• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

C. Persepsi apoteker Mengenai Kelengkapan Resep dan

1. Persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep

Sebanyak 70% responden menyatakan bahwa semua aspek kelengkapan resep penting untuk dimuat dalam resep, karena dianggap dapat menjamin keberhasilan terapi yang mengacu pada patient oriented ataupun patient safety. Responden menyadari bahwa semua aspek kelengkapan resep dapat meningkatkan komunikasi antara dokter dengan apoteker atau asisten apoteker untuk kemudahan interpretasi dan analisis resep, sehingga dapat meminimalisir terjadinya medication error.

Tabel IX. Persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep (%) (%) (%)

No Pernyataan (SS+S) N (TS+STS) Kecenderungan

1 Resep harus memuat identitas 100 0 0 Setuju

dokter

2 Resep tidak perlu mencantumkan

tanggal penulisan 0 0 100 Tidak Setuju

3 Resep harus memuat identitas 95 0 5 Setuju

pasien

4 umkan

jumlah

Resep tidak perlu mencant

obat 0 0 100 Tidak Setuju

5 Resep harus mencantumkan

aturan pakai 100 0 0 Setuju

6 Resep tidak perlu mencantumkan kekuatan obat (Contoh: 10 mg, 20 mg, dll)

0 5 95 Tidak Setuju

7 Resep harus mencantumkan berat

badan dan umur pasien 90 5 5 Setuju

8 Resep tidak perlu mencantumkan

nama dan alamat pasien 0 0 100 Tidak Setuju

9 Resep harus mencantumkan tanda

tangan dokter 100 0 0 Setuju

100 100 100 100 4 80 120 95 95 100 90 SS+S 60 % N TS+STS

Gambar 28. Persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep (P) 0 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Keterangan :

SS = Sangat Setuju S = Setuju N = Netral TS = Tidak Setuju STS = Sangat Tidak Setuju P = Pernyataan seperti pada Tabel IX

a. Perse ep

(resep at identita )

lihatka hwa uruh re nden telah ari sepenuhnya arti penting penulisan identitas dokter dalam resep. Pencantuman aspek identitas dokter dengan lengkap dan jelas sangat diperlukan untuk

m di a tek, te utama apabila ada hal-h

m kan konfi asi le ih lanjut kepada dokter enulis

r dokter penulis resep juga berperan untuk

m resep i lingku gan masyarakat.

b i pe isan tanggal dalam resep (resep tidak al pe lisan

kk hwa luruh re onden cende dak setuju apabila dalam resep tidak dicantumkan tanggal penulisannya. Pencantuman tanggal penulisan resep akan me in legalitas suatu resep. Menurut Rees (2004), syarat suatu resep dikatakan sah adalah apabila diberi tanggal dan ditandatangani oleh dokter penulis resep. Hal ini merupakan tanggung jawab dari apoteker untuk mengecek apakah yang tercantum dalam resep adalah tanggal yang benar dan tanda tangan asli dari dokter yang menulisnya.

c. Persepsi ap k r m genai penulisan identitas pasien dalam resep (resep

haru e ien

Sebagian besar responden (95%) menyatakan bahwa komponen identitas pasi

yang menjawab tidak setuju. Kemungkinan yang menyebabkan responden menjawab tidak setuju adalah kekurangtelitian responden saat membaca item

psi apoteker mengenai penulisan identitas dokter dalam res harus memu s dokter

Gambar 28. memper n ba sel spo menyad

emperlancar pelayanan resep po r al yang

eragukan dan membutuh rm b p

esep. Keberadaan identitas

enghindarkan penyalahgunaan d n . Persepsi apoteker mengena

perlu mencantumkan tangg

n lu nu )

Hasil penelitian menunju an ba se sp rung ti

njam

ote e en

ncantumkan identitas pas

s m )

pernyataan yang tersusun berseling antara item yang bersifat favourabel dan

onfavourabel.

d. Persepsi apoteker mengenai penulisan jumlah obat dalam resep (resep

jelas. Menurut

emperlambat pelayanan di apotek, juga akan merugikan pasien karena berpengaruh terhadap hasil terapi dan harga obat yang harus ditanggung oleh pasien.

e. Persepsi apoteker mengenai penulisan aturan pakai obat dalam resep

dari aspek aturan

enyatakan kesetujuannya apabila aspek aturan pakai obat dicantumkan dalam resep.

f. Persepsi apoteker mengenai penulisan kekuatan obat dalam resep (resep

tidak setuju apabila aspek kekuatan obat tidak dituliskan dalam resep. Namun satu

n

tidak perlu mencantumkan jumlah obat)

Berdasarkan penelitian, seluruh responden tidak setuju apabila resep tidak mencantumkan jumlah obat. Hal ini dimungkinkan karena responden menganggap apabila jumlah total obat tidak ditulis dalam resep akan membingungkan staf farmasi yang melayani resep, karena berapa banyak obat yang harus diberikan kepada pasien tidak diketahui dengan

Rahmawati dan Oetari (2002), tidak ditulisnya jumlah total obat tidak selain dapat m

(resep harus mencantumkan aturan pakai)

Tidak tercantumnya aspek aturan pakai dalam resep akan merugikan pasien, karena berkaitan dengan dosis dan hasil terapi yang ingin dicapai (Rahmawati dan Oetari, 2002). Hal ini merupakan nilai penting

pakai obat yang mungkin juga menjadi alasan bagi seluruh responden untuk m

tidak perlu mencantumkan kekuatan obat)

orang responden menjawab netral. Alasan yang dikemukakan oleh responden yang menjawab netral adalah bahwa dalam perkembangannya menuju suatu resep

kan dilengkapi oleh apoteker. Hal ini dikarenakan pihak apoteker dirasa lebih memahami aspek-aspek ini, sedangkan dokter cukup menuliskan nama obatnya saja.

Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa ada kesepakatan tidak tertulis dalam pelayanan resep di rumah sakit yang dianut oleh beberapa dokter maupun apoteker dan asisten apoteker, dimana apabila penulis resep tidak mencantumkan kekuatan obat dalam resep, staf farmasi terbiasa memahaminya sebagai permintaan untuk mendispensingkan obat dengan kekuatan terkecil. Hal ini berpotensi menimbulkan kesalahan, dimana pada kenyataannya kekuatan obat yang dimaksud oleh dokter belum tentu yang terkecil. Klarifikasi dari staf farmasi

karena ketidaktahuan ataupun ketidakh

sepsi apoteker mengenai penulisan berat badan dan umur pasien dalam resep (resep harus mencantumkan berat badan dan umur pasien)

agian besar responden (90%) setuju ap

yang ideal, aspek kekuatan obat, aturan pakai obat, dan jumlah obat selanjutnya a

kepada dokter penulis resep tetap dibutuhkan,

afalan dokter terhadap jumlah kekuatan obat yang ada dapat juga menjadi alasan tidak ditulisnya kekuatan obat dalam resep. Dalam hal ini, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/MenKes/SK/IX/2004, “Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan “ (Anonim, 2004 a).

g. Per

Gambar 28. memperlihatkan bahwa seb

abila dalam resep tercantum berat badan dan umur pasien. Namun 25% responden memiliki persepsi bahwa berat badan menjadi aspek yang tidak penting

apabila pasien yang diperiksa adalah pasien dewasa, kecuali pada kasus-kasus khusus. Responden beranggapan bahwa apabila diperlukan, kedua aspek tersebut dapat ditanyakan pada pasien atau keluarganya yang membelikan resep obat, sehingga tidak perlu tertulis dalam resep.

Memilih dan menetapkan dosis obat untuk bayi dan anak harus memperhatikan banyak faktor, diantaranya adalah jenis obat dan toleransi tubuh, karena r

resep (resep tidak perlu mencantumkan nama dan alamat pasien)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden cenderung tidak setuju apabila resep tidak mencantumkan nama dan alamat pasien. Responden memiliki persepsi bahwa nama dan alamat penting untuk dicantumkan dalam resep, bahkan perlu dilengkapi dengan keterangan nomor telepon ataupun nomor telepon seluler milik pasien atau keluarga pasien. Hal ini secara tidak langsung dapat meningkatkan hubungan profesional antara pihak rumah sakit dan pasien. Keterangan tambahan tersebut juga dapat membantu apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh pihak rumah sakit terkait dengan pelayanan kesehatan yang telah

espon tubuh bayi dan anak terhadap obat tertentu tidak dapat disamakan dengan respon tubuh orang dewasa. Maka dari itu, responden beranggapan bahwa untuk pasien bayi dan anak, berat badan menjadi komponen yang harus ada dalam penulisan resep.

h. Persepsi apoteker mengenai penulisan nama dan alamat pasien dalam

i. Persepsi apoteker mengenai penulisan tanda tangan dokter dalam resep (resep harus mencantumkan tanda tangan dokter)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, tanda tangan atau paraf dari dokter penulis resep merupakan salah satu persyaratan administrasi yang harus dipenuhi suatu resep untuk dapat melewati skrining yang dilakukan oleh apoteker (Anonim, 2004a).

Seluruh responden dalam penelitian ini setuju apabila aspek tanda tangan dokter tercantum dalam resep, sebagai bukti bahwa resep tersebut asli dan sah menurut hukum.

j. Persepsi apoteker mengenai tindakan yang akan dilakukan apabila

Responden mengungkapkan bahwa hal pertama yang akan dilakukan apabila terjadi ketidaklengkapan resep adalah menghubungi dokter yang berkompeten (dokter penulis resep) untuk klarifikasi, terutama jika ketidaklengkapan resep terkait dengan nama obat, jumlah obat, kekuatan obat, dan aturan pakai. Menurut responden, apabila ketidaklengkapan resep terkait dengan nama, umur, alamat dan berat badan pasien, maka dapat langsung ditanyakan kepada pasien ataupun keluarga pasien yang bersangkutan. Kroscek lebih lanjut dapat melalui perawat yang bertugas di poliklinik asal resep diperoleh ataupun dengan melihat rekam medis pasien.

Seorang responden mengungkapkan bahwa biasanya selalu dilakukan cek ulang resep untuk menilai apakah resep yang diterima itu asli, jika ada bagian yang tidak lengkap, perlu dilihat kembali apakah bagian tersebut sangat penting,

jika tidak terlalu penting maka apoteker akan berusaha melengkapi resep tersebut. Hal ini mendukung pernyataan yang diungkapkan oleh Rees (2004), dimana dalam menjalankan suatu prosedur pengecekan resep, seorang apoteker sebaiknya menggunakan kemampuan mereka sebagai decision-maker yang profesional untuk menentukan apakah ketidaklengkapan resep membutuhkan konfirmasi ke dokter, ataukah apoteker dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut. Pada penerapan sistem peresepan National Health Service (NHS) di United Kingdom, apoteker yang dianggap telah memiliki cukup informasi diberi kewenangan untuk membuat suatu keputusan berdasarkan keprofesionalannya, yang memperbolehkan resep obat dilayani apabila dokter penulis resep tidak dapat dihubungi. Untuk mencegah

di ruang lingkup rumah sakit, beberapa responde

(legibility)

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dalam pelayanan resep selama satu bulan terakhir, ditemukan sedikitnya 1 hingga 10 resep dari 100 resep yang masuk ke apotek rumah sakit, tulisannya tidak jelas atau tidak terbaca. Dua responden menyatakan bahwa resep yang tidak jelas atau tidak terbaca dapat mencapai 25% atau bahkan 50% dari keseluruhan resep. Di sisi lain terdapat lima responden yang mengungkapkan bahwa tidak ada resep yang tidak jelas ataupun tidak terbaca, dikarenakan responden mengaku telah mengenal dan hapal terhadap tulisan dokter. Hal ini mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh Siregar keterulangan ketidaklengkapan resep

n mengusulkan agar dibuat suatu format resep yang lebih lengkap dan melakukan sosialisasi Standard Operating Procedures Farmasis di Farmasi Rumah Sakit.

Dokumen terkait