PERMISIVITAS PRIA TERHADAP KEPERAWANAN
WANITA LAJANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGANNYA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Ancilla Aisha Johanna
NIM: 079114138
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
iii
iv
HALAMAN MOTTO
“No matter how many mistakes you make or how slow you progress, you are
still way ahead of anyone who is not even trying.”
– Maria Christine Anggraeni Sadipun
Virginity is such a personal thing. You can't judge anyone on it. A lot of
young women feel they want to save themselves for the man who they
think they'll love forever.
– Joyce Brothers
“People with lost personalities will suffer a great deal more than those with
lost virginities.”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Semua wanita yang cantik, pintar, dan kuat
di seluruh dunia, terutama yang paling saya
cintai, yaitu mama saya, Kiki Maria, yang
sepenuhnya mendukung saya untuk meraih
segala cita-cita dan selalu ada untuk saya
vi
vii
PERMISIVITAS PRIA TERHADAP KEPERAWANAN WANITA LAJANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA
Ancilla Aisha Johanna
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang memiliki korelasi signifikan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang adalah suatu sikap atau kecenderungan pria untuk lebih terbuka dan membebaskan wanita untuk kehilangan keperawanannya sebelum ikatan pernikahan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya fenomena terkait dengan keperawanan wanita lajang yang membuat wanita, khususnya yang sudah tidak perawan, merasa tidak nyaman dengan status keperawanannya sendiri. Penulis pun menjadi tertarik untuk meneliti apa yang sebenarnya ada dalam pikiran masyarakat mengenai keperawanan wanita lajang, kemudian secara khusus meneliti apa saja yang diduga berhubungan dengan toleransi pria terhadap hal tersebut. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 110 orang untuk Kuesioner I dan 200 orang untuk Kuesioner II. Kuesioner I melibatkan subjek campur yaitu pria dan wanita, sedangkan Kuesioner II hanya ditujukan bagi subjek pria yang berusia minimal 19 tahun. Kedua kuesioner online tersebut
disebarkan ke subjek dari berbagai daerah di Indonesia menggunakan link dari program
GoogleDocs melalui promosi di Facebook, Twitter, dan Kaskus. Data penelitian dari Kuesioner I dianalisis menggunakan teknik PairedComparison. Sedangkan untuk Kuesioner II, menggunakan analisis regresi, uji-T, dan analisis varians, dibantu dengan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang akhirnya ditemukan memang berkorelasi signifikan dengan permisivitas pria adalah standar ganda (b = 0,158; p = 0,001), religiusitas (b = 0,120; p = 0,001), dan keperjakaan (p = 0,005).
viii
MEN’S PERMISSIVENESS TOWARDS THE VIRGINITY OF UNMARRIED WOMEN AND THE FACTORS RELATED TO IT
Ancilla Aisha Johanna
ABSTRACT
The aim of this study is to investigate the factors that have significant correlation with men’s permissiveness towards the virginity of unmarried women. Men’s permissiveness towards virginity of unmarried women is an attitude or a tendency of men to be more open and liberating for the women to lose their virginity before marriage. This research was motivated by a number of phenomena associated with the virginity of unmarried women which caused women, especially who are no longer virgins, to feel uncomfortable about their own virginity status. The Researcher became interested in studying what is actually inside the mind of the people in general about such thing, and then specifically in studying the factors that were assumed to be related to the tolerance of men towards the unmarried women’s virginity. The number of subjects of this study is 110 for Questionnaire I and 200 for Questionnaire II. Questionnaire I involved mixed subjects, men and women, whereas Questionnaire II was intended only for male subjects with 19 years old as the minimum age. Both online questionnaires were distributed to the subjects from various regions of Indonesia by using the link from GoogleDocs program through promotion on Facebook, Twitter, and Kaskus. The data from Questionnaire I was analyzed by using Paired Comparison technique, as for Questionnaire II, the data was analyzed by using regression analysis, T-test, and variance analysis, assisted by the program of SPSS 16.0 for Windows. The results of this research indicated the factors that are ultimately found to correlate significantly with men’s permissiveness are double standard (b = 0,158; p = 0,001), religiosity (b = 0,120; p = 0,001), and male virginity (p = 0,005).
ix
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat-Nya yang senantiasa
menyertai saya sehingga akhirnya saya berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Dalam proses panjang selama satu tahun merampungkan skripsi ini, Penulis
telah melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis hendak mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan
kepada:
1. Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
2. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku dosen pembimbing
skripsi saya. “Terima kasih sudah sabar menghadapi dan membimbing saya
dengan segala ide saya yang sebelumnya tidak terarah, dan juga untuk semua
snack yang Bapak sediakan selama sesi bimbingan. Two words, YOU ROCK.”
3. Para dosen penguji saya: Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi; Bapak
Agung Santoso, S.Psi., M.A.; dan Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum,
M.App.Psych.
4. Bapak Agung Santoso, S.Psi., M.A., atas bantuannya dalam menjelaskan
xi
5. Mbak Elisabeth Haksi Mayawati, atas bantuannya dalam meng-input data ke dalam program SPSS 16.0 for Windows dan penjelasannya mengenai bagaimana menulis pembahasan penelitian yang baik.
6. Segenap dosen dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma, khususnya Mas Gandung, Pak Gik, Mbak Nanik, Mas Doni, Mas
Muji, yang telah membantu kelancaran administrasi skripsi saya.
7. Orang tua saya, Mama Kiki, Papa Abri, Ayah Bobby, dan Ibu Rani, yang
telah membesarkan saya dan mencintai saya setulus hati. “I love you all.” 8. Ketiga adik saya, Ignatz, Abby, dan Bia, yang telah membuat saya merasa
bahwa saya adalah seorang kakak yang beruntung. “I love you, bros and sis!” 9. Nenek saya, Mama Uzie, yang telah menjadi salah satu bagian terbesar dalam
hidup saya. “I will always love and miss you.”
10. Semua anggota keluarga besar yang telah mewarnai hidup saya.
11. Isabella Floriana, teman terbaik saya selama menjalani perkuliahan di kampus
tercinta ini. “Thanks buat semua suka-duka yang kita lewati bareng! Semua pasti ada hikmahnya, beb. Always remember that we are beautiful, smart, and strong at the same time.”
12. Brigitta Santa dan Fransiska Maharani, dua teman seangkatan saya yang
sudah mengajari saya program SPSS 16.0 for Windows.
13. Semua teman di Fakultas Psikologi angkatan 2007, atas segala kenangan
xii
14. Maria Christine Anggraeni Sadipun dan Andre Wijaya Binarto, kedua sahabat
terbaik saya yang paling mengerti dan menerima saya luar-dalam. “Thanks for all the good and bad times we spent together, and for the support and the spirit you guys always gave me. I love you both.”
15. Joaquin Angel Oliveras Vega, yang telah memotivasi saya untuk memulai
skripsi ini dan senantiasa mendukung saya selama proses penyelesaiannya.
“Gracias por tu apoyo, tu cuidado, tu paciencia... y sobre todo, tu amor. Tuvimos nuestros momentos buenos y malos... pero la razón porque te amo es todo lo que hemos pasado juntos...”
16. Teman-teman dari Facebook, Twitter, dan Kaskus yang telah bersedia
menjadi subjek penelitian saya. “Guys, without you, my research is nothing. Thanks a lot!”
17. Teman-teman yang sudah ikut membantu menyebarkan kuesioner online
saya, khususnya Mas Felix, Bang Tama, dan Adit.
18. Teman-teman dari Seems Today yang sabar menunggu saya menyelesaikan
skripsi.
19. Semua pihak terkait yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, namun kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II. LANDASAN TEORI ... 11
xiv
1. Pengertian keperawanan ... 11
a. Keperawanan secara fisik ... 12
b. Keperawanan secara psikologis ... 14
2. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 14
a. Pengertian permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang ... 14
b.Faktor-faktor dari jurnal ilmiah yang diduga berhubungan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 15
c. Faktor-faktor dari biro jodoh yang diduga berhubungan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 22
B. Pria Dewasa Awal ... 23
1. Pengertian ... 23
a. Perkembangan fisik pada masa dewasa awal ... 24
b.Perkembangan kognitif pada masa dewasa awal ... 25
c. Perkembangan sosio-emosional pada masa dewasa awal ... 27
2. Batasan ... 28
C. Hipotesis ... 28
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30
xv
B. Identifikasi Variabel ... 31
1. Variabel bebas (independent) ... 31
2. Variabel tergantung (dependent) ... 31
C. Definisi Operasional ... 31
1. Standar ganda ... 31
2. Daerah asal ... 32
3. Status sosio-ekonomi ... 33
4. Religiusitas ... 33
5. Pengetahuan tentang hal-hal seputar seks ... 34
6. Ras / suku / etnis ... 34
7. Keperjakaan ... 35
8. Agama / kepercayaan ... 35
9. Keadaan tinggal ... 35
10.Kebiasaan merokok ... 36
11.Status pernikahan... 36
12.Usia ... 36
13.Sifat humoris ... 37
14.Sifat sabar ... 37
15.Sifat jujur ... 37
16.Sifat setia ... 38
17.Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang ... 38
xvi
1. Populasi ... 39
2. Sampel ... 39
E. Metode Pengumpulan Data ... 40
1. Survei Awal ... 40
2. Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang ... 40
3. Kuesioner II: Pandangan Pria Terhadap Keperawanan Wanita Lajang ... 41
F. Validitas Alat Ukur ... 42
G. Teknik Analisis ... 43
1. Survei Awal ... 43
2. Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang ... 43
3. Kuesioner II: Pandangan Pria Terhadap Keperawanan Wanita Lajang ... 44
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46
A. Pelaksanaan Penelitian ... 46
B. Hasil Penelitian ... 47
1. Hasil penelitian dari Survei Awal ... 47
2. Hasil penelitian dari Kuesioner I ... 49
3. Hasil penelitian dari Kuesioner II ... 50
a. Variabel tergantung ... 50
b.Variabel bebas ... 52
xvii
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Nilai / bobot jenis-jenis keperawanan wanita lajang ... 49
Tabel 2 Permisivitas pria pada wanita lajang untuk dijadikan istri berdasarkan jenis keperawanannya ... 51
Tabel 3 Uji normalitas untuk 6 variabel dengan data interval ... 53
Tabel 4 Analisis regresi untuk 6 variabel dengan data interval ... 53
Tabel 5 Uji normalitas variabel keperjakaan ... 55
Tabel 6 Uji-T variabel keperjakaan ... 55
Tabel 7 Uji normalitas variabel sifat humoris ... 56
Tabel 8 Uji-T variabel sifat humoris ... 56
Tabel 9 Uji normalitas variabel sifat sabar ... 57
Tabel 10 Uji-T variabel sifat sabar ... 57
Tabel 11 Uji normalitas variabel sifat jujur ... 58
Tabel 12 Uji-T variabel sifat jujur ... 58
Tabel 13 Uji normalitas variabel sifat setia ... 59
Tabel 14 Uji-T variabel sifat setia ... 59
Tabel 15 Uji normalitas variabel daerah asal (1 = Perkotaan; 2 = Pinggiran kota; 3 = Pedesaan / perkampungan) ... 60
Tabel 16 Analisis varians variabel daerah asal ... 60
xix
Tabel 18 Analisis varians variabel ras / suku / etnis ... 62
Tabel 19 Uji normalitas variabel agama / kepercayaan (1 = Islam; 2 = Kristen Protestan; 3 = Kristen Katolik; 4 = Hindu; 5 = Buddha; 6 = Kong Hu Cu; 7 = Tidak menganut agama /
kepercayaan apapun; 8 = Lainnya) ... 62
Tabel 20 Analisis varians variabel agama / kepercayaan ... 63
Tabel 21 Uji normalitas variabel keadaan tinggal (1 = Tinggal di rumah sendiri; 2 = Tinggal dengan orang tua; 3 = Tinggal di kos; 4 =
Tinggal bersama keluarga lain; 5 = Lainnya) ... 64
Tabel 22 Analisis varians variabel keadaan tinggal ... 64
Tabel 23 Uji normalitas variabel status pernikahan (1 = Belum menikah;
2 = Menikah; 3 = Duda) ... 65
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang ... 84
Lampiran 2: Kuesioner II: Pandangan Pria Terhadap Keperawanan Wanita
Lajang ... 97
Lampiran 3: Data Kuesioner I ... 110
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika seseorang di Indonesia masih berada dalam status lajang atau
belum pernah menikah, saat itulah keperawanan sering kali dipertanyakan. Di
negeri ini, keperawanan pada wanita seringkali dilambangkan sebagai
“mahkota” atau “harta yang paling berharga” atau “tanda kesucian” atau
“tanda kesetiaan pada suami” (Sarwono, 1989). Karena itu, hubungan seks
sering juga disebut sebagai hubungan suami-istri. Selain itu, Indonesia adalah
negara yang mengakui enam agama, salah satunya adalah Islam. Agama ini
dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia (85,2%), dan ajarannya
mengatakan bahwa hubungan seks hanya dibenarkan jika dilakukan oleh
pasangan suami-istri yang sah (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_seksual). Keadaan ini menciptakan
pemikiran bahwa hubungan seks adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh
pasangan yang sudah menikah.
Namun, pada kenyataannya, tidak semua orang di Indonesia yang
telah melakukan hubungan seks sudah terikat dalam pernikahan. Berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas
PA) di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2007, sebesar 93,7% remaja
pernah melakukan ciuman, petting, dan oral sex. Sementara itu, 62,7% sudah tidak perawan, dalam arti pernah melakukan sexual intercourse
(http://berita.liputan6.com/read/302884/Komnas.PA.212.Persen.Remaja.Pern
ah.Aborsi). Persentase ini didapat dari para remaja SMP yang usianya
berkisar antara 11-15 tahun. Rentang usia tersebut belum dianggap legal
untuk menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa usia minimal untuk menikah
adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Selain itu, survei
yang dilakukan Asia-Pacific Council on Contraception dan PT Bayer
Indonesia pada Juli 2011 menunjukkan bahwa hampir 60% remaja merasa
saling mencintai adalah alasan cukup untuk berhubungan seks. Survei ini
dilakukan di sembilan negara yaitu Indonesia, China, Korea Selatan,
Thailand, Singapura, India, Pakistan, Taiwan, dan Malaysia. Jumlah
responden adalah 100 orang pria dan 100 orang wanita
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/10/08/lsr5tr-astaghfirullahsebagian-besar-remaja-perkotaan-pernah-berhubungan-seks).
Oleh karena itu, hal ini mengindikasikan bahwa di Indonesia hubungan seks
juga sudah cukup akrab dengan kehidupan sehari-hari orang yang belum
menikah.
Sementara itu, Dr. Boyke Dian Nugraha, SpOG MARS pernah
mengadakan survei tentang harapan pria Indonesia terhadap wanita yang akan
menjadi istri mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa setidaknya 70-80% pria
mereka
(http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/02/06/kembali-perawan-setelah-punya-anak/). Selain itu, hasil polling www.hanyalelaki.com menunjukan 54,79% dari 303 responden menganggap keperawanan penting
sekali (http://www.seksualitas.net/2-cara-mengembalikan-keperawanan.htm).
Sebuah survei dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) yang dilakukan dalam kurun waktu 2010 memperoleh data
mengenai persentase remaja perempuan lajang di Indonesia yang sudah tidak
perawan karena melakukan hubungan seks pra-nikah. Berdasarkan survei
tersebut, 51 dari 100 remaja perempuan yang tinggal di wilayah Jabodetabek
telah kehilangan keperawanannya. Selain di Jabodetabek, diperoleh juga data
di kota-kota besar lain, seperti Surabaya (54%), Medan (52%), Bandung
(47%), dan Yogyakarta (37%)
(http://megapolitan.kompas.com/read/2010/11/28/1353182/Separuh.Gadis.Ja
bodetabek.Tidak.Perawan).
Setelah mengetahui data-data tersebut, tampak adanya
ketidakseimbangan antara harapan pria mengenai keperawanan wanita
dengan situasi keperawanan para wanita itu sendiri di Indonesia. Hal ini
menjelaskan mengapa beberapa kasus di bawah ini cukup marak di Indonesia.
Yang pertama adalah fenomena operasi keperawanan atau dalam
bahasa kedokteran disebut dengan Laser Vaginal Rejuvenation (LVR). LVR terbagi menjadi 3 jenis, yaitu hymenoplasty (operasi selaput dara), labioplasty
(rekonstruksi labia mayora dan minora untuk estetika), dan perinioplasty
(http://homecarejogja.com/operasi-keperawanan-atau-laser-vaginal-rejuvenation/). Tidak ada cara untuk mengetahui apakah seorang wanita
sudah pernah melakukan hubungan seks atau belum, kecuali wanita itu
sendiri mengakuinya dengan jujur. Meskipun begitu, banyak orang yang
masih beranggapan bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui hal tersebut
adalah dengan melihat apakah sang wanita mengalami pendarahan di saat
melakukan hubungan seks
(http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/28/07383455/Duh.Ragu.Menikah
.karena.Tak.Perawan.Lagi). Pendarahan yang dimaksud di sini adalah
robeknya selaput dara atau hymen dalam vagina perempuan yang kemudian menimbulkan keluarnya darah dari lubang senggama. Walau sesungguhnya,
di saat seorang wanita mencapai usia pubertas, selaput dara menjadi elastis.
Hanya 43% wanita melaporkan pendarahan ketika mereka pertama kali
melakukan senggama (http://id.wikipedia.org/wiki/Selaput_dara). Menurut
Dr. Budi ML, SpOG, dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Jatisampurna, selaput
dara kondisinya berbeda antara satu wanita dengan lainnya. Ada selaput dara
yang tipis sehingga lebih mudah robek. Ada pula selaput dara yang sangat
kuat atau liat sehingga tidak mudah robek. Bukan hanya senggama yang
dapat menyebabkan robeknya selaput dara. Aktivitas olahraga seperti senam,
benturan karena jatuh, penggunaan tampon saat menstruasi, dan lainnya juga
bisa menyebabkan selaput dara robek
(http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/03/10244121/Selaput.Dara.Buka
hymenoplasty yang merupakan jenis LVR yang diminati para wanita di Indonesia karena dapat mengembalikan selaput dara yang telah robek
sebelumnya.
Menurut seksolog Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, sekarang ini
memang banyak wanita ingin melakukan hymenoplasty dengan alasan yang beragam, salah satunya adalah supaya dianggap masih perawan ketika
menikah. Hal ini dibenarkan oleh Dr. Boyke yang juga membuka praktek
hymenoplasty. Beliau mengatakan bahwa persepsi kebanyakan pria yang sangat mementingkan keperawanan calon istrinya sebelum pernikahan
membuat para wanita di Indonesia yang sudah tidak perawan menjadi
khawatir. Tidak heran jika kemudian banyak wanita memilih untuk menjalani
hymenoplasty. Dengan hymenoplasty, otot-otot keperawanan menjadi kembali seperti semula: kencang dan bisa mengeluarkan darah layaknya hubungan
seks pertama, sehingga para suami itu akan percaya bahwa para wanita itu
mempertahankan keperawanannya sampai pernikahan. Menurut Dr. Boyke,
pasien yang diterimanya kebanyakan remaja yang jadi korban pemerkosaan
atau remaja yang ingin bertobat dari pergaulan seks bebas yang kemudian
ingin menikah. Beliau juga menjelaskan, para dokter yang menangani
hymenoplasty di Indonesia sepakat tidak mau melayani pasien yang tidak
didampingi orangtua
Hymenoplasty juga memiliki beberapa efek samping, antara lain dapat mengakibatkan pembengkakan dan rasa sakit pada vagina, serta bisa
menyebabkan demam, infeksi, dan gangguan saraf pada alat vital wanita
tersebut
(http://www.whereismydoctor.com/guides/plastic-surgery/genital-surgery/hymenoplasty_revirginization;
http://www.onlinesurgery.com/article/potential-side-effects-of-hymenoplasty.html). Selain itu, biaya operasi ini yang juga tidak termasuk
murah. Sebagai contoh, biaya hymenoplasty di Rumah Sakit Happyland Yogyakarta berkisar antara Rp 8.500.000,- sampai Rp 10.000.000,-.
Selain hymenoplasty, ternyata ada lagi cara lain untuk bisa menjadi perawan, yaitu dengan cara menggunakan selaput dara palsu. Alat ini
belakangan marak digunakan di Eropa, Asia, hingga ke Timur Tengah. Salah
satu merek selaput dara palsu itu adalah Gigimo. Selaput dara palsu buatan China tersebut diyakini bisa membuat vagina wanita layaknya perawan dan
bisa mengeluarkan cairan seperti darah perawan. Alat itu sudah masuk ke
Indonesia dengan cara diselundupkan
(http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/02/06/kembali-perawan-setelah-punya-anak/).
Masalah hilangnya keperawanan wanita ini juga menimbulkan
perasaan depresi bagi banyak wanita. Pusat Pelatihan Hypnosis &
Hypnotherapy, Indonesian Hypnosis Association di Jepara, Jawa Tengah,
(http://www.hypnosis45.com/tidak_perawan.htm). Wanita memang memiliki
rasa takut yang lebih besar dibandingkan laki-laki dalam mengungkapkan
bahwa keperawanannya telah hilang. Hal ini dianggap dapat menuai opini
negatif dari publik dan berpengaruh buruk terhadap pernikahan mereka di
masa depan (Papalia & Olds, 1986).
Sebuah percakapan personal juga pernah dilakukan Penulis dengan
seorang teman perempuan, sebut saja Dominique. Dominique bercerita bahwa
ia pernah berada dalam sebuah hubungan cinta yang destruktif dengan
seorang pria ketika ia berumur 20 tahun. Dikatakan destruktif karena pacar
Dominique ini sering melakukan pelecehan terhadap dirinya, baik secara
seksual, fisik, psikis, maupun ekonomi. Lelaki ini juga ternyata diam-diam
memiliki pacar lain selain Dominique, yang menunjukkan bahwa lelaki ini
tidak setia dan tidak bisa dipercaya. Namun, walau sudah menyadari
keburukan hubungannya dengan laki-laki ini, Dominique sempat mengalami
masa-masa di mana dia tetap bertahan dengannya karena mempertimbangkan
keperawanannya yang sudah diberikannya terhadap sang pacar. Dominique
berpikir bahwa tidak akan ada laki-laki lain yang mau menjadi pacar, apalagi
suaminya, jika ia putus dengan pacarnya saat itu. Hal ini disebabkan
Dominique yakin pria-pria lain tidak akan mau menerima dirinya yang sudah
tidak perawan, sehingga akhirnya ia merasa harus bertahan dengan pacarnya
itu.
Segala isu itu membuat para wanita lajang tetapi sudah tidak perawan
khususnya dari laki-laki yang akan menjadi pendamping hidup mereka.
Tentunya hal itu tidak benar karena ada sejumlah pria yang tidak menuntut
keperawanan calon istri mereka berdasarkan survei yang dilakukan Dr. Boyke
(http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/02/06/kembali-perawan-setelah-punya-anak/). Setiap individu memiliki permisivitas yang
berbeda-beda terhadap segala hal, tergantung oleh berbagai faktor yang berhubungan
dengan diri masing-masing individu tersebut. Oleh karena itu, Penulis ingin
meneliti faktor-faktor yang diduga berkorelasi dengan permisivitas pria
terhadap keperawanan wanita lajang.
Penelitian yang serupa pernah dilakukan cukup banyak peneliti lain.
Namun, sejauh yang Penulis temukan, belum ada yang benar-benar fokus
meneliti faktor apa saja pada pria yang berkorelasi dengan permisivitasnya
terhadap keperawanan wanita lajang, khususnya di Indonesia. Penulis akan
menjadikan beberapa penelitian lain tersebut sebagai referensi dalam
menentukan faktor apa saja yang diduga berkorelasi dengan permisivitas pria
terhadap keperawanan wanita lajang. Faktor-faktor itu adalah standar ganda,
daerah asal, status sosio-ekonomi, religiusitas, pengetahuan tentang hal-hal
seputar seks, ras / suku / etnis, dan keperjakaan.
Selain dari penelitian-penelitian ilmiah, Penulis juga akan menguji
beberapa faktor yang diambil dari data diri yang sering muncul di biro jodoh
koran maupun online. Rubrik atau situs semacam ini cukup laris bagi kalangan masyarakat Indonesia yang ingin mencari pasangan, dilihat dari
yang memiliki 5752 anggota pria dan 3052 anggota wanita
(http://birojodohkristen.com/). Itu baru jumlah pengguna satu situs saja dari
sekian banyak situs biro jodoh yang muncul di Google. Maka itu, Penulis
ingin meneliti permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang yang dimiliki
pria ditinjau dari hal-hal yang sering dicantumkan pada profil biro jodoh. Hal
ini diharapkan akan memudahkan para wanita yang sedang mencari calon
pendamping hidup untuk melihat secara implisit harapan pria terhadap
keperawanan mereka dari membaca karakteristik-karakteristik diri yang
mereka cantumkan itu. Dari data beberapa biro jodoh yang Penulis teliti,
disimpulkan bahwa karakteristik yang paling sering muncul pada profil pria
dalam biro jodoh adalah agama / kepercayaan, keadaan tinggal, kebiasaan
merokok, status pernikahan, usia, serta deskripsi diri. Untuk deskripsi diri,
yang sering muncul adalah sifat humoris, sabar, jujur, dan setia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang
ingin diteliti, yaitu faktor apa sajakah yang memiliki korelasi signifikan
dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang?
C. Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian, baik penelitian ilmiah maupun non ilmiah
ingin dicapai adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang memiliki korelasi
signifikan dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, manfaat yang diharapkan
adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi mengenai faktor yang berkorelasi signifikan
dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang.
b. Menambah khasanah dalam ilmu pengetahuan, khususnya bidang
psikologi sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat berguna untuk
membantu mereka mengetahui faktor apa saja yang berhubungan
dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita.
b. Secara khusus, bagi wanita lajang, dapat memperkirakan pria mana
yang memandang keperawanan sebagai hal yang mutlak perlu
dipertahankan sebelum pernikahan dan mana yang tidak dengan
melihat faktor yang berkorelasi dengan permisivitas mereka, sehingga
dapat lebih terarah dalam mencari pasangan yang sesuai kondisi serta
keinginan wanita itu sendiri.
c. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan dan wawasan sehingga
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keperawanan
1. Pengertian keperawanan
Secara arti kata, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998),
keperawanan adalah perihal perawan, kesucian atau kemurnian seorang
gadis, dan kegadisan. Sedangkan perawan, sebagai kata dasarnya, diartikan
sebagai anak perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki.
Cortese (1996, dalam Sari, 2003) mengungkapkan bahwa
mendefinisikan keperawanan bukanlah hal yang mudah. Salah satu hal
yang menyulitkan pendefinisian tersebut adalah bila hal tersebut terkait
dengan homoseksualitas, di mana aktivitas seksual tidak dilakukan dengan
cara yang umum seperti dalam pola heteroseksual.
Sementara dalam penelitian yang dilakukan Silva, Scensul, dan
Ratnayake (2000, dalam Widiarto, 2005) di Sri Lanka, keperawanan
cenderung diartikan secara fisiologis sebagai keutuhan selaput dara atau
hymen pada saat hubungan seks pertama kali terjadi, dan pada wanita hal ini diyakini harus terjadi pada saat pernikahan. Dalam penelitian tersebut,
Silva dkk. melakukan wawancara terhadap para responden dan meminta mereka mendefinisikan keperawanan. Dari wawancara tersebut, terangkum
aspek biologis, dan aspek perilaku. Aspek sosial mengacu pada
keperawanan sebagai alat untuk mengukur kesucian seorang wanita.
Aspek biologis mengarah pada hal-hal yang bersifat fisik, misalnya bagian
keperawanan diukur dari keutuhan selaput dara dan pendarahan sebagai
pertanda hilangnya keperawanan. Aspek perilaku lebih memandang
keperawanan dari segi perilaku menjaga dan mempertahankan selaput dara
dengan tidak melakukan hubungan seksual.
Dari survei awal yang dilakukan Penulis dengan para responden
melalui personalmessage Facebook, ditemukan juga beragam definisi dari keperawanan. Dari semua jawaban yang terkumpul, disimpulkan bahwa
ada dua macam keperawanan, yaitu perawan secara fisik dan perawan
secara psikologis. Perawan secara fisik adalah wanita yang masih memiliki
selaput dara, sementara perawan secara psikologis adalah wanita yang
tidak pernah melakukan aktivitas seksual yang meliputi sexual intercourse,
oral sex, anal sex, dan petting.
Dari berbagai definisi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa secara
garis besar keperawanan memang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
keperawanan secara fisik dan keperawanan secara psikologis.
a. Keperawanan secara fisik
Keperawanan secara fisik adalah keperawanan yang ditandai
Selaput dara atau hymen adalah suatu lipatan selaput lendir yang menutupi pintu liang senggama (introitus vagina), bentuknya biasanya bulat sebagaimana bentuk liang vagina, tetapi ada juga yang seperti
bulan sabit (bentuk semilunar), bahkan ada yang mempunyai Septum
(pemisah). Konsistensi selaput dara pun berbeda-beda, ada yang kaku
sampai yang lunak sekali, letaknya hanya sekitas 1-2 cm dari bibir
vagina. Lubang selaput dara yang masih utuh umumnya hanya bisa
dilalui oleh jari kelingking.
Umumnya selaput dara robek ditandai dengan keluarnya darah.
Tapi sebagian kecil wanita justru tidak mengeluarkan darah, ini
disebabkan karena sesungguhnya selaput dara itu sangat sedikit
mengandung pembuluh darah. Biasanya semakin tipis selaput dara,
darah yang keluar juga sangat sedikit sehingga tidak kelihatan.
Beberapa selaput dara cukup elastis untuk mengizinkan penis
masuk tanpa merobek, atau hanya merobek sebagian kecil dari selaput
dara. Ini biasanya memang benar jika perobekan pertama terjadi secara
bertahap dengan jari tangan atau obyek lainnya selama periode tertentu.
Sisa dari selaput dara biasanya masih ada sampai seorang wanita
melahirkan bayinya secara normal
(http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=978&tbl=biaswani
b. Keperawanan secara psikologis
Keperawanan secara psikologis adalah keperawanan yang
ditandai dengan belum pernahnya seorang wanita melakukan hubungan
seks yang meliputi sexual intercourse, oral sex, anal sex, dan petting.
Sexual intercourse biasanya mengacu pada tindakan di mana penis laki-laki memasuki vagina wanita untuk tujuan kenikmatan
seksual atau reproduksi
(http://en.wikipedia.org/wiki/Sexual_intercourse).
Oral sex adalah aktivitas seksual yang melibatkan stimulasi dari alat kelamin pasangan seks dengan menggunakan mulut, lidah, gigi,
atau tenggorokan (http://en.wikipedia.org/wiki/Oral_sex).
Anal sex adalah tindakan seks di mana penis dimasukkan ke dalam anus pasangan seksual (http://en.wikipedia.org/wiki/Anal_sex).
Petting, atau juga dikenal sebagai outercourse, adalah hubungan seks tanpa penetrasi vagina, anal, atau oral
(http://en.wikipedia.org/wiki/Non-penetrative_sex).
2. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang
a. Pengertian permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang
Hilangnya keperawanan wanita, baik secara fisik maupun
psikologis, yang belum pernah menikah sering memicu terjadinya
berbagai problema, seperti yang sudah dicontohkan pada bab
dengan permisivitas terhadap keperawanan wanita lajang. Dalam
penelitian ini, khususnya permisivitas kaum pria.
Kata permisif memiliki idiom dengan kata serba boleh
(Sarwono, 1989). Permisivitas sendiri adalah suatu sikap atau
karakteristik seseorang yang cenderung liberal dan memperbolehkan
kebebasan perilaku dan sikap kepada orang lain yang ia punyai
wewenang (Reber, 1995).
Dari definisi permisivitas tersebut, maka permisivitas terhadap
keperawanan wanita lajang dapat disimpulkan sebagai suatu sikap atau
kecenderungan untuk lebih terbuka dan membebaskan wanita untuk
kehilangan keperawanannya sebelum ikatan pernikahan.
b. Faktor-faktor dari jurnal ilmiah yang diduga berhubungan dengan
permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang
Dari berbagai jurnal ilmiah yang Penulis jadikan referensi
penelitian ini, diduga ada bermacam-macam faktor yang berhubungan
dengan permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang. Faktor
yang pertama adalah faktor standar ganda. Gonzáles-López (2004)
mengatakan bahwa persepsi seorang ayah berkebangsaan Meksiko
terhadap keperawanan anak perempuannya diwarnai/dipengaruhi
budaya maskulin dan patriarki di daerah asalnya. Sementara menurut
Berggren, Ahmed, Hernlund, Johansson, Habbani, & Edberg (2006),
mereka yang mengharuskan mereka selalu menunjukkan maskulinitas
dalam kehidupan seksual mereka, sementara para wanita
disosialisasikan untuk tidak mengekspresikan hasrat seksual mereka.
Isu standar ganda seperti ini juga dinyatakan dalam penelitian
Muehlenhard & Cook (1988), bahwa standar ganda di Amerika Serikat
menuntut wanita untuk tidak kehilangan keperawanannya sebelum
pernikahan, sementara pria bukan hanya diperbolehkan melakukannya,
tapi bahkan dituntut untuk kehilangan keperjakaannya sebelum
menikah. Namun, penelitian Damanik (2006) mengatakan hal yang lain,
bahwa sebagian besar responden yang notabene adalah orang Indonesia
telah menyadari bahwa tuntutan untuk tidak berhubungan seks sebelum
menikah seharusnya diberlakukan seimbang untuk laki-laki dan
perempuan. Terbukti, bahwa persentase responden yang menganggap
perempuan harus perawan hingga saatnya menikah (82,58%) hampir
seimbang dengan responden yang merasakan laki-laki juga mesti
perjaka sebelum menikah (76,35%). Sedangkan Topan (1995)
mengungkapkan bahwa walau sesungguhnya pria dan wanita di
komunitas Swahili di Afrika sama-sama diharapkan untuk menghindari
seks sebelum pernikahan, tetap saja budaya ini terfokus pada
keperawanan wanitanya.
Sementara itu, Sa’ar (2004) menemukan bahwa wanita
Israel-Palestina dituntut untuk menjaga keperawanannya secara fisik maupun
yang menjadi tradisi di sana. Crawford & Popp (2003) mengutip bahwa
keperawanan para wanita Hispanik atau keturunan Latin di Amerika
Serikat yang belum menikah bersifat imperatif atau mutlak diperlukan,
dikarenakan hal ini menunjukkan kehormatan keluarga yang
membesarkan wanita tersebut. Kurang lebih sama dengan apa yang
dikatakan Derné (1994), yaitu bahwa para ayah di India sangat
memonitor perilaku anak perempuan mereka yang belum menikah,
demi menjaga agar keperawanan sang anak yang diyakini sebagai
kehormatan keluarga mereka tetap utuh sebelum hari pernikahan.
Keperawanan, menurut Castelli (1986), dikatakan sebagai alat
ukur untuk menilai seorang wanita di zaman Roman yang menganut
tradisi maskulinitas. Sementara itu, menurut Leclerc-Madlala &
Leclerc-Madlala (2003), isu mengenai keperawanan wanita lebih marak
dibicarakan di masyarakat yang menganut garis keturunan patrilineal.
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Forster (2005), peraturan
mengenai seksualitas dibuat untuk memperkuat sistem patriarki.
Trisnawati & Wulanyani (2006) juga menyatakan bahwa persepsi
remaja Bali tentang kehamilan di luar nikah sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya.
Faktor kedua yang diduga berhubungan dengan permisivitas pria
terhadap keperawanan wanita lajang adalah faktor daerah asal.
Menurut Gonzáles-López (2004), para ayah yang berasal dari daerah
penting, sementara para ayah yang berasal dari daerah pedesaan justru
sebaliknya. Sementara itu, Amuchástegui (1999) menyatakan bahwa
penerimaan masyarakat Meksiko terhadap kondisi keperawanan
seorang wanita bervariasi, tergantung pada daerah asal mereka. Wanita
yang berasal dari daerah pedesaan akan lebih menjaga keperawanannya
sebelum menikah dibandingkan wanita dari daerah perkotaan. Bila
seorang wanita desa pindah ke kota besar, pemikirannya terhadap seks
akan lebih terbuka, tetapi dia cenderung akan tetap merasa bersalah jika
sampai melakukan hubungan seks di luar nikah karena merasa telah
menodai norma di daerah asalnya. Sama halnya seperti di Meksiko,
berdasarkan penelitian Knodel, Low, Saengtienchai, & Lucas (1997),
persepsi masyarakat Thailand terhadap keperawanan lebih konservatif
atau tidak permisif di daerah rural dibandingkan di daerah urban.
Sedangkan Hill, Cleland, & Ali (2004) menemukan fakta bahwa
kecenderungan pria untuk melakukan hubungan seks di luar nikah lebih
tinggi 3 kali lipat di bagian utara Brazil dibandingkan di bagian selatan
atau tengah negara tersebut.
Faktor ketiga adalah faktor sosio-ekonomi. Faktor ini meliputi
strata sosial dan kondisi finansial seseorang. Selain oleh budaya
maskulin dan patriarki, Gonzáles-López (2004) juga mengatakan bahwa
persepsi seorang ayah terhadap keperawanan anak perempuannya
diwarnai/dipengaruhi oleh faktor kesenjangan sosio-ekonomi di daerah
sosio-ekonomi sebuah keluarga di Jawa sangat relevan dengan pernikahan
anak perempuan mereka. Sementara itu, Forster (2005) menyebutkan
bahwa peraturan mengenai seksualitas juga dibuat untuk mencegah
terjadinya ketidakstabilan secara finansial dalam sebuah keluarga. Pada
penelitian Schlegel (1991), dikatakan bahwa masyarakat yang
melakukan pertukaran hadiah atau mas kawin antara keluarga mempelai
wanita dan mempelai pria cenderung memiliki ekspektasi yang lebih
tinggi terhadap keperawanan sang mempelai wanita. Masyarakat yang
melakukan tradisi pertukaran mas kawin ini adalah masyarakat dari
kalangan atas. Sementara masyarakat yang tidak melakukan tradisi ini,
yang notabene adalah kalangan menengah ke bawah, cenderung tidak
begitu mementingkan keperawanan sang mempelai wanita. Hasil
penelitian Sari (2003) menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap
terhadap keperawanan antara wanita dengan kelas sosial ekonomi atas,
menengah, dan bawah. Perbedaan tersebut secara signifikan
ditunjukkan oleh kelas sosial bawah terhadap kelas atas maupun
terhadap kelas menengah, yaitu lebih tidak permisif terhadap seks
pra-nikah. Trisnawati dkk. (2006) juga mengatakan bahwa ada hubungan
yang kuat antara seksualitas, khususnya kehamilan di luar nikah,
dengan kasta.
Untuk faktor keempat adalah faktor religiusitas. Renne (1993)
menemukan bahwa beberapa wanita Nigeria yang diwawancara untuk
untuk dipertahankan sebelum menikah karena itulah yang diajarkan
dalam Kristianitas. Sama dengan apa yang ditemukan Castelli (1986)
dalam penelitiannya. Para wanita yang tidak permisif ini sangat
mengikuti ajaran agama yang mereka anut. Begitu pula yang dikatakan
Sa’ar (2004) dan Topan (1995), bahwa masyarakat Arab dan Swahili
cenderung tidak permisif terhadap aktivitas seks di luar nikah karena
ajaran agama Islam yang melarang hal tersebut. Hill dkk. (2004)
menyebutkan bahwa pria Brazil yang menganut agama evangelical
cenderung melakukan seks di luar nikah lebih sedikit dibandingkan pria
yang tidak menganut agama apapun. Penelitian Ku, Sonenstein,
Lindberg, Bradner, Boggess, & Pleck (1998) mengungkap bahwa
semakin religius seseorang, maka ia akan semakin tidak permisif dan
tidak menyetujui hubungan seks pra-nikah. Sebuah kutipan dari
penelitian Bearman & Brückner (2001) juga mengatakan bahwa remaja
yang religius cenderung untuk terlibat dalam hubungan seks pra-nikah
lebih terlambat daripada remaja yang tidak religius.
Selanjutnya, yang kelima adalah faktor pengetahuan tentang
hal-hal seputar seks. Leclerc-Madlala dkk. (2003) mengatakan bahwa
ketertarikan publik terhadap isu keperawanan wanita lebih banyak
terlihat atau muncul di negara-negara yang bergumul dengan angka
penderita HIV dan AIDS yang tinggi. Menurut Ku dkk. (1998), edukasi
mengenai AIDS juga terkait dengan turunnya aktivitas seksual pada
para responden yang menyatakan diri mereka masih perawan
menjelaskan bahwa rasa takut terhadap AIDS atau penyakit menular
seksual lainnya adalah alasan mereka mempertahankan ‘kesucian’
mereka. Sementara itu, Damanik (2006) mengungkap bahwa
kebanyakan responden penelitiannya mungkin belum mampu
menempatkan keperawanan dalam konteks dan proporsi sewajarnya,
karena mereka mengatakan bahwa perempuan mutlak harus perawan
hingga saatnya menikah (48,99%). Mutlak berarti sesuatu yang tak bisa
ditawar-tawar lagi. Padahal, ada banyak alasan lain dari hilangnya
keperawanan, seperti sudah dipahami oleh sebagian lagi responden
(51,95%).
Faktor keenam adalah faktor ras / suku / etnis. Crawford dkk.
(2003) menjelaskan tentang sebuah studi yang dilakukan oleh Ward &
Taylor (1994). Dalam studi tersebut, enam focus group dibentuk dan keenamnya adalah kumpulan pelajar dari grup etnis yang berbeda-beda,
yaitu Vietnam, Portugis, African American, kulit putih, Haiti, dan Hispanik. Dari focus group discussion yang dilakukan pada semua grup itu, ditemukan bahwa para pelajar dari semua etnis memiliki cara
pandang standar ganda terhadap seksualitas pria dan wanita. Namun,
beberapa grup etnis menekankan pentingnya keperawanan sebelum
pernikahan lebih dari grup etnis yang lain. Sementara itu, Ku dkk.
(1998) menemukan bahwa perilaku seks anak muda dari ras kulit hitam
perubahan perilaku pada anak muda dari ras lain. Sedangkan pada
penelitian Deardorff, Schann, Flores, & Ozer (2010), terungkap bahwa
di Amerika Serikat, remaja perempuan Latin memiliki angka kehamilan
2,8 kali lebih tinggi daripada remaja kulit putih. Padahal, rata-rata usia
di mana remaja Latin melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya
justru lebih tua dibandingkan remaja kulit putih. Namun, remaja Latin
cenderung untuk tidak memakai alat kontrasepsi ketika mereka mulai
aktif secara seksual.
Faktor ketujuh adalah faktor keperjakaan. Sherwin & Corbett
(1985) menulis bahwa responden penelitiannya yang mengaku masih
perjaka cenderung lebih konservatif terhadap aktivitas seks di luar
nikah dibandingkan responden yang sudah tidak perjaka.
c. Faktor-faktor dari biro jodoh yang diduga berhubungan dengan
permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang
Faktor-faktor lainnya Penulis ambil dari data diri yang sering
muncul dalam lima biro jodoh lokal yang meliputi tiga biro jodoh
online dan dua biro jodoh koran. Tiga biro jodoh online tersebut adalah www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, dan
www.cybermateindonesia.com. Sementara, dua biro jodoh korannya
adalah rubrik Pertemuan koran Kompas dan kolom Biro Jodoh koran
Kedaulatan Rakyat. Faktor-faktor yang sering muncul tersebut adalah
www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas,
kolom Biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), keadaan tinggal
(www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com, kolom Biro
Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), kebiasaan merokok
(www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com,
www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas),
status pernikahan (www.birojodohislami.com,
www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik
Pertemuan koran Kompas, kolom Biro Jodoh koran Kedaulatan
Rakyat), usia (www.birojodohislami.com, www.birojodohkristen.com,
www.cybermateindonesia.com, rubrik Pertemuan koran Kompas,
kolom biro Jodoh koran Kedaulatan Rakyat), serta deskripsi diri.
Untuk deskripsi diri, yang sering muncul adalah sifat humoris, sabar,
jujur, dan setia (www.birojodohislami.com,
www.birojodohkristen.com, www.cybermateindonesia.com, rubrik
Pertemuan koran Kompas).
B. Pria Dewasa Awal
1. Pengertian
Masa awal dewasa (early adulthood) adalah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan
tahun dan yang berakhir pada usia tigapuluhan tahun. Kaum muda berbeda
mandiri dan menjadi terlibat secara sosial, berlawanan dengan perjuangan
remaja untuk mendefinisikan dirinya (Santrock, 2002).
Salah satu kriteria yang menunjukkan permulaan dari masa dewasa
awal adalah dalam kemandirian dalam membuat keputusan. Hal ini berarti
pembuatan keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan
hubungan, serta tentang gaya hidup. Pada waktu muda, seseorang mungkin
mencoba banyak peran yang berbeda, mencari karir alternatif, berpikir
tentang berbagai gaya hidup dan mempertimbangakan berbagai hubungan
yang ada. Individu yang beranjak dewasa biasanya membuat keputusan
tentang hal-hal ini terutama dalam bidang gaya hidup dan karir (Santrock,
2002).
Santrock (2002) membagi perkembangan pada masa dewasa awal
menjadi 3 perkembangan penting pada periode tersebut. Perkembangan
pada masa dewasa awal meliputi: perkembangan fisik, perkembangan
kognitif, dan perkembangan sosio-emosional.
a. Perkembangan fisik pada masa dewasa awal
Pada masa dewasa awal individu tidak hanya mencapai puncak
dari kemampuan fisik, tetapi kemampuan fisik individu juga mulai
menurun selama periode ini. Kekuatan dan kesehatan otot mulai
menunjukkan penurunan sekitar umur 30-an. Bagi sebagian besar
individu, puncak kemampuan fisik dicapai pada usia di bawah 30 tahun,
Uraian di atas menunjukkan bahwa pada masa dewasa awal,
individu sudah mencapai puncak dari kemampuan secara fisik dan
kematangan dalam reproduksi untuk fungsi pengembangbiakan
sehingga hal ini akan membantu individu tersebut dalam menentukan
sikap.
b. Perkembangan kognitif pada masa dewasa awal
Beberapa ahli perkembangan percaya bahwa baru pada saat
masa dewasalah individu mengatur pemikiran operasional formal
mereka sehingga mereka mungkin merencanakan dan membuat
hipotesis tentang masalah-masalah seperti remaja, tetapi mereka
menjadi lebih sistematis ketika mendekati masalah sebagai orang
dewasa. Sementara beberapa orang dewasa lebih mampu menyusun
hipotesis daripada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah
dari suatu permasalahan. Banyak orang dewasa yang tidak berpikir
dengan cara operasional formal sama sekali (Keating, dalam Santrock,
2002).
Labouvie (1986, dalam Santrock, 2002) percaya bahwa hakekat
awal yang pasti dari logika remaja dan optimisme berlebihan pada
kaum muda akan menghilang di awal masa dewasa. Integrasi baru dari
pikiran terjadi pada masa dewasa awal. Dia berpikir bahwa tahun-tahun
masa dewasa akan menghasilkan pembatasan-pembatasan pragmatis
analisis logis dalam memecahkan masalah. Komitmen, spesialisasi, dan
penyaluran energi ke dalam usaha seseorang untuk memperoleh tempat
dalam masyarakat dan sistem kerja yang kompleks menggantikan
ketertarikan remaja pada logika yang idealis.
Perry (1970, dalam Santrock, 2002) juga mencatat
perubahan-perubahan penting tentang cara berpikir orang dewasa muda yang
berbeda dengan remaja. Ia percaya bahwa remaja yang sering
memandang dunia dalam dualisme polaritas mendasar seperti benar /
salah, kita / mereka, atau baik / buruk. Pada waktu kaum muda mulai
matang dan memasuki tahun-tahun masa dewasa, mereka mulai
menyadari perbedaan pendapat dan berbagai perspektif yang dipegang
orang lain, yang mengguncang pandangan dualistik mereka. Pemikiran
dualistik mereka digantikan oleh pemikiran beragam, saat itu individu
mulai memahami bahwa orang dewasa tidak selalu memiliki semua
jawaban. Mereka mulai memperluas wilayah pemikiran individualistik
dan mulai percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan berbeda.
Berdasarkan teori Erickson, isu utama pada masa dewasa awal
adalah mengenai intimacy versus isolation. Intimasi atau kelekatan adalah kapasitas untuk berkomitmen dalam sebuah hubungan yang
memerlukan pengorbanan dan kompromi. Sebelum seseorang
mengembangkan kelekatan, penting untuk memiliki suatu identitas diri
dewasa muda seseorang siap untuk menerapkan identitas itu terhadap
orang lain (Papalia & Olds, 1986).
c. Perkembangan sosio-emosional pada masa dewasa awal
Pada masa dewasa awal, orang mulai mempertimbangkan
keputusan untuk menikah atau melajang, dan untuk mempunyai anak
atau tidak. Fase ini disebut sebagai siklus kehidupan keluarga. Dua
tahap pertama pada siklus ini sendiri adalah 1) meninggalkan rumah;
orang dewasa muda hidup sendiri, 2) penggabungan keluarga melalui
pernikahan; pasangan baru (Santrock, 2002).
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pasangan yang tidak
bahagia menunjukkan harapan yang tidak realistik tentang pernikahan
(Epstein & Eidelson, 1981; dalam Santrock, 2002). Harapan tidak
realistik tersebut dipengaruhi oleh berbagai mitos tentang pernikahan
yang tidak didukung oleh fakta. Larson (1988, dalam Santrock, 2002)
membuat sebuah kuis untuk mengukur informasi tentang pernikahan
pada mahasiswa perguruan tinggi dan membandingkan respon mereka
dengan apa yang diketahui tentang pernikahan dari penelitian literatur.
Respon mereka umumnya salah pada hampir separuh item yang ada.
Mahasiswa melakukan lebih banyak kesalahan daripada mahasiswi.
Selain itu, mahasiswa berpersepsi kurang romantis membuat lebih
2. Batasan
Berdasarkan uraian dan ciri-ciri tersebut di atas, Penulis
menggunakan kelompok usia minimal dewasa awal sebagai subjek
penelitian ini, dengan alasan bahwa pada usia ini pria telah mencapai
kematangan secara fisik, mampu berpikir sistematis, dan mempunyai
pemikiran yang beragam mengenai suatu masalah. Pria pada masa ini juga
sudah mempunyai komitmen, kesiapan, dan kemandirian dalam membuat
keputusan, serta telah memikirkan mengenai pernikahan. Hal ini akan
sangat membantu dalam menentukan permisivitas mereka terhadap
keperawanan wanita lajang. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1, usia subjek ditetapkan
minimal 19 tahun sebagaimana usia minimal pria Indonesia untuk dapat
menikah.
C. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas beberapa pertanyaan
penelitian (Azwar, 1999). Penulis mengajukan beberapa hipotesis
berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dan dugaan pribadi
Penulis berdasarkan biodata pengguna biro jodoh yang sering dicantumkan:
1. Ada hubungan signifikan antara tinggi-rendahnya permisivitas pria
terhadap keperawanan wanita lajang dengan tingkat standar ganda, status
sosio-ekonomi, religiusitas, pengetahuan tentang hal-hal seputar seks,
2. Ada perbedaan tinggi-rendahnya permisivitas pria terhadap keperawanan
wanita lajang yang signifikan antara pria yang perjaka dan tidak perjaka,
yang humoris dan tidak humoris, yang penyabar dan tidak penyabar,
yang jujur dan tidak jujur, serta yang setia dan tidak setia. Selain itu juga
antara daerah asal, ras / suku / etnis, agama / kepercayaan, keadaan
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, yang berarti penelitian
ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta
hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan
menggunakan model-model matematis, teori-teori, dan/atau hipotesis yang
berkaitan dengan fenomena alam
(http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kuantitatif). Penelitian dengan
pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerik yang
diolah dengan metode statistika. Pada dasarnya, penelitian kuantitatif
dilakukan pada penelitian inferensial (pengujian hipotesis) dan menyandarkan
kesimpulan hasilnya pada suatu probablilitas kesalahan penolakan hipotesis
nihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan
kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang akan diteliti
(Dharminto, 2000).
Selain itu, penelitian ini juga termasuk penelitian studi korelasional,
yaitu penelitian yang mempelajari hubungan dua variabel atau lebih, yakni
sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam
variabel lain. Korelasi dapat menghasilkan dan menguji suatu hipotesis
hubungan antara dua variabel. Ada tiga kemungkinan hasil dari studi
korelasional, yaitu korelasi positif (>0 sampai +1), korelasi negatif (<0
sampai –1), dan tidak ada korelasi (0).
B. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas (independent)
Variabel bebas (independent) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel tergantung
(dependent). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas (independent) adalah standar ganda, daerah asal, status sosio-ekonomi, religiusitas, pengetahuan tentang hal-hal seputar seks, ras / suku / etnis,
keperjakaan, agama, keadaan tinggal, kebiasaan merokok, status
pernikahan, usia, sifat humoris, sifat sabar, sifat jujur, dan sifat setia.
2. Variabel tergantung (dependent)
Variabel tergantung (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (independent). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel tergantung (dependent) adalah permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang.
C. Definisi Operasional
1. Standar Ganda
Standar ganda yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk
dan karena itu dianggap tidak adil. Misalnya, seorang pria yang
mempunyai banyak pasangan dalam melakukan hubungan seks dianggap
hebat atau "jantan", sementara seorang wanita yang melakukan hal yang
sama akan dianggap murahan. Contoh lainnya, wanita sering dituntut
tetap perawan pada hari pernikahannya, sementara pria biasanya tidak
dituntut seperti itu.
Variabel ini akan diukur menggunakan skala bernama Double Standard Scale (Caron, Davis, Halteman, & Stickle, 1993) yang dimasukkan dalam Kuesioner II. Skala pengukuran ini terdiri dari 10 item
di mana subjek harus memberikan satu respon dari pilihan angka 1 sampai
5, yang berarti (1) untuk “sangat setuju” dan (5) untuk “sangat tidak
setuju”. Semakin kecil skor yang didapat responden, maka artinya ia pun
semakin menganut prinsip standar ganda. Skala ini telah terbukti reliabel
dengan nilai Aplha Cronbach sebesar 0,72. Selain itu, skala ini dinilai mudah untuk digunakan.
2. Daerah asal
Daerah asal yang dimaksud dalam penelitian adalah jenis daerah
yang dianggap subjek sebagai kampung halamannya.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih
3. Status sosio-ekonomi
Status sosio-ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kelas sosial dan ekonomi subjek dalam masyarakat ditentukan oleh tingkat
pendidikan, pengeluaran per bulan, dan jenis pekerjaannya.
Variabel ini akan diukur menggunakan indeks SES (socioeconomic status) yang dimasukkan dalam Kuesioner II, dan yang diadaptadi dari indeks SES dalam Spencer (1985). Semakin tinggi skor yang didapat
responden, maka semakin tinggi pula status sosio-ekonominya. Item
“Pendapatan per bulan” dimodifikasi sendiri oleh Penulis berdasarkan
standar UMP Yogyakarta tahun 2012
(http://www.gajimu.com/main/gaji/Gaji-Minimum/ump-2012) yang dinilai
bisa mewakili daerah-daerah lainnya.
4. Religiusitas
Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seberapa
besar agama berpengaruh dalam kehidupannya dan juga seberapa jauh
pelaksanaan ibadah serta besarnya penghayatan atas agama yang
dianutnya.
Variabel ini akan diukur menggunakan skala yang diadaptasi dari
(1) untuk “sangat setuju” dan (5) untuk “sangat tidak setuju”. Semakin
kecil skor yang didapat responden, maka artinya ia semakin religius.
5. Pengetahuan tentang hal-hal seputar seks
Pengetahuan tentang hal-hal seputar seks yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pengetahuan subjek tentang reproduksi, alat
kontrasepsi, kesehatan seksual, dan AIDS.
Variabel ini akan diukur menggunakan alat bernama Sexual Knowledge Scale (Chao, Lin, Ma, Ku, Tsai, Shi, 2010) yang dimasukkan dalam Kuesioner II. Skala pengukuran ini terdiri dari 30 item di mana subjek harus memberikan respon “Benar” atau “Salah” pada setiap item
tersebut. Semakin tinggi skor yang didapat responden, artinya semakin
banyak pengetahuan yang telah dimilikinya. Skala ini telah terbukti
reliabel dengan nilai Aplha Cronbach sebesar 0,804. Selain itu, skala ini dinilai mudah untuk digunakan.
6. Ras / suku / etnis
Ras / suku / etnis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
karakteristik subjek berdasarkan ciri-ciri fisik dan daerah asalnya.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih
satu dari beberapa pilihan ras / suku / etnis yang tercantum pada Kuesioner
II.
7. Keperjakaan
Keperjakaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan di
mana pria / subjek penelitian belum pernah melakukan hubungan seks.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek
menentukan sendiri apakah ia seorang perjaka atau bukan pada Kuesioner
II.
8. Agama / kepercayaan
Agama / kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih
satu dari beberapa pilihan agama yang tercantum pada Kuesioner II.
9. Keadaan tinggal
Keadaan tinggal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan
siapa subjek penelitian tinggal saat ini.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih
10. Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
seberapa sering subjek penelitian merokok.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek
menentukan seberapa sering subjek merokok pada skala yang ada pada
Kuesioner II.
11. Status pernikahan
Status pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pernyataan yang dibuat oleh subjek penelitian mengenai apakah dia
adalah seorang lajang, pria beristri, atau duda.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek memilih
satu dari beberapa pilihan status pernikahan yang tercantum pada
Kuesioner II.
12. Usia
Usia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perhitungan tahun
yang dimulai dari saat kelahiran subjek penelitian sampai dengan waktu
mengisi kuesioner penelitian.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek
13. Sifat humoris
Sifat humoris yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kemampuan subjek penelitian dalam melihat humor atau sisi lucu dari
segala hal yang dilihat, didengar, atau dirasakan.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek
menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat humoris atau tidak
pada Kuesioner II.
14. Sifat sabar
Sifat sabar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
subjek penelitian dalam menghadapi segala sesuatu dengan kepala
dingin, tidak emosional, dan tidak terburu-buru.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek
menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat sabar atau tidak
pada Kuesioner II.
15. Sifat jujur
Sifat jujur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
subjek penelitian untuk berkata atau bertindak sesuai kenyataan, tanpa
penipuan, dan tanpa kecurangan.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek
menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat jujur atau tidak
16. Sifat setia
Sifat setia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
subjek untuk berpegang kuat pada komitmen dalam hubungan cinta,
untuk tidak mengkhianati pasangan dengan cara selingkuh atau hal
lainnya.
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan meminta subjek
menentukan sendiri apakah ia seseorang yang bersifat setia atau tidak
pada Kuesioner II.
17. Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang
Permisivitas pria terhadap keperawanan wanita lajang yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu sikap atau kecenderungan
pria untuk lebih terbuka dan membebaskan wanita untuk kehilangan
keperawanannya sebelum ikatan pernikahan.
Variabel ini akan diukur menggunakan skala ukur permisivitas
pada Kuesioner II yang dibuat oleh Penulis berdasarkan hasil Survei
Awal dan Kuesioner I yang disebarkan Penulis sebelumnya kepada
D. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi (population/universe) dalam statistika merujuk pada sekumpulan individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian
dalam suatu penelitian (pengamatan). Populasi dalam penelitian ini adalah
pria. Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah pria berusia
minimal 19 tahun. Pada usia ini pria telah mencapai kematangan secara
fisik, mampu berpikir sistematis, dan mempunyai pemikiran yang beragam
mengenai suatu masalah. Pria pada masa ini juga sudah mempunyai
komitmen, kesiapan, dan kemandirian dalam membuat keputusan, serta
telah memikirkan mengenai pernikahan (Santrock, 2002). Selain itu,
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7
ayat 1, usia 19 tahun adalah usia minimal pria Indonesia untuk dapat
menikah.
2. Sampel
Sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil
menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya.
Pengambilan sampel harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh
sampel yang benar-benar dapat berfungsi sebagai contoh, atau dapat
menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Dengan kata lain,
Dalam penelitian ini, digunakan sampling non-probabilitas, yakni
teknik pengambilan sampel di mana setiap elemen tidak memiliki peluang
yang sama untuk menjadi sampel. Dapat dikatakan, peluang dalam sampel
tidak sama dengan peluang dalam populasi. Secara khusus, Penulis akan
menggunakan teknik quota sehingga dapat menggunakan strata populasi
untuk menyeleksi anggota sampel yang representatif / tipikal / cocok untuk
maksud penelitian ini.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Survei Awal
Metode ini dipakai untuk mengetahui berbagai jenis keperawanan
wanita lajang. Penulis membuat survei awal melalui personal message
pada akun Facebook pribadinya. Responden pria dan wanita diminta untuk
menuliskan semua jenis keperawanan wanita lajang menurut opini pribadi
mereka sendiri. Survei ini terus dibuka sampai tidak ada lagi responden
yang memberikan jawaban yang baru dan berbeda dengan jawaban para
responden sebelumnya, dan akhirnya terkumpul 13 jenis keperawanan
wanita lajang.
2. Kuesioner I: Nilai Keperawanan Wanita Lajang
Setelah berbagai jenis keperawanan wanita lajang diketahui dari
hasil Survei Awal, Kuesioner I dirancang untuk mengukur nilai / bobot