• Tidak ada hasil yang ditemukan





























































Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

c. Hadis yang menjelaskan petunjuk Nabi kepada Abu Musa al-Asy’ari dan

Mu’az bin Jabal ketika hendak menunaikan misi khusus ke Yaman :

لَو اورسي

عت

و اورس

شب

ور

و ا

)ثيدحلا( .اورفنت لَ

“Permudahlah dan jangan mempersukar dan gembirakanlah (besarkan jiwa) mereka, dan jangan melakukan tindakan yang menyebabkan mereka lari darimu.”

Makna yang dikandung oleh dua ayat Alquran dan hadis tersebut di atas mengisyaratkan bahwa betapa sebenarnya hati nurani manusia akan mudah tersentuh dengan perlakuan dan sikap yang lemah lembut.200 Merumuskan teknik konseling Islami harus bertitik tolak dari prinsip pemupukan penjiwaan agama pada diri klien/konseli dalam upaya menyelesaikan masalah kehidupannya. Teknik konseling Islami dapat dirumuskan dengan : spiritualism method, dan client-centered method.

a. Spiritualism method

Teknik ini dirumuskan atas dasar nilai yang dimaknai bersumber dari asas ketauhidan. Beberapa teknik dikelompokkan dalam spiritualism method, yakni:201

1. Latihan Spiritual

Pada awalnya, konselor menyadarkan klien/konseli agar dapat menerima masalah yang dihadapinya dengan perasaan lapang dada, bukan dengan perasaan benci dan putus asa. Kebenaran makna surah Al-Baqarah ayat 115 dan surah At-T{agabun ayat 15 harus benar-benar ditanamkan ke dalam hatinya, sehingga ia benar-benar dapat memahami keberadaan dan kondisi dirinya, bukan saja di hadapan masalahnya, tetapi juga di hadapan Allah. Dengan demikian, diharapkan ia akan mendekati Allah, bukan menjauhi-Nya.

Selanjutnya, konselor menegakkan prinsip tauhid dengan meyakinkan klien/konseli bahwa Allah adalah satu-satunya tempat mengembalikan masalah, tempat ia berpasrah, tempat ia memohon pertolongan untuk menyelesaikan masalah. Lebih lanjut lagi, konselor mengarahkan, menuntun klien/konseli untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara merealisasikannya melalui amal ibadah. Mendekatkan diri kepada Allah bukan hanya mengingat-Nya dengan hati dan ucapan saja, tetapi harus teraktualisasikan secara nyata dalam pengamalan (ibadah), baik ibadah wajib maupun ibadah sunnat sebagaimana ditetapkan oleh syari’at sesuai dengan waktu, tempat, situasi, dan kondisi dimana klien/konseli berada. Setelah klien/konseli dapat merasakan hal-hal positif dari apa yang dilakukannya, maka konselor mendorongnya agar ia terus melatih diri secara berkesinambungan, sehingga mengingat Allah (dzikir) itu dapat dilakukannya di setiap saat, tempat, situasi dan kondisi, serta dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya dalam menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dengan aktivitas dzikir tersebut klien/konseli diharapkan dapat mengikis/menghilangkan sifat-sifat: riya, sombong, angkuh, hasad dan dengki (iri hati), rakus/tamak, kikir, dusta dan sifat-sifat buruk lainnya dan kemudian menumbuhkankembangkan sifat-sifat: rendah hati, ramah, lapangdada, pemurah, jujur, ikhlas, teguh pendirian/hati, rela, sabar, cinta kesederhanaan, amanah dan sifat-sifat terpuji lainnya, yang kemudian kelak ia dapat

memiliki hati sehat/bersih, dan jiwa tenteram serta dapat merasakan hidup tenang dalam suasana kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.202

2. Menjalin Kasih Sayang

Keberhasilan konseling Islami juga akan ditentukan oleh terciptanya hubungan baik antara konselor dengan klien/konseli. Hubungan yangdimaksud adalah hubungan yang didasarkan atas kasih sayang (ukhuwah Islamiyah). Karena tanpanya kepercayaan klien/konseli tidak akan tumbuh, sehingga dialog tidak akan berjalan lancar, atau mungkin tidak akan terjadi, dan selanjutnya pemberdayaan tidak akan dapat dilakukan. Rasa kasih sayang dan sikap lemah lembut pada klien/konseli akan sangat bermanfaat bagi keberhasilan konseling Islami. Mahmud Hana menegaskan bahwa konselor harus memiliki sifat-sifat penting, yaitu: ikhlas, adil, sehat jasmani, dan rohani, penuh pengertian dan kasih sayang, memiliki kestabilan emosi dan lain-lain. Dalam hal pengobatan hati, Al-Ghazali menyatakan bahwa hal itu harus dilakukan dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Allah sebagai konselor Yang Maha Agung memiliki sifat Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya menjadikan jalinan kasih sayang sebagai teknik dalam layanan konseling Islami yang diselenggarakan.203

Dengan demikian, jelaslah bahwa kasih sayang merupakan rujukan penting dalam upaya mengayomi kehidupan psikis atau hati manusia. Dalam hal ini, konselor dituntut untuk memiliki sifat tersebut, agar klien/konseli senantiasa dapat merasakan perlindungan dan kasih sayang yang diberikan, sehingga problema kehidupannya dapat diatasi atau minimal tidak lagi dirasakannya sebagai problema berat/berarti.204

3. Cerminan al-Qudwah al-H{asanah

Proses bimbingan dan konseling Islami yang berlangsung secara face to face

menempatkan konselor pada posisi sentral di hadapan klien/konseli. Perhatian klien/konseli terhadap konselor tidak hanya terbatas pada petunjuk-petunjuk yang diberikannya selama konsultasi berlangsung, tetapi juga tertuju kepada segala keadaan

202Ibid., h. 107-108.

203Abu H{amid Muh{ammad Ibn Muh{ammad Al-Gha>za>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m ad-Di>n, Juz II, (Kairo: Maktabah wa Mat}ba’ah al-Masyhad al-H}usaini, t.t.), h. 218.

konselor, karena konselor dipandang dan diyakini sebagai orang yang mampu menyelesaikan masalahnya.

Menurut Prayitno, situasi keteladanan itu tercipta tidak hanya terbatas pada waktu konsultasi berlangsung, tetapi di luar kegiatan itu hendaknya tetap dirasakan manfaatnya.205 Keteladanan dimaksud dipandang sebagai suatu hal yang sangat bermakna bagi klien/konseli terutama selama berlangsungnya proses konseling Islami. Menurut al-‘Ainain sebagaimana dinukil Saiful Akhyar, Islam menempatkan qudwah h}asanah sebagai metode pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, mu‘allim (guru) haruslah mencerminkan keteladanan bagi muta‘allim (anak didik).206

Sehubungan dengan konseling Islami, tidak dapat disangkal bahwa konselor dijadikan cermin oleh klien/konselinya oleh sebab itu, konselor dituntut untuk dapat memantulkan cahaya keIslaman sebagai qudwah (keteladanan) dan sekaligus menjadikannya sebagai saah satu teknik penyelenggaraan konseling Islami, demi terciptanya suatu kondisi keteladanan yang mempengaruhi klien/konseli menuju arah terciptanya insan kamil.