• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa sawit

2.2. Persyaratan Tumbuh 1. Iklim

Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar 12° LU - 12° LS. Tanaman kelapa sawit membutuhkan intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi untuk melakukan fotosintesis, kecuali pada kondisi juvenile di pre-nursery. Kelapa sawit pada umumnya tumbuh pada ketinggian 0 – 500 m di atas permukaan laut, dengan ketinggian optimal pada 0 – 400 m dpl. Kecepatan angin 5 – 6 km/jam sangat baik dalam proses penyerbukan, apabila angin bertiup terlalu kencang akan menyebabkan tanaman baru doyong atau miring.

Temperatur untuk pertumbuhan yang optimal pada suhu 24 – 28 °C, dengan suhu terendah 18°C dan tertinggi 32°C. Kelembaban 80 % dengan lama penyinaran matahari 5 – 7 jam/hari. Kelembaban rata–rata yang tinggi akan merangsang perkembangan penyakit, hal ini juga ada hubungannya dengan rendahnya lama penyinaran matahari. Apabila lama penyinaran matahari kurang dari 5 jam/hari, dapat menyebabkan berkurangnya asimilasi, gangguan penyakit, dan lain–lain (Lubis, 1992). Menurut Setyamidjaja (1991), budidaya tanaman kelapa kelapa sawit di pulau Jawa berkembang di daerah Banten Selatan yang keadaan iklimnya relatif cukup basah. Sedangkan di pulau Jawa bagian timur, yang musim kemaraunya tegas dan berlangsung selama 4 – 5 bulan, kurang cocok untuk kelapa sawit. Pada keadaan iklim demikian, produksi buah menjadi tidak merata. Witjaksana et al. (2005a) berpendapat bahwa kekeringan akan memberikan dampak terhadap aktivitas fisiologis, pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman.

Menurut Pahan (2006), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan tanaman dalam hidupnya, yaitu (1) innate, (2) induce, dan (3) enforce. Faktor innate merupakan faktor yang berhubungan dengan sifat genetik dari tanaman, di mana faktor ini bersifat mutlak dan sudah ada semenjak terbentuknya embrio dalam biji. Faktor induce adalah faktor yang mempengaruhi ekspresi dari sifat genetik yang terkait dengan keadaan buatan manusia, seperti pemberian pupuk tepat dosis. Faktor enforce adalah faktor lingkungan atau alam yang dapat merangsang ataupun menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman.

2.2.2. Tanah

Menurut Setyamidjaja (1991), kelapa sawit dapat tumbuh pada bebagai jenis tanah, akan tetapi agar pertumbuhannya lebih optimal harus memerlukan tanah sesuai. Jenis tanah yang baik untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah jenis Latosol, Podsolik Merah Kuning, dan Aluvial yang kadang–kadang meliputi tanah gambut dan muara sungai. Meskipun demikian, kemampuan produksi kelapa sawit pada tiap jenis tanah tidaklah sama.

Sifat–sifat fisika dan kimia yang harus dipenuhi agar kelapa sawit dapat tumbuh dengan optimal adalah :

1. Drainase yang baik dan permukaan air tanah yang cukup dalam. 2. Solum yang cukup dalam.

3. Reaksi tanahnya masam dan pH berkisar antara 4 – 6.

2.2.3. Pembibitan

Pertumbuhan bibit adalah suatu periode yang paling menentukan keberhasilan tanaman dalam mencapai pertumbuhan yang paling baik pada pembibitan. Pembibitan tanaman kelapa sawit adalah suatu kegiatan budidaya pada benih (kecambah) atau hasil kultur jaringan kelapa sawit untuk menyiapkannya agar dapat hidup dan tumbuh berkembang normal disertai dengan karakteristik yang dikehendaki (seleksi) saat ditanam di areal penaman (Ratnawati et al., 2006).

Sistem pembibitan kelapa sawit umumnya terdiri dari dua sistem pembibitan, yaitu sistem pembibitan di lapang dan sistem pembibitan di polythene

(polibag). Sistem pembibitan di polibag terdiri dari dua macam, yaitu sistem pembibitan polibag satu tahap dan sistem pembibitan dua tahap. Pada sistem pembibitan dua tahap terdapat adanya pembibitan pendahuluan dan pembibitan utama. Sistem pembibitan satu tahap umumnya direkomendasikan untuk jumlah bibit yang tidak terlalu banyak, terutama untuk keperluan replanting (Pahan, 2006).

2.3. Ultisol

Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran cukup luas. Ultisol dapat berkembang dari bebagai bahan induk yang bersifat masam hingga basa. Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Sarief (1984) berpendapat bahwa ultisol memiliki banyak faktor penghambat bagi pertumbuhan tanaman. Faktor penghambat tersebut adalah kemasaman tanah yang tinggi, keracunan akan unsur aluminium (Al), rendahnya kandungan unsur P, Mg, dan bahan organik. Ginting dan Rahutomo (2007) berpendapat bahwa tanah marjinal memiliki masalah terhadap ketersediaan unsur hara P, ini dikarenakan adanya fiksasi unsur P oleh ion–ion logam seperti Al, Fe, dan Mn sehingga unsur P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Salah satu cara untuk mengatasi faktor penghambat ini di antaranya dengan pemberian kapur.

Kandungan hara pada Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Di Indonesia, Ultisol umumnya dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri.

2.4. Bahan Pembenah Tanah Baode

Bahan pembenah tanah Baode terdiri dari dua jenis, yaitu Baode akar dan Baode daun. Bahan pembenah tanah Baode daun adalah suatu senyawa organik yang berisikan hormon–hormon dan enzim pertumbuhan. Bahan pembenah tanah Baode daun ini berfungsi untuk mengatur reaksi enzim, meningkatkan

fotosintesis, memberikan berbagai nutrisi untuk mendorong pertumbuhan, meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit.

Bahan pembenah tanah Baode akar adalah suatu senyawa organik yang berbahan dasar mikrob. Bahan pembenah tanah Baode akar adalah sejenis Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Plant Growth Promoting Rhizobacteria adalah sejenis bakteri yang hidup di daerah perakaran yang memberi keuntungan dalam proses fisiologi dan pertumbuhan tanaman. Selain itu, PGPR juga mampu memacu pertumbuhan dan fisiologi akar dengan meningkatkan ketersediaan nutrisi lain seperti phospat, belerang, besi, dan tembaga, serta mampu mengurangi penyakit dan kerusakan oleh serangga.

Bahan pembenah tanah Baode akar merupakan bakteri aktif yang diproduksi dalam keadaan dorman yang berasal dari strain utama hasil dari teknologi terkonsentrasi dan fermentasi. Bakteri yang terdapat dalam bahan pembenah tanah Baode tersebut terdapat dalam jumlah banyak, cepat bereproduksi, dan mempunyai ketahanan hidup yang cukup tinggi. Bakteri tersebut berguna dalam memilih dan mengatur fungsi akar dalam penyerapan dan pengeluaran nutrisi. Dalam prosesnya, bakteri tersebut menyerap nutrisi dan oksigen, menahan sekresi zat aktif, dan membentuk lapisan pelindung di sekitar akar, mencegah berkembangnya bakteri dan mikroba yang merugikan dalam daerah perakaran. Hasilnya adalah penyakit yang ditularkan lewat tanah akan berkurang dan ketahanan akan penyakit pada tanaman akan lebih meningkat. Jenis bakteri yang terdapat pada bahan pembenah tanah Baode adalah Bacillus laterosporus.

2.4.1. Bacillus

Bakteri adalah kelompok mikroorganisme yang paling dominan keberadaannya di dalam tanah. Jumlahnya mungkin sama dengan satu setengah dari biomassa mikroba dalam tanah. Marga Bacillus merupakan salah satu kelompok bakteri yang mempunyai berbagai macam kemampuan yang dapat dikembangkan dalam skala industri. Campbell (1985) berpendapat bahwa, bibit yang diinokulasikan bakteri seperti Azotobacter, Clostridium, Bacillus, dan lain

berbentuk batang yang dapat dijumpai di tanah dan air laut. Populasi Bacillus dalam tanah terbilang cukup sedikit (Subba Rao, 1977).

2.5. Pupuk Cair GD

Pupuk cair GD merupakan bahan pupuk yang diformulasikan oleh staf DITSL yang mengandung organik berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Bahan dasar dari pupuk cair GD adalah bahan humat. Kandungan bahan humat yang terdapat pada pupuk cair GD sebesar 10 %. Pupuk ini diformulasikan dengan komposisi hara yang dapat merangsang pertumbuhan akar dan bagian atas tanaman.

Menurut Andalasari (1997) bahan humat adalah suatu senyawa berwarna gelap yang dapat diekstrak dari berbagai jenis tanah dengan berbagai pereaksi serta tidak larut dalam asam. Bahan humik atau asam humat secara tidak langsung dapat memperbaiki dan menunjang pertumbuhan tanaman, karena bahan humat dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi pada tanah sehingga dapat menunjang pertumbuhan tanaman. Bahan humat juga dapat memberikan dampak secara langsung terhadap tanaman dengan berdampaknya terhadap sejumlah proses fisiologi dan metabolisme pada tanaman. Tambas dan Gofar (1998) berpendapat bahwa fraksi humat dapat menjerap logam Al dan Fe. Fraksi humat tanah digolongkan menjadi (1) asam humat, yakni fraksi yang larut dalam basa, (2) asam krenik dan aprokrenik, yakni yang larut dalam air, dan (3) humin, yakni yang tidak larut dan lembam (inert). Senyawa humat ini bersifat amorf, berwarna kuning sampai coklat hitam dan memiliki bobot molekul tinggi (Tan, 1992).

2.6. Pemupukan

Kemampuan suatu lahan untuk menyediakan berbagai unsur hara secara terus–menerus bagi proses pertumbuhan tanaman sangatlah terbatas. Keterbatasan dari daya dukung lahan ini dapat diatasi dengan melakukan proses pemupukan. Pemupukan bertujuan untuk memperoleh produksi yang tinggi dan bernilai dengan memperbaiki penyediaan hara sambil memperhatikan atau memperbaiki tanah tanpa merusak lingkungan (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Menurut Pahan (2006) unsur hara makro (N, P, K, Ca, dan Mg) dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sangat besar dengan nilai kritis antara 2 – 30 g/kg

berat kering tanaman, sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah relatif lebih kecil kandungan nilai kritisnya berkisar antara 0.3 – 50 mg/kg. Soepardi (1983) berpendapat bahwa dari ketiga unsur hara yang biasanya diberikan sebagai pupuk (unsur N, P, dan K), unsur nitrogen memberikan pengaruh paling mencolok dan cepat, terutama untuk merangsang pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Menurut Tim Penulis PS (1999), unsur boron (B) merupakan salah satu unsur yang cukup penting pada tanaman muda, sebab tanaman muda yang mengalami kekurangan unsur B dapat mengalami kematian. Pemupukan yang baik dan efisien pada tanaman kelapa sawit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penempatan pupuk, waktu aplikasi, keseimbangan hara, kondisi gulma, jumlah pelepah, keadaan bangunan konservasi, dan keseragaman tanaman (Witjaksana et al., 2005b).

2.6.1. Pemupukan Daun

Penyerapan unsur hara melalui daun terjadi karena adanya difusi dan osmosis melalui lubang stomata. Proses mekanis pada stomata diatur oleh tekanan sel turgor dari sel–sel penutup. Pada siang hari yang terik dan kondisi angin yang terlalu cepat akan menyebabkan stomata menjadi menutup karena terjadi penguapan yang terlalu besar. Jika pada saat itu disemprotkan air akan, maka stomata akan kembali terbuka karena meningkatnya tekanan turgor. Jika air yang disemprotkan mengandung unsur hara yang tinggi, menyebabkan unsur–unsur hara tersebut terserap dan berdifusi kedalam stomata bersama dengan air (Sarief, 1984).

2.7. Bahan Organik

Sumber utama bahan organik adalah jaringan tanaman. Setiap tahun alam dapat menyediakan bahan organik yang berasal dari ranting, cabang, daun, batang, dan akar tanaman. Karbon atau unsur C merupakan penyusun utama bahan organik. Menurut Soepardi (1983) 25 % bagian dari tanaman terdiri atas 11 % C, 10 % O2, 2 % H, dan 2 % abu. Kadar C pada tanah bergantung dari kandungan N pada tanah atau yang dikenal dengan C/N ratio, di mana kedua unsur tersebut memiliki sifat persaingan di antaranya di dalam tanah. Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Isnaini (1997) bahwa pemupukan nitrogen

dengan tingkat dosis yang semakin meningkat akan meningkatkan kadar C–

organik pada tanah, sedangkan tanpa pemupukan nitrogen akan menyebabkan kadar C–organik menjadi rendah.

2.8. Unsur Hara Makro