• Tidak ada hasil yang ditemukan

c. Unsur-unsur Pondok Pesantren

4. Pertumbuhan dan Perkembangan Pondok Pesantren

Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia.346 Keberadaan pesantren masa awal pertumbuhannya tidak terlepas dari

343Haidar {Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 22.

344Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), h. 85.

345Haidar, Sejarah Pertumbuhan, h. 23.

346Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. ix. Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan kapan pertama kali masuknya Islam ke Indonesia. Snough Hurgronye, J.P. Moquette, R.A. Kren dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M dan tidak langsung dari Arab, tetapi dari Gujarat. Pendapat ini didasarkan pada penemuan nisan Sultan Malik al-Saleh (w. 696 H/ 1297 M) yang mirip dengan nisan di Gujarat. Kelompok kedua adalah T.W. Arnold, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Hamka dan lainnya mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia terjadi sejak abad pertama Hijriyah dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Pendapat ini berdasarkan pada arus perdagangan penduduk di Selatan semenanjung tanah Arab yang telah pergi pulang ke gugusan pulau-pulau Melayu. Penduduk yang tinggal di Selatan semenanjung tanah Arab ini telah mendapat dakwah Islamiyah sejak awal perkembangan Islam dan semakin intensif setelah Nabi Muhammad saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman untuk mengajar Alquran dan hukum-hukum agama. Perbedaan pendapat ini kemudian melahirkan beberapa teori kedatangan Islam ke Indonesia yang menurut Haidar Putra Daulay teori tersebut terbagi menjadi teori India, teori Arab, teori Benggal, teori Persia, bahkan ada yang mengatakan teori China. Akan tetapi berdasarkan seminar tentang masuknya Islam ke

sejarah perkembangan Islam di Timur Tengah. Hal ini bisa dilihat dari aspek metode, materi atau kelembagaannya yang sangat diwarnai oleh corak pendidikan Islam di Timur Tengah pada Abad Pertengahan. Dalam konteks penyebaran Islam itulah, pesantren mulai terbentuk dan tumbuh di Indonesia.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, dipandang dari histories-cultural, pesantren dapat dikatakan sebagai training center yang sekaligus menjadi sebuah bentuk

cultural central Islam yang dilembagakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Berdirinya pesantren di Indonesia adalah sebuah tuntutan dari keinginan masyarakat Islam menuju hidup yang lebih layak dan bebas dari kolonial, dan dalam cacatan sejarah pesantren yang pertama sekali berdiri di Indonesia adalah pesantren Pamekasan di Madura, pesantren tersebut berdiri pada tahun 1062, pesantren ini biasa disebut dengan pesantren Jan Tampess II.347

Di tinjau dari sejarah, belum ditemukan data sejarah yang membuktikan bahwa berdirinya pesantren di Indonesia, tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, sementara yang lain berpendapat bahwa pesantren baru muncul pada masa Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren.348

Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datang agama Islam telah ada lembaga pendidikan Jawa kuno yang praktik pendidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa kuno itu bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki ajar dengan cantrik. Ki ajar orang yang mengajar dan cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal dalam satu komplek dan di sini terjadilah proses belajar mengajar.349

Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 dan Kuala Simpang Aceh pada tahun 1980 disepakati bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah langsung dari Arab. Lihat dalam Haidar, Sejarah Pertumbuhan, h. 11-13. Bandingkan dengan Uka Tjandra Sasmita, Proses Kedatangan dan Munculnya Kerajaan Islam di Aceh, dalam A Hasymy, ed., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, cet. 3, (t.t.p.: Al-Ma’arif, 1993), h. 358-360., Wan Husein Azmi, Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI, dalam A Hasymy, ed., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, cet. 3, (t.t.p.: Al-Ma’arif, 1993), h. 177.

347Depertemen Agama Negeri RI, Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok Pesantren Seluruh Indonesia (Jakarta: 1984-1985), th.

348Haidar, Sejarah Pertumbuhan, h. 22.

Dengan menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren, sebetulnya tidak terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantren itu telah tumbuh sejak awal perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa, sebab model pendidikan pesantren Jawa Kuno telah ada sebelum Islam masuk yaitu pawiyatan. Dengan masuknya Islam, maka sekaligus diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan merubah sistem yang ada ke sistem pendidikan Islam.350

Berbeda dengan Abdul Mukti, beliau menuturkan bahwa sama halnya dengan madrasah, pesantren juga tidak muncul dalam kevakuman sosial. Begitu juga kemunculan pesantren itu sangat dipengaruhi oleh faktor sosial politik dan keagamaan masyarakat tempat di mana pesantren itu muncul. Beliau mengemukakan bahwa pesantren pertama kali muncul di Kesultanan Mataram.351 Kesultanan Mataram berada di bekas wilayah kerajaan Hindu Mojopahit (...?-1250). Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Agung (1613-1645) melaksanakan kebijakan sinkretisme. Akibatnya muncul tiga golongan masyarakat di Kesultanan Mataram, yakni: Kaum Priyayi, Kaum Abangan, dan Kaum Santri. Kaum priyayi dan Kaum Abangan menjadikan masjid sebagai pusat pendidikannya. Sementara Kaum Santri yang menolak kebijakan sinkretisme Sultan membangun lembaga pendidikan baru yakni pesantren untuk memelihara kemurnian akidahnya. Dengan demikian diperkirakan inilah pesantren pertama di Indonesia. Jadi pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan agama seperti yang kita kenal sekarang ini belum muncul pada kesultanan-kesultanan Islam terdahulu lainnya seperti Pasai (1260-1514), Aceh Darussalam (abad ke VIII-1912), Demak (1518-1546), Banten (1552-1695), Cirebon, Pajang (1546-1582), dan Mataram (1586-1704).352

Sejak itu pesantren merupakan lembaga pendidikan penting dalam masyarakat Indonesia setelah madrasah. Pada mulanya pesantren menyebar di seluruh wilayah Kesultanan Mataram. Kemudian pada masa berikutnya, penyebaran pesantren tersebut

350Haidar, Sejarah Pertumbuhan, h. 22.

351Abdul Mukti, Madrasah dan Pesantren; Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, dalam Asnil Aidah Ritonga dan Marliyah, Ed. Terbuai dalam Studi Sejarah dan Pembaharuan Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2010), h. 24.

meluas ke daerah-daerah lainnya terutama di Jawa dan Madura, dan di luar jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, terutama setelah Indonesia merdeka.353

Setelah periodesasi perkembangan pesantren yang cukup maju pada masa Wali Songo sebagaimana disebutkan di atas, masa-masa suramnya mulai terlihat ketika Belanda menjajah Indonesia. Pada periode penjajahan ini, pesantren selalu berhadapan dengan kolonialis Belanda yang sangat membatasi ruang geraknya. Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik pendidikan dalam bentuk Ordonansi Sekolah Liaratau

Widle School Ordonanti. Melalui kebijakan tersebut, pihak Belanda ingin membunuh madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin. Selain itu, kebijakan formal Belanda tersebut juga bertujuan melarang pengajaran kitab-kitab Islam yang menurut mereka berpotensi memunculkan gerakan subversi atau perlawanan di kalangan santri dan kaum muslim pada umumnya. Setidaknya, tercatat empat kali pihak Belanda mengeluarkan peraturan yang bertujuan membelenggu perkembangan pesantren di Indonesia, yaitu pada tahun 1882, 1905, 1925, dan 1932.354

Menjelang kemerdekaan, kaum santri telah dilibatkan di dalam penyusunan undang-undang dan anggaran dasar Republik Indonesia, yang diantaranya melahirkan piagam Jakarta. Namun, oleh golongan nasionalis sekuler, piagam Jakarta tersebut dihilangkan sehingga kandas impian kaum santri untuk mendirikan negara Islam Indonesia.

Pada masa awal kemerdekaan, kaum santri kembali berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut positif oleh umat Islam sehingga membuat arek-arek Surabaya yang dikomandoi Bung Tomo dengan semboyan “Allahu Akbar! Merdeka atau Mati” tidak gentar menghadapi penjajah dengan persenjataan lengkapnya. Diperkirakan 10.000 orang tewas pada waktu itu, dan hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya. Pada sisi lain, muncul pula kekuatan massal Islam dalam bentuk organisasi ekonomi dan kemasyarakatan, seperti Serikat Dagang Islam, Persyarikatan Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Lantaran itu, isu-isu strategis tergalang sangat cepat di kalangan umat Islam karena dikuatkan oleh fatwa-fatwa ulama yang mewajibkan umat Islam berjihad melawan penjajah. Setelah perang

353Ibid., h. 25.

usai dan Indonesia dinyatakan merdeka, pondok pesantren kembali mendapatkan ujian, karena pemerintahan Soekarno yang dinilai sekuler itu telah melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional. Akibatnya pengaruh pesantren mulai menurun kembali, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besarlah yang mampu bertahan.355

Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya. Berbeda pada masa Belanda yang terkhusus untuk kalangan tertentu saja, dan di samping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi orang-orang yang bersekolah di sekolah tersebut.

Pada masa Orde Baru, bersamaan dengan dinamika politik umat Islam dan negara, Golongan Karya (Golkar) sebagai kontestan Pemilu selalu membutuhkan dukungan dari pesantren. Atas kebutuhan itulah pemerintah yang dikuasai Golkar menaruh sedikit perhatian pada dunia pesantren. Dari kalangan pesantren sendiri muncul intelektual santri yang secara sadar berusaha memperoleh pembiayaan pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbagai gagasan mulai muncul dalam rangka mengajarkan keterampilan di pesantren, seperti peternakan, pertanian, kerajinan, dagang, dan lain-lain. Suasana pun tampak kondusif hingga terbit kebijakan SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) tentang penyetaraan madrasah dengan sekolah umum. Di sisi lain, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika dalam sistem pendidikan nasional, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) malah menolak alumni pesantren Gontor karena ijazah pesantren tersebut tidak diakui pemerintah. Pesantren Gontor memang mengatur sendiri kurikulum dan ijazah lulusannya. Padahal, untuk menjadi mahasiswa IAIN, kualitas alumnus pesantren Gontor diakui lebih baik dibanding lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Menteri.356

Dalam kasus di atas, jelas jasa dan peran pesantren masih belum diakui eksistensinya secara baik oleh pemerintah. Kalangan santri dari pesantren masih dianggap manusia kelas dua karena pendidikannya dinilai tidak sesuai dengan standar pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah. Bahkan, lulusan pesantren pada waktu itu tidak bisa diterima menjadi pegawai pemerintah. Kondisi nyata seperti itu mengakibatkan pesantren mengalami pasang surut perkembangannya hingga pada era

355Ibid., h. 13-14.

356M. Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 90-102.

pembangunan. Meskipun demikian, pesantren tetap mampu melahirkan ulama-ulama hebat yang sangat berjasa dan menjadi orang penting di negara Indonesia ini. orang-orang di maksud di antaranya adalah KH. Wahid Hasyim, M. Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, KH. Saifuddin Zuhri, dan lain-lainnya.

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru yang telah mampu berkuasa selama + 32 tahun, perbaikan-perbaikan sistem pendidikan Indonesia terus dilakukan. Perbaikan tersebut memberikan peluang yang cukup positif bagi perkembangan pesantren di Indonesia. Berdasarkan data pada tahun 2003/2004, Dirjen. Lembaga Islam Departemen Agama RI telah mengeluarkan data yang menjelaskan bahwa jumlah pesantren pada saat itu sudah mencapai 14.656 buah. Tentu bukan perbandingan ideal dengan jumlah penduduk Indonesia saat itu yang telah mencapai lebih dari 230 juta jiwa. Namun, perkembangan pesantren terbilang cukup prospektif. Apalagi setelah terbitnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan pesantren mulai diakui pemerintah. Terbitnya undang-undang tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berbasis di pesantren selama ini.

Meskipun udara segar tersebut telah berhembus, namun pesantren selalu saja mendapatkan ujian. Salah satu ujian terberatnya saat ini adalah adanya penilaian miring terkait sistem pendidikan pesantren, bahwa pesantren itu dituduh sebagai sarangnya teroris. Pemerintah pun mulai menekan dan mengawasi pesantren dengan menyebarkan agen-agen intelijennya. Adapun ujian lainnya adalah semakin merebaknya paham-paham sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme yang dianggap virus oleh sebagian masyarakat, dan ironisnya yang gencar menyebarkan virus tersebut adalah alumni-alumni dari pesantren. Belum lagi dengan adanya penilaian rendah terhadap pesantren, bahwa kualitas pendidikan pesantren tersebut sangat rendah dibanding sekolah-sekolah umum saat ini.

Berdasarkan anggapan dan penilaian miring di atas, akhirnya pesantren “diwajibkan” oleh pemerintah untuk terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Seperti misalnya, pesantren diharuskan mengikuti SNP (Standar Nasional Pendidikan) yang meliputi; Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan juga Standar Penilaian

Pendidikan. Begitu pula mengenai kurikulum, pesantren diwajibkan untuk memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, matematika, bahasa Indonesia, dan ilmu pengetahuan alam, ditambah pendidikan seni dan budaya.

Berdasarkan adanya ketentuan di atas, banyak pesantren yang sudah melaksanakan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dengan menggunakan rasio 70% mata pelajaran umum dan hanya 30% saja mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.357 Jika sudah demikian keadaannya, maka porsi untuk mengajarkan kitab-kitab klasik, baik yang bermuatan di bidang Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Ushul Fiqh, dan sebagainya akan semakin berkurang. Akibatnya, keunggulan pendidikan pesantren lama-kelamaan akan memudar dan kehilangan power nya.

Untuk menghindari hal tersebut, maka pesantren harus konsisten memegang prinsip utamanya, yaitu: al-muh}a>faz}ah ‘ala al-qadim al-s}a>lih, wa al akhdzu bi jadi>d al-as}lah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Dengan cara berpegang teguh pada prinsip tersebut, pesantren akan bisa tetap eksis dan tidak dilindas perkembangan zaman. Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mempertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai pada jenjang Aliyah sebagai Kegiatan belajar mengajar wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa Inggris, dan berbagai skill lainnya.

Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan masyarakat dari waktu ke waktu. Khusus dalam bidang pendidikan, banyak hal yang telah disumbangkan pesantren di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan pertama dan tertua, tentu pendidikan pesantren menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh pendidikan dalam merumuskan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Selain itu, pendidikan pesantren telah banyak mencetak tokoh-tokoh intelektual pendidikan Indonesia, yang pemikiran mereka itu sangat berpengaruh dalam merumuskan sistem pendidikan nasional. Pada sisi lain, keberadaan pesantren ternyata memiliki tiga peranan penting di Indonesia, yaitu: sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagai penjaga dan

pemelihara terhadap keberlansungan Islam tradisonal, dan sebagai pusat reproduksi ulama.

Untuk sekarang ini, sumbangan yang begitu nyata dari sistem pendidikan pesantren terhadap pendidikan nasional adalah munculnya wacana untuk pendidikan karakter bangsa. Sebagaimana diketahui, bahwa model pendidikan karakter di pesantren cukup berhasil dengan indikator telah banyaknya mencetak ulama-ulama Indonesia. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan pesantren tidak hanya mementingkan aspek kognitif semata, tetapi juga sangat mengutamakan pembentukan karakter atau akhlak santri-santrinya. Oleh karena itu, untuk masa-masa yang akan datang, pendidikan pesantren diprediksi memiliki peran sebagai model dalam Pendidikan Nasional.