• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN PERILAKU GESER TANAH LEMPUNG YANG DISTABILISASI DENGAN SEMEN OLEH PENGARUH TEMPERATUR PEMERAMAN

John Tri Hatmoko1, Hendra Suryadharma2

1,2Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Makassar Jalan Babarsari No. 23, Yogyakarta

Telp. (0274) 87711

E-mail: john@mail.uajy.ac.id, surya@mail.uajy.ac.id

ABSTRAK

Berbeda dengan beton, pengaruh tempertaur pemeraman pada tanah lempung yang distabilisasi dengan semen masih belum banyak dilakukan. Serangkaian pengujian dilakukan pada penelitian ini untuk mengkaji perbedaan tersebut dengan menggunakan lempung yang distabilisasi dengan semen portland biasa. Sejumlah komposisi campuran lempung - semen diperam dengan temperatur pemeraman yang berbeda : 25, 30, 40, dan 50OC, dengan waktu pemeraman 7, 14,21, 28, 36, dan 56 hari. Pengujian geser dilakukan dengan uji tekan bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : kuat tekan bebas tanah lempung yang distabilisasi dengan semen meningkat dengan bertambahnya suhu pemeraman pada waktu pemeraman yang sama. Disaming itu, kadar air pada saat pencampuran juga berpengaruh pada hasil kuat tekan bebas . Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan yang mirip dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.

Kata Kunci: lempung, semen, kuat geser, temperatur pemeraman, waktu pemeraman

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Skema teknologi perbaikan tanah dengan bahan kimia ( yang banyak mengandung CaO) yang populer dilakukan selama ini adalah dengan penambahan kapur dan semen. Di Asia, termasuk di Indonesia penggunaan semen sebagai bahan stabilisasi lebih populair dibandingkan dengan penggunaan kapur. Hal tersebut tidak hanya disebabkan keberadaan semen yang melimpah namun juga penggunaan semen sebagai bahan tambah jauh lebih efektif dibandingkan dengan kapur ( Broms 1984, 1986 ; Consoli, 2001; ; Clough 1981; Venda et al. 2014; Yadu et al. 2011). Disamping itu, teknik penerapannya di lapangan jauh lebih praktis dan mudah. Sejumlah pengujian laboratorium yang meneliti tentang tanah lempung yang distabilisasi dengan semen sudah dilakukan ( Uddin et al. 1997; Watabe et al. 2000; Petchgate et al. 2001; Yin 2007; Hatmoko 2005, 2007). Dari beberapa penelitian tersebut mengakomodasi kandungan semen pada tanah. Kandungan semen didefinisikan sebagai perbandingan berat antara semen dengan tanah dalam keadaan kering ( Kamon & Bergado 1991; Bergado et al. 1999). Miura et al. (2001) memperhitungkan kandungan air pada penelitiannya tentang perilaku tanah lempung yang distabilisasi dengan semen. Namun demikian pada evaluasi parameter ini tidak memperhitungkan pengaruh temperatur pada waktu pemeraman terhadap perilaku geser tanah lempung yang distabilisasi dengan semen.

Di dalam praktik di lapangan, panas yang dihasilkan oleh hidrasi semen menyebabkan peningkatan temperatur pada proses stabilisasi. Di daerah tropis seperti Singapura, Malaysia dan juga Indonesia, temperatur yang terjadi didalam campuran tanah-semen mencapai suhu lebih dari 38OC yang jauh lebih tinggi dibanding temperatur laboratorium pada saat dilakukan pemeraman (Lu et al. 2011). Perbedaan antara temperatur pada saat pemeraman dengan temperatur pada waktu pelaksanaan di lapangan tersebut tidak pernah diperhatikan pada praktik-praktik perencanaan meskipun pengaruh temperatur terhadap perilaku geser tanah tersementasi cukup besar ( Mindess et al. 1981; Neville 1996; Morohoshi et al. 2010). Pada teknologi beton dan mortar, pengaruh perubahan temperatur tersebut sudah banyak diteliti (Minder et al. 1981; Neville 1996; Morohoshi et al. 2010) yang pada umumnya kuat desaknya tinggi pada awal pemeraman dibanding pada masa peram yang lebih lama pada temperatur tinggi. Perilaku tersebut juga diteliti terkait dengan tanah berbutir halus maupun kasar yang distabilisasi dengan semen, termasuk tanah buatan yang tersusun dari : 45% kerikil, 15% pasir, 20% lanau dan 20% lempung ( Chitambira 2004 ; Chitambira et al. 2007). Soroka (1993) dan Chitambira et al. (2007) menyarankan bahwa peningkatan temperatur pada saat pemeraman meningkatkan kuat geser tanah yang distabilisasi dengan semen pada awal waktu pemeraman. Namun demikian pengaruh waktu pemeraman tersebut pada tanah lempung belum banyak dilakukan.

TS-59

Oleh sebab itu, perlu diperhitungkan pengaruh temperatur pemeraman terhadap perilaku geser tanah lempung yang distabilisasi dengan semen. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh temperatur pemeraman pada kuat geser tanah yang distabilisasi dengan semen, dan jika memungkinkan mengembangkan model yang tepat untuk pengaruh temperatur pemeraman pada tanah lempung yang distabilisasi dengan semen tersebut. Tujuan penelitian tersebut dirumuskan dari dua maslah yang timbul yaitu : apakah ada pengaruh temperatur terhadap perilaku geser tanah lempung yang distabilisasi dengan semen? dan apakah dapat dibuat model untuk mendekati pengaruh temperatur pemeraman terhadap perilaku geser tanah lempung yang distabilisasi dengan semen?. Penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi pada pengembangan ilmu dengan ditemukannya parameter baru (temperatur) pada perilaku geser tanah lempung yang distabilisasi dengan semen, sehingga menambah referensi pada para peneliti dan praktisi geoteknik.

Tanah yang digunakan sebagai bahan dasar penelitian diambil dari Wates kabupaten Kulonprogo. Menurut penelitian terdahulu ( Hatmoko, 2005) tanah di lokasi tersebut memiliki kandungan lempung yang cukup tinggi pada lapis-lapis tertentu. Menurut pengeboran yang dilakukan pada waktu itu, dari lapis permukaan sampai kedalaman 3,00 meter berupa pelapukan tanah lempung ; sekitar 5,00 meter dibawahnya berupa lapisan lempung lunak ; 4,500 meter berikutnya berupa lempung kaku. Setelah lapisan tersebut lapisan tanah selang-seling antara pasir padat dan lempung kaku. Lapisan berikutnya berupa pasir padat dan pasir – kerikil. Oleh adanya sejarah pembebanan ( stress history ) yang dialami oleh tanah tersebut ada kemungkinan adanya perubahan sifat mekanika tanah walaupun stratifikasinya tetap. Oleh sebab itu, dilakukan pengambilan sampel ulang melalui pengeboran dalam.

1.2. Tinjauan Pustaka

Penerapan stabilisasi tanah lempung , terutama lempung lunak, dengan semen pada tanah dasar jalan raya dan reklamasi mendapat perhatian cukup signifikans dan sangat populair pada dua dasa warsa terakhir ( Probaha et al. 1999; Tang et al. 2008; Dermatas et al. 2003; Kitazumi 2005; Chiu et al. 2008; Tan et al. 2011). Deposit tanah lempung lunak yang pada umumnya memiliki stabilitas volume dan kuat geser rendah berada menyebar di seluruh dunia terutama di daerah-daerah pantai dan area-area yang rendah. Di beberapa kota besar secara geologis memiliki deposit tanah lempung yang cukup dalam ( Bergado et al. 1996). Tanah jenis ini memiliki kompresibilitas dan potensi kembang susut tinggi, dengan kuat geser yang relatif rendah. Oleh sebab itu sifat-sifat fisika dan mekanika tanah jenis ini tidak seperti yang diharapkan oleh para ahli geoteknik. Mereka menghadapi persoalan pada pembangunan infra struktur diatas tanah lempung lunak tanpa perbaikan tanah, baik perbaikan tanah dangkal maupun dalam. Di kota-kota besar, perkembangan teknologi infra struktur seperti gedung-gedung tinggi, jalan raya, jembatan dan yang lain membutuhkan tanah dasar yang cukup baik, oleh sebab itu perbaikan tanah perlu dilakukan dengan sedikit mengabaikan metode-metode tradisional yang selama ini masih sering diterapkan.

Penerapan metode-metode tradisional dalam ilmu geoteknik dan mekanika tanah sering menghadapi banyak masalah yang disebabkan oleh tingginya ongkos maupun faktor-faktor lingkungan. Sebagai contoh pada pembangunan jalan , penggunanan pondasi tanah berbutir yang lokasinya jauh dari proyek akan menyebabkan tingginya biaya transportasi. Contoh lain pada pembangunan pondasi yang memiliki daya dukung rendah dimana untuk pembangunan pondasi dalam memerlukan biaya yang cukup tinggi ditinjau dari harga proyek secara keseluruhan. Contoh lain pada pembangunan jalan maupun pondasi diatas tanah lempung ekspansif akan menyebabkan keretakan pondasi bangunan ataupun badan jalan yang bersangkutan.

Pada kasus-kasus tersebut, suatu alternatif yang baik adalah peningkatan kekuatan tanah lokal, baik kuat geser maupun kuat tekannya dengan penambahan semen pada tanah tersebut. Teknik-teknik stabilisasi tanah dengan semen sudah banyak diterapkan dengan keberhasilan yang cukup antara lain : peningkatan kuat geser pondasi jalan, perlindungan terhadap lereng, lapisan dasar podasi maupun untuk meningkatkan tahanan terhadap bahaya liquefaction (Dano C. 2004 ; Dupas and Pecker 1979; Hatmoko 2005, 2007).Perbaikan tanah dengan bahan tambah dilakukan dengan jalan menambahkan bahan-bahan kimia baik yang diproduksi oleh pabrik seperti semen, kapur, Geosta, maupun bahan kimia yang berasal dari limbah seperti: abu terbang. Disamping itu, bahan tambah bisa berupa bahan alami atau bahan-bahan kima lain yang dapat bereaksi dengan tanah. Pencampuran bahan tambah dengan tanah dapat dilakukan dengan mencampur (mixing), maupun dengan injeksi. Ketika bahan tambah diinjeksi melalui lobang bor dengan tekanan tertentu kedalam ruang kosong didalam tanah atau antara tanah dengan struktur, proses ini disebut grouting. Ketika bahan pengikat seperti semen, kapur maupun abu terbang dicampur dengan tanah dengan kadar air tertentu, sederetan reaksi akan terjadi oleh disosiasi kapur aktif (CaO) pada bahan pengikat yang menghasilkan formasi gel-gel yang bersifat posolanik seperti calcium silikat hidrat (C-S-H), dan calcium aluminat silikat hidrat (C-A-S-H).

Penggunaan kapur sebagai bahan stabilisasi lempung montmorilonite (ekspansif) sudah sangat berkembang dan sangat disukai pada beberapa dekade disebabkan oleh sifatnya yang memiliki perubahan volume kecil (Transporrtation Research Board 1986). Biasanya jumlah kapur yang diperlukan berkisar antara 2 sampai dengan

TS-60

8% berat tanah (Chen 1975). Penambahan kapur pada tanah lempung memberikan ion-ion calcium (Ca++) dan ion magnesium (Mg++) yang cukup banyak. Ion-ion tersebut akan menggantikan ion-ion positif bervalensi rendah seperti sodium (Na+) atau potassium (K+). Proses ini disebut sebagai reaksi pertukaran ion-ion positif (kation). Pertukaran natrium atau potassium oleh calcium atau magnesium secara signifikans mereduksi indeks plastisitas tanah, yang diikuti oleh penurunan potensi pengembangan. Disamping untuk meningkatkan proses pertukaran ion, penambahan kapur kedalam tanah meningkatkan derajat keasaman (pH) tanah. Juga menyebabkan terjadinya perubahan tekstur tanah jika dilakukan penambahan kapur pada tanah tersebut. Dengan bertambahnya kapur, kandungan lempung menurun dan prosentasi butiran kasar meningkat. Hal ini sering disebut sebagai proses

flukulasi-aglomerasi.

Penambahan semen pada tanah ekspansif mengurangi potensi pengembangan tanah. Menurut Schaefer dkk. (1997), jumlah semen yang diperlukan untuk stabilisasi tanah ekspansif berkisar dari 2 sampai 6% berat tanah. Menurutnya interaksi antara semen dengan tanah adalah bahwa partikel semen Portland adalah substans heterogen yang mengandung trikalsium silikat (C3S), dikalsium silikat (C2S), trikalsium aluminat (C3A), dan tetrakalsium aluminat (C4A), empat konstituen tersebut dapat meningkatkan kekuatan tanah. Ketika semen masuk kedalam rongga tanah yang berisi air, hidrasi semen akan terjadi dengan cepat, dan hidrasai utama ( sementasi ) menghasilkan calcium silikat hidrat – C-S-H ( C2SHx , C3S2Hx); calcium aluminat hydrat – C-A-H ( C3A2Hx, C4AHx); calcium hidrat – Ca(OH)2. Dalam waktu yang relative lama akan terbentuk calcium aluminat silikat hidrat (C-A-S-H ). Kedua reaksi pertama disebut sebagai reaksi sementasi /reaksi posolanik tahap I yang terjadi dalam waktu yang reklatif pendek. Calsium hidrat – Ca (OH)2 terpisah dari reaksi sementasi. Sedangkan reaksi terakhir dimana C-A-S-H terbentuk disebut sebagai reaksi posolanik tahap II yang terjadi dalam jangka waktu yang relative lama. Oleh sebab itu, pada pengujian kuat desak beton mutu tinggi (sebagai contoh) tidak berhenti hanya pada waktu pemeraman 28 hari melainkan 56 hari atau bahkan 90 hari.

1.3. Metode Penelitian

Eksplorasi Tanah di lapangan

Tanah yang digunakan sebagai bahan dasar penelitian diambil dari Wates kabupaten Kulonprogo. Menurut penelitian terdahulu ( Hatmoko, 2005) tanah di lokasi tersebut memiliki kandungan lempung yang cukup tinggi pada lapis-lapis tertentu. Menurut pengeboran yang dilakukan pada waktu itu, dari lapis permukaan sampai kedalaman 3,00 meter berupa pelapukan tanah lempung ; sekitar 5,00 meter dibawahnya berupa lapisan lempung lunak ; 4,500 meter berikutnya berupa lempung kaku. Setelah lapisan tersebut lapisan tanah selang-seling antara pasir padat dan lempung kaku. Lapisan berikutnya berupa pasir padat dan pasir – kerikil. Oleh adanya sejarah pembebanan ( stress history ) yang dialami oleh tanah tersebut ada kemungkinan adanya perubahan sifat mekanika tanah walaupun stratifikasinya tetap. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel ulang dengan bor dalam dengan 3(tiga) buah titik sampel. Alat bor yang digunakan adalah Bor mesin dengan tipe

Rotary Spindle Type : Skid Mounted dengan diameter lobang bor : 7.295 cm. Alat bor mesin tipe ini mampu

mengebor sampai kedalaman 60,00 meter. Pada alat bor ini didampingi uji penetrasi standar ( SPT ), sehingga nilai N-SPT untuk tiap-tiap lapisan tanah diketahui.

Uji Laboratorium

Pengujian kadar air menggunakan standar ASTM D2216-71 (ASTM Standard), dengan menggunakan alat-alat : cawan dan oven dengan pengontrol temperatur yang akurat. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kadar air yang terkandung dalam tanah yang akan digunakan di dalam penelitian ini. Pengujian berat jenis menggunakan referensi : AASHTO T100-70, dan ASTM D854-58. Analisis juga menggunakan standar yang sama. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui berat jenis tanah yang akan digunakan didalam penelitian. Pengujian analisis menggunakan referensi: AASHTO T87-70 (persiapan sampel); AASHTO T88-70 (prosedur pengujian), dan ASTM D421-58, dan D422-63. Sedangkan pengujian hydrometer menggunakan referensi AASHTO T87-70 , T88-70, ASTM D421-59,dan D422-63. Pengujian ini untuk mengetahui distribusi ukuran butir kedua jenis tanah yang dipakai didalam penelitian ini dan kemudian menentukan klasifikasi tanah tersebut menurut Unified Soil

Classification.Pada penelitian ini, uji pemadatan standar Proctor dilakukan untuk menentukan kadar air optimum

yang akan digunakan pada sampel tanah + semen. Standard yang digunakan untuk pengujian ini adalah : ASTM D 2435. Pengujian ini diterapkan terutama pada tanah pasir tersementasi untuk mengetahui seberapa besar perubahan parameter geser tanah akibat sementasi. Standar pengujian mengacu pada ASTM D 2166.

TS-61 2. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Pengujian Awal

Serangkaian pengujian awal sperti pengujiann kadar air, batas-batas konsistensi, berat jenis, analisis saringan dan hidrometer sudah dilakukan dengan ringkasan hasil dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar air tanah 98%, batas cair 89%, batas plastis 30,5% yang menghasilkan indeks plastisitas 67,5% . Tanah terletak dibawah garis U dan diatas garis A grafik Casagrande, sehingga tanah lempung Wates , menurut USCS termasuk CH ( high

plasticity clay). Tanah sampel memiliki indeks plastisitas tinggi > 50%, sehingga tanah ini ada indikasi sebagai

tanah ekspansif. Namun demikian pada penelitian ini tidak mempertimbangkan ekspansifitas tanah lempung sebagai parameter.

Tabel 1. Parameter dasar lempung Wates

Parameter Harga

Kadar air optimum(%) Berat kering maks. (gr/cc) Berat Jenis Batas cair (%) Batas plastis (%) Indeks Plastisitas (%) Fraksi lempung (%) ; <0,002 mm Fraksi kasar (%) ; >0,075mm Bahan organik (%) 96 14,6 2,61 98 30,5 67,5 >50 < 5 <4

Uji Tekan Bebas

Sampel untuk pengujian tekan bebas, diameter 50mm dengan tinggi 100mm dicampur pada kadar airsekitar kadar air optimumnya ( 95% - 100%) dan diperam sampai dengan waktu 3 - 56 hari. Semen yang dipakai adalah portland semen biasa/ordinary portland cement (OPC) yang diperoleh dari toko bahan bangunan terdekat. Kadar semen dibuat bervariasi dari 3 sampai dengan 15% ( 3, 6, 9, 12, dan 15%) dengan toleransi 0,2%. Untuk mengetahui pengaruh temparatur, sampel dimasukkan kedalam oven dengan suhu dijaga antara 25 – 50OC dengan toleransi 2OC. Ringkasan skema pengujian tekan bebas dapat dilihat pada Tabel 2 Jenis semen yang digunakan adalah OPC, dengan waktu peram 7, 14, 21, 28, 36, 56, dan temperatur pemeraman 24, 31, 38, 50.

Tabel 2. Ringkasan pengujian tekan bebas

Sampel Kadar air

(%) Prosen semen(%) S0 S3 S6 S9 S12 S15 95 98 96 99 95 97 0 3,1 5,9 9,2 11,9 15,2

Pada penelitian ini, pengaruh proporsi semen terhadap berat kering tanah dan kadar air terhadap peningkatan kuat tekan bebas pada tanah lempung yang distabilisasi dengan semen pada temperatur tertentu (tetap) dengan berbagai waktu pemeraman sudah didiskusikan dengan intensif oleh beberapa peneliti terdahulu ( Miura et al. 2001; Tan et al. 2002; Lee et al. 2005; Horpibulsuk et al. 2003, 2005, 2011; Hatmoko 2014, 2015l). Pada bagian ini difokuskan pada pengaruh temperatur dan waktu pemeraman secara bersamaan pada kuat tekan bebas tanah lempung yang distabilisasi dengan semen. Gambar 1 menunjukkan harga kuat tekan bebas tanah dengan 6 kombinasi kadar semen dengan waktu peram dan temperatur pemeraman yang berbeda.

Untuk tanah S-0 ( Gambar 1) dimana kadar semen 0% atau tanah asli tidak menunjukkan peningkatan kuat tekan bebas walaupun waktu dan temperatur pemeraman ditingkatkan. Kuat tekan bebas hanya dalam kisaran 20 s.d. 60 kPa. Hal tersebut menjelaskan bahwa tanah lempung yang tidak ditambahkan bahan tertentu memang tidak akan ada perubahan apapun terkait sifat-sifat mekanika tanah

TS-62

Gambar 1. Kuat tekan bebas vs. waktu dan temp. pemeraman S-0

Untuk tanah S-3 dimana kadar semen dalam kisaran 3% (Gambar 5.1b), kuat tekan bebas menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya waktu dan temperatur pemeraman. Semakin lama waktu pemeraman dan semakin tinggi temperatur pemeraman, kuat tekan bebas meningkat walaupun belum cukup signifikans. Kuat tekan bebas mencapai harga sekitar 200 kPa pada waktu peram 56 hari dan temperatur pemeraman 48OC. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sudah terjadi psolanik maupoun sementasi oleh adanya semen pada tanah lempung.

Gambar 2. Kuat Tek. Bebas vs. waktu dan Temp. pemeraman S-3

Jika dibandingkan dengan S-3, peningkatan kuat tekan bebas tanah S-6 tidak ada peningkatan yang cukup berarti, sebagai contoh pada waktu peram 56 hari dan temperatur pemeraman sekitar 50OC hanya meningkat dari 200 kPa menjadi 205 kPa. Namun pada tanah S-9 terlihat peningkatan yang cukup tinggi mencapai 260 kPa ( Gambar 4).

Gambar 3. Kuat tekan bebas vs. waktu dan temperatur pemeraman S-6 0 50 100 150 200 0 20 40 60 80