• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR PEMBENARAN ABORSI

C. Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam

Fatwa adalah sebuah nasihat keagamaan yang diberikan oleh mufti (orang yang memberikan fatwa) atas dasar permintaan dari seseorang atau sekelompok orang Islam. Oleh karena itu, maka sebuah fatwa pada umumnya merupakan gambaran dari berbagai isu dan topik yang banyak menyita perhatian kaum muslimin.160

159Ibid., hal. 123.

160Aunur Rohim Faqih, dkk, HKI, Hukum Islam. Dan Fatwa MUI, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 29.

Pembuatan fatwa sebagai dasar pijakan memproduksi fatwa pertama kali di buat pada tahun 1975. Majelis Ulama Indonesia pusat memberikan fatwa terhadap masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum. Masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu dapat di selesaikan di wilayah, khusus untuk wilayah propinsi. Sementara masalah agama yang sifatnya lokal dan kedaerahan, harus di konsultasikan dengan MUI pusat dan komisi Fatwa, Daerah dapat memberikan fatwa yang sifatnya kedaerahan.161

Di Indonesia, fatwa-fatwa hukum Islam dikeluarkan oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI). Pedoman fatwa Majelis Ulama Indonesia ditetapkan dalam Surat Keputusan Nomor: U-596/MUI/X/1997. Dalam surat ini terdapat tiga bagian proses dalam menentukan fatwa, yaitu dasar hukum penetapan fatwa, prosedur fatwa, teknik serta kewenangan organisasi dalam menetapkan fatwa.162

Adapun yang menjadi dasar-dasar menetapkan fatwa terdapat pada Pasal 2 dalam pedoman penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor U-596/MUI/X/1997, yaitu :163

1. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar Al-Quran dan sunnah rasul yang Mu’tarabah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan ummat

161Muhammad Syaeful Abdulloh,

http://muhammadsyaefulabdulloh.blogspot.com/2012/04/materi-masailul-fiqh-prosedur-fatwa-mui.html, diakses tanggal 18 Juni 2012, Jam 08.00 WIB.

162Muhlis, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/fatwa%20dalam%20islam.pdf, Diakses tangga; 18 Juni 2012, Jam 08. 30 WIB.

163 http://jacksite.files.wordpress.com/2007/08/pedoman-penetapan-fatwa-majelis-ulama-indonesia.pdf, diakses tanggal 18 Juni 2012, Jam 08/30 WIB.

2. Jika tidak terdapat di dalam Al Quran dan sunnah Rasul, sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, maka Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ‘ijma, Qiyas yang Mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan, Mashilah al Mursalah, dan Saddu az-Zari’ah.

3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat -pendapat para dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.

Di dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ada beberapa yang menjadi pertimbangan diantaranya bahwa akhir-akhir ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama, aborsi tersebut banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat umumnya, aborsi tersebut telah menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu, dan oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman.

Sebelumnya di dalam keputusan fatwa musyawarah nasional VI Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor : I/MUNAS VI/MUI/2000 juga menimbang bahwa akhir-akhir di tengah-tengah masyarakat timbul pro dan kontra tentang hukum melakukan aborsi yaitu pengguguran kandungan (janin) tanpa alasan medis, sebelum

nafkhur ruh, sehingga mereka mempertanyakan kembali tentang masalah tersebut dan oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman.

Dasar pemikiran fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005 adalah bahwa manusia itu proses terjadinya berawal dari nuthfah (air mani), kemudian alaqah (segumpal darah), dan mudghah (segumpal daging). Ketika sudah memiliki kehidupan maka sang janin berhak untuk hidup dan tidak boleh dihilangkan nyawanya. Hak hidup adalah hak yang diberikan oleh Allah SWT dan itu dilindungi oleh hukum Islam. Ketika sang janin dihilangkan hak hidupnya berarti membunuh dalam bahasa berarti orang yang melakukan pengguguran kandungan (aborsi) itu telah membunuh dan menghilangkan hak-hak sang janin untuk hidup.164

Dasar pertimbangan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia ada beberapa ayat dalam Al-Quran yaitu :

1. QS. Al-Mu’minun [23] : 12-14 yang menyatakan :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati yang (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami balut dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”

2. QS. Al-Isra’ 17 :31

164Hasil wawancara oleh Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA., Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara tanggal 27 Juni 2012.

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.

Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.

Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar”

3. QS. Al-Hajj 22 : 5

“Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.”

Dan di dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 tentang aborsi terdapat juga riwayat hadis Imam al-Bukhari dari `Abdullah :

“Seseorang dari kamu ditempatkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi `alaqah selama itu pula (40 hari), kemudian menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari); kemudian Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan dikatakan kepadanya:

Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia-(nya); kemudian ditiupkan ruh padanya.”

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 tentang aborsi menyatakan bahwa aborsi haram hukumnya, tetapi dalam keadaan tertentu, aborsi dapat dilakukan seperti yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2 huruf b menyebutkan

Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.

Dalam hukum Islam, perkosaan dipandang sebagai salah satu kejahatan.

Pelakunya berdosa dan harus dijatuhi hukuman berat, yaitu hukuman perbuatan zina dan hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan hakim, yang berat dan ringannya tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan.165Bagi perempuan yang diperkosa (dipaksa membuat zina) tidak dianggap berdosa karena dia tidak berdaya dan tidak melakukan pelanggaran dengan disengaja.

Pemerkosaan tidak termasuk dalam kategori zina. Kategori zina itu ada unsur suka sama suka.166 Karena itu, bagi perempuan yang diperkosa menurut jumhur ulama, tidak dikenakan hukuman, berdasarkan dalam Surah An-Nur ayat 33 :

“Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuan untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengigini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi, dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (QS An-Nur : 33)

Pada zaman Rasullah SAW, ada perempuan yang dipaksa untuk zina, tetapi Nabi membebaskan dari hukuman zina. Selanjutnya, Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa perempuan sedangkan untuk mempertahankan dirinya tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya, maka

165Huzaemah Tahido Yanggo, Loc. Cit.

166Hasil Wawancara Dengan Dr. H. Ardiansyah, Lc, MA., Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara tanggal 27 Juni 2012.

perempuan tersebut wajib membunuhnya. Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqh Al-Sunnah, mengatakan bahwa jika pembunuh mengaku membunuh si korban demi mempertahankan dirinya atau kehormatan atau harta bendanya, bila ia dapat mengemukakan bukti yang membenarkan pengakuannya, maka pengakuannya itu dapat diterima dan gugurlah qhisash serta diyat (pembayaran seratus ekor unta atau seharga itu oleh si pelaku pembunuhan) darinya, tetapi bilamana ia tidak dapat mengemukakan bukti yang membenarkan pengakuannya, maka pengakuannya tidak bisa diterima dan perkaranya diserahkan kepada wali si korban.167

Hal demikian sesuai pula dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005, bahwa kehidupan dalam konsep Islam adalah suatu proses yang sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, oleh sebab itu pengguguran sejak terjadinya pembuahan adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, makin besar kandungan, makin besar pula jinayahnya (tindak pidananya) karena setiap anak lahir dalam keadaan suci (tidak berdosa).168 Selanjutnya, mengenai aborsi yang dilakukan karena dalam keadaan benar-benar terpaksa, yaitu demi menyelamatkan nyawa si ibu, maka Islam membolehkan. Hukum tersebut dapat pula berlaku bagi perempuan hasil korban pemerkosaan yang mengakibatkan stress berat, kalau tidak digugurkan kandungannya, maka ia akan sakit jiwa atau gila. Meskipun ia tidak berdosa karena tidak ada kesengajaan, akibatnya ia stress berat atau sakit jiwa, maka dalam hal ini

167Huzaemah Tahido Yanggo, Op. Cit., hal. 30.

168Ibid., hal 33.

dibolehkan baginya aborsi, begitu ketahauan bahwa ia positif hamil dan tidak boleh dari 40 hari dari kehamilannya.169

Selain aborsi karena akibat pemerkosaan yang difatwakan dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005, fikih kontemporer Wabah Al-Zuhaily menegaskan pendapatnya berkenaan dengan aborsi karena darurat sebagai berikut :170

“Saya juga memandang rajah pendapat yang tidak membolehkan aborsi sejak permulaan pembentukan janin, kecuali karena sudah ada kehidupan (hayat) dan permulaan pembentukan janin, kecuali karena dharurat seperti penyakit lumpuh, atau penyakit menular seperti TBC atau kanker, atau karena uzur seperti terhentinya air susu ibu setelah tampak kehamilan, dan dia mempunyai seorang anak, sedang ayahnya tidak mampu memberikan upah kepada perempuan yang menyusuinya dan dikhawatirkan jika tidak disusui anaknya ibu akan meninggal sesungguhnya saya menguatkan pendapat ini cenderung kepada pendapat Al-Ghazaly yang memandang bahwa dikatakan aborsi, meskipun sejak hari pertamakehamilan sepertipembunuhan adalah jinayah terhadap calon manusia”.

169Ibid., hal. 35.

170Ibid., hal. 36.

BAB IV

AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL SETELAH DITETAPKAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TERHADAP PELAKU ABORSI

A. Akibat Hukum Aborsi Dalam Islam

Islam memberikan jaminan terhadap janin sebagai bentuk perlindungan atas kesalamatannya. Seperti tidak boleh menyakiti janin, menjaga hak warisnya, dan hukum-hukum syariat lainnya yang berkaitan dengan janin.171 Muhammad Mekki Naciri mengatakan bahwa semua literatur hukum Islam dari mazhab-mazhab yang ada sepakat untuk mengatakan bahwa aborsi adalah perbuatan aniaya dan sama sekali tidak diperbolehkan kecuali jika aborsi didukung dengan alasan yang benar.172

Pengguguran (aborsi) dalam pandangan hukum Islam termasuk perbuatan keji dan merupakan suatu kejahatan. Suatu kejahatan jika telah lengkap unsur-unsurnya dan dilakukan oleh pelakunya dalam keadaan sadar dan dengan sengaja akan dikenai ancaman hukuman.173 Pelaku aborsi atau penyebab keguguran dalam fikih Islam dikenakan hukuman.

Ada beberapa macam sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya : ghurrah, kifarah (ganti rugi), diyat (tembusan), dan ta’zir (hukuman atas pertimbangan hakim).174

171Abu AbdurrahmanAdil Yusuf Al-Azazi, Op. Cit., hal. 59.

172Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Op. Cit., hal 156.

173Zuhroni, Op. Cit., hal. 170.

174Istibsjaroh, Op. Cit., hal. 52.

Semua mazhab sepakat menyatakan bahwa aborsi adalah kejahatan dan mereka sepakat menetapkan hukumannya harus dalam bentuk ghurrah maupun diyat dengan kaffarat, bergantung pada usia janin pada saat penyerangan terjadi. Hukum Islam mewajibkan membayar diyat secara sempurna kepada seseorang yang memukul perut wanita hamil, lalu dia melahirkan bayinya dalam keadaan hidup namun kemudian mati akibat pukulan tersebut. Para ulama berpendapat mengenai bentuk hukuman bagi pelaku aborsi yaitu hukuman denda yang disebut ghurrah. Ghurrah adalah membayar sahaya laki-laki atau perempuan atau yang dapat menggantikan keduanya sebagai diyat karena membinasakan janin melalui suatu tindakan kejahatan.

Atau pembayaran dapat dilakukan dalam bentuk 100 ekor domba, atau dalam bentuk yang kontan (dalam konteks masa lalu sebesar 500 dirham).175 Ghurrah berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat, yakni :

1. adanya tindakan tertentu yang menyebabkan gugurnya janin, 2. janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu,

3. janin keluar dalam keadaan meninggal,

4. janin sudah melewati masa mudghah (sudah terbentuk), dan 5. kedua orang tua janin bukan kafir harbi176.

Yang dimaksud “tindakan” di sini adalah semua hal yang bisa menjadi penyebab keguguran, termasuk ucapan. Misalnya, mengancam, menakut-nakuti, menghina, mengejutkan berteriak keras, membiarkan kelaparan, menyebarkan bau

175Zuhroni, dkk, Op. Cit., hal. 171.

176Kafir harbi adalah seluruh orang musyrik dan ahli kitab yang boleh diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslimin.

busuk, bahkan membuat si hamil terpesona. Jika hal-hal tersebut membuat si perempuan keguguran, maka pelaku atau penyebab keguguran mesti membayar ghurrah tanpa melihat apakah tindakan itu disengaja atau tidak.177

Kalangan mazhab sepakat, hukuman ghurrah wajib diberlakukan ketika kematian janin disebabkan oleh permusuhan, atau ketika janin sudah dalam keadaan tidak bernyawa saat terpisah dari rahim sang ibu, atau ketika janin baru terpisah sebagian dari rahim sang ibu dan ada tanda-tanda kalau janin sudah mati. Demikian itu karena segala keputusan hukum yang berkenaan dengan si jabang bayi tidak bisa diambil kecuali setelah ia keluar dari rahim sang ibu. Di samping itu, gerakan si jabang bayi bisa saja terjadi karena udara yang ada di dalam perut sang ibu, dan itu akan hilang karena pukulan atau rasa takut yang sangat. Kalangan mazhab Syaafi’i bahkan menegaskan seandainya kematian janin sudah diketahui, meskipun janin belum terpisah dari rahim sang ibu, maka hukumannya adalah seperti sudah terpisah atau keluar dari rahim. Adapun mazhab Hanafi menyatakan badan janin yang baru keluar sebagian dari rahim sang ibu itu sudah bisa dikatakan keluar seutuhnya.

Apabila kepala janin keluar dulu, misalnya, maka badan janin dari kepala sampai dada sudah dianggap keluar dulu. Misalnya badan janin dari kepala sampai dada sudah dianggap keluar , dan apabila yang keluar dua kakinya maka badan janin dari kaki sampai pusar sudah dianggap keluar. Kalangan mazhab Hanafi dan Maliki lalu menambahkan bahwa ketentuan ini hanya berlaku jika sang ibu tidak meninggal dunia. Ibnu Abidin mengatakan, apabila janin yang sudah dalam keadaan tidak

177Istibsjaroh, Op. Cit., hal 52.

bernyawa itu keluar setelah kematian sang ibu maka tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Demikian itu karena kematian sang ibu jelas merupakan sebab bagi kematian janin, karena janin bisa hidup jika sang ibu tetap hidup dan janin akan mati jika sang ibu mati.178

Al-Haththab dan al-Mawwaq menegaskan, hukuman ghurrah itu wajib diberlakukan pada kasus janin yang keluar dalam keadaan sudah tidak bernyawa, sedangkan sang ibu sendiri masih hidup. Ibu Rusyd mengatakan syarat yang diberlakukan ghurrah adalah ketika janin yang keluar itu sudah dalam keadaan tidak bernyawa, sedangkan sang ibu sendiri tidak meninggal dunia setelah perutnya dipukul. Adapun menurut kalangan mazhab Syafi’i dan Hambali, hukuman ghurrah tetap wajib diberlakukan, baik kadaluarsanya janin yang sudah mati itu terjadi jika saat sang ibu meninggal dunia. Ibnu qudamah mengatakan, janin yang mati akibat tindak kejahatan, dan itu diketahui ketika janin keluar dari rahim sang ibu, maka kematiannya harus dipertanggungjawabkan sebagaimana ketika ia keluar dari rahim sang ibu yang masih hidup.179

Menurut ulama mazhab Hanafi, hukum memerdekakan budak (ghurrah) selama setahun diberlakukan pada pelaku pengguguran janin. Hadis riwayat Muhammad ibn al-Hasan menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menghukum pelaku aborsi dengan ghurrah selama setahun. Si pelaku juga tidak berhak menjadi ahli waris, sebagaimana dinyatakan ulama mazhab syafi’i. Menurut mereka hukuman

178Abd al-Qadir Manshur, Op. Cit., hal. 119.

179Ibid., hal. 120.

ghurrah akan tetap diberlakukan meskipun pelakunya adalah ibunya sendiri.

Demikian karena kejahatan terhadap janin melibatkan faktor kesengajaan, bahkan juga faktor kesalahan dan kelalaian. Adapun mazhab Hanafi memiliki pandangan lebih terperinci. Apabila seseorang suami memukul perut istrinya, lalu janin di dalam perut sang istri keluar dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Maka sang suami mesti menganggung hukuman ghurrah dan tidak berhak menjadi ahli waris. Seorang istri yang dengan sengaja menggugurkan kandungannya tanpa izin dari suami maka ia harus menanggung hukuman ghurrah dan tidak berhak menjadi ahli waris. Tetapi jika sang suami mengizinkan, atau dia tidak sengaja menggugurkannya, maka hukuman ghurrah tidak lagi diberlakukan.180

Dalam Shahih Bukhari dan Muslimin disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata : “Dua orang perempuan dari Bani Hudzail berkelahi, salah satu dari mereka melempar batu hingga mengenai yang satunya lagi, sehingga mengakibatkan kematiannya sekaligus kematian janin yang masih ada dalam kandungannya. Akhirnya perkara tersebut dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Beliau menetapkan diyat atas janin yang terbunuh itu dengan ghurrah atas budak laki-laki dan budak perempuan, dan beliau menetapkan diyat atas perempuan itu kepada orang yang memiliki ikatan keluarga dengannya”.181

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah SAW menetapkan hukuman pembayaran diyat atas janin dengan ghurrah atas budak laki-laki dan budak

180Ibid., hal. 122.

181Abu Abdurrahman Adil Bin Yusuf Al-Azazi, Op. Cit., hal. 59.

perempuan. Al-Khiraqi mengatakan dalam kitab Al-Mukhtashar mengatakan bahwa diyat atas janin apabila terjadi keguguran akibat pukulan yang mematikan adalah ghurrah atas budak laki-laki atau budak perempuan, nilainya sama dengan lima ekor unta yang menjadi warisan dari janin tersebut. Dari apa yang dikemukakan oleh Al-Khiraqi di atas, diyat tersebut berlaku dengan syarat janin tersebut keguguran dan keluar dari perut si ibu. Maka jika tidak sampai keguguran, maka hukum itu tidak berlaku.182

Semua mazhab sepakat menyatakan bahwa pembunuhan janin adalah kejahatan dan mereka sepakat menetapkan hukumannya dalam bentuk ghurrah maupun diyat, bergantung pada usia janin pada saat penyerangan terjadi.183 Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan ghurrah.184 Imam malik mewajibkan ghurrah tanpa memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum. Ulama Hanabilah memberikan tafshil, ghurrah wajib pada usia kehamilan di bawah 6 bulan. Setelah itu, pelaku atau penyebab aborsi dikenakan diyat penuh. Diyat penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin itu sendiri. Namun, jika tindakan itu memang dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakunya wajib membayar kifarat.

Demikian pendapat ulama Syafi’i dan Hanafi.185

182Ibid., hal. 60.

183Zuhroni, Op. Cit., hal. 171.

184Istibsjaroh, Op. Cit., hal. 53.

185Ibid.

Hukuman atas janin berbeda-beda sesuai dengan perbedaan akibat dari perbuatan pelaku. Akibat tersebut ada 5 macam :186

1. Gugurnya kandungan dalam keadaan meninggal

Apabila janin gugur dalam keadaan meninggal, hukuman bagi pelaku adalah diyat janin, yaitu ghurrah yang nilainya lima ekor unta. Ghurrah berlaku baik janin laki-laki maupun janin perempuan.

2. Gugurnya janin dalam keadaan hidup tetapi kemudian meninggal akibat perbuatan pelaku

Apabila janin gugur dalam keadaan hidup tetapi kemudian ia meninggal akibat perbuatan pelaku, menurut pendapat ulama yang menyatakan adanya kesengajaan hukumannya adalah qishash187.

3. Gugurnya janin dalam keadaan hidup terus atau meninggal karena sebab lain Apabila janin gugur dalam keadaan hidup dan ia tetap bertahan dalam hidupnya, atau kemudian ia meninggal karena sebab lain, hukuman bagi pelaku adalah hukuman ta’zir188. Hal ini karena meninggalnya janin tersebut bukan karena perbuatannya.

4. Janin tidak gugur atau gugur setelah meninggalnya ibu

186Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 224.

187 Hukuman qishash ialah kesalahan yang dikenakan hukuman balas. Membunuh dibalas dengan bunuh (nyawa dibalas dengan nyawa), melukakan dibalas dengan melukakan, mencederakan dibalas dengan mencederakan.

188 Hukuman ta'zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap berbagai perbuatan yang tidak dihukum dengan hukuman hudud atau terhadap kejahatan yang sudah pasti ketentuan hukumnya hanya syaratnya tidak cukup (misalnya saksi tidak cukup). Pelaksanaan hukuman takzir ini diserahkan kepada penguasa yang akan menjatuhkan hukuman. dan dalam hal ini hakim atau penguasa memiliki kebebasan untuk menetapkan hukuman takzir kepada pelaku tindak pidana yang hukumannya tidak disebutkan dalam Alquran.

Apabila karena perbuatan pelaku janin tidak gugur, atau ibu meninggal sebelum kandungannya keluar, atau janin gugur setelah meninggalnya ibu

Apabila karena perbuatan pelaku janin tidak gugur, atau ibu meninggal sebelum kandungannya keluar, atau janin gugur setelah meninggalnya ibu