• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terumbu karang dan pemanasan global mempunyai keterkaitan yang erat. Pemanasan global akan menimbulkan ancaman bagi kerusakan dan pemutihan terumbu karang, diantaranya :

1. Naiknya permukaan laut. Terumbu karang dengan kondisi sehat akan

mempunyai peluang lebih besar bertahan dengan naiknya permukaan laut yang telah diperkirakan kurang lebih 50 cm hingga tahun 2100, sebaliknya karang yang tidak sehat mempunyai kemungkinan tidak dapat tumbuh dan membangun kerangka secara normal.

2. Kenaikan Suhu. Kenaikan suhu laut 1–2°C diperkirakan terjadi tahun 2100,

bahkan telah terjadi kenaikan 0.5°C selama 2 dekade terakhir di daerah tropis (Strong et al. 2000 in Wesmascot et al.2000). Kenaikan suhu tersebut akan melebihi batas toleransi hampir semua jenis karang, dapat menaikkan frekuensi pemutihan (Hoegh Guldberg 1999). Peningkatan suhu juga akan meningkatkan radiasi sinar UV karena menipisnya lapisan ozon sehingga mempengaruhi tingkat kepekaan zooxanthellae bahkan dapat merusak sel-sel fotosintesisnya.

3. Berkurangnya tingkat pengapuran. Emisi global dari gas rumah kaca

meningkatkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfir dan lautan, sehingga akan meningkatkan keasaman air, dan menurunkan tingkat pengapuran karang. Diprediksikan pada tahun 2050 tingkat pengapuran menurun hingga 14–30% (Hoegh-Guldberg 1999), yang mengurangi kemampuan terumbu untuk menyesuaikan diri dan pulih.

4. Perubahan pola sirkulasi lautan. Global warming dapat mempengaruhi pola

sirkulasi lautan dalam skala besar yang dapat mengubah distribusi dan transportasi larva karang (Wilkinson & Buddemeier 1994 in Wilkinson 2008). Hal ini dapat berdampak pada perkembangan dan distribusi terumbu karang diseluruh dunia.

5. Pertambahan frekuensi kejadian cuaca yang merusak. Perubahan pola tahunan atmosfir dapat mengakibatkan berubahnya frekuensi dan intensitas badai, serta pola presipitasi. Meningkatnya badai dapat mengakibatkan peningkatan kerusakan terumbu karang dan komunitas pesisir.

2.5. Pemutihan Karang (Coral Bleaching)

a. Pengertian dan mekanisme pemutihan karang

Pemutihan karang merupakan gangguan terhadap hubungan simbiosis

antara karang dan alga fotositesisnya (Hoegh-Guldberg 1999; Wilkinson et al.

1999 in Fine et al. 2002) sehingga warna karang menjadi pudar atau putih (Brown

1997 in Downs et al. 2002). Pemutihan karang disebabkan berbagai macam

faktor, diantaranya perubahan suhu, penyinaran matahari yang berlebihan, infeksi bakteri (Stone et al. 1999 in Downs et al. 2002), tekanan lingkungan seperti peningkatan salinitas, sedimentasi, kecerahan, radiasi matahari (Fitt et al. 2001) atau kombinasi faktor-faktor tersebut. Dalam hal pemutihan karang masal yang melibatkan banyak jenis karang dan areal luas, maka kenaikan suhu air laut merupakan faktor penyebab stress utama (Hoegh-guldberg 1999; Coles & Brow 2003 in Oliver et al. 2004).

Mekanisme pemutihan karang sampai saat ini masih belum banyak dimengerti, namun diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu

mengganggu kemampuan zooxanthellae berfotosisntesis. Jumlah zooxanthellae

berubah sesuai musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya

(Fitt et al. 2000), dalam keadaan normal, jaringan karang hidup mengandung

kurang lebih 1-5 x 106zooxanthellae cm-2 dan 2-10 pg klorofil a per zooxanthella. Ketika terjadi pemutihan, secara biologi karang kehilangan 60– 90% zooxanthelae dan kehilangan 50-80% pigmen fotosistesis (Glyn 1996). Karang yang mengalami pemutihan, mempunyai potensi terinfeksi penyakit lebih besar (Sokolow 2009). Secara fisiologi, mengganggu fotosintesa, produksi senyawa kimia, penurunan dan efisiensi fotosintesis zooxanthella, sedangkan secara ekologi merubah struktur komunitas karang, menurunkan biodiversitas, produktivitas ekosistem terumbu karang, mengurangi kemampuan karang berkompetensi dengan organisme bentik lainnya, serta mengganggu proses peremajaan karang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jenis alga tertentu akan tumbuh pada jaringan karang yang

mati sehingga dapat mengubah struktur komunitas pada kawasan tersebut (Gambar 4).

Gambar 4 Diagram proses pemutihan kara

Perbedaan diantara spesies dalam kepekaannya terhadap gangguan merupakan aspek kritis dari dinamika komunitas, yang dapat mengarah pada perubahan struktur komunitas dan keberagaman spesies (Hughes & Connell 1999

in Marshall & Baird 2000, Mc Clanahan 2004). Meskipun, tidak semua spesies

terpengaruh langsung oleh adanya pemutihan karang (Cheal et al. 2008), namun

perubahan arah arus akan mempengaruhi supplai nutrien dan plankton yang akan mempengaruhi rantai makanan dan dinamika populasi ikan pada suatu kawasan

(Cheal et al. 2007), sedangkan peningkatan suhu akan secara langsung dapat

meningkatkan mortalitas larva ikan (Gagliano et al. 2007).

Matinya karang akan mengubah komposisi dan dinamika kehidupan ekosistem. Spesies ikan yang memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat perlindungan, akan terekspose dan lebih mudah dimangsa predator. Jenis ikan tertentu yang memanfaatkan karang sebagai sumber makanannya dengan

memakan polip karang seperti butterfly fish akan mengalami penurunan yang

signifikan dan bahkan mulai menghilang, sementara spesies tertentu lainnya meningkat (Bergman & Öhman 2001), berubah komposisinya menjadi lebih

banyak ikan herbivora dibandingkan dengan ikan karnivora (Mohammed &

Mohundo 2002). Cole et al. 2009 memonitor perubahan perilaku dari ikan

pemakan koral Labrichthys unilineatus (Labridae) dan Chaetodon baronessa

(Chaetodontidae). Tiga hari setelah pemutihan terjadi peningkatan grazing,

b. Kejadian pemutihan karang

Kejadian pemutihan karang telah terjadi berulang-ulang (tahun 1983, 1987, 1991, 1995), yang melanda 60 negara pada kawasan tropis di Samudra

Pasifik dan India, serta di Laut Karibia (Wesmascot et al. 2000). Diperkirakan

pada tahun 2010, akan terjadi kerusakan karang sebesar 40% dan apabila kenaikan suhu terus berlanjut maka 58% terumbu karang akan hilang (Wilkinson 2008).

Pemutihan karang telah mengakibatkan kematian karang 70–99% di kawasan timur Afrika, Arab (kecuali Laut Merah bagian utara), Kep. Komoros, sebagian Madagaskar, Kep. Seychelles, selatan India, Sri Langka, Kep. Maldiva dan Kepulauan Chagos (Linden & Sporrong 1999). Pemutihan karang juga menyerang TN Biscayne, Florida (89%), Puerto Rico (50 - 75%), Kep.Virgin,

Kuba (Wilkinson et al. 1999), dan Great Barrier Reef dengan kematian karang

mencapai 70–80% (Goreau et al. 2000).

Kawasan Asia, seperti Filipina, Papua Nugini dan Indonesia juga mengalami pemutihan. Arus hangat yang berasal dari Laut China Selatan yang mengalir menuju Laut Jawa, Kepulauan Riau hingga Lombok pada tahun 1997/1998, menyebabkan terjadinya pemutihan karang pada kawasan timur Sumatera (Kep. Riau), Jawa (Kep. Seribu dan Karimunjawa), Bali (Menjangan, Tulamben, Amed), dan Lombok. Tercatat pula pemutihan karang di Karimunjawa

mencapai 43 % pada kedalaman 3 m khususnya jenis Acropora dan Galaxea,

sedangkan jenis Pachyseries, Hydnopora dan Galaxea tingkat kerusakannya 1 –

25% (Manuputty & Budiyono 2000). Tercatat pula, terumbu pada kawasan Indonesia bagian tengah selamat karena naiknya air dingin dari bawah laut.

c. Adaptasi karang terhadap perubahan iklim

Penelitian menunjukkan adanya perbedaan kepekaan terhadap perubahan

suhu, karang dengan pertumbuhan cepat (Acropora dan Pocillopora) lebih

banyak mengalami gangguan, apabila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lambat (Poritid dan Faviid) (Marshall & Baird 2000). Daya tahan koral ditentukan

oleh bentuk fisiologisnya misalnya Scleractinian corals lebih fleksibel

dibandingkan dengan Octocorals (Baker & Romanski 2007) termasuk dengan

Pemutihan karang yang ekstensif dan masif, pada umumnya bertepatan dengan kehadiran udara panas dan anomali iklim seperti El Nino 1982/83 dan 1997/98, namun ada pula fenomena pemutihan karang terjadi tanpa kehadiran anomali tersebut. Hasil rekonstruksi Hadile &Ridd (2002) di salah satu gugus karang Great Barrier Reef menunjukkan bahwa fenomena pemutihan karang terjadi apabila suhu laut pada tahun tertentu lebih tinggi 0.37 ºC dari suhu laut tahun sebelumnya dan untuk menghindari terjadinya pemutihan, karang melakukan mekanisme aklimatisasi sebagai bentuk proses penyesuaian diri terhadap lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Jos C

Mieog et al. (2009), dimana simbiosis antara karang dan alga berfilogenik

merupakan kombinasi dengan toleransi suhu yang besar. Ketika terjadi peningkatan suhu laut, alga yang tidak tahan terhadap perubahan suhu tinggi akan pergi meninggalkan karang dan selanjutnya akan pulih kembali ketika penghuninya yang secara alami digantikan simbion alga yang lebih toleran.

Hal menarik, daerah yang telah terkena pemutihan karang tahun 1983, 1987, 1992, dan 1993, selamat dari peristiwa pemutihan karang tahun 1997, sementara

daerah yang tidak pernah terkena sebelumnya mengalami kerusakan (Goreau et

al. 2000). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Obura (2004), yang merumuskan suatu hipotesis kerangka hubungan antara perubahan iklim dan ketahanan spasial dari pemutihan karang (Gambar 5).

Gambar 5 Hipotesis kerangka ketahanan spasial hubungan perubahan iklim dan terumbu karang (Obura 2004)

e. Identifikasi pemutihan karang

Anomali suhu permukaan laut dapat digunakan untuk melihat resiko kejadian pemutihan karang (Strong e al. 1997 in Marshall & Baird 2000). Done et

al. (2003) dan Mc Clanahan et al. (2009) menggunakan Degree Heating Weeks

(DHWs) yang dikeluarkan NOAA untuk mencari hubungan antara perubahan iklim dengan pemutihan karang (Gambar 6), yang ternyata terdapat hubungan antara peningkatan suhu dengan pemutihan karang. Peningkatan temperature 1°C dalam waktu lebih dari empat minggu akan mengakibatkan stres pada terumbu karang dan peningkatan suhu 2°C dalam waktu tiga minggu akan mengakibatkan pemutihan karang.

Gambar 6 Grafik hubungan antara anomali suhu dengan lama waktu pemanasan (Marshall & Schuttenberg 2006)

Secara lebih rinci status hubungan antara anomali suhu dan status level pemutihan karang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Status level pemutihan karang

No Level pemutihan Hot spot dan Degree of

Heating Week (DHWs) Keterangan

1 No stress Hot spot ≤ 0 Koral dalam kondisi baik tanpa tanda-tanda stres 2 Bleaching watch

0 < Hot spot < 1

Temperatur berada di atas suhu rata-rata maksimum, tapi koral belum mengalami stres 3

Bleaching warning 1 ≤ Hotspot and 0 < DHWs < 4 Fase awal stres karang karena perubahan suhu 4 Bleaching Alert

Level 1 1 ≤ Hotspot and 4 ≤ DHWs < 8 Koral stres, mulai menunjukkan tanda pemutihan 5 Bleaching Alert

Level 2 1 ≤ Hotspot and DHWs ≥ 8 Koral stres, tanda pemutihan makin parah dan menuju kematian

Sumber : NOAA (2006)