• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skenario optimistik dibangun berdasarkan keadaan ( state ) dan faktor kunci dengan kondisi : (1) luasan dan jumlah zona ini meningkat, (2) dukungan

masyarakat meningkat karena motivasi dan partisipasi meningkat, (3) sumberdaya manusia yang tinggi dan semakin meningkat karena adanya

training dan kemauan untuk maju, (4) kebijakan pemerintah yang mendukung, meskipun kurang proaktif.

4. Skenario sangat optimis dibangun berdasarkan keadaan (state) dan faktor kunci dengan kondisi : (1) luasan dan jumlah zona ini meningkat, (2) dukungan masyarakat meningkat karena motivasi dan partisipasi meningkat, (3) sumberdaya manusia semakin meningkat, (4) kebijakan pemerintah yang mendukung, efektif, adaptif dan lebih memfasilitasi maka diharapkan apabila

terumbu karang mengalami kerusakan baik oleh pemutihan karang maupun oleh antropogenic impact akan segera pulih dan berfungsi kembali baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial sehingga mampu mampu mendukung kehidupan masyarakatnya.

Keempat skenario yang terbentuk tersebut, menjelaskan strategi adaptasi dan mitigasi yang dapat dilakukan secara utuh dari hulu dan hilir sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu motor utama dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi, karena pada umumnya masyarakat masih lebih mementingkan kebutuhan jangka pendek (ekonomi) dibandingkan jangka panjang. Analisis prospektif yang dilakukan menghasilkan nilai 33.188 % untuk skenario sangat optimis, 31.878 % untuk skenario optimis, 20.087% untuk skenario optimis perlu biaya dan 14.847% untuk skenario pesimis.

Berdasarkan analisis kondisi eksisting yang ada saat ini skenario yang berlaku adalah skenario moderat (pesimistik perlu biaya). Secara umum kualitas perairan di kawasan Karimunjawa masih dalam kisaran baik namun mempunyai kecenderungan menurun, peningkatan suhu permukaan laut akan terus meningkat, kejadian pemutihan karang telah terjadi sebanyak 3 kali (1999, 2006 dan 2009-2010) dengan intensitas semakin sering dan meluas, telah terbukti bahwa pemutihan karang telah menberikan efek terhadap ekologi (penurunan hard coral cover sebesar 26%, soft coral 3-10%, penurunan kelimpahan ikan karnivora, peningkatan ikan herbivora) dan ekonomi (penurunan hasil tangkapan nelayan yang berasosiasi dengan pemutihan karang yaitu ikan kerapu dan ekor kuning, penangkanan ikan kerapu dan betet tidak lagi menguntungkan, penurunan pendapatan nelayan dan terdapat kerugian nilai produksi). Kekurangtanggapan

dari skenario ini akan mengakibatkan kondisi TN Karimunjawa semakin terpuruk, dan tidak berdaya apabila faktor dan tingkat kerusakan bertambah (misal tingkat pemutihan karang menjadi berat dan luas, ditambah kombinasi dengan penangkapan yang berlebih dan merusak), maka beberapa rumusan strategi adaptif untuk menurunkan beban terumbu karang dalam upaya pengendalian kerusakan terumbu karang dan produksi ikan berdasarkan prioritas adalah sebagai berikut : 1) Kebijakan pemerintah

Di Karimunjawa terdapat beberapa regulasi yang bertentangan dengan norma konservasi dan berpotensi menimbulkan konflik dengan nelayan perlu dilakukan peninjauan ulang (misal : pengijinan pengoperasian muroami yang terbukti secara jelas merusak terumbu karang dan ditentang oleh masyarakat). Sehingga direkomendasikan pencabutan peraturan pemerintah daerah Kabupaten Jepara No.523/2813 tanggal 28 Juni 2002 yang melegalkan penggunaan muroami di Karimunjawa.

2) Adanya kawasan preservasi (no take zone area)

Dalam kasus pemutihan karang perlindungan perlu ditingkatkan terutama pada kawasan dengan keanekaragaman yang tinggi untuk menjaga suplai larva karang pada saat terjadi pemutihan karang, kawasan dengan aliran air yang cukup tinggi, kawasan yang mempunyai sistem pendinginan alami, ataupun kondisi perbaikan lainnya. No take zone area berfungsi sebagai pensuplai larva karang (Salm dan Cole 2001) dalam rangka meningkatkan ketahanan ekologi suatu kawasan. Luas total kawasan TN Karimunjawa adalah 111.625.000 hektar,

dan hanya 444.629 hektar (0.398%) yang merupakan zona inti. Pembelajaran dari

Balicasag’s sanctuary di Filipina (8 ha), tutupan karang meningkat 119% dalam 5 tahun setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002). Dalam kasus Karimunjawa, P. Menyawakan dan P. Sintok yang rawan terjadi pemutihan perlu ditinjau lagi statusnya sebagai kawasan pemanfaatan pariwisata menjadi no take zone area.

3) Motivasi dan partisipasi

Motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan TN Karimunjawa relatif masih rendah, karena masyarakat masih ditemukan menggunakan alat tangkap yang merusak terumbu karang, selain itu adanya keberpihakan pemerintah terhadap sekelompok masyarakat (khususnya pengembangan

pariwisata) menjadikan kelompok masyakat yang terpinggirkan menjadi kurang peduli dan tidak mempunyai keinginan berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan TN Karimunjawa. Maka perlu melakukan upaya peningkatan persepsi dan kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mengelola Karimunjawa melalui penyuluhan dan pelatihan serta sosialisasi pada masyarakat sekitar taman

nasional. Selain itu perlu dilakukan pemberdayaan jaring sosial yang telah ada

dalam masyarakat melalui pengembangan Community coastal management

model. Dengan adanya ko managemen antara pemerintah dan masyarakat diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terciptanya pemulihan sumberdaya terumbu karang. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam melalui perencanaan dan penyusunan ketentuan-ketentuan penangkapan ikan yang terkontrol bersama dengan instansi terkait lainnya, misalnya dalam menentukan daerah tangkapan, terkait dengan zonasi taman nasional, jenis alat tangkap, jumlah alat tangkap yang diijinkan, jumlah nelayan terkait dengan kelayakan usaha penangkapan ikan. Saat ini di Karimunjawa telah dibentuk suatu pengamanan swadaya oleh masyarakat untuk meminimalisir kegiatan destructive fishing.

4 Pemulihan terumbu karang

Pemutihan karang yang menyerang karang dengan kondisi yang baik relatif akan lebih cepat pulih dibandingkan dengan karang dalam kondisi rusak. Pengurangan tekanan terhadap ekosistem pesisir dan laut akan meningkatkan

carrying capacity dan kapasitas adaptasi kawasan tersebut. Selanjutnya, Cinner et al. 2009 menyatakan bahwa setiap ikan mempunyai posisi yang penting dalam kaitan ekologi dan mempunyai peranan penting dalam pemulihan terumbu karang. Beroperasinya alat tangkap dengan teknik yang merusak di Karimunjawa seperti penggunaan bahan beracun, bahan peledak, muroami, ambai, jaring pocong, mini trawl ataupun alat sejenis yang dimodifikasi, telah terbukti merusak kawasan terumbu karang secara luas (WCS 2005). Pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang dan menghabiskan stok ikan serta menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan diduga akan membantu mempercepat pemulihan terumbu karang. Pelarangan destructive fishing dan illegal fishing serta promosi penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, sehingga kegiatan

penangkapan ikan diorientasikan pada penangkapan tradisional atau modern yang berwawasan lingkungan, seperti penggunaan pancing dan jaring. Upaya pemulihan terumbu karang dapat pula dilakukan melalui rehabilitasi terumbu karang (transplantasi karang, pengembangan daerah perlindungan berbasis masyarakat, pembuatan terumbu karang buatan).

5) Sumberdaya manusia

Rendahnya tingkat pendidikan manusia berpengaruh terhadap persepsi dan tindakannya terhadap pengelolaan suatu kawasan, masyakat Karimunjawa yang dominan bermata pencaharian sebagai nelayan lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dibandingkan untuk meningkatkan pendidikannya. Maka prioritas utamanya adalah peningkatan manejemen sumberdaya manusia, perbaikan mekanisme harga, dan perbaikan ekonomi. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa penerimaan pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat di Karimunjawa belum merata. Nelayan selalu dalam posisi yang lebih rendah dalam hal penerimaan pendapatan dan tingkat kesejahteraan dibandingkan pedagang pengumpul ikan, maupun dengan pengelola /pemilik industri pariwisata. Berdasarkan wawancara, muncul isu kecemburuan sosial antara pengelola kegiatan wisata dengan nelayan, karena dalam hal ini pendampingan dan bantuan kepada nelayan sangat minim sementara disisi lain para pemilik home stay selalu diberikan bantuan baik berupa pelatihan, pendampingan maupun material/peralatan untuk homestay. Sebagai langkah awal penulis mengusulkan kepada lembaga/instansi pemerintah yang ada di Karimunjawa lebih memperhatikan nelayan sebagai salah satu pemanfaat sumberdaya alam di kawasan tersebut dengan memberikan pendampingan, pelatihan, bantuan material, penciptaan mata pencaharian alternatif khususnya yang bisa dilakukan saat nelayan tidak melaut seperti budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan diikutsertakan dalam kegiatan pariwisata misalnya sebagai guide turis, juru masak, keamanan dan lain sebagainya.

6) Mitigasi terhadap perubahan iklim global melalui pengurangan emisi CO

International Energy Agency/IEA (2007) menyatakan bahwa total emisi CO 2

2 yang dihasilkan oleh negara-negara di Asia mencapai 9295 millions tons atau

34.25% dari total emisi CO2 dunia (27136 millions tons), dari nilai tersebut Indonesia memberikan kontribusi sebesar 341 millions tons (3.67%). Dengan demikian maka upaya pengurangan emisi CO2 menjadi suatu hal yang penting dilakukan. Pengurangan emisi CO2

(a) Pemberian pemahaman kepada masyarakat efek dari perubahan iklim global, pemutihan karang terhadap ekologi dan ekonomi masyarakat, sehingga dengan kesadaran masyarakat akan melakukan upaya untuk mengurangi efek perubahan iklim global dan pemutihan karang.

dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

(b) Penghentian penebangan hutan (illegal logging) dan melakukan rehabilitasi pada kawasan yang sudah rusak atau kritis.

Penebangan dan penggundulan hutan merupakan sumber emisi CO2

tertinggi kedua setelah penggunaan bahan bakar fosil. Kegiatan pencurian dan penengan pohon di Karimunjawa sampai saat ini masih sering terjadi. Berdasarkan laporan BTN Karimunjawa (2008) luasan kawasan hutan daratan di Karimunjawa menunjukkan kecenderungan untuk menurun. Dengan dilakukannya rehabilitasi dan reboisasi pada kawasan yang gundul dan kritis diharapkan akan mengurangi tingkat sedimentasi, meningkatkan suplai oksigen dan mengurangi emisi CO2

(c) Energy security, renewable energy dan low emission

.

Peningkatan penggunaan alternatif energi yang aman dan tidak menambah emisi CO2 ke atmosfer seperti penggunaan tenaga angin, tenaga air, tenaga surya, gas dan biofuel. Di Karimunjawa penggunaan energi ataupun bahan bakar sebenarnya minimal karena hanya digunakan untuk penerangan dan bahan bakar kendaraan bermotor serta perahu yang jumlahnya terbatas. Namun upaya penemuan dan penggunaan alternatif energi merupakan suatu langkah mitigasi dalam rangka perubahan iklim global penting dilakukan, mengingat potensi tenaga air, angin dan surya di kawasan ini cukup tinggi.

6.1. Simpulan

Berdasarkan deskripsi lokasi dan analisis yang dilakukan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pemutihan karang di Karimunjawa telah terjadi sebanyak tiga kali yaitu pada

tahun 1998, 2006 dan 2009. Kejadian pemutihan karang tersebut mempunyai hubungan erat dengan faktor kenaikan suhu (anomali terjadi selama 38 minggu dengan suhu perairan tertinggi 2.7ºC dan termasuk kategori

bleaching alert level 1, yang artinya karang mengalami stress karena peningkatan suhu permukaan laut).

2. Dampak pemutihan karang secara ekologi dapat dibuktikan berpengaruh

secara nyata terhadap : (a) penurunan penutupan karang keras dan soft coral,

(b) perubahan komposisi ikan, (c) penurunan 2 kelompok ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang (kerapu dan ekor kuning). Secara ekonomi, pemutihan karang dapat mempengaruhi pendapatan nelayan.

3. Strategi yang tepat untuk Karimunjawa adalah kegiatan adaptif pengelolaan

sumberdaya ikan dan terumbu karang lebih dititik-beratkan pada kepentingan konservasi melaui perbaikan kebijakan /regulasi, peningkatan motivasi dan

partisipasi, peningkatan SDM, penetapan no take zone area dan pemulihan

terumbu karang yang rusak sehingga diharapkan tidak ada perubahan terhadap fungsi terumbu karang sebagai perlindungan pantai, adanya

recruitment dan pertumbuhan terumbu karang setelah kejadian pemutihan karang, produktivitas dan komposisi ikan meningkat, pendapatan nelayan meningkat. Mitigasi yang dilakukan lebih bersifat menyiapkan masyarakat untuk lebih memahami kejadian perubahan iklim global dan pemutihan

karang, serta melakukan upaya pengurangan emisi CO2 melalui pengurangan

6.2. Saran

Mengacu pada hasil pengamatan dan pembahasan sebelumnya serta kesimpulan diatas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan pendataan lebih spesifik terhadap faktor yang mengakibatkan

timbulnya stres lokal pada karang.

2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai resiliensi dan vulnerability

terumbu karang sebagai satu kesatuan ekologi yang utuh antara habitat dan biota yang hidup didalamnya.

3. Diperlukan evaluasi terhadap zona-zona yang ada berdasarkan pengkajian

dan penelitian lebih lanjut.

4. Dibutuhkan koordinasi antar stakeholder yang ada pada kawasan tersebut,

serta partisipasi aktif untuk menghentikan kerusakan terumbu karang,

menghentikan destructive fishing agar fungsi ekologis kawasan ini tetap

berlangsung sehingga apabila terjadi pemutihan karang akan dapat secara cepat melakukan pemulihan diri.

5. Pengawasan dan pembinaan terhadap para pemanfaat sumberdaya terumbu

karang harus terus dilakukan. Salah satu pembinaan yang perlu dilakukan adalah penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.

6. Meningkatkan peran serta dari para pihak, stakeholder lainnya dalam

mengelola TN Karimunjawa sebagai kawasan konservasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

7. Perlu dilakukan pengkajian terhadap lokasi pemijahan ikan untuk

meningkatkan potensi ikan karang.

8. Perlu dilakukan penelitian kombinasi dampak aktivitas manusia dan alam