• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi dokter apoteker, asisten apoteker, dan pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep [Legibility] di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta periode Maret-April 2007 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Persepsi dokter apoteker, asisten apoteker, dan pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep [Legibility] di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta periode Maret-April 2007 - USD Repository"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI DOKTER, APOTEKER, ASISTEN APOTEKER, DAN PASIEN MENGENAI KELENGKAPAN RESEP DAN KEMUDAHAN

PEMBACAAN TULISAN DALAM RESEP (LEGIBILITY) DI EMPAT RUMAH SAKIT UMUM DI KOTA YOGYAKARTA

PERIODE MARET-APRIL 2007

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Katarina Ratih Triuntari NIM : 038114068

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(2)
(3)
(4)

PERSEMBAHAN

me

u,

di sepanjang perjalanan hidup kita.

menjanjikan matahari tanpa hujan,

dan kedamaian tanpa kesengsaraan

kesen

nan

dan pe

akan.

u

(

My Lord, Jesus Chr

Santa Katarina malaikat p

Mama dan papa yang

titiek dan mimi yang selalu aku sayangi, dan almamaterku...

Allah mungkin tidak pernah

njanjikan langit yang selalu bir

bunga yang bertaburan indah,

Allah mungkin tidak pernah

sukacita tanpa kesedihan,

karena sesungguhnya

gsaraan membawa kita pada keteku

ketekunan menimbulkan tahan uji

tahan uji menimbulkan pengharapan

ngharapan tidak mengecew

Allah telah menjanjikan

kekuatan untuk menempuh hari ini.

KasihNya telah dicurahkan ke dalam hati kita

ntuk belajar bagaimana bersyukur dan memaknai hidup...

Roma 5:1-5)

Sujud syukur ku persembahkan karya ini kepada : ist yang membuat segalanya indah pada waktunya,

elindung pemberi semangat tiada henti, selalu ingin aku bahagiakan,

(5)

KATA PENGANTAR

ntuk memperoleh gelar Sarjana

dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

t. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

dan

waktu untuk menguji dan memberikan saran demi kesempurnaan Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia cinta dan limpahan mukjizat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Persepsi Dokter, Apoteker, Asisten Apoteker dan Pasien Mengenai Kelengkapan Resep dan Kemudahan Pembacaan Tulisan dalam Resep (Legibility) di Empat Rumah Sakit Umum di Kota Yogyakarta Periode Maret-April 2007” sebagai salah satu syarat u

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan

kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Ap Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing utama dan dosen penguji, yang dengan sabar membimbing, memberikan petunjuk, saran masukan yang berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Drs.Sulasmono, Apt. selaku dosen penguji yang telah bersedia

meluangkan skripsi ini.

4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. atas kesediaannya sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan saran.

(6)

Dra. MK.Pontjosiwi.W selaku Kepala Dinas Perizinan Pemerintah

Direktur RS

selaku Kepala Instalasi Farmasi RS DKT “Dr. Soetarto” yang

ih Merah” atas kebersamaannya sebagai partner sejak titik nol skripsi impian kita terdahulu hingga skripsi kita yang telah berakhir nyata sekarang.

Kota Yogyakarta, yang telah berkenan memberikan izin penelitian kepada penulis.

6. Bapak dr. H. Muhammad Iqbal, Sp.PD. M.Kes selaku Direktur RS P.K.U Muhammadiyah, Bapak dr. Mulyo Hartana, Sp.PD selaku Direktur RSUD Kota Yogyakarta, Bapak dr. Sugianto, Sp.S, M.Kes, Ph.D selaku

Bethesda, dan Bapak dr. Supriyanto selaku Direktur RS DKT “Dr. Soetarto” yang telah berkenan memberikan izin penelitian kepada penulis.

7. Ibu Dra. Hj. Inayati, M.Si., Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi RS P.K.U Muhammadiyah, Ibu Dra. Endang Sulistyani, Apt., M.Kes. selaku Kepala Instalasi Farmasi RSUD Kota Yogyakarta, Ibu Dra. P. E. Wardani, MAB., Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi RS Bethesda dan Ibu Dra. Lusia Srikandi Nuraeni, Apt.

telah memberikan saran dan bantuan bagi penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

8. Dokter, apoteker, asisten apoteker dan pasien atas bantuan dan kerjasamanya sebagai responden dalam penelitian ini.

9. Mama, Papa, Mbak Venti dan Mbak Emi “Keluarga Kecilku”, atas segenap doa, dukungan, dan kasih sayangnya yang tak pernah berujung.

10.Irwan “Sir

(7)
(8)
(9)

INTISARI

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 26/MENKES/Per/I/1981, resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Sebagai media komunikasi non verbal yang sah antara dokter dan apoteker, resep berpotensi menimbulkan miscommunication. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian mengenai persepsi dokter, apoteker, asisten apoteker, dan pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep.

Penelitian ini bersifat observasional deskriptif dengan rancangan cross sectional. Instrumen penelitian berupa kuisioner skala likert. Data yang diperoleh diolah dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30% dokter, 70% apoteker, dan 89% asisten apoteker menyatakan semua aspek kelengkapan resep penting untuk dimuat dalam resep, sementara 33% pasien setuju apabila aspek alamat pasien tidak dimuat. Mengenai kemudahan pembacaan resep, 25% apoteker, dan 40% asisten apoteker menyatakan bahwa tidak ada resep yang tidak jelas dan tidak terbaca dalam pelayanan resep satu bulan terakhir, sementara 62% pasien mengungkapkan bahwa resep yang mereka peroleh tidak jelas dan tidak terbaca. Faktor yang mempengaruhi ketidakjelasan tulisan menurut 51% dokter yaitu, tulisan memang sudah terbentuk tidak jelas sejak awal, atau bakat sejak lahir tergantung kekhasan tulisan dokter. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa responden berkecenderungan setuju apabila resep ditulis dengan jelas, mudah dibaca, dan memenuhi semua aspek kelengkapan resep.

Kata kunci: persepsi, dokter, apoteker, asisten apoteker, pasien, kelengkapan resep, legibility

(10)

ABSTRACT

In accordance with the regulation from Minister of Public Health No.26/MENKES/Per/I/1981, a prescription ought to be writen clearly and completely. As legal non verbal communication media for physician and pharmacist, a prescription was potentially causing miscommunication. It could be a main cause of medication error. The key way to prevent that miscommunication was trying to understand and share perception from others. In the matter of this fact, a study concerning perceptions of physician, pharmacist, pharmacist assistant, and patient about the completeness and the legibility of prescription was conducted.

The research was an observational descriptive with a cross- sectional design. The main instrument of this study was questionnaire likert scales. The achieved data then analyzed by using descriptive statistics.

The result of this study indicated 30% physicians, 70% pharmacists, and 89% pharmacist assistants agreed that all completeness aspects of prescription was necessary to write on the prescription, while 33% patient agreed that address of the patient did not have to write on the prescription. While about the legibility of prescription, 25% pharmacists and 40% pharmacist assistants showed that there were not illegible and unclear prescriptions in a month service later. But, 62% patient revealed that prescriptions they got were unclear and. illegible. Factors related to unclarity of writing, 51% physicians had opinion that the handwriting was formed since childhood, depend on characteristics of physician’s handwriting. As generally, can be concluded that responden inclined to agreed if the prescription write in clear, legible, and fulfill all the completeness of prescription.

Kata kunci: perception, physician, pharmacist, pharmacist assistant, patient, completeness of prescription, legibility

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

KATA PENGANTAR... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... viii

INTISARI... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I. PENGANTAR... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Permasalahan ... 3

2. Keaslian penelitian... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ……….. 7

A. Teori tentang Persepsi... 7

B. Resep... 9

(12)

1. Definisi... 9

2. Arti penting resep... 9

3. Penulisan resep... 10

4. Dispensing... 12

5. Aspek kelengkapan resep... 14

6. Kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 16

C. Medication Error... 17

D. Hak dan Kewajiban Konsumen... 21

1.Hak konsumen (UU No.8/1999 tentang perlindungan konsumen)... 21

2.Kewajiban konsumen (UU No.8/1999 tentang perlindungan konsumen)... 22

3.Hak pasien (UU No.29/2004 tentang praktik kedokteran)... 22

4.Kewajiban pasien (UU No.29/2004 tentang praktik kedokteran)... 23

E. Pelayanan Resep Obat di Rumah Sakit... 23

F. Keterangan Empiris... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 26

B. Definisi Operasional... 26

C. Subyek Penelitian... 28

D. Instrumen Penelitian... 28

E. Tata Cara Penelitian... 32

(13)

1. Analisis situasi (orientasi)... 32

2. Pembuatan kuesioner... 33

3. Penentuan subyek penelitian... 35

4.Penyebaran dan pengumpulan kuesioner... 37

5.Pengolahan data... 40

F. Kesulitan Penelitian... 41

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN... 42

A. Karakteristik Responden... 42

1. Data demografi responden dokter ... 42

2. Data demografi responden apoteker... 47

3. Data demografi responden asisten apoteker... 52

4. Data demografi responden pasien... 56

B. Persepsi Dokter Mengenai Kelengkapan Resep dan Kemudahan Pembacaan Resep (Legibility) yang Ditulisnya... 58

1. Persepsi dokter mengenai kelengkapan resep... 58

2.Persepsi dokter mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (Legibility)... 68

C. Persepsi apoteker Mengenai Kelengkapan Resep dan Kemudahan Pembacaan Resep (Legibility) yang Dilayaninya... 75

1. Persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep... 75

2.Persepsi apoteker mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 82 D. Persepsi Asisten Apoteker Mengenai Kelengkapan Resep dan

(14)

Kemudahan Pembacaan Resep (Legibility) yang Dilayaninya... 87

1. Persepsi asisten apoteker mengenai kelengkapan resep... 87

2.Persepsi asisten apoteker mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 93

E. Persepsi Pasien Mengenai Kelengkapan Resep dan Kemudahan Pembacaan Resep (Legibility) yang Diterimanya... 97

1. Persepsi pasien mengenai kelengkapan resep... 98

2.Persepsi pasien mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 99

F. Rangkuman Pembahasan... 104

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 108

A. Kesimpulan... 108

B. Saran... 111

DAFTAR PUSTAKA... 112

LAMPIRAN... 117

BIOGRAFI PENULIS... 142

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Persentase frekuensi ketidaklengkapan resep pasien pediatri di rumah sakit I, rumah sakit II dan 10 apotek di Yogyakarta

tahun 2005... 16 Tabel II. Daftar pernyataan persepsi dokter, apoteker, dan asisten

apoteker mengenai aspek kelengkapan resep... 30 Tabel III. Daftar pernyataan persepsi pasien mengenai aspek

kelengkapan resep... 30 Tabel IV. Daftar pernyataan persepsi dokter, apoteker, dan asisten

apoteker mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep... ...

31

Tabel V. Daftar pernyataan persepsi pasien mengenai kemudahan

pembacaan tulisan dalam resep... 31 Tabel VI. Jumlah subyek penelitian untuk dokter, apoteker dan asisten

apoteker... 36 Tabel VII. Persepsi dokter mengenai kelengkapan resep... 59 Tabel VIII. Persepsi dokter mengenai kemudahan pembacaan tulisan

dalam resep (legibility)... 69 Tabel IX. Persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep... 76 Tabel X. Persepsi apoteker mengenai kemudahan pembacaan tulisan

dalam resep (legibility)... 83

(16)

Tabel XI. Persepsi asisten apoteker mengenai kelengkapan

resep... 88 Tabel XII. Persepsi asisten apoteker mengenai kemudahan pembacaan

tulisan dalam resep (legibility)... 94 Tabel XIII. Persepsi pasien mengenai kelengkapan resep... 98 Tabel XIV. Persepsi pasien mengenai kemudahan pembacaan tulisan

dalam resep (legibility)... 100 Tabel XV. Tindakan pasien apabila resep yang diperoleh tidak dapat

dilayani di apotek karena tidak lengkap atau tidak terbaca...

103

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Teori aksi menurut Weber... 7

Gambar 2. Hubungan dokter-apoteker-pasien serta tugas masing-masing untuk tujuan keberhasilan pengobatan... 10 Gambar 3. Tahap Proses Pengobatan... 10

Gambar 4. Usia responden dokter... 42

Gambar 5. Jenis kelamin responden dokter... 43

Gambar 6. Spesialisasi... 44

Gambar 7. Tahun lulus fakultas kedokteran... 45

Gambar 8. Lama praktek responden dokter ... 45

Gambar 9. Jumlah tempat praktek... 46

Gambar 10. Rata-rata kunjungan pasien... 47

Gambar 11. Usia responden apoteker... 47

Gambar 12. Jenis kelamin responden apoteker... 48

Gambar 13. Pendidikan terakhir responden apoteker... 49

Gambar 14. Tahun lulus apoteker... 50

Gambar 15. Lama menjadi apoteker di rumah sakit... 50

Gambar 16. Rata-rata lembar resep perhari yang dilayani apoteker... 51

Gambar 17. Usia responden asisten apoteker... 52

Gambar 18. Jenis kelamin responden asisten apoteker... 53

Gambar 19. Pendidikan terakhir responden asisten apoteker... 53

(18)

Gambar 20. Tahun lulus asisten apoteker... 54

Gambar 21. Lama menjadi asisten apoteker di rumah sakit... 55

Gambar 22. Rata-rata lembar resep perhari yang dilayani asisten apoteker 55 Gambar 23. Usia responden pasien... 56

Gambar 24. Jenis kelamin responden pasien... 57

Gambar 25. Pendidikan terakhir responden pasien... 58

Gambar 26. Persepsi dokter mengenai kelengkapan resep... 59

Gambar 27. Persepsi dokter mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 69

Gambar 28. Persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep... 76

Gambar 29. Persepsi apoteker mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 83

Gambar 30. Persepsi asisten apoteker mengenai kelengkapan resep... 88

Gambar 31. Persepsi asisten apoteker mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 94

Gambar 32. Persepsi pasien mengenai kelengkapan resep... 98

Gambar 33. Persepsi pasien mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility)... 100

Gambar 34. Rangkuman Kecenderungan Setuju Responden Mengenai Kelengkapan Resep... 105

Gambar 35. Rangkuman Kecenderungan Setuju Responden Mengenai Kemudahan Pembacaan Tulisan dalam Resep... 106

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat ijin penelitian dari Badan Perencanaan Daerah

(BAPEDA) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta... 117

Lampiran 2. Surat ijin penelitian dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.. 118

Lampiran 3. Surat ijin penelitian dari Rumah Sakit P.K.U. Muhammadiyah... 119

Lampiran 4. Surat ijin penelitian dari Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta... 120

Lampiran 5. Surat ijin penelitian dari Rumah Sakit Bethesda... 121

Lampiran 6. Surat ijin penelitian dari Rumah Sakit Dr. Soetarto... 122

Lampiran 7. Kuesioner penelitian kepada responden dokter... 123

Lampiran 8. Frekuensi jawaban kuesioner oleh responden dokter... 127

Lampiran 9. Kuesioner penelitian kepada responden apoteker... 128

Lampiran 10. Frekuensi jawaban kuesioner oleh responden apoteker... 132

Lampiran 11. Kuesioner penelitian kepada responden asisten apoteker... 133

Lampiran 12. Frekuensi jawaban kuesioner oleh responden asisten apoteker... 137

Lampiran 13. Kuesioner penelitian kepada responden pasien... 138

(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Keselamatan pasien (patient safety) merupakan salah satu dimensi mutu yang menjadi pusat perhatian para praktisi pelayanan kesehatan dalam skala nasional maupun global saat ini. Pada bulan Oktober 2004, diberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tentang Praktik Kedokteran, dimana dalam Bab II Pasal 2 dinyatakan bahwa: “Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien” (Anonim, 2004 b). Konferensi The International Society for Quality in Health Care (ISQua) yang diselenggarakan di Vancouver, Canada pada bulan Oktober 2005 juga mengangkat patient safety sebagai issue utama (Rika, 2006).

Ketepatan (appropriateness) dalam pelayanan kesehatan, kecepatan (timeliness), dan bebas dari bahaya dan kesalahan (free from harm and error) merupakan tiga unsur utama dari patient safety yang dapat diwujudkan dengan adanya regulasi pelayanan kesehatan, sistem informasi yang memadai, sumber daya manusia kesehatan yang profesional, dan pengelolaan sumber daya kesehatan yang lain (Rika, 2006).

Sebagian besar institusi kesehatan menjadikan patient safety sebagai fokus utama dan sebagai hasilnya, banyak dilahirkan program baru untuk mengawasi (monitoring) keamanan dan mencegah medical mistakes. Medical

(21)

mistakes atau lebih popular dengan istilah ’medication error’ merupakan suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang seharusnya dapat dicegah dan masih dalam kontrol atau tanggung jawab tenaga kesehatan (Cohen, 1991).

Menurut Woolever (2002) penyebab utama medication error adalah

miscommunication. Miscommunication dapat berakibat kerugian atau bahkan mengancam keselamatan pasien. Sebagai media komunikasi non-verbal yang sah antara dokter dan apoteker, resep berpotensial menimbulkan miscommunication

(Rantucci, 1999). Satu kunci untuk mencegah terjadinya misunderstanding or miscommunication adalah untuk mencoba mengerti dan share persepsi dari individu lain (Applebaum et al., 1985).

Secara global, tidak terdapat suatu standar tertentu terkait dengan penulisan resep, namun masing-masing negara memiliki otonomi dalam membuat suatu aturan penulisan resep yang berlaku di negara itu. Secara umum resep harus jelas, dapat dibaca, dan mencantumkan secara tepat apa yang harus diberikan, sehubungan dengan terapi obat bagi pasien. Kejelasan dan keterbacaan tulisan dokter dalam resep (legibility) menjadi bagian penting dari komunikasi tenaga kesehatan (Berwick,1996).

(22)

usaha pencegahan medication error. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka peneliti tertarik dan memandang perlu untuk mengetahui persepsi dokter, apoteker, asisten apoteker, dan pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility) di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian adalah :

a. seperti apa persepsi dokter mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan resep (legibility) yang ditulisnya?

b. seperti apa persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan resep (legibility) yang dilayaninya?

c. seperti apa persepsi asisten apoteker mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan resep (legibility) yang dilayaninya?

d. seperti apa persepsi pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan resep (legibility) yang diterimanya?

2. Keaslian Penelitian

(23)

bagian dari resep. Simbolon (2005) melakukan penelitian dengan judul, “Persepsi Pembaca Resep Mengenai Resep yang Berpotensi Menyebabkan Medication Error di Apotek di Kota Yogyakarta Periode Januari-Februari 2005”. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu subyek penelitian, lokasi penelitian, waktu penelitian dan variabel penelitian yang hendak diukur, yang sifatnya lebih umum berkaitan dengan potensi terjadinya medication error.

Penelitian yang bertema sama juga dilakukan oleh Widayati dan Hartayu (2006) dengan judul, “Kajian Kelengkapan Resep dan Kombinasi Obat Untuk Pediatri Yang Berpotensi Menimbulkan Medication Error di 10 Apotek Kota Yogyakarta dan 2 Rumah Sakit di Yogyakarta” dan oleh Pramudiarja (2006) dengan judul “Potensi Medication Error dalam Resep Pediatri di 10 Apotek di Kota Yogyakarta Periode Januari-Maret 2006 dan Persepsi Pembaca Resep yang Menanganinya (Tinjauan Aspek Kelengkapan dan Kemudahan pembacaan tulisan dalam resep)”. Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada obyek penelitian, subyek penelitian, lokasi penelitian, waktu penelitian dan fokus penelitian yang telah spesifik membahas aspek kemudahan pembacaan tulisan dalam resep dan atau kelengkapan resep khususnya pada resep pediatri. 3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

(24)

b Manfaat praktis

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. sebagai bahan acuan bagi pengembangan model-model resep yang ideal di Indonesia. Penelitian mengenai pengembangan model resep yang ideal akan dilakukan dengan mengacu pada hasil penelitian ini, sehingga penelitian ini berkedudukan sebagai penelitian pendahuluan (Baseline Survey).

2. sebagai bahan evaluasi dan pemberi informasi bagi dokter, apoteker dan asisten apoteker untuk mewujudkan patient safety dengan meningkatkan komunikasi verbal maupun nonverbal yang efektif antar tenaga kesehatan serta berperan aktif dalam usaha pencegahan

medication error lewat terpenuhinya aspek kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility).

3. meningkatkan pengetahuan pasien mengenai pentingnya aspek kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (legibility) dalam usaha pencegahan terjadinya medication error, sehingga pasien dapat bersikap proaktif untuk ikut ambil bagian di dalam usaha pencegahan terjadinya medication error demi terwujudnya patient safety.

4. sebagai bahan evaluasi bagi pengelola rumah sakit, untuk membentuk suatu kebijakan dan prosedur pelayanan rumah sakit, yang mampu meminimalkan bahkan mengeliminir terjadinya medication error

(25)

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan tujuan penelitian:

1. Tujuan umum

Mengetahui persepsi dokter, apoteker, asisten apoteker, dan pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan (legibility) dalam resep di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui persepsi dokter mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan resep (legibility) yang ditulisnya.

b. Mengetahui persepsi apoteker mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan resep (legibility) yang dilayaninya.

c. Mengetahui persepsi asisten apoteker mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan resep (legibility) yang dilayaninya.

(26)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Teori tentang Persepsi

Notoatmodjo (1993) mendefinisikan perilaku manusia sebagai hasil refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Max weber seorang ahli sosiologi dan ekonomi menyatakan bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsirannya terhadap suatu obyek stimulus atau situasi tertentu (Ritzer, 1983, cit Sarwono, 2004).

Secara skematis teori aksi ini dapat digambarkan sebagai berikut : INDIVIDU

Pengalaman Persepsi Pemahaman

STIMULUS TINDAKAN

Penafsiran

Gambar 1. Teori aksi menurut Weber (Ritzer, 1983, cit., Sarwono, 2004). Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan, pendengaran, penciuman, serta pengalaman masa lalu (Sarwono, 2004). Persepsi merupakan suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera. Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu (Drever dalam Wardhani, 2004).

(27)

Setiap orang memiliki pengamatan yang berbeda walaupun dihadapkan pada situasi yang sama. Cara seseorang menerima, mengorganisasi, dan menginterpretasi informasi di dalam kehidupan mereka tergantung pada persepsi mereka. Gibson (dalam Wardhani, 2004) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Setiap individu memberi arti terhadap stimulus dengan cara yang berbeda-beda. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa persepsi itu bersifat subjektif.

Sasanti (2003) menyatakan bahwa individu akan dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri individu berupa objek persepsi, perhatian, harapan, sistem nilai, tingkat pendidikan, usia, serta faktor eksternal berupa stimulus lingkungan dalam mempersepsi sesuatu. Menurut Walgito (1991) dan Sasanti (2003), faktor yang berpengaruh dalam persepsi adalah:

a) perhatian, merupakan langkah pertama sebagai persiapan untuk mempersepsi. Walaupun banyak stimulus mengenai individu, tetapi tidak semuanya akan mendapat tanggapan dari individu yang bersangkutan.

b) obyek persepsi, dapat menimbulkan persepsi yang berasal dari individu, yaitu langsung mengenai syaraf penerima, dan dapat berasal dari luar yang langsung mengenai alat indera.

(28)

d) sistem nilai, merupakan suatu kekuatan yang menggerakkan manusia untuk bersikap dan berperilaku. Biasanya seseorang individu menggunakan sistem nilai yang dimiliki untuk mempersepsi obyek.

e) tingkat pendidikan, membantu mengembangkan pikiran logis dan rasional yang dapat menentukan hubungan antara variabel-variabel secara tepat (Zahara dalam Sasanti, 2003)

f) usia, individu akan semakin jelas dan cermat dalam mempersepsi sesuatu sesuai dengan bertambahnya usia (Walgito, 1991).

B. Resep 1. Definisi

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/MenKes/SK/X/2002, “Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dan dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Anonim, 2002).

Bernhard Fantus, seorang farmakolog Amerika, mendefinisikan resep sebagai, “The key stone to the whole arch of therapeutics endeavour . It rests on the diagnosis & prognosis of the case on the one side & the physician’s

knowledge of pharmacology and therapeutics on the other. Any weakness on

either side of the arch reflects itself in the setting of the key stone” (Lestari, 2000). 2. Arti penting resep

(29)

pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Menurut Howard C. Ansel Ph D, resep merupakan representasi hubungan profesional antara penulis resep, apoteker dan pasien (Lestari, 2000).

Hubungan profesional tersebut dinyatakan dalam gambar berikut: dokter resep Pasien

keluhan

apoteker

- Mampu membaca resep/koreksi resep - Membuat

obat/menyediakan obat

- Menyerahkan obat Terampil menentukan:

- diagnosis - terapi Dan mampu

menulis/menyusun resep yang baik dan rasional

Menyampaikan keluhan yang lengkap & jelas & disiplin terhadap:

- Petunjuk dokter - Petunjuk

Apoteker

Gambar 2. Hubungan dokter-apoteker-pasien serta tugas masing-masing untuk tujuan keberhasilan pengobatan (Lestari, 2000)

Kedudukan resep dalam tahap proses pengobatan dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini:

Gambar 3. Tahap Proses Pengobatan (Lestari, 2000) 3. Penulisan resep

(30)

a. melakukan diagnosis b. memfokuskan objek terapi

c. melakukan verifikasi terhadap ketepatan pengobatan d. menulis resep untuk pengobatan

e. mengawasi perkembangan pasien

(Rees, 2004). Dalam menulis resep, bahasa yang digunakan adalah bahasa negeri sendiri atau bahasa latin. Umumnya berupa campuran keduanya. Bahasa latin hingga sekarang masih digunakan, karena penggunaannya memiliki banyak kelebihan, antara lain:

a. merupakan bahasa yang statis atau mati, dimana tidak mengalami perkembangan ataupun perubahan. Hal ini menjamin tidak akan ada salah tafsir sepanjang zaman.

b. merupakan bahasa dunia untuk ilmu kesehatan, sehingga apabila resep ditulis dengan bahasa latin oleh siapapun dan dimanapun selalu akan dilayani secara tepat dan dimengerti oleh yang terkait.

c. nama obat yang ditulis dengan bahasa latin tidak akan terjadi salah tafsir (salah obat).

(31)

No.26/MenKes/Per/I/1981, Tentang Pengelolaan dan Perizinan Apotek, Bab III, Pasal 10, ayat 1 yang berbunyi, “Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap” (Anonim, 1981 a).

4. Dispensing

Merupakan salah satu unsur vital dari penggunaan obat secara rasional. Menurut KepMenKes R.I. No.1197/MenKes/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Bab VI: “Dispensing merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi” (Anonim, 2004 c).

Standar pelayanan menurut KepMenKes R.I. No.1027/MenKes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Bab III:

1. Pelayanan Resep 1.1. Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep meliputi: 1.1.1. Persyaratan administratif:

- nama, SIP, dan alamat dokter. - tanggal penulisan resep.

- tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

- nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta. - cara pemakaian yang jelas.

- informasi lainnya.

1.1.2 Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3 Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).

(32)

1.2. Penyiapan obat 1.2.1 Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2 Etiket

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3 Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4 Penyerahan obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5 Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6 Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7 Monitoring penggunaan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi

(33)

3. Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

(Anonim, 2004 a) 5. Aspek kelengkapan resep

Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia (2004 d), Standard Operating Procedures Farmasis di Farmasi Rumah Sakit salah satunya adalah memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal, dengan salah satu kegiatan di dalamnya adalah menilai kelengkapan administratif permintaan obat dari dokter, dokter gigi, dokter hewan atau masyarakat. Penilaian kelengkapan administratif meliputi:

a. memastikan kelengkapan resep dokter yang terdiri atas nama, umur, berat badan, serta identitas pasien, nama obat, kekuatan, dosis, cara penggunaan dan informasi khusus lain yang melekat antara lain, nama, alamat, nomor surat izin praktek, paraf atau tanda tangan dokter, tanggal penulisan resep, R/.

b. menghitung kesesuaian dosis antara individu pasien dan diagnosa penyakit pasien.

c. menilai kemungkinan adanya interaksi antar obat, obat dengan makanan, obat dengan penyakit, penyalahgunaan obat, pasien alergi & efek samping yang potensial.

d. berkomunikasi secara profesional dengan penulis resep jika terjadi penyimpangan, untuk dicari kesepakatan demi kepentingan pengobatan pasien.

e. jika tidak dimungkinkan komunikasi dengan penulis resep pada saat itu, farmasis perlu mengambil tindakan profesi atas persetujuan pasien berupa penyelesaian sementara masalah obat untuk menghindari meningkatnya morbiditas pasien.

(34)

Resep yang lengkap menurut Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenKes) No.280/MenKes/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek, Bab II, Pasal 2:

Disamping memuat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 26/MenKes/Per/I/1981 resep harus memuat juga:

a. nama, alamat, dan nomor ijin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan; b. tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat;

c. tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep;

d. tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan; f. tanda seru atau paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang

jumlahnya melebihi dosis maksimal.

(Anonim, 1981 b).

Pada umumnya kelengkapan resep terdiri dari 4 bagian, yaitu:

a. Inscriptio, bahasa latin yang isinya alamat, identitas dokter penulis resep (nama, no. SIP) dan tanggal penulisan resep, serta tanda R/) di sebelah kiri (pembuka resep/invocatio),

b. praescriptio, bahasa latin yang artinya perintah atau pesanan yang merupakan inti resep, ialah bagian resep yang pokok terdiri dari nama obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah obat,

c. signatura, bahasa latin yang artinya tanda, ialah tanda yang harus ditulis pada etiket obatnya, terdiri dari nama penderita dan petunjuk mengenai obatnya (aturan pakai), dan

d. subscriptio, bahasa latin yang artinya tanda tangan atau paraf dokter. Setiap bagian tersebut di atas mempunyai kegunaan penting. Oleh karenanya apabila resep tidak lengkap akan mengganggu kelancaran penyediaan obat

(35)

Hasil penelitian Widayati & Hartayu (2006), menunjukkan bahwa dari 2 rumah sakit dan 10 apotek yang diteliti, tidak satupun yang memenuhi semua aspek kelengkapan resep, dan yang menarik adalah terdapat satu buah resep yang tidak mencantumkan nama pasien. Berdasarkan pada temuan ini maka dapat dikatakan bahwa medication error sangat berisiko terjadi pada proses penulisan resep khususnya saat pelayanan resep di apotek.

Tabel I. Persentase Frekuensi Ketidaklengkapan Resep Pasien Pediatri di Rumah Sakit I, Rumah Sakit II dan 10 Apotek di Yogyakarta

Tahun 2005 (Widayati & Hartayu, 2006)

No Komponen

Ketidaklengkapan Resep

Rumah sakit I

6. Kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (Legibility)

Resep yang jelas adalah tulisannya terbaca, misalnya nama obat ditulis secara benar dan sempurna atau lengkap (Lestari, 2000). Tulisan dokter dalam resep yang tidak mudah dibaca bahkan sama sekali tidak dapat dibaca oleh apoteker berpotensial untuk menimbulkan kesalahan dalam pelayanan resep (Lyons, Payne, Mc Cabe, Fielder, 1998). Lebih dari 15% kesalahan resep dalam

(36)

contoh kejadian fatal yang dilaporkan oleh Hughes (2003) adalah ketika apoteker salah membaca resep dokter akibat tulisan yang tidak jelas. Dokter yang meresepkan tablet Amoxil® (amoksisilina), terbaca Daonil® (glibenklamida) oleh apoteker, akibatnya ketika digunakan pada pasien yang notabene tidak menderita diabetes, pasien tersebut mengalami kerusakan otak permanen sebagai akibat dari pemakaian obat. Di USA dilaporkan, bahwa paling sedikit 7000 kematian per tahun akibat kesalahan obat (tidak terbaca atau tidak dimengerti oleh apoteker), seperempatnya berasal dari penulisan nama obat.

Maraknya peluncuran obat-obat baru menimbulkan suatu kekhawatiran akan terjadinya kesalahan dalam pelayanan resep. Kesalahan ini biasanya diakibatkan karena banyak obat memiliki tulisan dan bunyi yang hampir sama, sedangkan khasiatnya berbeda satu sama lain, contohnya Lasix® dan Losec®.

Hasil penelitian Lyons et al, 1998 menunjukkan bahwa tulisan dokter dalam resep adalah most unlegibility dibandingkan dengan profesional kesehatan lain. Topik penelitian yang sama mengenai legibility of doctor’s handwriting juga dilaporkan oleh Hughes (2003) yang membandingkan antara tulisan tangan dokter dengan perawat serta staff administrasi lainnya. Hasilnya memperlihatkan bahwa sekalipun telah diminta untuk menulis dengan rapi, tulisan tangan dokter dinilai buruk secara signifikan bila dibandingkan dengan subyek penelitian yang lain.

C. Medication Error

(37)

namun baru tahun 2000-an dunia menyadari pentingnya suatu program patient safety yang komprehensif sebagai suatu sistem. Patient safety hendaknya dipastikan terjamin dalam setiap proses pelayanan kesehatan, mulai dari pemilihan pengobatan yang paling tepat, penulisan resep, penyiapan obat yang optimal untuk mencegah penundaan terapi dan medication error (Hansen et al, 2006).

The National Coordinating Council for Medication Error Reporting and

Prevention mendefinisikan medication error :

Any preventable event that may cause or lead to inappropriate medication use or patient harm, while the medication is in the control of the health care professional, patient. or consumer. Such events may be related to professional practice, health care products, procedures, and systems including: prescribing; order communication; product labeling; packaging and nomenclature; compounding; dispensing; distribution; administration; education; monitoring; and use (Anonim, 2006 a).

Hal ini juga dipertegas dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/MenKes/SK/IX/2004 yang juga menyatakan bahwa medication error

merupakan kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.

(38)

The American Hospital Association (Anonim, 2006 a) membuat daftar beberapa tipe medication error yang biasa terjadi:

1. ketidaklengkapan informasi pasien (sebagai contoh: tidak diketahui adanya alergi yang dialami pasien, obat-obatan lain yang dikonsumsi, diagnosis sebelumnya, dan hasil laboratorium);

2. tidak tersedianya informasi obat; miscommunication pada resep, yang dapat melibatkan tulisan tangan yang buruk, obat dengan nama yang hampir sama, penggunaan salah angka nol dan bilangan desimal, kebingungan penggunaan sistem metric dan unit dosis lainnya, serta singkatan yang tidak tepat;

3. pelabelan yang kurang tepat pada saat obat disiapkan dan dikemas kedalam unit yang lebih kecil;

4. faktor lingkungan seperti cahaya, panas, suara, dan gangguan-gangguan yang dapat menghambat tenaga profesional kesehatan dalam

melakukan tugas mereka.

Rekomendasi The National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention untuk mengurangi potensi terjadinya medication error

yang berhubungan dengan resep:

1. resep harus dapat dibaca. Permintaan verbal sebaiknya diminimalkan. 2. resep dilengkapi dengan keterangan singkat mengenai tujuan

penggunaan (contoh: untuk mengatasi batuk).

(39)

4. bagi penulis resep, sangat penting untuk menyertakan umur, jika perlu berat badan pasien pada resep.

5. resep sebaiknya berisi nama obat, kekuatan atau konsentrasi dan bentuk sediaan.

6. a leading zero selalu mendahului tanda koma dalam penulisan bilangan desimal yang memiliki nilai kurang dari satu, a terminal or trailing zero sebaiknya tidak pernah digunakan setelah penulisan desimal.

7. bagi penulis resep sebaiknya menghindari penggunaan singkatan-singkatan termasuk untuk nama obat dan petunjuk penggunaan dalam

bahasa latin.

(Anonim, 2006 a) Tenaga kesehatan profesional sebaiknya mengambil peran utama dalam pencegahan terjadinya errors dan membantu melindungi pasien dari bahaya ketika

errors terjadi (Anonim, 2005 a). Dokter, apoteker, maupun asisten apoteker harus bekerja sama secara profesional dalam kegiatan prescribing dan dispensing, untuk mengadakan suatu “sistem periksa dan keseimbangan informasional” yang akan meminimalkan kesalahan dan mengoptimasikan terapi obat (Siregar, 2003).

Hal yang perlu dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menurunkan potensi terjadinya medication error terkait dengan kelengkapan & kemudahan pembacaan tulisan dalam resep, yaitu:

(40)

miscommunication antar tenaga kesehatan adalah penyebab paling umum dari medication error.

2. menghindari penggunaan singkatan, termasuk untuk nama obat karena dapat terjadi salah paham ataupun salah mengerti (misunderstood).

3. menulis resep dengan jelas dan terbaca. Kemudahan pembacaan tulisan dalam resep juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan benar oleh pasien, karena jika pasien tidak dapat membaca apa yang dituliskan oleh dokter, mungkin apoteker juga tidak mampu membacanya

(Pritzker, 2006).

D. Hak dan Kewajiban Konsumen

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Bab VII, Pasal 71, ayat 1 dinyatakan bahwa, “Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya”. Hal ini memperlihatkan bahwa, masalah kesehatan tidak dilimpahkan 100% ke pundak tenaga kesehatan, karena dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Bab VI, Pasal 53, ayat 1 dinyatakan bahwa “Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”.

(41)

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

(Anonim, 1999)

2. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

(Anonim, 1999) 3. Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran, hak pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran adalah:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

(42)

e. mendapatkan isi rekam medis.

(Anonim, 2004 b) 4. Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran, kewajiban pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran adalah:

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

b. mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

(Anonim, 2004 b)

E. Pelayanan Resep Obat di Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992, Bab VI, Pasal 56, ayat 1, dinyatakan bahwa:

Sarana Kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium sekolah dan akademi kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya

(Anonim, 1992) Menurut Anonim (2004 d), pelayanan kefarmasian dapat dilakukan di: 1. rumah sakit

2. komunitas meliputi: a.apotek

b.komunitas berdasarkan pada kebutuhan masyarakat sesuai bidang keilmuan farmasi.

3. industri 4. lembaga riset

(43)

Tujuan:

a. menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya

b. melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan (merujuk pada SK Dirjen Yanmed nomor YM.00.03.2.3.951)

Peran Apoteker dalam panitia ini sangat strategis dan penting karena semua kebijakan dan peraturan dalam mengelola dan menggunakan obat di seluruh unit di rumah sakit ditentukan dalam panitia ini.

(Anonim, 2004 c) Salah satu kompetensi yang ada dalam standard operating procedures

farmasis di farmasi rumah sakit adalah memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal, dengan ruang lingkup sebagai berikut:

ruang lingkup kompetensi ini meliputi proses identifikasi kebutuhan dan masalah yang berhubungan dengan obat pasien yaitu dengan menilai kelengkapan administratif dan melakukan penilaian (assessment) kebutuhan pasien yang berhubungan dengan obat (patient’s drug-related needs), merancang rencana pelayanan (care plan), proses dispensing, serta memonitor dan evaluasi kemajuan pasien (follow-up evaluation of the patient) (Anonim, 2004 d).

(44)

E. Keterangan Empiris

(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif (non eksperimental) dengan rancangan cross sectional. Menurut Pratiknya (2001), penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subyek menurut keadaan apa adanya (in nature), tanpa adanya manipulasi atau intervensi peneliti.

Sedangkan rancangan penelitian cross sectional merupakan penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan pendekatan atau observasi pada suatu saat (point time approach), atau dengan kata lain tiap subyek hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subyek pada saat pemeriksaan (Praktiknya, 2001). Instrumen yang digunakan dalam pengambilan data adalah dengan kuesioner. Pengolahan data dilakukan dengan teknik statistik deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram batang.

B. Definisi Operasional

1. Persepsi adalah gambaran subyektif dalam bentuk pendapat atau pandangan dokter, apoteker, dan asisten apoteker, mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep saat menjalankan pelayanan kesehatan dan penggambaran pendapat atau pandangan pasien mengenai

(46)

kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep saat menerima pelayanan kesehatan di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta.

2. Dokter adalah tenaga medis yang menjalankan praktik kedokteran sebagai pegawai tetap di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta.

3. Apoteker adalah tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta.

4. Asisten Apoteker adalah tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian di bawah pengawasan apoteker di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta.

5. Pasien adalah setiap orang yang memperoleh pelayanan kesehatan berdasarkan UU No.29 Tahun 2004, Pasal 1, dengan jenis pelayanan rawat jalan atau setiap orang yang mewakilinya, yang melakukan pembelian obat berdasarkan resep di empat apotek rumah sakit umum di Kota Yogyakarta. 6. Kelengkapan resep adalah adanya aspek yang ditulis dan merupakan

komponen yang harus ada dalam sebuah resep dokter mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (PerMenKes) Republik Indonesia No.26 MenKes/Per/I/1981, Bab III, Pasal 10, ayat 1.

(47)

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah dokter, apoteker, dan asisten apoteker yang berpraktek di empat rumah sakit umum di Kota Yogyakarta, serta pasien yang membeli obat berdasarkan resep di empat apotek rumah sakit tersebut.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada permasalahan. Menurut Umar (2003), kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data dengan menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden, dengan harapan mereka akan memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut.

(48)
(49)

Tabel II. Daftar pernyataan persepsi dokter, apoteker, dan asisten apoteker mengenai aspek kelengkapan resep

No Pernyataan Sifat pernyataan

1. Resep harus memuat identitas dokter favourable

2. Resep tidak perlu mencantumkan tanggal penulisan unfavourable

3. Resep harus memuat identitas pasien favourable

4. Resep tidak perlu mencantumkan jumlah obat unfavourable

5. Resep harus mencantumkan aturan pakai favourable

6. Resep tidak perlu mencantumkan kekuatan obat (Contoh: 10 mg, 20 mg, dll)

unfavourable

7. Resep harus mencantumkan berat badan dan umur pasien

favourable

8. Resep tidak perlu mencantumkan nama dan alamat pasien

unfavourable

9. Resep harus mencantumkan tanda tangan dokter favourable

Tabel III. Daftar pernyataan persepsi pasien mengenai aspek kelengkapan resep

No Pernyataan Sifat pernyataan

1. Resep harus memuat identitas dokter favourable

2. Resep tidak perlu mencantumkan tanggal penulisan unfavourable

3. Resep harus memuat identitas pasien favourable

4. Resep tidak perlu mencantumkan jumlah obatnya, cukup nama obatnya saja

unfavourable

5. Resep harus mencantumkan aturan pakai favourable

6. Resep harus mencantumkan nama pasien favourable

7. Resep harus mencantumkan berat badan dan umur pasien

favourable

8. Resep tidak perlu mencantumkan alamat pasien unfavourable

(50)

Tabel IV. Daftar pernyataan persepsi dokter, apoteker, dan asisten apoteker mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep

No Pernyataan Sifat pernyataan

1. Tulisan dalam resep harus ditulis dengan

jelas favourable

2. Tulisan dalam resep harus ditulis tidak

jelas unfavourable

3. Tulisan dalam resep harus dapat dibaca

dengan jelas favourable

4. Tulisan tidak jelas harus dipertahankan

karena menjadi ciri khas dokter unfavourable

5. Jika tulisan dalam resep tidak dapat dibaca jelas maka apoteker harus menghubungi dokter

favourable

6. Jika tulisan dalam resep tidak dapat dibaca dengan jelas maka apoteker harus meminta pasien kembali ke dokter

unfavourable

Tabel V. Daftar pernyataan persepsi pasien mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep

No Pernyataan Sifat pernyataan

1. Tulisan dokter dalam resep yang saya

peroleh, tidak jelas dan tidak terbaca

-2. Tulisan dalam resep harus ditulis dengan jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam pelayanan resep di apotek

favourable

3. Tulisan dalam resep harus ditulis tidak jelas agar tidak sembarang orang bisa membacanya

unfavourable

4. Tulisan dalam resep harus dapat dibaca

dengan jelas favourable

5. Tulisan tidak jelas harus dipertahankan karena menjadi ciri khas dokter dan agar tidak mudah ditiru

unfavourable

6. Apoteker di apotek rumah sakit harus dapat membaca tulisan dokter walaupun secara umum tulisan tersebut sangat sulit dibaca

favourable

7. Jika tulisan dalam resep tidak dapat dibaca jelas oleh apoteker di apotek rumah sakit maka pasien harus kembali ke dokter

(51)

Bagian ketiga dari kuesioner ini berisi pertanyaan terbuka. Kuesioner untuk dokter terdiri atas dua kelompok pertanyaan, yaitu kelompok pertanyaan tentang persepsi responden mengenai kelengkapan resep (sejumlah dua pertanyaan) dan kelompok pertanyaan tentang persepsi responden mengenai kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (sejumlah dua pertanyaan). Kuesioner untuk responden apoteker maupun asisten apoteker berisi dua pertanyaan terkait kelengkapan resep, dan tiga pertanyaan terkait kemudahan pembacaan tulisan dalam resep, dan kuesioner untuk pasien hanya terdiri dari satu pertanyaan terkait kelengkapan dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep.

E. Tata Cara Penelitian 1. Analisis situasi (orientasi)

(52)

2. Pembuatan kuesioner

Pada fenomena sosial yang berkaitan dengan bidang kesehatan, pengukuran persepsi, perilaku dan sikap yang merupakan variabel psiko-sosial dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan baik dengan teknik wawancara maupun teknik kuesioner (Pratiknya, 2001). Dengan kuesioner, peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subyek peneliti) (Adi, 2004).

Pembuatan kuesioner ini didasarkan pada persyaratan administratif yang harus dipenuhi saat pelayanan resep di apotek menurut KepMenKes R.I. No. 1027/MenKes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Bab III, bagian skrining resep, dan juga KepMenKes R.I. No. 280/MenKes/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek, Bab II, Pasal 2, mengenai resep. Selain itu, hasil penelusuran pustaka pada penelitian-penelitian sebelumnya dengan tema sejenis, turut menjadi pertimbangan peneliti dalam pembuatan item-item kuesioner.

(53)

dalam resep dan kuesioner yang disusun untuk responden pasien terdiri atas 4 butir pertanyaan tentang karakteristik demografi responden dan 17 butir pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana persepsi pasien mengenai aspek kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep.

(54)

Menurut Azwar (1997), alat ukur dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Namun uji reliabilitas dari kuesioner tidak perlu dilakukan apabila jawaban dari kuesioner berupa opini atau fakta, sehingga tidak dapat diberi skor. Reliabilitas hasil kuesioner tersebut terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden akan menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Jawaban dari kuesioner penelitian ini berupa persepsi, sehingga uji reliabilitas kuesioner tidak perlu dilakukan.

3. Penentuan subyek penelitian

Rumah sakit umum yang menjadi tempat pengambilan data adalah RSUD Kota Yogyakarta, RSU P.K.U Muhammadiyah, RSU Bethesda, dan RSU DKT (Dr. Soetarto).

a. Teknik penentuan subyek penelitian untuk dokter, apoteker, dan asisten apoteker

(55)

Tabel VI. Jumlah subyek penelitian untuk dokter, apoteker dan asisten

Jumlah apoteker Jumlah asisten apoteker

b. Teknik penentuan subyek penelitian untuk pasien

Penentuan pasien sebagai subyek penelitian berdasarkan non-random sampling. Non-random sampling adalah teknik yang tidak memberi peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2003). Jenis non-random sampling yang digunakan adalah accidental sampling, dimana merupakan teknik penentuan sampel dengan subyek yang secara kebetulan ditemukan dan memenuhi kriteria dalam penelitian (Sarwanto dan Kuntara, 2003).

Jumlah responden minimal dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus (Nawawi, 2005):

N =

N : ukuran cuplikan terkecil

Z : koefisien keterandalan (reability coefficient) yang besarnya ditentukan oleh tingkat kepercayaan, yaitu 90%, sehingga Z = 1,64

PQ : proporsi di dalam populasi, karena proporsi dalam populasi tidak diketahui maka PQ maksimal bila P=Q=0,5

(56)

Jadi, ukuran cuplikan terkecil:

N = 2

1 , 0

dokter yang menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini sehingga kuesioner

2

Metode sampling ini tidak mempermasalahkan apakah sampel yang diambil mewakili populasi atau tidak, karena bukan dimaksudkan untuk menaksir parameter populasi, melainkan untuk melihat fenomena di masyarakat dengan cara yang mudah dan sederhana, sehingga hasilnya bisa ditelaah dalam waktu singkat (Sarwanto dan Kuntara, 2003). Pada penelitian ini diambil 100 orang responden pasien. Hal ini telah memenuhi jumlah ukuran cuplikan terkecil yang berjumlah 68 responden. Penambahan sebanyak 45% dari jumlah ukuran cuplikan terkecil, selain mempertimbangkan tenaga, biaya, dan waktu untuk penelitian yang mencukupi, juga ditujukan untuk mengantisipasi pengisian kuesioner yang tidak lengkap oleh responden.

4. Penyebaran dan pengumpulan kuesioner

(57)

hanya disebarkan kepada 74 dokter yang bersedia untuk berpartisipasi mengisinya. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata hanya 71 kuesioner (82%) yang memenuhi syarat atau diisi lengkap. Semua kuesioner tersebut digunakan untuk analisis data. Menurut Gay (cit., Hasan, 2002), ukuran minimum jumlah subyek penelitian yang diterima untuk metode penelitian deskriptif adalah 10% dari populasi. Penelitian ini telah memenuhi kriteria minimum jumlah subyek penelitian, karena subyek penelitian yang bersedia berpartisipasi dan memenuhi syarat untuk dijadikan responden, berjumlah lebih dari 10% dari jumlah populasi.

Dalam melakukan penyebaran kuesioner kepada dokter, sedapat mungkin dilakuka

eker adalah 21 orang dan asisten apoteker adalah 83 orang. Penyeba

n secara langsung kepada dokter yang bersangkutan. Pada keadaan tertentu yang menyebabkan dokter tidak dapat ditemui secara langsung, kuesioner dititipkan pada perawat yang bertugas, Kepala Bagian Instalasi Gawat Darurat atau bagian komite medik. Pengisian kuesioner sebaiknya didampingi oleh peneliti, agar peneliti dapat menjelaskan kepada dokter maksud dari setiap butir pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Pada penelitian ini, pengisian kuesioner yang didampingi oleh peneliti dan dikumpulkan langsung saat itu juga hanya 24 dokter, 47 kuesioner lainnya ditinggal dan diambil setelah jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh dokter dan peneliti dan selama jangka waktu tersebut penulis rutin melakukan monitoring untuk mengetahui perkembangan hasil pengisian kuesioner.

Populasi apot

(58)

kemudian diisi oleh responden dan penulis rutin melakukan monitoring untuk mengetahui perkembangan hasil pengisian kuesioner. Jumlah total kuesioner yang disebarkan untuk apoteker adalah 21 kuesioner, namun setelah dilakukan pengecekan terdapat satu kuesioner tidak terisi, sehingga tidak dapat digunakan untuk analisis data. Menurut Gay (cit., Hasan, 2002), ukuran minimum jumlah subyek penelitian untuk populasi yang relatif kecil minimal 20% dari populasi. Penelitian ini telah memenuhi kriteria minimum tersebut, karena subyek penelitian yang memenuhi syarat untuk dijadikan responden berjumlah 20 orang (95%).

Jumlah total kuesioner yang disebarkan pada asisten apoteker adalah 72 kuesione

100 responden pasien dilakukan di apotek rawat ja

r. Selisih jumlah populasi asisten apoteker dengan jumlah kuesioner yang disebarkan dikarenakan adanya permintaan salah satu rumah sakit kepada peneliti untuk mengambil 80% saja dari populasi asisten apoteker yang ada. Pertimbangan yang muncul yaitu adanya kesulitan dalam pengumpulan kuesioner untuk responden yang jumlahnya banyak, dikarenakan shift kerja yang berbeda-beda dan waktu penelitian yang terbatas. Dari 72 kuesioner untuk asisten apoteker yang disebarkan, 20 kuesioner tidak kembali hingga waktu penelitian berakhir, dan 7 kuesioner tidak memenuhi syarat atau tidak diisi lengkap. Kuesioner yang digunakan untuk analisis data berjumlah 45 buah (54%) dan memenuhi kriteria minimum 10% dari anggota populasi.

Penyebaran kuesioner kepada

(59)

merupakan orang yang mewakili pasien untuk membeli obat berdasarkan resep. Pengisian kuesioner didampingi oleh peneliti, sehingga apabila terdapat pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner yang tidak dimengerti, dapat langsung ditanyakan kepada peneliti. Pengumpulan kuesioner dilakukan pada saat yang sama dengan waktu penyerahan kuesioner, sehingga semua kuesioner yang disebarkan dapat langsung terkumpul kembali. Waktu penyebaran hingga pengumpulan kuesioner untuk semua responden dilakukan pada bulan Maret-April 2007.

5. Pengolahan data

ata dilakukan dengan metode statistik deskriptif dengan teknik p

Pengolahan d

enghitungan persentase, yaitu untuk pernyataan dengan satu jawaban, jawaban yang sama dijumlahkan kemudian dipersentasekan dengan jumlah total 100%.

N X

P =

Keterangan : P = Persen

X = jumlah alternatif jawaban tertentu responden total

Selanjutnya, asil penelitian dengan melihat persenta

N = jumlah

dilakukan interpretasi data h

(60)

F. Kesulitan Penelitian

1. Prosedur izin penelitian yang bertahap dan membutuhkan waktu lama,

erpartisipasi untuk

h responden bahkan ada

didampingi oleh peneliti

n

ibatkan mengakibatkan jangka waktu penyebaran dan pengumpulan kuesioner terbatas, sehingga data yang diperoleh tidak maksimal.

2. Sebagian subyek penelitian ada yang tidak bersedia b mengisi kuesioner karena alasan-alasan tertentu.

3. Ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab ole yang tidak mengisi data karakteristik responden. 4. Ada beberapa responden dokter yang tidak mau

saat pengisian kuesioner, sehingga menyulitkan peneliti dalam menjelaskan maksud dari tiap butir pernyataan dalam kuesioner tersebut. 5. Tidak dilakukan wawancara mendalam kepada responden berkaita

dengan alasan responden terhadap setiap jawaban yang diberikan. 6. Faktor kesibukan dokter, apoteker, dan asisten apoteker mengak

(61)

BAB IV

HASIL DAN PEM N PENELITIAN

A. Karakteristik Responden 1. Data demogr

i karakteristik demografi yaitu usia, jenis kelam

responden dibagi dalam tiga kategori, yaitu berd

Gambar 4. Usia responden dokter BAHASA

afi responden dokter Karakteristik responden meliput

in, spesialisasi, tahun lulus fakultas kedokteran, lamanya praktek, jumlah tempat praktek, dan rata-rata kunjungan pasien.

a. Usia responden dokter Pada penelitian ini usia

asarkan pembagian periode dalam jangka kehidupan, yang dilakukan oleh Robert J. Havinghurst (dalam Ahmadi dan Sholeh, 2005), yang terdiri dari masa dewasa awal/masa dewasa dini 18 hingga 34 tahun, masa setengah baya/masa dewasa madya 35-60 tahun, dan masa tua/masa dewasa lanjut yaitu lebih dari 60 tahun.

(62)

Hasil penelitian r responden (73%) bera

sponden dokter

ih mengutamakan intelek dan rasio dalam

ambar 5. Jenis kelamin responden dokter c. Spesialisas

dua responden dalam penelitian ini adalah dokter spesialis (59%) dan 29 orang responden (41%) adalah dokter umum.

menunjukkan bahwa sebagian besa

da pada masa dewasa madya. Menurut Hurlock (1999), ciri masa dewasa madya salah satunya adalah masa dimana peran kepimpinan dalam pekerjaan merupakan imbalan atas prestasi yang dicapai. Orang-orang dalam masa ini suka berpikir dan mawas diri sehingga menjadi pembawa norma serta pembuat keputusan.

b. Jenis kelamin re

Menurut Kartono (1977), pria leb

(63)

Gambar 6. Spesialisasi d. Tahun lulus Fakultas Kedokteran

Tahun lulus Fakultas di empat kelompok, yaitu 1989, tahun 1990 sampai 1999 dan di a di bawah tahun 1980, tahun 1980 sampai

tas tahun 1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden lulus Fakultas Kedokteran pada tahun 1990 sampai 1999 (49%), dan 21% responden pada tahun 1980 sampai 1989. Proporsi responden yang lulus di atas tahun 1999 sebesar 17% dan ada 13% responden lulus di bawah tahun 1980. Perbedaan tahun kelulusan mungkin akan berpengaruh pada persepsi seseorang, karena bisa saja memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu objek, berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang diperoleh pada saat pendidikan. Menurut Azwar (1988), pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan serta ajaran-ajarannya.

(64)

Gambar 7. Tahun lulus fakultas kedokteran e. Lama praktek responden dokter

Lama pra den. Menurut

anyak pengalaman dan mempunyai pand

ambar 8. Lama prakte responden dokter

49

45 50

ktek menunjukkan pengalaman bekerja respon Sungguh (2000), dokter yang telah b

angan klinik yang tajam, dapat bekerja cepat dengan hanya sedikit resiko akan terjadi kealpaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi dokter yang telah menjalankan praktek selama enam hingga 30 tahun (79%), kurang dari enam tahun (17%), dan 4% dokter lainnya lebih dari 30 tahun.

Gambar

Tabel XI. Persepsi
Gambar 1. Teori aksi menurut Weber (Ritzer, 1983, cit., Sarwono, 2004).
Gambar 2. Hubungan dokter-apoteker-pasien serta tugas masing-masing
Tabel I. Persentase Frekuensi Ketidaklengkapan Resep Pasien Pediatri di
+7

Referensi

Dokumen terkait