• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Resep

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/MenKes/SK/X/2002, “Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dan dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Anonim, 2002).

Bernhard Fantus, seorang farmakolog Amerika, mendefinisikan resep sebagai, “The key stone to the whole arch of therapeutics endeavour . It rests on the diagnosis & prognosis of the case on the one side & the physician’s

knowledge of pharmacology and therapeutics on the other. Any weakness on

either side of the arch reflects itself in the setting of the key stone” (Lestari, 2000). 2. Arti penting resep

Joenoes (2001) menyatakan bahwa resep merupakan perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan, dan keahlian dokter dalam menerapkan

pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Menurut Howard C. Ansel Ph D, resep merupakan representasi hubungan profesional antara penulis resep, apoteker dan pasien (Lestari, 2000).

Hubungan profesional tersebut dinyatakan dalam gambar berikut: dokter resep Pasien

keluhan apoteker - Mampu membaca resep/koreksi resep - Membuat obat/menyediakan obat - Menyerahkan obat Terampil menentukan: - diagnosis - terapi Dan mampu menulis/menyusun resep yang baik dan rasional

Menyampaikan keluhan yang lengkap & jelas & disiplin terhadap:

- Petunjuk dokter - Petunjuk

Apoteker

Gambar 2. Hubungan dokter-apoteker-pasien serta tugas masing-masing untuk tujuan keberhasilan pengobatan (Lestari, 2000)

Kedudukan resep dalam tahap proses pengobatan dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini:

Dokter Diagnosis

Penyakit penderita

Terapi Obat Bentuk Sediaan Obat Resep (Personal Drug) (Dosage Form)

Gambar 3. Tahap Proses Pengobatan (Lestari, 2000) 3. Penulisan resep

Menulis sebuah resep adalah bagian dari prescribing process. Tahap-tahap yang ada dalam prescribing process meliputi:

a. melakukan diagnosis b. memfokuskan objek terapi

c. melakukan verifikasi terhadap ketepatan pengobatan d. menulis resep untuk pengobatan

e. mengawasi perkembangan pasien

(Rees, 2004). Dalam menulis resep, bahasa yang digunakan adalah bahasa negeri sendiri atau bahasa latin. Umumnya berupa campuran keduanya. Bahasa latin hingga sekarang masih digunakan, karena penggunaannya memiliki banyak kelebihan, antara lain:

a. merupakan bahasa yang statis atau mati, dimana tidak mengalami perkembangan ataupun perubahan. Hal ini menjamin tidak akan ada salah tafsir sepanjang zaman.

b. merupakan bahasa dunia untuk ilmu kesehatan, sehingga apabila resep ditulis dengan bahasa latin oleh siapapun dan dimanapun selalu akan dilayani secara tepat dan dimengerti oleh yang terkait.

c. nama obat yang ditulis dengan bahasa latin tidak akan terjadi salah tafsir (salah obat).

d. bahasa latin dapat merahasiakan sesuatu untuk kepentingan penderita. (Zunilda, 1998) Menurut Lestari (2000), resep yang baik (dapat dilayani secara tepat dan relatif cepat) harus ditulis lengkap dan jelas. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PerMenKes) Republik Indonesia

No.26/MenKes/Per/I/1981, Tentang Pengelolaan dan Perizinan Apotek, Bab III, Pasal 10, ayat 1 yang berbunyi, “Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap” (Anonim, 1981 a).

4. Dispensing

Merupakan salah satu unsur vital dari penggunaan obat secara rasional. Menurut KepMenKes R.I. No.1197/MenKes/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Bab VI: “Dispensing merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi” (Anonim, 2004 c).

Standar pelayanan menurut KepMenKes R.I. No.1027/MenKes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Bab III:

1. Pelayanan Resep 1.1. Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep meliputi: 1.1.1. Persyaratan administratif:

- nama, SIP, dan alamat dokter. - tanggal penulisan resep.

- tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

- nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta. - cara pemakaian yang jelas.

- informasi lainnya.

1.1.2 Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3 Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).

Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat 1.2.1 Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2 Etiket

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3 Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4 Penyerahan obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5 Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6 Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7 Monitoring penggunaan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3. Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

(Anonim, 2004 a) 5. Aspek kelengkapan resep

Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia (2004 d), Standard Operating Procedures Farmasis di Farmasi Rumah Sakit salah satunya adalah memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal, dengan salah satu kegiatan di dalamnya adalah menilai kelengkapan administratif permintaan obat dari dokter, dokter gigi, dokter hewan atau masyarakat. Penilaian kelengkapan administratif meliputi:

a. memastikan kelengkapan resep dokter yang terdiri atas nama, umur, berat badan, serta identitas pasien, nama obat, kekuatan, dosis, cara penggunaan dan informasi khusus lain yang melekat antara lain, nama, alamat, nomor surat izin praktek, paraf atau tanda tangan dokter, tanggal penulisan resep, R/.

b. menghitung kesesuaian dosis antara individu pasien dan diagnosa penyakit pasien.

c. menilai kemungkinan adanya interaksi antar obat, obat dengan makanan, obat dengan penyakit, penyalahgunaan obat, pasien alergi & efek samping yang potensial.

d. berkomunikasi secara profesional dengan penulis resep jika terjadi penyimpangan, untuk dicari kesepakatan demi kepentingan pengobatan pasien.

e. jika tidak dimungkinkan komunikasi dengan penulis resep pada saat itu, farmasis perlu mengambil tindakan profesi atas persetujuan pasien berupa penyelesaian sementara masalah obat untuk menghindari meningkatnya morbiditas pasien.

Resep yang lengkap menurut Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenKes) No.280/MenKes/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek, Bab II, Pasal 2:

Disamping memuat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 26/MenKes/Per/I/1981 resep harus memuat juga:

a. nama, alamat, dan nomor ijin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan; b. tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat;

c. tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep;

d. tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan; f. tanda seru atau paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang

jumlahnya melebihi dosis maksimal.

(Anonim, 1981 b).

Pada umumnya kelengkapan resep terdiri dari 4 bagian, yaitu:

a. Inscriptio, bahasa latin yang isinya alamat, identitas dokter penulis resep (nama, no. SIP) dan tanggal penulisan resep, serta tanda R/) di sebelah kiri (pembuka resep/invocatio),

b. praescriptio, bahasa latin yang artinya perintah atau pesanan yang merupakan inti resep, ialah bagian resep yang pokok terdiri dari nama obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah obat,

c. signatura, bahasa latin yang artinya tanda, ialah tanda yang harus ditulis pada etiket obatnya, terdiri dari nama penderita dan petunjuk mengenai obatnya (aturan pakai), dan

d. subscriptio, bahasa latin yang artinya tanda tangan atau paraf dokter. Setiap bagian tersebut di atas mempunyai kegunaan penting. Oleh karenanya apabila resep tidak lengkap akan mengganggu kelancaran penyediaan obat

Hasil penelitian Widayati & Hartayu (2006), menunjukkan bahwa dari 2 rumah sakit dan 10 apotek yang diteliti, tidak satupun yang memenuhi semua aspek kelengkapan resep, dan yang menarik adalah terdapat satu buah resep yang tidak mencantumkan nama pasien. Berdasarkan pada temuan ini maka dapat dikatakan bahwa medication error sangat berisiko terjadi pada proses penulisan resep khususnya saat pelayanan resep di apotek.

Tabel I. Persentase Frekuensi Ketidaklengkapan Resep Pasien Pediatri di Rumah Sakit I, Rumah Sakit II dan 10 Apotek di Yogyakarta

Tahun 2005 (Widayati & Hartayu, 2006)

No Komponen Ketidaklengkapan Resep Rumah sakit I (n=315) (%) Rumah sakit II (n=1051) (%) Apotek (n=612) (%) 1 Nama dokter 1,27 0,28 1,47 2 Spesialisasi 1,90 2,38 38,40 3 Nama pasien 0,00 0,00 2,12 4 Umur 49,84 100,00 14,05 5 Berat badan 65,71 100,00 98,53 6 Nama ortu 98,73 100,00 100,00 7 Alamat 63,17 100,00 81,70 8 Kekuatan obat 3,81 5,80 48,04 9 Jumlah obat 0,95 0,19 3,59 10 Signature 0,63 0,38 3,76

11 Petunjuk bentuk sediaan 6,67 61,94 22,71

6. Kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (Legibility)

Resep yang jelas adalah tulisannya terbaca, misalnya nama obat ditulis secara benar dan sempurna atau lengkap (Lestari, 2000). Tulisan dokter dalam resep yang tidak mudah dibaca bahkan sama sekali tidak dapat dibaca oleh apoteker berpotensial untuk menimbulkan kesalahan dalam pelayanan resep (Lyons, Payne, Mc Cabe, Fielder, 1998). Lebih dari 15% kesalahan resep dalam

USP Medication Error Reporting Database dihasilkan dari tulisan tangan yang buruk dan kesalahan dalam menginterpretasikan resep (Pritzker, 2006). Salah satu

contoh kejadian fatal yang dilaporkan oleh Hughes (2003) adalah ketika apoteker salah membaca resep dokter akibat tulisan yang tidak jelas. Dokter yang meresepkan tablet Amoxil® (amoksisilina), terbaca Daonil® (glibenklamida) oleh apoteker, akibatnya ketika digunakan pada pasien yang notabene tidak menderita diabetes, pasien tersebut mengalami kerusakan otak permanen sebagai akibat dari pemakaian obat. Di USA dilaporkan, bahwa paling sedikit 7000 kematian per tahun akibat kesalahan obat (tidak terbaca atau tidak dimengerti oleh apoteker), seperempatnya berasal dari penulisan nama obat.

Maraknya peluncuran obat-obat baru menimbulkan suatu kekhawatiran akan terjadinya kesalahan dalam pelayanan resep. Kesalahan ini biasanya diakibatkan karena banyak obat memiliki tulisan dan bunyi yang hampir sama, sedangkan khasiatnya berbeda satu sama lain, contohnya Lasix® dan Losec®.

Hasil penelitian Lyons et al, 1998 menunjukkan bahwa tulisan dokter dalam resep adalah most unlegibility dibandingkan dengan profesional kesehatan lain. Topik penelitian yang sama mengenai legibility of doctor’s handwriting juga dilaporkan oleh Hughes (2003) yang membandingkan antara tulisan tangan dokter dengan perawat serta staff administrasi lainnya. Hasilnya memperlihatkan bahwa sekalipun telah diminta untuk menulis dengan rapi, tulisan tangan dokter dinilai buruk secara signifikan bila dibandingkan dengan subyek penelitian yang lain.

Dokumen terkait