• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PERANAN DAN KONTRIBUSI KEDAULATAN RAKYAT SELAMA

B. Kedaulatan Rakyat sebagai Pewarta Usaha Diplomasi

3. Perundingan Renville

Perundingan Renville, berada dibawah pengawasan KTN dan dilaksanakan di atas kapal Amerika Renville22 yang sedang berlabuh di Tanjung Priok pada tanggal 8

19

Baca: G. Moedjanto, Indonesia Abad Ke-20: Dari Perang Kemerdekaan pertama sampai PELITA III, Jilid 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 21-22.

20

Sumber: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Lukisan Revolusi Indonesia 1945-1950, (Jogjakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1949), hlm. XL.

21

Baca: Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, edisi ke-4, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 143.

22

Kedaulatan Rakyat, mengabarkan bahwa: “Dari kalangan resmi didapat

keterangan, bahwa sangat boleh djadi minggu depan dimulai perundingan diatas kapal dengan tidak memandang keadaan cease fire. Dalam kapal Amerika ,,Renville”

disediakan 70 tempat untuk perundingan Indonesia-Belanda, 30 untuk Panitiya

Perantara dan 20 untuk tiap2 delegasi Indonesia dan Belanda, demikian Aneta”.

Sumber: “Perundingan Dikapal Minggu Depan”, Kedaulatan Rakyat, 25 November

Desember 1947.23 Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifoeddin, sedangkan Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo24 (orang Indonesia yang berpihak pada Belanda). Dalam perundingan ini, KTN memberi saran-saran dengan pokok-pokok sebagai berikut:

i. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van Mook”.

ii. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).25

23

“Hari ini pukul 10.15 dikapal ,,Renville” perundingan antara Indonesia dan

Belanda dibuka dengan resmi. Berturut2 berbitjara wakil Panitia Perantara Dewan Keamanan dan wk2 Delegasi Indonesia dan Belanda jang menguraikan pendirian masing2…. Mereka semua menjatakan penghargaannja pada nachoda kapal

,,Renville” dan anak buahnja jang sudah menjesuaikan persiapan2 dengan sifat

perundingan. Nachoda kapal tsb. mengadakan pidato sambutan atas nama pemerintah Amerika sebagai tamu. Karena Paul van Zeeland tidak hadir, perundingan tersebut dipimpin oleh konsol Djenderal Belgia van der Stichelen jang mengadakan pidato penutup dengan menjatakan, bahwa semua pembitjaraan dari hadirin mengandung good faith dan good will jang tepat dengan tudjuan perundingan. Besok pukul 10

diteruskan dengan persidangan kedua”. Sumber: “Stop Press”, Kedaulatan Rakyat, 8 Desember 1947.

24 “Kapal ,,Renville” kemarin tengah hari telah tiba di Tandjung Periok. Delegasi Belanda sudah dibentuk dan telah diumumkan susunannja, diketuai oleh Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Djadi dapatlah dikatakan bahwa perundingan dalam satu dua hari ini akan dimulai…. Belanda menghadapi perundingan ini dengan semangat ,,ogah-ogahan”. Semula Belanda mendesak supaja soal militer diselesaikan

lebih dahulu. Kita berpendapat bahwa politiklah jang lebih penting dan soal militer disamping penjelesaian politik berdjalan terus. Pendapat Republik ini mendapat persetudjuan dari Komisi Perantara. Mau tidak mau Belanda merasa terpaksa

menerima”. Sumber: “Menghadapi Perundingan”, Tajuk Rencana Kedaulatan

Rakyat, 2 Desember 1947.

Jika diperbandingkan antara perundingan Renville dengan Linggajati, hasil perundingan Renville jauh lebih merugikan Indonesia dalam hal penguasaan wilayah RI. Pada perundingan Linggajati, wilayah Sumatera, Jawa, dan Madura diakui sebagai wilayah kekuasaan RI. Sedangkan pada perundingan Renville, wilayah

kekuasaan RI hanyalah yang berada di belakang “garis van Mook”, sehingga ketika ada tentara RI yang menduduki wilayah di luar wilayah yang telah ditentukan maka harus hijrah dari wilayah pendudukan itu. Belanda hanya mengakui wilayah kekuasaan RI meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra.

Pada awalnya keputusan yang diambil dalam perundingan ini ditolak oleh delegasi Indonesia akan tetapi sikap KTN yang seolah tidak menjamin keadaan yang jauh lebih baik jika ada penolakan tersebut, mendorong RI untuk menuruti keinginan Belanda yaitu dengan menjalankan kemauan Belanda tersebut. Akhirnya, perundingan ini ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948.

Meskipun telah ada kesepakatan dalam perundingan Renville, bukan berarti keadaan menjadi lebih baik. Karena Belanda tidak merasa puas dengan perundingan yang telah disepakati bersama RI tersebut, sehingga menuntut untuk diadakan perundingan kembali. Sebelum dilaksanakan perundingan berikutnya, Menteri Luar Negeri Belanda D.U. Stikker dengan Perdana Menteri Moh. Hatta melakukan pertemuan di Kaliurang. Dalam pertemuan ini, KTN tidak turut campur sebelum ada keputusan akan dibukanya kembali perundingan dibawah pengawasan KTN (seperti Perundingan Renville).

Terkait dengan pertemuan antara Hatta dan Stikker tersebut, Kedaulatan Rakyat dalam tajuknya menuliskan :26

Perhatian manusia di dunia Belanda dan di dunia Indonesia selama satu dua hari belakangan ini banjak dipusatkan ke Kaliurang, tempat dingin di ibu kota Republik Indonesia, untuk mengikuti perundingan jang dilangsungkan antara Hatta dan Stikker. Perhatian tetap besar, walaupun perundingan dilakukan antara empat mata dan tidak akan mungkin botjor, sebelum waktunja. Orang hanja tahu bahwa pertemuan antara kedua pembesar dari dua negara jang bertikai itu akan berarti sangat banjak, jang akan menentukan apakah perundingan antara kedua delegasi dibawah pengawasan KTN dapat dibuka kembali atau akan tetap buntu.

Djika hasil pertemuan Hatta-Stikker ini memungkinkan berdjalannja perundingan kembali, maka permusjawaratan itu akan dapat berdjalan lantjar dan mudah pula menghasilkan persetudjuan. Sebaliknja, djika persesuaian antara kedua diplomat di Kaliurang itu mengakibatkan perundingan tak dapat dibuka kembali, maka akan turut bitjaranja mulut meriam, bukan mustahil pula.

Dari pertemuan antara Hatta dan Stikker, ternyata tidak menemukan kesepakatan yang diharapkan. Dan lagi-lagi Belanda mengingkari perundingan, dengan melancarkan agresi keduanya. Pada agresi yang kedua ini, Kedaulatan Rakyat berhenti terbit dan pamit kepada masyarakat Yogyakarta khususnya, untuk turut berjuang. Di samping itu, kantor Kedaulatan Rakyat diduduki oleh pasukan Sekutu sehingga para pegawai Kedaulatan Rakyat tidak dapat menjalankan tugas seperti biasa, dan memutuskan rehat untuk sementara waktu.

Pelanggaran yang dilakukan Belanda pada perundingan yang telah melibatkan KTN ini, menimbulkan kemarahan dunia. Namun Dewan Keamanan (DK) PBB tidak dapat berbuat apa-apa dikarenakan kurangnya dukungan negara-negara anggota PBB. Langkah terakhir yang dilakukan DK PBB yakni dengan membuat resolusi pada

26

tanggal 24 Desember 1948 yang berisi keputusan untuk diadakan perundingan RI-Belanda berikutnya.27

Dokumen terkait