variabel sifat jujur ... 58

Tabel 12 Uji-T variabel sifat jujur ... 58

Tabel 13 Uji normalitas variabel sifat setia ... 59

Tabel 14 Uji-T variabel sifat setia ... 59

Tabel 15 Uji normalitas variabel daerah asal (1 = Perkotaan; 2 = Pinggiran kota; 3 = Pedesaan / perkampungan) ... 60

Tabel 16 Analisis varians variabel daerah asal ... 60

(19)

xix

 

Tabel 18 Analisis varians variabel ras / suku / etnis ... 62

Tabel 19 Uji normalitas variabel agama / kepercayaan (1 = Islam; 2 = Kristen Protestan; 3 = Kristen Katolik; 4 = Hindu; 5 = Buddha; 6 = Kong Hu Cu; 7 = Tidak menganut agama /

kepercayaan apapun; 8 = Lainnya) ... 62

Tabel 20 Analisis varians variabel agama / kepercayaan ... 63

Tabel 21 Uji normalitas variabel keadaan tinggal (1 = Tinggal di rumah sendiri; 2 = Tinggal dengan orang tua; 3 = Tinggal di kos; 4 =

Tinggal bersama keluarga lain; 5 = Lainnya) ... 64

Tabel 22 Analisis varians variabel keadaan tinggal ... 64

Tabel 23 Uji normalitas variabel status pernikahan (1 = Belum menikah;

2 = Menikah; 3 = Duda) ... 65

(20)

xx

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang ... 84

Lampiran 2: Kuesioner II: Pandangan Pria Terhadap Keperawanan Wanita

Lajang ... 97

Lampiran 3: Data Kuesioner I ... 110

(21)

1

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketika seseorang di Indonesia masih berada dalam status lajang atau

belum pernah menikah, saat itulah keperawanan sering kali dipertanyakan. Di

negeri ini, keperawanan pada wanita seringkali dilambangkan sebagai

“mahkota” atau “harta yang paling berharga” atau “tanda kesucian” atau

“tanda kesetiaan pada suami” (Sarwono, 1989). Karena itu, hubungan seks

sering juga disebut sebagai hubungan suami-istri. Selain itu, Indonesia adalah

negara yang mengakui enam agama, salah satunya adalah Islam. Agama ini

dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia (85,2%), dan ajarannya

mengatakan bahwa hubungan seks hanya dibenarkan jika dilakukan oleh

pasangan suami-istri yang sah (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia,

http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_seksual). Keadaan ini menciptakan

pemikiran bahwa hubungan seks adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh

pasangan yang sudah menikah.

Namun, pada kenyataannya, tidak semua orang di Indonesia yang

telah melakukan hubungan seks sudah terikat dalam pernikahan. Berdasarkan

survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas

PA) di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2007, sebesar 93,7% remaja

(22)

pernah melakukan ciuman, petting, dan oral sex. Sementara itu, 62,7% sudah tidak perawan, dalam arti pernah melakukan sexual intercourse

(http://berita.liputan6.com/read/302884/Komnas.PA.212.Persen.Remaja.Pern

ah.Aborsi). Persentase ini didapat dari para remaja SMP yang usianya

berkisar antara 11-15 tahun. Rentang usia tersebut belum dianggap legal

untuk menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa usia minimal untuk menikah

adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Selain itu, survei

yang dilakukan Asia-Pacific Council on Contraception dan PT Bayer

Indonesia pada Juli 2011 menunjukkan bahwa hampir 60% remaja merasa

saling mencintai adalah alasan cukup untuk berhubungan seks. Survei ini

dilakukan di sembilan negara yaitu Indonesia, China, Korea Selatan,

Thailand, Singapura, India, Pakistan, Taiwan, dan Malaysia. Jumlah

responden adalah 100 orang pria dan 100 orang wanita

(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/10/08/lsr5tr-astaghfirullahsebagian-besar-remaja-perkotaan-pernah-berhubungan-seks).

Oleh karena itu, hal ini mengindikasikan bahwa di Indonesia hubungan seks

juga sudah cukup akrab dengan kehidupan sehari-hari orang yang belum

menikah.

Sementara itu, Dr. Boyke Dian Nugraha, SpOG MARS pernah

mengadakan survei tentang harapan pria Indonesia terhadap wanita yang akan

menjadi istri mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa setidaknya 70-80% pria

(23)

mereka

(http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/02/06/kembali-perawan-setelah-punya-anak/). Selain itu, hasil polling www.hanyalelaki.com menunjukan 54,79% dari 303 responden menganggap keperawanan penting

sekali (http://www.seksualitas.net/2-cara-mengembalikan-keperawanan.htm).

Sebuah survei dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) yang dilakukan dalam kurun waktu 2010 memperoleh data

mengenai persentase remaja perempuan lajang di Indonesia yang sudah tidak

perawan karena melakukan hubungan seks pra-nikah. Berdasarkan survei

tersebut, 51 dari 100 remaja perempuan yang tinggal di wilayah Jabodetabek

telah kehilangan keperawanannya. Selain di Jabodetabek, diperoleh juga data

di kota-kota besar lain, seperti Surabaya (54%), Medan (52%), Bandung

(47%), dan Yogyakarta (37%)

(http://megapolitan.kompas.com/read/2010/11/28/1353182/Separuh.Gadis.Ja

bodetabek.Tidak.Perawan).

Setelah mengetahui data-data tersebut, tampak adanya

ketidakseimbangan antara harapan pria mengenai keperawanan wanita

dengan situasi keperawanan para wanita itu sendiri di Indonesia. Hal ini

menjelaskan mengapa beberapa kasus di bawah ini cukup marak di Indonesia.

Yang pertama adalah fenomena operasi keperawanan atau dalam

bahasa kedokteran disebut dengan Laser Vaginal Rejuvenation (LVR). LVR terbagi menjadi 3 jenis, yaitu hymenoplasty (operasi selaput dara), labioplasty

(rekonstruksi labia mayora dan minora untuk estetika), dan perinioplasty

(24)

(http://homecarejogja.com/operasi-keperawanan-atau-laser-vaginal-rejuvenation/). Tidak ada cara untuk mengetahui apakah seorang wanita

sudah pernah melakukan hubungan seks atau belum, kecuali wanita itu

sendiri mengakuinya dengan jujur. Meskipun begitu, banyak orang yang

masih beranggapan bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui hal tersebut

adalah dengan melihat apakah sang wanita mengalami pendarahan di saat

melakukan hubungan seks

(http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/28/07383455/Duh.Ragu.Menikah

.karena.Tak.Perawan.Lagi). Pendarahan yang dimaksud di sini adalah

robeknya selaput dara atau hymen dalam vagina perempuan yang kemudian menimbulkan keluarnya darah dari lubang senggama. Walau sesungguhnya,

di saat seorang wanita mencapai usia pubertas, selaput dara menjadi elastis.

Hanya 43% wanita melaporkan pendarahan ketika mereka pertama kali

melakukan senggama (http://id.wikipedia.org/wiki/Selaput_dara). Menurut

Dr. Budi ML, SpOG, dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Jatisampurna, selaput

dara kondisinya berbeda antara satu wanita dengan lainnya. Ada selaput dara

yang tipis sehingga lebih mudah robek. Ada pula selaput dara yang sangat

kuat atau liat sehingga tidak mudah robek. Bukan hanya senggama yang

dapat menyebabkan robeknya selaput dara. Aktivitas olahraga seperti senam,

benturan karena jatuh, penggunaan tampon saat menstruasi, dan lainnya juga

bisa menyebabkan selaput dara robek

(http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/03/10244121/Selaput.Dara.Buka

(25)

hymenoplasty yang merupakan jenis LVR yang diminati para wanita di Indonesia karena dapat mengembalikan selaput dara yang telah robek

sebelumnya.

Menurut seksolog Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, sekarang ini

memang banyak wanita ingin melakukan hymenoplasty dengan alasan yang beragam, salah satunya adalah supaya dianggap masih perawan ketika

menikah. Hal ini dibenarkan oleh Dr. Boyke yang juga membuka praktek

hymenoplasty. Beliau mengatakan bahwa persepsi kebanyakan pria yang sangat mementingkan keperawanan calon istrinya sebelum pernikahan

membuat para wanita di Indonesia yang sudah tidak perawan menjadi

khawatir. Tidak heran jika kemudian banyak wanita memilih untuk menjalani

hymenoplasty. Dengan hymenoplasty, otot-otot keperawanan menjadi kembali seperti semula: kencang dan bisa mengeluarkan darah layaknya hubungan

seks pertama, sehingga para suami itu akan percaya bahwa para wanita itu

mempertahankan keperawanannya sampai pernikahan. Menurut Dr. Boyke,

pasien yang diterimanya kebanyakan remaja yang jadi korban pemerkosaan

atau remaja yang ingin bertobat dari pergaulan seks bebas yang kemudian

ingin menikah. Beliau juga menjelaskan, para dokter yang menangani

hymenoplasty di Indonesia sepakat tidak mau melayani pasien yang tidak

didampingi orangtua

(26)

Hymenoplasty juga memiliki beberapa efek samping, antara lain dapat mengakibatkan pembengkakan dan rasa sakit pada vagina, serta bisa

menyebabkan demam, infeksi, dan gangguan saraf pada alat vital wanita

tersebut

(http://www.whereismydoctor.com/guides/plastic-surgery/genital-surgery/hymenoplasty_revirginization;

http://www.onlinesurgery.com/article/potential-side-effects-of-hymenoplasty.html). Selain itu, biaya operasi ini yang juga tidak termasuk

murah. Sebagai contoh, biaya hymenoplasty di Rumah Sakit Happyland Yogyakarta berkisar antara Rp 8.500.000,- sampai Rp 10.000.000,-.

Selain hymenoplasty, ternyata ada lagi cara lain untuk bisa menjadi perawan, yaitu dengan cara menggunakan selaput dara palsu. Alat ini

belakangan marak digunakan di Eropa, Asia, hingga ke Timur Tengah. Salah

satu merek selaput dara palsu itu adalah Gigimo. Selaput dara palsu buatan China tersebut diyakini bisa membuat vagina wanita layaknya perawan dan

bisa mengeluarkan cairan seperti darah perawan. Alat itu sudah masuk ke

Indonesia dengan cara diselundupkan

(http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/02/06/kembali-perawan-setelah-punya-anak/).

Masalah hilangnya keperawanan wanita ini juga menimbulkan

perasaan depresi bagi banyak wanita. Pusat Pelatihan Hypnosis &

Hypnotherapy, Indonesian Hypnosis Association di Jepara, Jawa Tengah,

(27)

(http://www.hypnosis45.com/tidak_perawan.htm). Wanita memang memiliki

rasa takut yang lebih besar dibandingkan laki-laki dalam mengungkapkan

bahwa keperawanannya telah hilang. Hal ini dianggap dapat menuai opini

negatif dari publik dan berpengaruh buruk terhadap pernikahan mereka di

masa depan (Papalia & Olds, 1986).

Sebuah percakapan personal juga pernah dilakukan Penulis dengan

seorang teman perempuan, sebut saja Dominique. Dominique bercerita bahwa

ia pernah berada dalam sebuah hubungan cinta yang destruktif dengan

seorang pria ketika ia berumur 20 tahun. Dikatakan destruktif karena pacar

Dominique ini sering melakukan pelecehan terhadap dirinya, baik secara

seksual, fisik, psikis, maupun ekonomi. Lelaki ini juga ternyata diam-diam

memiliki pacar lain selain Dominique, yang menunjukkan bahwa lelaki ini

tidak setia dan tidak bisa dipercaya. Namun, walau sudah menyadari

keburukan hubungannya dengan laki-laki ini, Dominique sempat mengalami

masa-masa di mana dia tetap bertahan dengannya karena mempertimbangkan

keperawanannya yang sudah diberikannya terhadap sang pacar. Dominique

berpikir bahwa tidak akan ada laki-laki lain yang mau menjadi pacar, apalagi

suaminya, jika ia putus dengan pacarnya saat itu. Hal ini disebabkan

Dominique yakin pria-pria lain tidak akan mau menerima dirinya yang sudah

tidak perawan, sehingga akhirnya ia merasa harus bertahan dengan pacarnya

itu.

Segala isu itu membuat para wanita lajang tetapi sudah tidak perawan

(28)

khususnya dari laki-laki yang akan menjadi pendamping hidup mereka.

Tentunya hal itu tidak benar karena ada sejumlah pria yang tidak menuntut

keperawanan calon istri mereka berdasarkan survei yang dilakukan Dr. Boyke

(http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/02/06/kembali-perawan-setelah-punya-anak/). Setiap individu memiliki permisivitas yang

berbeda-beda terhadap segala hal, tergantung oleh berbagai faktor yang berhubungan

dengan diri masing-masing individu tersebut. Oleh karena itu, Penulis ingin

meneliti faktor-faktor yang diduga berkorelasi dengan permisivitas pria

terhadap keperawanan wanita lajang.

Penelitian yang serupa pernah dilakukan cukup banyak peneliti lain.

Namun, sejauh yang Penulis temukan, belum ada yang benar-benar fokus

meneliti faktor apa saja pada pria yang berkorelasi dengan permisivitasnya

terhadap keperawanan wanita lajang, khususnya di Indonesia. Penulis akan

menjadikan beberapa penelitian lain tersebut sebagai referensi dalam

menentukan faktor apa saja yang diduga berkorelasi dengan permisivitas pria

terhadap keperawanan wanita lajang. Faktor-faktor itu adalah standar ganda,

daerah asal, status sosio-ekonomi, religiusitas, pengetahuan tentang hal-hal

seputar seks, ras / suku / etnis, dan keperjakaan.

Selain dari penelitian-penelitian ilmiah, Penulis juga akan menguji

beberapa faktor yang diambil dari data diri yang sering muncul di biro jodoh

koran maupun online. Rubrik atau situs semacam ini cukup laris bagi kalangan masyarakat Indonesia yang ingin mencari pasangan, dilihat dari

(29)

yang memiliki 5752 anggota pria dan 3052 anggota wanita

(http://birojodohkristen.com/). Itu baru jumlah pengguna satu situs saja dari

sekian banyak situs biro jodoh yang muncul di Google. Maka itu, Penulis

ingin meneliti permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang yang dimiliki

pria ditinjau dari hal-hal yang sering dicantumkan pada profil biro jodoh. Hal

ini diharapkan akan memudahkan para wanita yang sedang mencari calon

pendamping hidup untuk melihat secara implisit harapan pria terhadap

keperawanan mereka dari membaca karakteristik-karakteristik diri yang

mereka cantumkan itu. Dari data beberapa biro jodoh yang Penulis teliti,

disimpulkan bahwa karakteristik yang paling sering muncul pada profil pria

dalam biro jodoh adalah agama / kepercayaan, keadaan tinggal, kebiasaan

merokok, status pernikahan, usia, serta deskripsi diri. Untuk deskripsi diri,

yang sering muncul adalah sifat humoris, sabar, jujur, dan setia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang

ingin diteliti, yaitu faktor apa sajakah yang memiliki korelasi signifikan

dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang?

C. Tujuan Penelitian

Dalam setiap penelitian, baik penelitian ilmiah maupun non ilmiah

(30)

ingin dicapai adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang memiliki korelasi

signifikan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, manfaat yang diharapkan

adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan informasi mengenai faktor yang berkorelasi signifikan

dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang.

b. Menambah khasanah dalam ilmu pengetahuan, khususnya bidang

psikologi sosial.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat berguna untuk

membantu mereka mengetahui faktor apa saja yang berhubungan

dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita.

b. Secara khusus, bagi wanita lajang, dapat memperkirakan pria mana

yang memandang keperawanan sebagai hal yang mutlak perlu

dipertahankan sebelum pernikahan dan mana yang tidak dengan

melihat faktor yang berkorelasi dengan permisivitas mereka, sehingga

dapat lebih terarah dalam mencari pasangan yang sesuai kondisi serta

keinginan wanita itu sendiri.

c. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan dan wawasan sehingga

(31)

11

 

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keperawanan

1. Pengertian keperawanan

Secara arti kata, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998),

keperawanan adalah perihal perawan, kesucian atau kemurnian seorang

gadis, dan kegadisan. Sedangkan perawan, sebagai kata dasarnya, diartikan

sebagai anak perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki.

Cortese (1996, dalam Sari, 2003) mengungkapkan bahwa

mendefinisikan keperawanan bukanlah hal yang mudah. Salah satu hal

yang menyulitkan pendefinisian tersebut adalah bila hal tersebut terkait

dengan homoseksualitas, di mana aktivitas seksual tidak dilakukan dengan

cara yang umum seperti dalam pola heteroseksual.

Sementara dalam penelitian yang dilakukan Silva, Scensul, dan

Ratnayake (2000, dalam Widiarto, 2005) di Sri Lanka, keperawanan

cenderung diartikan secara fisiologis sebagai keutuhan selaput dara atau

hymen pada saat hubungan seks pertama kali terjadi, dan pada wanita hal ini diyakini harus terjadi pada saat pernikahan. Dalam penelitian tersebut,

Silva dkk. melakukan wawancara terhadap para responden dan meminta mereka mendefinisikan keperawanan. Dari wawancara tersebut, terangkum

(32)

aspek biologis, dan aspek perilaku. Aspek sosial mengacu pada

keperawanan sebagai alat untuk mengukur kesucian seorang wanita.

Aspek biologis mengarah pada hal-hal yang bersifat fisik, misalnya bagian

keperawanan diukur dari keutuhan selaput dara dan pendarahan sebagai

pertanda hilangnya keperawanan. Aspek perilaku lebih memandang

keperawanan dari segi perilaku menjaga dan mempertahankan selaput dara

dengan tidak melakukan hubungan seksual.

Dari survei awal yang dilakukan Penulis dengan para responden

melalui personalmessage Facebook, ditemukan juga beragam definisi dari keperawanan. Dari semua jawaban yang terkumpul, disimpulkan bahwa

ada dua macam keperawanan, yaitu perawan secara fisik dan perawan

secara psikologis. Perawan secara fisik adalah wanita yang masih memiliki

selaput dara, sementara perawan secara psikologis adalah wanita yang

tidak pernah melakukan aktivitas seksual yang meliputi sexual intercourse,

oral sex, anal sex, dan petting.

Dari berbagai definisi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa secara

garis besar keperawanan memang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu

keperawanan secara fisik dan keperawanan secara psikologis.

a. Keperawanan secara fisik

Keperawanan secara fisik adalah keperawanan yang ditandai

(33)

Selaput dara atau hymen adalah suatu lipatan selaput lendir yang menutupi pintu liang senggama (introitus vagina), bentuknya biasanya bulat sebagaimana bentuk liang vagina, tetapi ada juga yang seperti

bulan sabit (bentuk semilunar), bahkan ada yang mempunyai Septum

(pemisah). Konsistensi selaput dara pun berbeda-beda, ada yang kaku

sampai yang lunak sekali, letaknya hanya sekitas 1-2 cm dari bibir

vagina. Lubang selaput dara yang masih utuh umumnya hanya bisa

dilalui oleh jari kelingking.

Umumnya selaput dara robek ditandai dengan keluarnya darah.

Tapi sebagian kecil wanita justru tidak mengeluarkan darah, ini

disebabkan karena sesungguhnya selaput dara itu sangat sedikit

mengandung pembuluh darah. Biasanya semakin tipis selaput dara,

darah yang keluar juga sangat sedikit sehingga tidak kelihatan.

Beberapa selaput dara cukup elastis untuk mengizinkan penis

masuk tanpa merobek, atau hanya merobek sebagian kecil dari selaput

dara. Ini biasanya memang benar jika perobekan pertama terjadi secara

bertahap dengan jari tangan atau obyek lainnya selama periode tertentu.

Sisa dari selaput dara biasanya masih ada sampai seorang wanita

melahirkan bayinya secara normal

(http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=978&tbl=biaswani

(34)

b. Keperawanan secara psikologis

Keperawanan secara psikologis adalah keperawanan yang

ditandai dengan belum pernahnya seorang wanita melakukan hubungan

seks yang meliputi sexual intercourse, oral sex, anal sex, dan petting.

Sexual intercourse biasanya mengacu pada tindakan di mana penis laki-laki memasuki vagina wanita untuk tujuan kenikmatan

seksual atau reproduksi

(http://en.wikipedia.org/wiki/Sexual_intercourse).

Oral sex adalah aktivitas seksual yang melibatkan stimulasi dari alat kelamin pasangan seks dengan menggunakan mulut, lidah, gigi,

atau tenggorokan (http://en.wikipedia.org/wiki/Oral_sex).

Anal sex adalah tindakan seks di mana penis dimasukkan ke dalam anus pasangan seksual (http://en.wikipedia.org/wiki/Anal_sex).

Petting, atau juga dikenal sebagai outercourse, adalah hubungan seks tanpa penetrasi vagina, anal, atau oral

(http://en.wikipedia.org/wiki/Non-penetrative_sex).

2. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

a. Pengertian permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang

Hilangnya keperawanan wanita, baik secara fisik maupun

psikologis, yang belum pernah menikah sering memicu terjadinya

berbagai problema, seperti yang sudah dicontohkan pada bab

(35)

dengan permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang. Dalam

penelitian ini, khususnya permisivitas kaum pria.

Kata permisif memiliki idiom dengan kata serba boleh

(Sarwono, 1989). Permisivitas sendiri adalah suatu sikap atau

karakteristik seseorang yang cenderung liberal dan memperbolehkan

kebebasan perilaku dan sikap kepada orang lain yang ia punyai

wewenang (Reber, 1995).

Dari definisi permisivitas tersebut, maka permisivitas terhadap

keperawanan wanita lajang dapat disimpulkan sebagai suatu sikap atau

kecenderungan untuk lebih terbuka dan membebaskan wanita untuk

kehilangan keperawanannya sebelum ikatan pernikahan.

b. Faktor-faktor dari jurnal ilmiah yang diduga berhubungan dengan

permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

Dari berbagai jurnal ilmiah yang Penulis jadikan referensi

penelitian ini, diduga ada bermacam-macam faktor yang berhubungan

dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang. Faktor

yang pertama adalah faktor standar ganda. Gonzáles-López (2004)

mengatakan bahwa persepsi seorang ayah berkebangsaan Meksiko

terhadap keperawanan anak perempuannya diwarnai/dipengaruhi

budaya maskulin dan patriarki di daerah asalnya. Sementara menurut

Berggren, Ahmed, Hernlund, Johansson, Habbani, & Edberg (2006),

(36)

mereka yang mengharuskan mereka selalu menunjukkan maskulinitas

dalam kehidupan seksual mereka, sementara para wanita

disosialisasikan untuk tidak mengekspresikan hasrat seksual mereka.

Isu standar ganda seperti ini juga dinyatakan dalam penelitian

Muehlenhard & Cook (1988), bahwa standar ganda di Amerika Serikat

menuntut wanita untuk tidak kehilangan keperawanannya sebelum

pernikahan, sementara pria bukan hanya diperbolehkan melakukannya,

tapi bahkan dituntut untuk kehilangan keperjakaannya sebelum

menikah. Namun, penelitian Damanik (2006) mengatakan hal yang lain,

bahwa sebagian besar responden yang notabene adalah orang Indonesia

telah menyadari bahwa tuntutan untuk tidak berhubungan seks sebelum

menikah seharusnya diberlakukan seimbang untuk laki-laki dan

perempuan. Terbukti, bahwa persentase responden yang menganggap

perempuan harus perawan hingga saatnya menikah (82,58%) hampir

seimbang dengan responden yang merasakan laki-laki juga mesti

perjaka sebelum menikah (76,35%). Sedangkan Topan (1995)

mengungkapkan bahwa walau sesungguhnya pria dan wanita di

komunitas Swahili di Afrika sama-sama diharapkan untuk menghindari

seks sebelum pernikahan, tetap saja budaya ini terfokus pada

keperawanan wanitanya.

Sementara itu, Sa’ar (2004) menemukan bahwa wanita

Israel-Palestina dituntut untuk menjaga keperawanannya secara fisik maupun

(37)

yang menjadi tradisi di sana. Crawford & Popp (2003) mengutip bahwa

keperawanan para wanita Hispanik atau keturunan Latin di Amerika

Serikat yang belum menikah bersifat imperatif atau mutlak diperlukan,

dikarenakan hal ini menunjukkan kehormatan keluarga yang

membesarkan wanita tersebut. Kurang lebih sama dengan apa yang

dikatakan Derné (1994), yaitu bahwa para ayah di India sangat

memonitor perilaku anak perempuan mereka yang belum menikah,

demi menjaga agar keperawanan sang anak yang diyakini sebagai

kehormatan keluarga mereka tetap utuh sebelum hari pernikahan.

Keperawanan, menurut Castelli (1986), dikatakan sebagai alat

ukur untuk menilai seorang wanita di zaman Roman yang menganut

tradisi maskulinitas. Sementara itu, menurut Leclerc-Madlala &

Leclerc-Madlala (2003), isu mengenai keperawanan wanita lebih marak

dibicarakan di masyarakat yang menganut garis keturunan patrilineal.

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Forster (2005), peraturan

mengenai seksualitas dibuat untuk memperkuat sistem patriarki.

Trisnawati & Wulanyani (2006) juga menyatakan bahwa persepsi

remaja Bali tentang kehamilan di luar nikah sangat dipengaruhi oleh

nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya.

Faktor kedua yang diduga berhubungan dengan permisivitas pria

terhadap keperawanan wanita lajang adalah faktor daerah asal.

Menurut Gonzáles-López (2004), para ayah yang berasal dari daerah

(38)

penting, sementara para ayah yang berasal dari daerah pedesaan justru

sebaliknya. Sementara itu, Amuchástegui (1999) menyatakan bahwa

penerimaan masyarakat Meksiko terhadap kondisi keperawanan

seorang wanita bervariasi, tergantung pada daerah asal mereka. Wanita

yang berasal dari daerah pedesaan akan lebih menjaga keperawanannya

sebelum menikah dibandingkan wanita dari daerah perkotaan. Bila

seorang wanita desa pindah ke kota besar, pemikirannya terhadap seks

akan lebih terbuka, tetapi dia cenderung akan tetap merasa bersalah jika

sampai melakukan hubungan seks di luar nikah karena merasa telah

menodai norma di daerah asalnya. Sama halnya seperti di Meksiko,

berdasarkan penelitian Knodel, Low, Saengtienchai, & Lucas (1997),

persepsi masyarakat Thailand terhadap keperawanan lebih konservatif

atau tidak permisif di daerah rural dibandingkan di daerah urban.

Sedangkan Hill, Cleland, & Ali (2004) menemukan fakta bahwa

kecenderungan pria untuk melakukan hubungan seks di luar nikah lebih

tinggi 3 kali lipat di bagian utara Brazil dibandingkan di bagian selatan

atau tengah negara tersebut.

Faktor ketiga adalah faktor sosio-ekonomi. Faktor ini meliputi

strata sosial dan kondisi finansial seseorang. Selain oleh budaya

maskulin dan patriarki, Gonzáles-López (2004) juga mengatakan bahwa

persepsi seorang ayah terhadap keperawanan anak perempuannya

diwarnai/dipengaruhi oleh faktor kesenjangan sosio-ekonomi di daerah

(39)

sosio-ekonomi sebuah keluarga di Jawa sangat relevan dengan pernikahan

anak perempuan mereka. Sementara itu, Forster (2005) menyebutkan

bahwa peraturan mengenai seksualitas juga dibuat untuk mencegah

terjadinya ketidakstabilan secara finansial dalam sebuah keluarga. Pada

penelitian Schlegel (1991), dikatakan bahwa masyarakat yang

melakukan pertukaran hadiah atau mas kawin antara keluarga mempelai

wanita dan mempelai pria cenderung memiliki ekspektasi yang lebih

tinggi terhadap keperawanan sang mempelai wanita. Masyarakat yang

melakukan tradisi pertukaran mas kawin ini adalah masyarakat dari

kalangan atas. Sementara masyarakat yang tidak melakukan tradisi ini,

yang notabene adalah kalangan menengah ke bawah, cenderung tidak

begitu mementingkan keperawanan sang mempelai wanita. Hasil

penelitian Sari (2003) menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap

terhadap keperawanan antara wanita dengan kelas sosial ekonomi atas,

menengah, dan bawah. Perbedaan tersebut secara signifikan

ditunjukkan oleh kelas sosial bawah terhadap kelas atas maupun

terhadap kelas menengah, yaitu lebih tidak permisif terhadap seks

pra-nikah. Trisnawati dkk. (2006) juga mengatakan bahwa ada hubungan

yang kuat antara seksualitas, khususnya kehamilan di luar nikah,

dengan kasta.

Untuk faktor keempat adalah faktor religiusitas. Renne (1993)

menemukan bahwa beberapa wanita Nigeria yang diwawancara untuk

(40)

untuk dipertahankan sebelum menikah karena itulah yang diajarkan

dalam Kristianitas. Sama dengan apa yang ditemukan Castelli (1986)

dalam penelitiannya. Para wanita yang tidak permisif ini sangat

mengikuti ajaran agama yang mereka anut. Begitu pula yang dikatakan

Sa’ar (2004) dan Topan (1995), bahwa masyarakat Arab dan Swahili

cenderung tidak permisif terhadap aktivitas seks di luar nikah karena

ajaran agama Islam yang melarang hal tersebut. Hill dkk. (2004)

menyebutkan bahwa pria Brazil yang menganut agama evangelical

cenderung melakukan seks di luar nikah lebih sedikit dibandingkan pria

yang tidak menganut agama apapun. Penelitian Ku, Sonenstein,

Lindberg, Bradner, Boggess, & Pleck (1998) mengungkap bahwa

semakin religius seseorang, maka ia akan semakin tidak permisif dan

tidak menyetujui hubungan seks pra-nikah. Sebuah kutipan dari

penelitian Bearman & Brückner (2001) juga mengatakan bahwa remaja

yang religius cenderung untuk terlibat dalam hubungan seks pra-nikah

lebih terlambat daripada remaja yang tidak religius.

Selanjutnya, yang kelima adalah faktor pengetahuan tentang

hal-hal seputar seks. Leclerc-Madlala dkk. (2003) mengatakan bahwa

ketertarikan publik terhadap isu keperawanan wanita lebih banyak

terlihat atau muncul di negara-negara yang bergumul dengan angka

penderita HIV dan AIDS yang tinggi. Menurut Ku dkk. (1998), edukasi

mengenai AIDS juga terkait dengan turunnya aktivitas seksual pada

(41)

para responden yang menyatakan diri mereka masih perawan

menjelaskan bahwa rasa takut terhadap AIDS atau penyakit menular

seksual lainnya adalah alasan mereka mempertahankan ‘kesucian’

mereka. Sementara itu, Damanik (2006) mengungkap bahwa

kebanyakan responden penelitiannya mungkin belum mampu

menempatkan keperawanan dalam konteks dan proporsi sewajarnya,

karena mereka mengatakan bahwa perempuan mutlak harus perawan

hingga saatnya menikah (48,99%). Mutlak berarti sesuatu yang tak bisa

ditawar-tawar lagi. Padahal, ada banyak alasan lain dari hilangnya

keperawanan, seperti sudah dipahami oleh sebagian lagi responden

(51,95%).

Faktor keenam adalah faktor ras / suku / etnis. Crawford dkk.

(2003) menjelaskan tentang sebuah studi yang dilakukan oleh Ward &

Taylor (1994). Dalam studi tersebut, enam focus group dibentuk dan keenamnya adalah kumpulan pelajar dari grup etnis yang berbeda-beda,

yaitu Vietnam, Portugis, African American, kulit putih, Haiti, dan Hispanik. Dari focus group discussion yang dilakukan pada semua grup itu, ditemukan bahwa para pelajar dari semua etnis memiliki cara

pandang standar ganda terhadap seksualitas pria dan wanita. Namun,

beberapa grup etnis menekankan pentingnya keperawanan sebelum

pernikahan lebih dari grup etnis yang lain. Sementara itu, Ku dkk.

(1998) menemukan bahwa perilaku seks anak muda dari ras kulit hitam

(42)

perubahan perilaku pada anak muda dari ras lain. Sedangkan pada

penelitian Deardorff, Schann, Flores, & Ozer (2010), terungkap bahwa

di Amerika Serikat, remaja perempuan Latin memiliki angka kehamilan

2,8 kali lebih tinggi daripada remaja kulit putih. Padahal, rata-rata usia

di mana remaja Latin melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya

justru lebih tua dibandingkan remaja kulit putih. Namun, remaja Latin

cenderung untuk tidak memakai alat kontrasepsi ketika mereka mulai

aktif secara seksual.

Faktor ketujuh adalah faktor keperjakaan. Sherwin & Corbett

(1985) menulis bahwa responden penelitiannya yang mengaku masih

perjaka cenderung lebih konservatif terhadap aktivitas seks di luar

nikah dibandingkan responden yang sudah tidak perjaka.

c. Faktor-faktor dari biro jodoh yang diduga berhubungan dengan

permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

Faktor-faktor lainnya Penulis ambil dari data diri yang sering

muncul dalam lima biro jodoh lokal yang meliputi tiga biro jodoh

online dan dua biro jodoh koran. Tiga biro jodoh online tersebut adalah www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, dan

www.cybermateindonesia.com. Sementara, dua biro jodoh korannya

adalah rubrik Pertemuan koran Kompas dan kolom Biro Jodoh koran

Kedaulatan Rakyat. Faktor-faktor yang sering muncul tersebut adalah

(43)

www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas,

kolom Biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), keadaan tinggal

(www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, kolom Biro

Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), kebiasaan merokok

(www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com,

www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas),

status pernikahan (www.birojodohislami.com,

www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik

Pertemuan koran Kompas, kolom Biro Jodoh koran Kedaulatan

Rakyat), usia (www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com,

www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas,

kolom biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), serta deskripsi diri.

Untuk deskripsi diri, yang sering muncul adalah sifat humoris, sabar,

jujur, dan setia (www.birojodohislami.com,

www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik

Pertemuan koran Kompas).

B. Pria Dewasa Awal

1. Pengertian

Masa awal dewasa (early adulthood) adalah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan

tahun dan yang berakhir pada usia tigapuluhan tahun. Kaum muda berbeda

(44)

mandiri dan menjadi terlibat secara sosial, berlawanan dengan perjuangan

remaja untuk mendefinisikan dirinya (Santrock, 2002).

Salah satu kriteria yang menunjukkan permulaan dari masa dewasa

awal adalah dalam kemandirian dalam membuat keputusan. Hal ini berarti

pembuatan keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan

hubungan, serta tentang gaya hidup. Pada waktu muda, seseorang mungkin

mencoba banyak peran yang berbeda, mencari karir alternatif, berpikir

tentang berbagai gaya hidup dan mempertimbangakan berbagai hubungan

yang ada. Individu yang beranjak dewasa biasanya membuat keputusan

tentang hal-hal ini terutama dalam bidang gaya hidup dan karir (Santrock,

2002).

Santrock (2002) membagi perkembangan pada masa dewasa awal

menjadi 3 perkembangan penting pada periode tersebut. Perkembangan

pada masa dewasa awal meliputi: perkembangan fisik, perkembangan

kognitif, dan perkembangan sosio-emosional.

a. Perkembangan fisik pada masa dewasa awal

Pada masa dewasa awal individu tidak hanya mencapai puncak

dari kemampuan fisik, tetapi kemampuan fisik individu juga mulai

menurun selama periode ini. Kekuatan dan kesehatan otot mulai

menunjukkan penurunan sekitar umur 30-an. Bagi sebagian besar

individu, puncak kemampuan fisik dicapai pada usia di bawah 30 tahun,

(45)

Uraian di atas menunjukkan bahwa pada masa dewasa awal,

individu sudah mencapai puncak dari kemampuan secara fisik dan

kematangan dalam reproduksi untuk fungsi pengembangbiakan

sehingga hal ini akan membantu individu tersebut dalam menentukan

sikap.

b. Perkembangan kognitif pada masa dewasa awal

Beberapa ahli perkembangan percaya bahwa baru pada saat

masa dewasalah individu mengatur pemikiran operasional formal

mereka sehingga mereka mungkin merencanakan dan membuat

hipotesis tentang masalah-masalah seperti remaja, tetapi mereka

menjadi lebih sistematis ketika mendekati masalah sebagai orang

dewasa. Sementara beberapa orang dewasa lebih mampu menyusun

hipotesis daripada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah

dari suatu permasalahan. Banyak orang dewasa yang tidak berpikir

dengan cara operasional formal sama sekali (Keating, dalam Santrock,

2002).

Labouvie (1986, dalam Santrock, 2002) percaya bahwa hakekat

awal yang pasti dari logika remaja dan optimisme berlebihan pada

kaum muda akan menghilang di awal masa dewasa. Integrasi baru dari

pikiran terjadi pada masa dewasa awal. Dia berpikir bahwa tahun-tahun

masa dewasa akan menghasilkan pembatasan-pembatasan pragmatis

(46)

analisis logis dalam memecahkan masalah. Komitmen, spesialisasi, dan

penyaluran energi ke dalam usaha seseorang untuk memperoleh tempat

dalam masyarakat dan sistem kerja yang kompleks menggantikan

ketertarikan remaja pada logika yang idealis.

Perry (1970, dalam Santrock, 2002) juga mencatat

perubahan-perubahan penting tentang cara berpikir orang dewasa muda yang

berbeda dengan remaja. Ia percaya bahwa remaja yang sering

memandang dunia dalam dualisme polaritas mendasar seperti benar /

salah, kita / mereka, atau baik / buruk. Pada waktu kaum muda mulai

matang dan memasuki tahun-tahun masa dewasa, mereka mulai

menyadari perbedaan pendapat dan berbagai perspektif yang dipegang

orang lain, yang mengguncang pandangan dualistik mereka. Pemikiran

dualistik mereka digantikan oleh pemikiran beragam, saat itu individu

mulai memahami bahwa orang dewasa tidak selalu memiliki semua

jawaban. Mereka mulai memperluas wilayah pemikiran individualistik

dan mulai percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan berbeda.

Berdasarkan teori Erickson, isu utama pada masa dewasa awal

adalah mengenai intimacy versus isolation. Intimasi atau kelekatan adalah kapasitas untuk berkomitmen dalam sebuah hubungan yang

memerlukan pengorbanan dan kompromi. Sebelum seseorang

mengembangkan kelekatan, penting untuk memiliki suatu identitas diri

(47)

dewasa muda seseorang siap untuk menerapkan identitas itu terhadap

orang lain (Papalia & Olds, 1986).

c. Perkembangan sosio-emosional pada masa dewasa awal

Pada masa dewasa awal, orang mulai mempertimbangkan

keputusan untuk menikah atau melajang, dan untuk mempunyai anak

atau tidak. Fase ini disebut sebagai siklus kehidupan keluarga. Dua

tahap pertama pada siklus ini sendiri adalah 1) meninggalkan rumah;

orang dewasa muda hidup sendiri, 2) penggabungan keluarga melalui

pernikahan; pasangan baru (Santrock, 2002).

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pasangan yang tidak

bahagia menunjukkan harapan yang tidak realistik tentang pernikahan

(Epstein & Eidelson, 1981; dalam Santrock, 2002). Harapan tidak

realistik tersebut dipengaruhi oleh berbagai mitos tentang pernikahan

yang tidak didukung oleh fakta. Larson (1988, dalam Santrock, 2002)

membuat sebuah kuis untuk mengukur informasi tentang pernikahan

pada mahasiswa perguruan tinggi dan membandingkan respon mereka

dengan apa yang diketahui tentang pernikahan dari penelitian literatur.

Respon mereka umumnya salah pada hampir separuh item yang ada.

Mahasiswa melakukan lebih banyak kesalahan daripada mahasiswi.

Selain itu, mahasiswa berpersepsi kurang romantis membuat lebih

(48)

2. Batasan

Berdasarkan uraian dan ciri-ciri tersebut di atas, Penulis

menggunakan kelompok usia minimal dewasa awal sebagai subjek

penelitian ini, dengan alasan bahwa pada usia ini pria telah mencapai

kematangan secara fisik, mampu berpikir sistematis, dan mempunyai

pemikiran yang beragam mengenai suatu masalah. Pria pada masa ini juga

sudah mempunyai komitmen, kesiapan, dan kemandirian dalam membuat

keputusan, serta telah memikirkan mengenai pernikahan. Hal ini akan

sangat membantu dalam menentukan permisivitas mereka terhadap

keperawanan wanita lajang. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1, usia subjek ditetapkan

minimal 19 tahun sebagaimana usia minimal pria Indonesia untuk dapat

menikah.

C. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas beberapa pertanyaan

penelitian (Azwar, 1999). Penulis mengajukan beberapa hipotesis

berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dan dugaan pribadi

Penulis berdasarkan biodata pengguna biro jodoh yang sering dicantumkan:

1. Ada hubungan signifikan antara tinggi-rendahnya permisivitas pria

terhadap keperawanan wanita lajang dengan tingkat standar ganda, status

sosio-ekonomi, religiusitas, pengetahuan tentang hal-hal seputar seks,

(49)

2. Ada perbedaan tinggi-rendahnya permisivitas pria terhadap keperawanan

wanita lajang yang signifikan antara pria yang perjaka dan tidak perjaka,

yang humoris dan tidak humoris, yang penyabar dan tidak penyabar,

yang jujur dan tidak jujur, serta yang setia dan tidak setia. Selain itu juga

antara daerah asal, ras / suku / etnis, agama / kepercayaan, keadaan

(50)

30

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, yang berarti penelitian

ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta

hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan

menggunakan model-model matematis, teori-teori, dan/atau hipotesis yang

berkaitan dengan fenomena alam

(http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kuantitatif). Penelitian dengan

pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerik yang

diolah dengan metode statistika. Pada dasarnya, penelitian kuantitatif

dilakukan pada penelitian inferensial (pengujian hipotesis) dan menyandarkan

kesimpulan hasilnya pada suatu probablilitas kesalahan penolakan hipotesis

nihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan

kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang akan diteliti

(Dharminto, 2000).

Selain itu, penelitian ini juga termasuk penelitian studi korelasional,

yaitu penelitian yang mempelajari hubungan dua variabel atau lebih, yakni

sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam

variabel lain. Korelasi dapat menghasilkan dan menguji suatu hipotesis

(51)

hubungan antara dua variabel. Ada tiga kemungkinan hasil dari studi

korelasional, yaitu korelasi positif (>0 sampai +1), korelasi negatif (<0

sampai –1), dan tidak ada korelasi (0).

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas (independent)

Variabel bebas (independent) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel tergantung

(dependent). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas (independent) adalah standar ganda, daerah asal, status sosio-ekonomi, religiusitas, pengetahuan tentang hal-hal seputar seks, ras / suku / etnis,

keperjakaan, agama, keadaan tinggal, kebiasaan merokok, status

pernikahan, usia, sifat humoris, sifat sabar, sifat jujur, dan sifat setia.

2. Variabel tergantung (dependent)

Variabel tergantung (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (independent). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel tergantung (dependent) adalah permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang.

C. Definisi Operasional

1. Standar Ganda

Standar ganda yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk

(52)

dan karena itu dianggap tidak adil. Misalnya, seorang pria yang

mempunyai banyak pasangan dalam melakukan hubungan seks dianggap

hebat atau "jantan", sementara seorang wanita yang melakukan hal yang

sama akan dianggap murahan. Contoh lainnya, wanita sering dituntut

tetap perawan pada hari pernikahannya, sementara pria biasanya tidak

dituntut seperti itu.

Variabel ini akan diukur menggunakan skala bernama Double Standard Scale (Caron, Davis, Halteman, & Stickle, 1993) yang dimasukkan dalam Kuesioner II. Skala pengukuran ini terdiri dari 10 item

di mana subjek harus memberikan satu respon dari pilihan angka 1 sampai

5, yang berarti (1) untuk “sangat setuju” dan (5) untuk “sangat tidak

setuju”. Semakin kecil skor yang didapat responden, maka artinya ia pun

semakin menganut prinsip standar ganda. Skala ini telah terbukti reliabel

dengan nilai Aplha Cronbach sebesar 0,72. Selain itu, skala ini dinilai mudah untuk digunakan.

2. Daerah asal

Daerah asal yang dimaksud dalam penelitian adalah jenis daerah

yang dianggap subjek sebagai kampung halamannya.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih

(53)

3. Status sosio-ekonomi

Status sosio-ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kelas sosial dan ekonomi subjek dalam masyarakat ditentukan oleh tingkat

pendidikan, pengeluaran per bulan, dan jenis pekerjaannya.

Variabel ini akan diukur menggunakan indeks SES (socioeconomic status) yang dimasukkan dalam Kuesioner II, dan yang diadaptadi dari indeks SES dalam Spencer (1985). Semakin tinggi skor yang didapat

responden, maka semakin tinggi pula status sosio-ekonominya. Item

“Pendapatan per bulan” dimodifikasi sendiri oleh Penulis berdasarkan

standar UMP Yogyakarta tahun 2012

(http://www.gajimu.com/main/gaji/Gaji-Minimum/ump-2012) yang dinilai

bisa mewakili daerah-daerah lainnya.

4. Religiusitas

Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seberapa

besar agama berpengaruh dalam kehidupannya dan juga seberapa jauh

pelaksanaan ibadah serta besarnya penghayatan atas agama yang

dianutnya.

Variabel ini akan diukur menggunakan skala yang diadaptasi dari

(54)

(1) untuk “sangat setuju” dan (5) untuk “sangat tidak setuju”. Semakin

kecil skor yang didapat responden, maka artinya ia semakin religius.

5. Pengetahuan tentang hal-hal seputar seks

Pengetahuan tentang hal-hal seputar seks yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah pengetahuan subjek tentang reproduksi, alat

kontrasepsi, kesehatan seksual, dan AIDS.

Variabel ini akan diukur menggunakan alat bernama Sexual Knowledge Scale (Chao, Lin, Ma, Ku, Tsai, Shi, 2010) yang dimasukkan dalam Kuesioner II. Skala pengukuran ini terdiri dari 30 item di mana subjek harus memberikan respon “Benar” atau “Salah” pada setiap item

tersebut. Semakin tinggi skor yang didapat responden, artinya semakin

banyak pengetahuan yang telah dimilikinya. Skala ini telah terbukti

reliabel dengan nilai Aplha Cronbach sebesar 0,804. Selain itu, skala ini dinilai mudah untuk digunakan.

6. Ras / suku / etnis

Ras / suku / etnis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

karakteristik subjek berdasarkan ciri-ciri fisik dan daerah asalnya.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih

satu dari beberapa pilihan ras / suku / etnis yang tercantum pada Kuesioner

II.

(55)

7. Keperjakaan

Keperjakaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan di

mana pria / subjek penelitian belum pernah melakukan hubungan seks.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek

menentukan sendiri apakah ia seorang perjaka atau bukan pada Kuesioner

II.

8. Agama / kepercayaan

Agama / kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan

kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan

dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih

satu dari beberapa pilihan agama yang tercantum pada Kuesioner II.

9. Keadaan tinggal

Keadaan tinggal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan

siapa subjek penelitian tinggal saat ini.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih

(56)

10. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

seberapa sering subjek penelitian merokok.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek

menentukan seberapa sering subjek merokok pada skala yang ada pada

Kuesioner II.

11. Status pernikahan

Status pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

pernyataan yang dibuat oleh subjek penelitian mengenai apakah dia

adalah seorang lajang, pria beristri, atau duda.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih

satu dari beberapa pilihan status pernikahan yang tercantum pada

Kuesioner II.

12. Usia

Usia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perhitungan tahun

yang dimulai dari saat kelahiran subjek penelitian sampai dengan waktu

mengisi kuesioner penelitian.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek

(57)

13. Sifat humoris

Sifat humoris yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kemampuan subjek penelitian dalam melihat humor atau sisi lucu dari

segala hal yang dilihat, didengar, atau dirasakan.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek

menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat humoris atau tidak

pada Kuesioner II.

14. Sifat sabar

Sifat sabar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan

subjek penelitian dalam menghadapi segala sesuatu dengan kepala

dingin, tidak emosional, dan tidak terburu-buru.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek

menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat sabar atau tidak

pada Kuesioner II.

15. Sifat jujur

Sifat jujur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan

subjek penelitian untuk berkata atau bertindak sesuai kenyataan, tanpa

penipuan, dan tanpa kecurangan.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek

menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat jujur atau tidak

(58)

16. Sifat setia

Sifat setia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan

subjek untuk berpegang kuat pada komitmen dalam hubungan cinta,

untuk tidak mengkhianati pasangan dengan cara selingkuh atau hal

lainnya.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek

menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat setia atau tidak

pada Kuesioner II.

17. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang

Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu sikap atau kecenderungan

pria untuk lebih terbuka dan membebaskan wanita untuk kehilangan

keperawanannya sebelum ikatan pernikahan.

Variabel ini akan diukur menggunakan skala ukur permisivitas

pada Kuesioner II yang dibuat oleh Penulis berdasarkan hasil Survei

Awal dan Kuesioner I yang disebarkan Penulis sebelumnya kepada

(59)

D. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi (population/universe) dalam statistika merujuk pada sekumpulan individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian

dalam suatu penelitian (pengamatan). Populasi dalam penelitian ini adalah

pria. Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah pria berusia

minimal 19 tahun. Pada usia ini pria telah mencapai kematangan secara

fisik, mampu berpikir sistematis, dan mempunyai pemikiran yang beragam

mengenai suatu masalah. Pria pada masa ini juga sudah mempunyai

komitmen, kesiapan, dan kemandirian dalam membuat keputusan, serta

telah memikirkan mengenai pernikahan (Santrock, 2002). Selain itu,

berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7

ayat 1, usia 19 tahun adalah usia minimal pria Indonesia untuk dapat

menikah.

2. Sampel

Sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil

menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya.

Pengambilan sampel harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh

sampel yang benar-benar dapat berfungsi sebagai contoh, atau dapat

menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Dengan kata lain,

(60)

Dalam penelitian ini, digunakan sampling non-probabilitas, yakni

teknik pengambilan sampel di mana setiap elemen tidak memiliki peluang

yang sama untuk menjadi sampel. Dapat dikatakan, peluang dalam sampel

tidak sama dengan peluang dalam populasi. Secara khusus, Penulis akan

menggunakan teknik quota sehingga dapat menggunakan strata populasi

untuk menyeleksi anggota sampel yang representatif / tipikal / cocok untuk

maksud penelitian ini.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Survei Awal

Metode ini dipakai untuk mengetahui berbagai jenis keperawanan

wanita lajang. Penulis membuat survei awal melalui personal message

pada akun Facebook pribadinya. Responden pria dan wanita diminta untuk

menuliskan semua jenis keperawanan wanita lajang menurut opini pribadi

mereka sendiri. Survei ini terus dibuka sampai tidak ada lagi responden

yang memberikan jawaban yang baru dan berbeda dengan jawaban para

responden sebelumnya, dan akhirnya terkumpul 13 jenis keperawanan

wanita lajang.

2. Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang

Setelah berbagai jenis keperawanan wanita lajang diketahui dari

hasil Survei Awal, Kuesioner I dirancang untuk mengukur nilai / bobot

Gambar

Tabel 20 Analisis varians variabel agama / kepercayaan ..............................
Tabel 1 Nilai / bobot jenis-jenis keperawanan wanita lajang
Tabel 2 Permisivitas pria pada wanita lajang untuk dijadikan istri berdasarkan
Tabel 4 Analisis regresi untuk 6 variabel dengan data interval
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pria Jepang pada Jaman sekarang mulai memakai kosmetik dan merawat diri maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pandangan wanita Jepang terhadap

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka penulis sebagai peneliti tertarik untuk meneliti dan mengetahui hal-hal apa saja yang berpengaruh

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada wanita bekerja di

Merujuk pada data dan gambaran di atas, penulis kemudian tertarik melakukan penelitian tntang faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kualitas hidup

Tentu saja pria dengan wanita berbeda, namun apakah ketika menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja antara wanita dan pria dewasa awal mempunyai penilaian diri atau evaluasi

Peningkatan risiko terkena kanker payudara pada wanita yang pernah menderita kanker ovarium diduga berhubungan dengan pengaruh peningkatan hormon estrogen, dan wanita yang

Iddah yaitu waktu tunggu seorang wanita yang telah diceraikan oleh suaminya, di dalam agam Islam iddah didefinisikan dengan sebuah waktu bagi seorang wanita yang

Peningkatan risiko terkena kanker payudara pada wanita yang pernah menderita kanker ovarium diduga berhubungan dengan pengaruh peningkatan hormon estrogen, dan