• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJUANGAN PERS PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DI YOGYAKARTA: Studi Kasus SKH Kedaulatan Rakyat (1945-1950)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERJUANGAN PERS PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DI YOGYAKARTA: Studi Kasus SKH Kedaulatan Rakyat (1945-1950)"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh :

INNEKE TRIANTYASARI LADY HAMZAH NIM : 034314013

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv menyelesaikan skripsi ini dengan cepat.

Papa Alm. Andi Hamzah Mappatabe Mama Godeliva Maria S. Hartini Kedua kakakku:

Andu Wendy Zailani Hamzah Erdwin Jeffrie Marliandi Hamzah

Kakak iparku: Layung Paramesti Martha

Puang terbaikku Alm. PS. Akbar

Sahabat kecilku: Indrawati Puspa Ningrum

Serta keluarga besarku di Yogyakarta, Semarang, Makassar, Jakarta dan Belanda. Terima kasih atas segala doa dan dukungan yang diberikan selama ini.

Almamaterku Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma

MOTTO

Menjadi yang pertama, adalah harapan setiap insan...

(5)
(6)
(7)

vii

ini selesai. Meskipun harus menghabiskan waktu yang tidak sebentar, rasa puas dan bahagia tetap menyelimuti. Rasa bersalah terhadap kedua orang tua pun perlahan sirna, tergantikan dengan senyum cerah.

Dengan selesainya tulisan ini, sudah sepantasnya penulis mengucapakan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kehidupan dan kekuatan kepada penulis untuk tegar menghadapi segala kesulitan selama berlangsungnya proses ini. Dan tetap yakin kepadaNYA bahwa perjalanan sesulit apapun akan berakhir bila ada usaha untuk keluar dari kesusahan yang membelenggu.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja

yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah yang telah memberikan nasehat serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

3. Romo Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku dosen pembimbing yang telah bersedia dengan penuh kesabaran dan perhatian memberikan saran, masukan, pikiran serta meluangkan waktu untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

(8)

viii

Moedjanto M. A., Bapak (Alm.) Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H., Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Romo Dr. FX. Baskara T. Wardaya SJ, Ibu Dra. Lucia Juningsih, M. Hum., Bapak Dr. Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi, Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo. Serta dosen-dosen lain yang telah memberikan ilmu bagi penulis selama penulis menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.

6. Mas Filicianus Tri Haryadi di sekretariat Fakultas Sastra yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah dan Pak Wahluyo atas kenyamanan yang diberikan selama Wisma A menjadi tempat berkumpul bagi mahasiswa yang ingin bersantai sejenak.

7. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 8. Teman-teman di Ilmu Sejarah: kakak kelas angkatan 1999, 2000, 2001,

dan 2002, Yustina, Edi, Krishna, Ajeng, Yossida, Nana, Yasser, Markus, Ekarama, Yuhan, Roger, Elang, Halim, Mamik, Aloi Sempal, Darwin, Anggoro, Mariati, Reny, Deddy, Ruperno, Sundari, Yoga dePOOH, Anggie, Domi Dombrett, semoga waktu akan mempertemukan kita lagi. 9. Hafda Zuraida dan Irena, senang bisa dekat dengan kalian, semoga

kedekatan kita selama hampir tujuh tahun ini terus berlanjut.

(9)

ix

kehadiranmu dalam hidupku cukup membantu segala kegiatan yang kulakukan selama studi (15 Oktober 2004-21 Agustus 2007) maupun setelahnya. Semoga kita sama-sama mendapatkan yang terbaik.

12. Papa, maaf baru selesai setelah dua tahun kepergian Papa. Mama dan kedua kakakku beserta kakak iparku, maaf telah mengecewakan dan merepotkan kalian selama ini.

13. Keluarga besarku (Andi Mappatabe) di Jakarta dan Makassar, keluarga besarku (F.W. Djojosoedarmo) di Yogyakarta dan Semarang, yang tak henti-hentinya mendorongku untuk menyelesaikan skripsi ini. Teruntuk Puang alm. PS. Akbar sekeluarga, terima kasih atas perhatian yang Puang sekeluarga berikan selama penulis melakukan penelitian di Jakarta, dan maaf atas kerepotan ditimbulkan. Serta untuk Bude Asih dan Oom Cor di Belanda yang selalu mengajak jalan-jalan saat berlibur ke Indonesia tahun lalu, sehingga kepenatan sedikit sirna.

14. Keluarga Oom dan Tante Sukendra Martha, mas Alun Paradipta, terima kasih atas bantuan dan semangat yang diberikan.

15. Teman-teman kecilku: Ningrum, Nober, Sony Moy, Imas, Adi Syarif, Wahyu, Rini Simamora, Putu Dian. Kapan konferensi lagi? Kangen.

(10)
(11)

xi

YOGYAKARTA

Judul dari skripsi ini yaitu, “Perjuangan Pers Pasca Proklamasi Kemerdekaan di Yogyakarta, Studi Kasus: Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat (1945-1950)”. Skripsi ini menyoroti tiga permasalahan: (1) Perkembangan pers di Yogyakarta pada tahun 1942-1950. (2) Lahir dan berkembangnya Kedaulatan Rakyat pada tahun 1945-1950. (3) Peran dan kontribusi Kedaulatan Rakyat selama pemerintahan RI di Yogyakarta pada tahun 1946-1950.

Penulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peranan pers selama pemerintahan RI di Yogyakarta. Gambaran tentang pers ini, dimunculkan dengan memuat artikel-artikel surat kabar Kedaulatan Rakyat sebagai sumber primer yang paling banyak digunakan, serta surat kabar lain yang terkait dengan pokok bahasan yang dihadirkan pada penulisan ini.

Data yang dipergunakan pada penulisan ini adalah data primer dan sekunder. Diperoleh dari surat kabar yang telah dimicrofilmkan, dokumen (yang telah dibukukan dan yang belum dibukukan), buku dan sumber tertulis dari internet. Sumber lisan diperoleh melalui wawancara dengan seorang pegawai Kedaulatan Rakyat. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis.

Berdasarkan penulisan ini, diketahui bahwa surat kabar memiliki andil dalam mempertahankan kemerdekaan RI, bersama dengan strategi diplomasi dan perjuangan bersenjata. Surat kabar menjadi media yang efektif mengabarkan ke masyarakat tentang keadaan Indonesia pada masa pendudukan asing. Sebagai surat kabar daerah sekaligus surat kabar nasional, Kedaulatan Rakyat menunjukkan kiprahnya dalam dunia jurnalistik dengan mengirimkan wartawannya meliput jalannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Konferensi ini kemudian yang mengakhiri konflik antara Indonesia dan Belanda.

(12)

xii

The title of this thesis is “The Press Struggle After The Declaration of Independence in Yogyakarta, Case Study of The Kedaulatan Rakyat Daily Newspaper (1945-1950)”. This thesis is focused on three problems: (1) The press development in Yogyakarta in the year of 1942-1950. (2) The birth and development of Kedaulatan Rakyat in the year of 1945-1950. (3) The role and contribution of Kedaulatan Rakyat during the governance of The Republic of Indonesia in Yogyakarta in the year of 1946-1950.

The goal of this thesis is to give an illustration of the press’ role during the governance of The Republic of Indonesia in Yogyakarta. This illustration of the press is shown by inserting the articles in the Kedaulatan Rakyat daily newspaper as the primary source which is mostly used, and the other newspapers which is connected with the main idea of this thesis.

The data used in this thesis is primary and secondary source. Taken from microfilmed newspapers, document (which has been booked and has not been booked), books and written source from the internet. The oral source is taken from an interview with a staff of Kedaulatan Rakyat. The research method used is descriptic-analytic.

From this thesis, is known that newspaper has the role in keeping the independence of The Republic of Indonesia, along with the diplomatic strategy and the armed struggle. The newspaper became an effective media to inform about the situation in Indonesia within the foreign settlement to the Indonesian people. As a local newspaper and also a national newspaper, Kedaulatan Rakyat shown its role in the journalism world by sending its reporters to report The Round-Table Conference in Den Haag. This conference ended the conclict between Indonesia and Holland.

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.. ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Kajian Pustaka ... 10

G. Landasan Teori ... 16

H. Metode Penelitian ... 22

I. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II. PERKEMBANGAN PERS DI YOGYAKARTA TAHUN 1942-1945 ... 25

A.Indonesia Masa Pendudukan Jepang ... 25

B. Yogyakarta sebagai Pusat Pemerintahan ... 32

1. Agresi Militer Belanda Pertama ... 34

2. Agresi Militer Belanda Kedua ... 38

C. Lahirnya Surat Kabar di Yogyakarta Tahun 1942-1945 ... 40

1. Faktor Internal ... 44

(14)

xiv

D. Perkembangan Kedaulatan Rakyat Tahun 1945-1950 dan Aturan yang

Diterapkan Pemerintah ... 64

BAB IV. PERANAN DAN KONTRIBUSI KEDAULATAN RAKYAT SELAMA PEMERINTAHAN RI DI YOGYAKARTA ... 68

A. Kedaulatan Rakyat dalam Menjalankan Fungsi Pers ... 68

B. Kedaulatan Rakyat sebagai Pewarta Usaha Diplomasi ... 74

1. Perundingan Linggajati ... 75

2. Pertemuan Kaliurang ... 77

3. Perundingan Renville ... 81

4. Perundingan Roem-Royen ... 85

5. Konferensi Meja Bundar dan Penyerahan Kedaulatan ... 88

C. Kedaulatan Rakyat sebagai Pers Daerah dan Nasional ... 92

BAB V. PENUTUP ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(15)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pers merupakan media untuk menyampaikan aspirasi dan atau informasi atas suatu peristiwa berdasarkan fakta yang akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral dan legal. Setiap penduduk berhak untuk mendapatkan informasi aktual sesuai dengan kebutuhannya dan juga setiap orang memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasinya melalui pers. Namun dengan demikian kebebasan dalam menyampaikan informasi yang dimilikinya harus mengikuti perundang-undangan yang berlaku, karena negara berkewajiban mengatur dan melindungi batasan-batasan hak dan kewajiban setiap warganya.

Sarana pers sebagai media informasi mencakup media cetak dan elektronik, baik yang berupa tulisan, gambar, maupun suara. Bukan hanya surat kabar yang dikatakan sebagai bagian dari pers tetapi tabloid dan majalah termasuk di dalamnya. Selain media informasi yang beredar di masyarakat umum, media informasi yang beredar di dalam kampus atau institusi pendidikan pun tergolong sebagai pers. Perbedaan lingkungan peredaran media tersebut, mempengaruhi corak pemberitaannya.

(16)

pada saat itu masih menggunakan bahasa daerah (seperti Jawa, Sunda,) dan bahasa asing (seperti Tionghoa dan Belanda). Sedangkan surat kabar berbahasa Indonesia jarang ditemui.

Surat kabar berbahasa Indonesia yang dimiliki oleh golongan pribumi pertama kali muncul pada tahun 1907 dengan nama Medan Prijaji.1 Pada awalnya, Medan Prijaji diterbitkan secara mingguan di Bandung, kemudian pada tahun 1910 diterbitkan secara harian di Jakarta. Medan Prijaji dikatakan sebagai pelopor pers Indonesia karena merupakan surat kabar Indonesia pertama yang berbahasa Indonesia sekaligus sebagai surat kabar nasional. Pernyataan itu didasarkan pada kepemilikan surat kabar oleh orang Indonesia, bukan keturunan Tionghoa maupun Belanda.

Pasca Medan Prijaji pada tahun 1942, beberapa surat kabar berbahasa Indonesia mulai bermunculan dan berada di bawah kontrol Jepang. Pada pertengahan tahun 1945 (setelah kepergian Jepang dari Indonesia) surat kabar itu baru dapat melepaskan diri dari kontrol Jepang.

Pasca proklamasi kemerdekaan yang bersamaan dengan kembalinya Belanda ke Indonesia, pers berperan sebagai media informasi bagi perjuangan pada masa itu.

1

(17)

Contohnya pada perjuangan secara diplomasi,2 pers berperan dalam menginformasikan hasil-hasil perundingan antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan pihak Belanda. Selain itu, pers juga berperan menyebarkan informasi tentang keberhasilan tentara Indonesia saat berperang melawan tentara Belanda dan Sekutu.3

Dari penjelasan paragraf di atas, menunjukkan bahwa ada dua strategi yang dipergunakan bangsa Indonesia dalam rangka mempertahankan kemerdekaannya, yakni pertama, perjuangan di meja perundingan (diplomasi); dan kedua, perjuangan di medan perang (perjuangan bersenjata).4 Keduanya menjadi strategi bagi bangsa Indonesia, yang saling mengisi satu dengan lainnya.

2

Contoh informasi yang diberikan pers mengenai diplomasi: ―Hari ini poekoel 5.30 sore naskah Linggadjati ditanda tangani di Djakarta. Empat boelan 10 hari naskah itoe mendjadi soeatoe rentjana perdjandjian jang hebat diperdebatkan di Nederland maoepoen di Indonesia jang diikoeti poela dengan saksama oleh seloeroeh

doenia‖. Sumber: ―Ditanda tangani!‖, Kedaulatan Rakyat, 25 Maret 1947.; Yukie H. Rushdie,dkk., (penyunting), Kedaulatan Rakyat dalam Tajuk Rencana: Setengah Abad Meniti Buih, (Yogyakarta: Yayasan Kubus Pustakama, 1995), hlm. 19-20.

3 Contoh informasi mengenai perjuangan bersenjata: ―…..

Dalam pada itoe kita akan menjelesaikan segala sesoeatoe dengan djalan damai. Tetapi djika ternjata bahwa oesaha itoe dilanggar dan diroesak dengan agressi, kita akan membalas dengan kekerasan poela. Kita telah tjoekoep sabar. Kita haroes menoendjoekkan bahwa kita tjoekoep koeat. Jang terpenting bagi kita boekannja menjelidiki apa arti agressi Belanda itoe tetapi memberantas dan membendoengnja, djangan sampai meradjalela

dimana2‖. Amanat yang disampaikan oleh Panglima Besar Dj. Soedirman, dimuat

dalam artikel: ―Memboelatkan tekad menggempoer Agressi Belanda: Tentara-Lasjkar

dibawah pimpinan Panglima Besar‖, Kedaulatan Rakyat, 7 Januari 1947.

4

(18)

Perjuangan dengan cara diplomasi, menjadi anjuran Soekarno.5 Dengan langkah itu, pengorbanan akan harta dan nyawa tidak akan besar. Pada strategi tersebut, Syahrir-Amir bertindak sebagai praktisinya. Strategi itu didasarkan atas pandangan yang pesimistis dan pada perimbangan kekuatan dunia serta kekuatan-kekuatan revolusi Indonesia. Kelemahan organisasi, militer, dan ideologi menguasai pikiran mereka yang memilih jalan Diplomasi. Bagi mereka, diplomasi dalam artian luas merupakan kunci bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia. Pemikiran tersebut menyebabkan munculnya rasa pengabdian terhadap segala sesuatu demi tercapainya penyelesaian konflik antara Indonesia dengan Belanda, yang dijamin oleh negara-negara besar.6

Strategi tersebut berbeda dengan jalan pikiran strategi perjuangan bersenjata. Strategi ini, berpangkal pada optimisme atas kekuatan nasional revolusioner dengan dukungan rakyat luas. Strategi perjuangan merupakan pertaruhan menghadapi geografi (alam atau sosial), kekacauan ideologi dan organisasi peninggalan Jepang,

5

Disebutkan bahwa Presiden Soekarno tetap teguh memegang pernyataan

―selama ada soal, maka jalan damai mesti dan akan kita tempuh, sebab bangsa Indonesia menyukai perdamaian‖. Sumber: A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi atau Bertempur, jilid 2, (Bandung: Angkasa, 1977), hlm. 165-166.

Dalam salah satu artikel di surat kabar pun dinyatakan bahwa, ―Kita tjinta akan

damai, tapi lebih tjinta akan kemerdekaan‖. Kalimat tersebut, merupakan perkataan

Soekarno yang dimuat di media cetak. Sumber: ―Revoloesi wadjib kita selesaikan dan

akan kita selesaikan: Kalau ada djalan damai kita ambil, kalau tidak kita akan teroes

djoega‖, Kedaulatan Rakyat, 6 September 1946.

6

(19)

kekurangan senjata dan kader yang terlatih. Dalam strategi ini, Tan Malaka dan Sudirman bertindak sebagai praktisinya.7

Turut andilnya pers dalam mempertahankan kemerdekaan RI, menunjukkan bahwa pers memiliki peran sebagai media informasi. Dengan pemberitaannya, pers menginformasikan keadaan yang terjadi saat itu. Cara ini cukup membantu perjuangan secara diplomasi maupun bersenjata, karena dengan memuat berita-berita mengenai perjuangan yang sedang dilakukan bangsa Indonesia, diyakini dapat mengobarkan semangat rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari pendudukan asing.8 Salah satu surat kabar pada masa revolusi di Yogyakarta adalah Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan Rakyat berperan sebagai surat kabar daerah yang memberitakan perjuangan-perjuangan rakyat Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

Kedaulatan Rakyat merupakan media perjuangan surat kabar pertama yang ada di Yogyakarta pasca proklamasi kemerdekaan 1945. Walaupun sebagai surat

7

Ibid. 8

(20)

kabar daerah, Kedaulatan Rakyat mampu menginformasikan segala peristiwa yang ada di Indonesia bahkan dunia.9

B. Batasan Masalah

Kedaulatan Rakyat terbit pada tanggal 27 September 1945, setelah Jepang meninggalkan Yogyakarta. Surat kabar itu merupakan surat kabar bahasa Indonesia yang tergolong tua. Kemunculan surat kabar ini terjadi karena kekosongan informasi setelah surat kabar bentukan Jepang disegel. Hal tersebut mendorong para pendiri Kedaulatan Rakyat untuk membentuk surat kabar baru yang dapat memenuhi kebutuhan Informasi masyarakat Yogyakarta.

Sejak Kedaulatan Rakyat terbit, berbagai peristiwa telah terjadi. Di antaranya terkait dengan pemindahan Ibukota RI ke Yogyakarta pada tahun 1946. Peristiwa lainnya yaitu, terjadinya Agresi Militer sebanyak dua kali, pada tahun 1947 dan 1948 serta perundingan RI-Belanda yang dilakukan sejak tahun 1946 hingga 1949. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan peristiwa krusial dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Periode inilah yang ditetapkan dalam penulisan skripsi ini.

Ada beberapa hal yang menjadi fokus permasalahan pada penulisan skripsi

berjudul ―Perjuangan Pers Pasca Proklamasi Kemerdekaan (1945-1950) di Yogyakarta, Studi Kasus: Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat‖, yaitu:

9

(21)

1. Perkembangan pers di Yogyakarta tahun 1942-1950

Pokok bahasan ini mengemukakan situasi Indonesia di masa kedatangan Jepang dan pasca kepergian Jepang. Masa Jepang menjadi gambaran situasi terakhir Indonesia sebelum menjadi negara yang merdeka lewat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di masa itu lahir surat kabar berbahasa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah. Setelah kepergian Jepang, surat kabar tersebut menjadi salah satu surat kabar daerah yang ada di Yogyakarta. Pokok bahasan ini akan dibatasi dari zaman Jepang hingga periode pusat pemerintahan RI berada di Yogyakarta.

2. Lahir dan berkembangnya Kedaulatan Rakyat tahun 1945-1950

Pada pembahasan ini dikemukakan perkembangan Kedaulatan Rakyat pada tahun 1945-1950. Untuk mengetahui awal mula lahirnya Kedaulatan Rakyat, pembahasan di awali dengan cikal bakal Kedaulatan Rakyat yang muncul pada tahun 1930. Surat kabar itu bernama Sedyo Tomo, yang di masa pendudukan Jepang dijadikan sebagai alat propaganda, dengan nama Sinar Matahari. Setelah Jepang meninggalkan Yogyakarta, surat kabar eks Jepang tersebut digunakan sebagai surat kabar Republikein10 yang dijalankan sepenuhnya oleh orang-orang Indonesia dengan nama Kedaulatan Rakyat.

10

(22)

3. Peranan dan kontribusi Kedaulatan Rakyat selama pemerintahan RI di Yogyakarta tahun 1946-1950

Pokok bahasan ini menunjukkan bagaimana pers berperan sebagai wadah diplomasi yang berjasa dalam mewujudkan kedaulatan RI. Di bagian ini pula, status Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar daerah, berubah menjadi surat kabar nasional saat ibukota RI di Yogyakarta, akan turut dikaji. Pembahasan dibatasi hingga saat perpindahan kembali pusat pemerintahan RI ke Jakarta.

C. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan pers di Yogyakarta pada tahun 1942-1950? 2. Bagaimana lahir dan berkembangnya Kedaulatan Rakyat pada tahun

1945-1950?

3. Bagaimana peran dan kontribusi Kedaulatan Rakyat selama pemerintahan RI di Yogyakarta pada tahun 1946-1950?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(23)

2. Mendeskripsikan Kedaulatan Rakyat, yang tumbuh dan berkembang menjadi surat kabar tertua di Yogyakarta berdasarkan eksistensinya sejak tahun 1945.

3. Mendeskripsikan peranan sekaligus kontribusi Kedaulatan Rakyat selama perjuangan kemerdekaan RI di Yogyakarta. Serta menjelaskan pentingnya pers sebagai media yang membantu diplomasi dan perjuangan bersenjata.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberi sumbangan penelitian sejarah dengan mengkaji peranan Kedaulatan Rakyat dalam mendukung perjuangan diplomasi pada masa pasca proklamasi (1945-1950). Dengan demikian, penulisan ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan dari informasi yang telah ada sebelumnya.

(24)

F. Kajian Pustaka

Demi mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini, akan dikemukakan beberapa karya yang pernah ditulis sebelumnya. Karya-karya itu salah satunya dalam bentuk skripsi. Skripsi-skripsi yang telah membahas tentang surat kabar Kedaulatan Rakyat, yaitu: Skripsi Thoha Masrukh Abdillah (mahasiswa Fakultas Adab IAIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1982), berjudul ―Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Sebagai Pembakar Semangat Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia Pada Masa Revolusi Fisik 1945-1950‖. Skripsi tersebut menjelaskan bagaimana Kedaulatan Rakyat sebagai sebuah surat kabar di Yogyakarta, turut mengobarkan semangat perjuangan pada masa revolusi fisik dan mengaitkannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam. Pada salah satu bab, juga dijelaskan mengenai struktur kepemimpinan dan perkembangan yang terjadi pada Kedaulatan Rakyat selama 1945-1950.

Skripsi yang lain ditulis oleh Arufaida, (mahasiswi Fakultas Sastra UGM,

(25)

Sumber-sumber pustaka lain yang pernah membahas tentang pers, diantaranya:

1. Buku Almanak Pers Indonesia 1954-1955, yang diterbitkan oleh Jajasan Lembaga Pers dan Pendapat Umum. Almanak tersebut membahas hal-hal yang terkait dengan pers, seperti perkembangan surat kabar di Indonesia, aturan-aturan pers, radio, periklanan, kantor berita, serta dilengkapi dengan diagram tentang pertumbuhan surat kabar di Indonesia. Hal penting yang didapatkan dalam almanak tersebut adalah penjelasan bahwa sejarah pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah pergerakan nasional, dan sejak permulaan abad ke-20, pers semakin jelas kedudukannya sebagai alat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada awal kemunculan pers di Indonesia, persoalan yang menjadi fokus pemberitaannya adalah mengenai soal politik sehingga persoalan lainnya seperti ekonomi, kurang menjadi daya tarik pers saat itu.11

2. Buku karya Oka Kusumayudha, dkk., berjudul Amanat Sejarah: Dari Pekik Merdeka Hingga Suara Hati Nurani Rakyat, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1996. Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati 50 tahun Kedaulatan Rakyat. Penggunaan buku ini cukup membantu untuk mencari tahu seluk beluk Kedaulatan Rakyat dan mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi harian itu sehingga dapat eksis

11

(26)

dalam dunia persuratkabaran. Pada buku ini, dijelaskan pertumbuhan harian pra Kedaulatan Rakyat, yang diawali dengan harian Sedio Tomo hingga Sinar Matahari. Pernyataan di dalam buku ini yang perlu digarisbawahi mengenai penyebutan Kedaulatan Rakyat sebagai harian tertua di Indonesia yang terhitung berdasarkan keberadaannya, yaitu 40 hari setelah proklamasi kemerdekaan sampai sekarang.12 Meskipun pada dasarnya harian ini bukan merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Kekurangan yang didapatkan dalam buku Amanat Sejarah: Dari Pekik Merdeka Hingga Suara Hati Nurani Rakyat, adalah pembahasannya yang terlalu kronologi dan kurang analitis. Hal ini dapat dipahami karena diterbitkannya buku ini untuk memperingati hari jadi Kedaulatan Rakyat. 3. Buku karya Abdurrachman Surjomihardjo, Hilman Adil, Atmakusumah,

A. B. Lapian, Leo Suryadinata, dan P. Swantoro, berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Secara umum, isi buku ini kurang lebih hampir sama dengan buku pers lainnya. Perbedaannya terdapat pada dominasi isi, yang sebagian besar dari pembahasannya lebih menyoroti persoalan aturan-aturan pers. Aturan itu kemudian digunakan untuk melihat kembali persoalan yang dialami oleh harian Indonesia Raya yang akhirnya dibreidel terkait pelanggaran yang dilakukannya— berdasarkan aturan-aturan pers yang diberlakukan. Dalam perkembangan

12

(27)

pers Indonesia selanjutnya, aturan-aturan ini merupakan sesuatu yang menakutkan bagi pers Indonesia karena telah menyebabkan beberapa surat kabar ditutup.

Kekurangan yang terdapat pada buku tersebut yaitu tidak terlalu jelas dalam membahas aturan-aturan pers yang ada, seperti dalam menjelaskan Persbreidel Ordonantie—masa pemberlakuan aturan ini dimulai pada tahun 1931-1954 tetapi gambaran mengenai surat kabar yang menjadi korban aturan ini tidak disinggungnya.

4. Buku karangan Sudarjo Tjokrosisworo, berjudul Kenangan Sekilas Sedjarah Perjuangan Pers Sebangsa, diterbitkan tahun 1959. Buku ini berisi hal-hal yang terkait dengan Serikat Perusahaan Surat kabar (SPS): sambutan-sambutan oleh sejumlah tokoh pers Indonesia mengenai latar belakang pendirian SPS, dukungan terhadap SPS yang hadirnya

diharapkan membawa ―angin segar‖ bagi perkembangan pers Indonesia, laporan-laporan sidang SPS, pers dan undang-undang yang berlaku sesuai dengan zamannya, penjelasan mengenai surat kabar yang ada di Jawa dan Sumatera.

Pada buku itu, ada sambutan singkat yang cukup menarik, ditulis oleh Sismadi Sostrosiswojo. Sambutan itu sebagai berikut:

(28)

dengan bom atoom, yang sangat berfaedah sekali bagi manusia apabila alat itu dipergunakan untuk maksud-maksud damai.13

Pernyataan Sismadi tersebut, secara tidak langsung ingin menunjukkan kedudukan pers yang begitu penting pengaruhnya bagi suatu negara, sehingga kekuatan lain perlu berhati-hati dengan kekuatan pers.

5. Sejarah Diplomasi Republik Indonesia: Dari Masa Ke Masa Periode 1945-1950, diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri RI di Jakarta, pada tahun 2004. Buku tersebut membahas front diplomasi dan perang yang menjadi bagian dari penulisan ini. Salah satu bagian dari buku tersebut mengatakan bahwa pada hakekatnya aspek diplomasi dan aspek perang adalah dua bentuk perjuangan yang sifatnya saling mengisi, satu tidak dapat dicapai tanpa yang lain. Ada diplomasi tetapi tidak ada perjuangan bersenjata, tidak ada artinya. Begitupun sebaliknya, perjuangan bersenjata tanpa diplomasi tidak akan menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia dalam arti seutuhnya.14

6. Buku Rosihan Anwar, berjudul Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985. Buku tersebut berisikan sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencakup peristiwa tiga zaman, yaitu pada zaman Hindia Belanda, Jepang dan pasca Proklamasi (RI). Peristiwa yang ia tulis didasarkan pada perjalanannya, yang saat itu

13

Sudarjo Tjokrosisworo, Op.cit., hlm. 40.

14

(29)

telah menjadi seorang wartawan. Sebagian besar peristiwa pada tahun 1945-1950, berlokasi di Yogyakarta (saat itu menjadi Ibukota RI sementara).

Buku tersebut menunjukkan peranan wartawan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, sangat besar, dan keberadaan pers, sangat diperlukan oleh para pejuang perang Indonesia saat itu sebagai partner -nya dalam mempertahankan kemerdekaan RI.

7. Otobiografi Rosihan Anwar, berjudul Menulis Dalam Air: Sebuah Otobiografi. Buku tersebut berisikan riwayat hidup Rosihan Anwar, terdiri dari tiga bagian: pertama berisikan ajaran dan pembentukan; kedua, koran dan pengalaman; ketiga, nilai-nilai dan pengharapan. Pada bagian kedua, dikatakan bahwa pers Indonesia, tidak memiliki kebebasan, hidup dalam tekanan-tekanan yang dikemudian waktu mengakibatkan surat kabar yang dinilai tidak patuh harus mengakhiri produktivitasnya (dibreidel). Tekanan demi tekanan yang dialami, membuat pers yang bebas dan bertanggung jawab, tidak dapat bertahan hidup. Idealisme seperti itu terganti oleh pers yang tidak bebas dan tidak melaksanakan tanggung jawabnya.15 Dengan adanya otobiografi ini, semakin memperjelas peranan seorang Rosihan dalam dunia pers yang telah ia

15

(30)

geluti sejak berusia 22 tahun, ditambah dengan pengalamannya sebagai seorang wartawan tiga zaman.

Meskipun telah banyak buku-buku yang membahas pers Indonesia, tetapi tidak banyak yang memfokuskannya pada pers daerah sehingga informasi mengenai pers daerah sangat kurang. Hal tersebut yang mendasari penulisan ini.

G. Landasan Teori

Skripsi ini akan membahas peranan pers. Pers dalam skripsi ini diartikan sebagai surat kabar. Hal ini mengacu pada kamus Bahasa Indonesia,16 di mana pers diartikan: 1) usaha percetakan dan penerbitan, 2) usaha pengumpulan dan penyiaran berita, 3) penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio, 4) orang yang bergerak dalam penyiaran berita, 5) medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film.

Peranan pers17 yang dimaksudkan adalah dalam hal mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di samping adanya strategi perjuangan secara diplomasi dan

16

Sumber: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 675.

17

(31)

perjuangan bersenjata, pers juga dikatakan berjasa dalam mewujudkan kedaulatan Indonesia. Seperti pendapat yang dikemukakan Harold Crouch, yang menyatakan bahwa: ―Tanpa diplomasi, para pejuang tidak akan dapat menang, akan tetapi tanpa perjuangan, diplomat-diplomat tidak akan mempunyai suara yang meyakinkan.‖18 Kepopuleran dua strategi perjuangan tersebut (diplomasi dan perjuangan bersenjata) dapat dikarenakan perannya yang dianggap pokok dibandingkan dengan pers.

Meskipun kedaulatan Indonesia terwujud berkat peran yang dijalani oleh strategi diplomasi, adanya pers cukup penting dan turut andil dalam diplomasi yang dilakukan oleh RI-Belanda. Andil pers terlihat pada saat menginformasikan kepada masyarakat umum, tentang diplomasi dan perjuangan bersenjata yang sedang dilancarkan bangsa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat mengetahui apa yang sedang terjadi di Indonesia dan bagaimana mereka harus mensikapi keadaan ini.19

Konflik yang terjadi antara RI-Belanda, jika didasarkan pada pandangan Andrew Arno, disebabkan oleh komunikasi. Komunikasi yang terjadi di dalam konflik dapat menyebabkan dua kemungkinan, yaitu konflik menjadi semakin intensif atau konflik menjadi reda. Media massa berperan dalam menyelesaikan konflik, sekaligus konflik ini menjadi berita bagi media massa. Dari media massa, masyarakat

18

Baca: Colin Wild dan Peter Carey, Op.cit, hlm. 150-151.

19

(32)

mendapatkan informasi mengenai konflik tersebut dan secara tidak langsung media massa menjadi sasaran opini publik.20

Pendapat Arno tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut: komunikasi di depan meja perundingan (diplomasi) tidak tercapai, Belanda kemudian melancarkan perang. Perang tersebut berupa Agresi Militer Belanda I dan II (merupakan konflik antara RI dan Belanda). Pers yang ada di Yogyakarta bertindak sebagai media penyampai informasi dan konflik itu menjadi berita bagi surat kabar.

Sebagaimana yang telah disebutkan di depan, pers, merupakan bagian dari media massa.21 Media massa digolongkan menjadi dua, yaitu media elektronik dan media cetak. Media elektronik terdiri dari film, radio dan televisi. Sedangkan media cetak—disebut Pers, terdiri dari surat kabar, majalah, tabloid, dsb.22 Meskipun bentuk penyajian informasinya tidak sama tetapi berfungsi sebagai sarana atau alat Kumpulan Karangan, (Jakarta: tp, 1992), hlm. 197; Ignatius Haryanto, Op.cit., hlm. 242.

22

(33)

komunikasi untuk menyebarkan berita atau pesan kepada masyarakat secara luas. Beragam informasi tentang bidang kehidupan manusia, dimuat di dalamnya, mulai dari bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dsb.

Pers merupakan hasil dari kebudayaan23 yang lahir setelah terjadinya komunikasi antar manusia. Komunikasi yang tidak selalu bisa mengandalkan pertemuan secara langsung, mendorong manusia menggunakan media penghubung. Media yang diciptakan adalah media massa, segala informasi yang dibutuhkan dimuat di dalamnya dengan maksud untuk menciptakan komunikasi secara tidak langsung antara media dan si penerima informasi itu (resipien). Pers adalah hasil dari komunikasi antar manusia tersebut. Dan dalam perkembangan selanjutnya, media elektronik muncul sebagai bagian dari hasil budaya manusia dalam konteks media massa.

Berdasarkan definisi Charles Cooley,24 komunikasi adalah mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antar manusia dan yang mengembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan sarana untuk menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini mencakup wajah, sikap dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, telegrap, telepon, dan apa saja yang merupakan penemuan mutakhir untuk menguasai ruang dan waktu. Komunikasi pun akan

23

Kebudayaan sering diartikan sebagai hasil cipta, karsa dan rasa manusia, sedangkan budaya merupakan daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1974), hlm. 80.

24

(34)

mengalami suatu proses yang dinamakan proses komunikasi. Proses komunikasi adalah penyampaian pesan kepada umum. Proses itu terdiri dari unsur-unsur:

1. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan. 2. Pesan, ide, informasi, opini, dsb.

3. Saluran (channel, media), yaitu alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan.

4. Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan.

5. Efek, yaitu pengaruh atau akibat dari kegiatan komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.

Sukses tidaknya suatu komunikasi tergantung dari efek kegiatan komunikasi itu. Dari unsur-unsur proses komunikasi yang dipaparkan Cooley di atas, dapat disimpulkan bahwa pers yang berkedudukan sebagai media atau saluran yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan, memiliki pengaruh. Dan pengaruh pers tidak hanya berimbas pada informasi apa yang telah diberitakannya tetapi juga kepada komunikan yang mengetahui informasi dari pers itu. Di sini lah, penilaian terhadap pengaruh pers yang dapat mengukuhkan pers sebagai alat perjuangan yang juga penting peranannya dalam perjuangan kemerdekaan RI tahun 1945-1950 selain diplomasi dan perjuangan bersenjata.

(35)

masyarakat dan pemerintah—hubungan triangle,25 yaitu berupa hubungan yang menguntungkan antara satu dengan yang lain. Menguntungkan karena yang satu berperan sebagai pemberi informasi/pesan dan yang lain sebagai penerima informasi/pesan. Dengan kata lain memiliki hubungan yang fungsional.26

Hubungan antara pers dan pemerintah, dapat mempengaruhi hubungan pers dan masyarakat, serta hubungan masyarakat dengan pemerintah.27 Pandangan tersebut, menyerupai pendapat Rosihan Anwar terhadap pers yang mengatakan bahwa pers setaraf dan sama derajatnya dengan pemerintah, parlemen dan peradilan. Pers merupakan sebuah lembaga politik yang mempunyai haknya sendiri dan terikat erat dengan semua lembaga pemerintah. Pers mempengaruhi lembaga-lembaga tersebut dan pada gilirannya pers dipengaruhi oleh mereka.28 Menurut Rosihan juga, cita-cita pers terdahulu adalah menggerakkan para putra Indonesia menjadi wartawan di zaman pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka serta di masa memperjuangkan dan menegakkan Republik terhadap serangan kaum kolonialis dan imperialisme.29

25

Jakob Oetama, Op.cit., hlm. 53.

26

Ibid., hlm. 92.

27

Ibid., hlm. 58.

28

Rosihan Anwar, 1983, Op.cit., hlm. 266.

29

(36)

Pandangan Rosihan Anwar tersebut, akan menjadi dasar untuk menjelaskan seberapa besar dan pentingnya pers pasca proklamasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, selain adanya strategidiplomasi dan perjuangan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dilakukan terhadap sumber primer dan sekunder, yang diharapkan dapat membantu mempelajari fakta-fakta lain yang ada. Sumber-sumber primer yang dimaksudkan adalah surat kabar yang berupa mikrofilm, meliputi: Kedaulatan Rakyat (1945-1950), SKH Al-Djihad, SKH Boeroeh, SKH Nasional, dan SKH Sinar Matahari. Dengan batasan tahun 1945-1950 atau dimulai pada tahun pertama koran itu lahir. Di samping itu, adapula arsip (dokumen tertulis), notulen konferensi pimpinan umum surat kabar seluruh Indonesia. Sedangkan sumber-sumber sekunder berupa pustaka yang telah ada sebelumnya dan dilakukan dengan menyelidiki sumber primer yang dimiliki.

Mengenai sumber pustaka, dilakukan pencarian di Kantor Arsip Nasional Jakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional di Yogyakarta, serta perpustakaan lainnya yang ada di Yogyakarta.

(37)

2. Pengumpulan sumber (heuristik), mengumpulkan sumber-sumber data baik yang bersifat primer maupun sekunder.;

3. Kritik sumber, yang bertujuan untuk mengetahui ke-otentik-an dan kredibilitas sumber. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui validitas data yang diperoleh dari buku acuan dan wawancara dengan informan maupun narasumber yang ada. Di samping itu, dapat membandingkan data yang diperoleh untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya;

4. Interpretasi data, dilakukan dengan cara menganalisis sumber. Dengan melakukan langkah ini, dapat menghindari subyektifitas terhadap sumber pustaka, informan ataupun narasumber;

5. Historiografi atau penulisan skripsi, merupakan metode terakhir dalam penelitian. Pada tahap ini, disajikan data dalam bentuk pendeskripsian obyek-obyek yang menjadi fokus dalam penulisan ini dan permasalahan yang diajukan mulai dikaji di dalamnya.

I. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:

(38)

Bab II, membahas perkembangan pers di Yogyakarta pada tahun 1942-1950. Hal-hal yang akan dikemukakan antara lain: faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya pers di Yogyakarta, serta strategi perjuangan secara diplomasi dan bersenjata dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Bab III, membahas lahir dan berkembangnya Kedaulatan Rakyat pada tahun 1945-1950. Hal-hal yang dikemukakan antara lain: cikal bakal Kedaulatan Rakyat hingga menjadi Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 September 1945, dilanjutkan pembahasan mengenai perkembangan Kedaulatan Rakyat pada masa 1945-1950.

Bab IV, membahas peran dan kontribusi Kedaulatan Rakyat selama pemerintahan RI di Yogyakarta pada tahun 1946-1950.

(39)

25

Bab ini membahas perkembangan pers di Yogyakarta, tahun 1942-1950. Pembahasan pertama mengenai kedatangan dan pendudukan Jepang di Indonesia. Kedua, mengenai kehadiran surat kabar yang menjadi media penting dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Kehadiran pers dihubungkan dengan tiga peristiwa besar yang terjadi di Yogyakarta. Peristiwa tersebut adalah perpindahan Ibukota RI untuk sementara ke Yogyakarta serta Agresi Militer Belanda pertama dan kedua. Pada bagian akhir bab ini, dipaparkan kesimpulan dari keseluruhan isi bab dua.

A. Indonesia masa pendudukan Jepang

(40)

Timur, bahkan dikatakan sebagai Kepulauan Melayu.1 Penambahan kata Belanda, berdasarkan negara yang menjajah negeri ini.

Pemberian nama Indonesia berawal dari George Samuel Windsor Earl (1850), yang menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya, ia menegaskan bahwa tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu, memiliki nama khas. Hal ini dikarenakan, nama Hindia sering menimbulkan kerancuan dengan penyebutan India yang lain. Lalu diajukanlah nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Malayunesia (Kepulauan Melayu), dianggap merupakan nama yang tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Di samping itu, Indonesia menggunakan bahasa Melayu sehingga cukup tepat menggunakan nama Malayunesia.2

Pendapat itu berbeda dengan pendapat James Richardson Logan yang menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago, ia menggunakan nama Indunesia— yang sebelumnya telah diajukan oleh Earl—karena menurutnya Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan. Diambillah nama Indunesia dengan mengganti

vocal ―u‖ dengan ―o‖, yang dirasa pengucapannya jauh lebih baik. Untuk pertama

kalinya kata Indonesia muncul di dunia dalam tulisan Logan:

1 Tulisan: Irfan Anshory (Direktur Pendidikan Ganesha Operation), ―

Asal Usul Nama Indonesia‖, http://klipingartikel.blogspot.com/2007/12/tentang-indonesia.html

.

Data diakses pada tanggal 15 November 2009.

2

(41)

Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago.3

Pada akhirnya, Logan disebut sebagai pencipta nama Indonesia.4 Penggunaan nama ini, secara de jure baru dimulai pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Berikut penggunaan kata Indonesia yang terdapat dalam isi Sumpah Pemuda: Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia; Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; Kami Putra dan Putri Indonesia menjujung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Secara de facto, penggunaan nama Indonesia telah digunakan tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda (tahun 1925). Nama itu dipakai oleh organisasi politik yang dibentuk mahasiswa Indonesia yang ada di Belanda. Organisasi tersebut bernama Perhimpunan Indonesia. Pembentukan organisasi ini, sebagai ujud usaha untuk memberikan identitas nasionalis di luar negeri.5

3

Ibid, hlm. 254.

4 Logan kemudian secara konsisten menggunakan nama ―Indonesia‖

dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884, guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel, terdiri dari lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika ke Indonesia, pada tahun 1864-1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah Indonesia, ciptaan Bastian. Padahal Bastian mengambil istilah itu dari tulisan Logan. Sumber: Ibid.

5

(42)

Meskipun telah memiliki nama baru (Indonesia), pemakaian nama Indonesia belum diijinkan oleh pemerintahan Belanda, dan setelah kekuasaan Belanda berakhir kemudian digantikan oleh Jepang, tepatnya sejak 8 Maret 1942, penyebutan nama Indonesia mulai bebas diterapkan.6

Kedatangan Jepang ke Indonesia tidak terlepas dari konteks perang dunia ke-2. Dengan tujuan untuk menghadapi kekuatan sekutu, Jepang memperluas cakupan wilayah kekuasaannya ke lingkup Asia. Indonesia menjadi salah satu negara tujuannya. Alasan Jepang ke Indonesia, didasari oleh keinginan untuk menanamkan pengaruh di Indonesia. Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa Jepang adalah saudara tua bangsa kita.7 Alasan lain yang mendasari kedatangan Jepang adalah untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dibutuhkan oleh industri yang sedang berkembang di negerinya. Demi melancarkan keinginan tersebut, Jepang membawa misi menyelamatkan Indonesia dari kolonialisasi Belanda.

Misi sebagai penolong yang digembar-gemborkan Jepang, membuat rakyat Indonesia menerima Jepang dengan baik. Tanpa curiga bahwa itu merupakan salah satu bentuk propaganda terselubung Jepang. Ramalan Jayabaya pun dimanfaatkan

6

Ibid; Sagimun, M.D., Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), hlm. 25.

7

(43)

Jepang sebelum memasuki wilayah Indonesia.8 Dengan begitu, kedatangannya tidak akan disambut dengan perlawanan dari bangsa Indonesia.

Propaganda lain yang dilakukan Jepang adalah menciptakan gerakan Tiga A: Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia. Namun karena dianggap tidak membuahkan hasil, gerakan ini kemudian diganti dengan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Pembentukan PUTERA, dengan tokoh empat serangkai, Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur, cukup menguntungkan Indonesia. Karena adanya organisasi ini, mendorong para tokoh empat serangkai untuk menyusun kekuatan menciptakan kemerdekaan.9

Di samping melakukan propaganda dengan membentuk organisasi, Jepang juga menerbitkan surat kabar baru sebagai alat propagandanya ke masyarakat Indonesia, melalui berita-berita yang terdapat dalam surat kabarnya. Surat kabar tersebut menggantikan surat kabar masa penjajahan Belanda dan hadir dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Penjajahan Jepang yang berakhir tahun 1945 tidak hanya menimbulkan akibat negatif, ada hal positif yang kita dapat selama kurang lebih 3 tahun pendudukannya, salah satunya yaitu penggunaan bahasa Indonesia yang mulai diterapkan. Hal tersebut menunjukkan adanya kebebasan yang diberikan Jepang bagi daerah jajahannya.10

8

Sagimun, M.D., Loc.cit.

9

Setelah PUTERA, masih ada organisasi bentukan Jepang lainnya yang diciptakan untuk membentuk pasukan perang Jepang melawan Sekutu.

10

(44)

Sedangkan hal negatif dari pendudukan Jepang, adalah kurang menghargai harkat manusia dengan menciptakan Romusha.

Romusha menjadikan rakyat Indonesia sebagai pekerja Jepang untuk membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga tenaga kerja ini diambil dari penduduk Jawa yang cukup padat. Kekalahan Jepang pada Perang Pasifik menyebabkan Romusha tersebut digunakan sebagai tenaga swasembada untuk mendukung perang secara langsung. Pada setiap angkatan perang Jepang membutuhkan tenaga dan Romusha tersebut dilibatkan untuk mengefisiensikan biaya perang Jepang dalam perang melawan Sekutu yang masih terjadi hingga 15 Agustus 1945 (berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu).

Para Romusha yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa tersebut, dipekerjakan tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Pulau Jawa bahkan di luar Indonesia. Janji akan dibayar dengan harga tinggi menjadi alasan orang Indonesia memilih sebagai budak Jepang. Selain gaji yang tinggi, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Bagi sebagian orang Indonesia, hal inilah yang terpenting saat itu, menjadi

(45)

bangsa yang terlepas dari penjajahan bangsa asing sehingga ada diantara mereka yang dengan sukarela menjadi Romusha.11

Akhir dari masa penjajahan Jepang menjadi titik tolak lahirnya kemerdekaan yang diinginkan rakyat Indonesia. Kemerdekaan itu dinyatakan dengan pembacaan naskah proklamasi oleh Soekarno-Hatta, tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta. Naskah itu, sekurang-kurangnya memuat dua hal, yaitu pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia sekaligus hendak menunjukkan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia telah merdeka.

Perlu diketahui bahwa meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan, bayang-bayang bangsa asing masih tetap ada di sekitarnya. Ini terkait dengan kembalinya Belanda ke Indonesia. Belanda menganggap bahwa dengan menyerahnya Jepang, berarti pengembalian daerah-daerah koloni yang sempat direbut Jepang dari bangsa barat. Oleh karena itu, Belanda berhak memerintah koloni-koloninya terdahulu. Pada bagian lain dari tulisan ini, akan ditunjukkan strategi yang diupayakan Indonesia untuk melenyapkan dominasi asing.

11

(46)

B. Yogyakarta sebagai Pusat Pemerintahan

―Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan

peri kemanusiaan dan peri keadilan.‖ Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara tidak langsung telah menunjukkan keinginan luhur bangsa Indonesia untuk tidak dijajah dan bisa hidup merdeka tanpa ada kekuatan asing yang mencampuri.

Kembalinya Belanda ke Indonesia, mengakibatkan ibu kota RI berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dasar pemilihan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara RI, bisa dilihat dari berbagai segi. Seperti halnya pendapat Ki Hadjar Dewantoro bahwa

Pemilihan Jogjakarta sebagai Ibu kota Republik sudah tepat sekali, dan ini dapat dihubungkan dengan factor2 politis, strategis, ekonomis, psychologis dan kultureel, djuga mystis.12

Yogyakarta dianggap memenuhi syarat untuk menjadi ibu kota Indonesia, setidaknya untuk sementara waktu. Sedangkan Jakarta menurut Ki Hadjar, ―dipandang dari sudut psychologis dan mystis, maka njatalah Djakarta itu kota tachtanja Jan Pieterszoon

Coen dan turunannja‖.13

Berbeda dengan pandangan Mr. Ali Sastroamidjojo yang berpidato di depan corong RRI Yogyakarta, mengatakan bahwa alasan kepindahan itu dikarenakan ―kota Jakarta yang pada masa ini makin lama makin tidak aman buat rakyat Indonesia umumnya dan buat pemimpin negara khususnya. Hal ini terkait dengan percobaan pembunuhan terhadap P.M Sjahrir dan Mr. Sjarifuddin. Akan tetapi, sebetulnya lebih

12

Sumber: ―So’al Ibu-Kota Negara Kesatuan‖, Nasional, 20 Juni 1950.

13

(47)

pentinglah alasan kedua yaitu untuk memindahkan sementara kedudukan Pemerintah Agung‖.14

Alasan lain mengapa Yogyakarta dijadikan sebagai ibu kota sementara Republik Indonesia, terkait dengan dukungan Sultan Hamengku Buwono IX terhadap berdirinya negara Republik Indonesia. Dukungan tersebut tertuang dalam pidato Sultan tanggal 5 September 1945 yang inti pokoknya menyatakan bahwa Negeri Yogyakarta Hadiningrat adalah sebagai bagian dari Republik Indonesia. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Sri Paku Alam VIII yang menyatakan bahwa wilayah Pakualaman adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan negara Republik Indonesia di bawah presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta.

Adanya pernyataan pimpinan Yogyakarta itu, yang kemudian membuat Yogyakarta dinyatakan sebagai wilayah pertama yang mengakui diri sebagai bagian dari RI.15 Dan dikemudian hari, hal ini menjadi alasan logis bagi pernyataan yang

dikemukakan oleh Presiden Soekarno, bahwa ‖Djokjakarta menjadi termasjhur oleh karena djiwa-kemerdekaannja. Hidupkanlah–terus djiwa–kemerdekaan itu!‖16 Pernyataan Sukarno tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat

14

Baca: Purnawan Tjondronegoro, Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku, (Jakarta: Yayasan Sinar Harapan, 1980), hlm. 42.

15

Baca: Badan Musyawarah MUSEA, Sejarah Perjuangan: Yogya Benteng Proklamasi, (Jakarta: Badan Musyawarah MUSEA Daerah Istimewa Yogya Perwakilan Jakarta, 1985), hlm. 20.

16

(48)

Yogyakarta terlibat aktif dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Konflik antara Indonesia-Belanda, melahirkan berbagai peristiwa besar di antaranya Agresi Militer Belanda pertama dan kedua. Dari kedua peristiwa tersebut, menunjukkan bahwa setiap pertempuran yang terjadi, selain merupakan strategi militer Belanda, secara garis besar disebabkan oleh kurangnya komunikasi. Komunikasi antar kedua belah pihak yang tidak melahirkan kesepakatan menyebabkan pertempuran dipilih sebagai langkah penyelesaian.

Berikut, gambaran Agresi yang dilancarkan Belanda:

1. Agresi Militer Belanda Pertama

Secara kebahasaan, agresi diartikan sebagai penyerangan suatu negara kepada negara lain. Pelaku penyerangan biasanya disebut sebagai agresor. Agresi dapat terjadi akibat dari kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Tindakannya pun dapat berupa penyerangan fisik maupun psikis.17

Agresi pertama ini merupakan bentuk kegagalan hubungan diplomasi yang coba dijalankan melalui perundingan Linggajati tanggal 15 November 1946 dan ditandatangani tanggal 25 Maret 1947. Pelaksanaan perundingan ini dimaksudkan untuk mengakhiri persengketaan wilayah antara Indonesia dan Belanda. Pasal-pasal

17

(49)

penting yang diajukan dalam perundingan tersebut antara lain:18 Pasal 1; Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah RI atas Jawa, Madura dan Sumatra. Daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur dan dengan kerja sama kedua pihak akan dimasukkan ke dalam daerah RI. Pasal 2; Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI akan bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi wilayah Hindia-Belanda sebagai negara berdaulat, dengan mengingat cara-cara yang demokratis dan hak menentukan nasib sendiri.19 Kedua hal yang diajukan di atas, merupakan wujud eksistensi RI.

Perwujudan eksistensi RI itu, seperti halnya pernyataan Bronislaw Malinowski, yang berpendapat bahwa manusia di mana-mana memiliki kebutuhan bersama dan tugas dari kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut.20 Jika mengambil contoh dari perwujudan eksistensi itu, yang dapat kita tarik kebenarannya adalah bangsa RI memiliki sebuah kebutuhan yaitu kebutuhan akan hidup merdeka, bebas dari pendudukan bangsa asing di wilayahnya. Demi kemerdekaan, pemerintah RI menggunakan strategi yang dirasa mampu memenuhi kebutuhannya itu. Strategi tersebut meliputi diplomasi dan perjuangan bersenjata yang dibantu dengan media massa (pers).

18

Baca: ―Naskah Resmi: Rentjana Persetoedjoean Nederland-Indonesia,‖ Boeroeh, 18 November 1946.

19

G. Moedjanto, Op.cit., hal. 181-182.

20

(50)

Strategi secara diplomasi yang pertama (Perundingan Linggajati) gagal dan sebab kegagalan itu adalah tidak adanya konsistensi pihak Belanda dalam menjalankan isi perjanjian. Segala tuntutan terhadap RI dilancarkan akan tetapi sikap timbal balik tidak diperlihatkan oleh Belanda sehingga mendorong terjadinya sikap tarik ulur di antara mereka. Puncaknya pada 21 Juli 1947, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat dan perjanjian itu tidak mampu membebaskan bangsa Indonesia dari kolonialisme.

Setiap tindakan yang dilakukan Belanda, pasti memiliki maksud atau tujuan yang telah direncanakan jauh hari sebelum melakukan penyerangan. Dan tujuan yang melatarbelakangi diadakan agresi I adalah keinginan Belanda untuk menghancurkan RI. Guna mewujudkan tujuannya tersebut, Belanda membaginya ke dalam beberapa fase, yaitu:21

i. Politik : pengepungan ibukota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI);

ii. Ekonomi : perebutan daerah-daerah penghasil bahan makanan, bahan eksport dan pertambangan.

iii. Militer : penghancuran TNI.

Agresi Militer I yang dilancarkan Belanda menimbulkan reaksi keras seluruh dunia yang dengan tegas menentang hal ini. Dewan Keamanan turut dilibatkan untuk mengambil tindakan terhadap usaha yang akan mengancam perdamaian dunia.

21

(51)

Langkah yang ditempuh, melalui jalur diplomasi yang diadakan di atas sebuah kapal Amerika, USS Renville. Perundingan tersebut kemudian dikenal dengan nama perundingan Renville yang diselenggarakan pada 8 Desember 1947.

Alasan RI menerima persetujuan ini, dikarenakan: persediaan amunisi yang menipis; adanya kepastian dari pihak Belanda, akan ada serangan baru yang lebih hebat jika perundingan ini ditolak dan tidak ada jaminan dari DK-PBB untuk menolong disaat situasi yang seperti itu. Perundingan tersebut melahirkan beberapa pasal-pasal kesepakatan, yang terdiri atas:

 10 pasal persetujuan gencatan senjata  12 pasal prinsip politik, dan

 6 pasal prinsip-prinsip tambahan dari KTN.

Diplomasi yang dilakukan pra dan pasca agresi I oleh pemerintah RI-Belanda menunjukkan bahwa persengketaan diharapkan dapat diselesaikan dengan jalan damai agar tidak menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Namun peperangan juga akan ditempuh bila diplomasi tidak dapat menyelesaikan persengketaan. Dalam pidato radionya, Hatta menyampaikan bahwa:22

Diplomasi kita ujudnya menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita ingin damai, tetapi kita juga bersedia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita peroleh …. untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya dengan diplomasi, perlulah ada gerakan yang kuat dalam negeri yang menjadi sendi tindakan diplomasi itu. Jadinya, tenaga perjuangan yang kuat perlu sekali untuk menyokong usaha diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah

22

(52)

Penyebarluasan pidato tersebut, menunjukkan peran media komunikasi dalam membantu strategi perjuangan yang ada.

2. Agresi Militer Belanda Kedua

Serangan Belanda kedua pada tanggal 19 Desember 1948 merupakan wujud ketidakpuasan terhadap hasil perundingan Renville. Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan sementara RI, dijadikan target pendudukan oleh Belanda. Dengan menduduki Yogyakarta, Belanda yakin dapat mematahkan kekuasaan Soekarno serta dapat menangkap Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh RI lainnya. Bila target penangkapan itu tercapai, kekuatan RI akan musnah. Itulah penggambaran Belanda terhadap kekuatan RI yang dipandang kecil.23

Pada kenyataannya, gambaran Belanda terhadap keadaan Yogyakarta pun terwujud. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta melalui lapangan udara Maguwo. Kemudian bergerak menuju pusat kota (Gedung Agung), untuk mendatangi Soekarno-Hatta serta para anggota kabinet. Para pemimpin pemerintahan itu pun ditawan oleh Belanda dengan diasingkan ke Bangka. Penawanan tersebut dilakukan karena Soekarno dan pengikutnya tidak mau menyingkir dari wilayah pendudukan Belanda (berdasarkan Garis van Mook). Keadaan itu, menjadi alasan bagi Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera sesuai mandat Presiden Soekarno.

23

(53)

Adanya penawanan terhadap kepala pemerintahan, mengakibatkan terjadinya kekosongan kekuasaan RI di pusat pemerintahannya di Yogyakarta.24 Akan tetapi hal ini tidak mematahkan semangat juang para pahlawan kemerdekaan. Perlawanan terus dilakukan demi memperjuangkan kedaulatan RI, dengan menggunakan taktik perang gerilya. Taktik seperti itu cukup dapat mengaburkan kekuatan RI yang sebenarnya jauh lebih kecil daripada kekuatan Belanda. Selama enam bulan, Yogyakarta berada dalam masa pendudukan Belanda dan situasi dalam kota pun tidak pernah sepi dari suara tembakan antara pihak RI dan Belanda.

Agresi Belanda yang kedua ini, semakin menutup akses Indonesia dalam berhubungan dengan dunia luar. Segala media yang dapat menyebarkan informasi mengenai keadaan Indonesia ditutup. Informasi hanya didapat dari siaran radio yang dilakukan secara diam-diam dan berpindah-pindah lokasi (radio gerilya), dari kampung hingga masuk pegunungan. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari musuh yang berniat menghentikan siaran propaganda RI. Siaran seperti ini berlangsung hingga ada peringatan gencatan senjata.

24

(54)

Penyerangan kedua yang dilakukan Belanda, berakhir berkat peran serta Dewan Keamanan PBB yang mendesak untuk diadakan kesepakatan damai melalui perundingan Roem Royen tanggal 14 April 1949. Dan perundingan tersebut menjadi kesepakatan terakhir yang ditempuh sebelum diadakannya Konferensi Meja Bundar.

C. Lahirnya Surat Kabar di Yogyakarta Tahun 1942-1950

Dalam negara demokrasi, pers menjadi pilar keempat dari sistem demokrasi selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif atau yang dikenal dengan sebutan the fourth estate. Dengan pers sebagai pilar keempat dari sistem demokrasi, menunjukkan bahwa kedudukan pers cukup penting sehingga pers berperan dalam jalannya suatu pemerintahan. Setiap negara memiliki pers yang berperan dalam menginformasikan kabar terbaru yang terjadi di sekitar kehidupan masyarakat. Seorang penulis asal Amerika, Mark Twain pun mengatakan bahwa:

There are only two things, which can throw light upon things here on earth. Two things, one is the sun in heaven, and the second one is the press on earth.

Hanya ada dua hal yang dapat membuat segala sesuatunya terang di muka bumi ini. Pertama adalah matahari di langit dan yang kedua adalah pers di dunia.25

Pernyataan Mark Twain tersebut menunjukkan bahwa keberadaan pers begitu penting. Terlebih bagi negara yang sedang berkembang, karena negara tersebut memerlukan publikasi untuk menunjukkan kepada negara lain bahwa negara itu ada. Hal ini pernah terjadi di Indonesia saat berada dalam suasana kemerdekaan.

25

(55)

Keberadaan pers, membantu pemerintah dalam menunjukkan kepada dunia luar bahwa telah muncul sebuah negara baru yang diwujudkan melalui Proklamasi Kemerdekaan RI.

Bila membahas perkembangan pers Indonesia tahun 1942-1950, mengingatkan kembali keadaan pers Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Keadaan pers yang ada tidak jauh berbeda dengan masa pendudukan Belanda, penuh dengan aturan-aturan. Di masa pendudukan Jepang, para wartawan Indonesia juga sulit menyuarakan pikirannya, dikarenakan oleh penindasan dan penekanan secara langsung dari negara fasis itu. Semua surat kabar di Indonesia pun ditutup, hanya surat kabar bentukan Jepang yang boleh terbit sebagai surat kabar propagandanya.

Berbagai pengawasan dilakukan terhadap surat kabar Jepang, dengan tujuan agar tidak dimanfaatkan oleh orang Indonesia (yang menjadi pegawainya) sehingga hal ini dapat menutup kemungkinan terjadinya penyerangan terhadap Jepang dari dalam. Surat kabar Jepang itu tersebar di berbagai kota di Indonesia, di antaranya Soeara Asia di Surabaya; Sinar Baroe di Semarang; Sinar Matahari di Yogyakarta; Tjahaja di Bandung; dan Asia Raja di Jakarta.

(56)

Berdasarkan sumber yang didapatkan oleh penulis, dicantumkan bahwa surat kabar Indonesia pertama pasca proklamasi kemerdekaan adalah Berita Indonesia yang terbit di Jakarta, tanggal 6 September 1945. Padahal, menurut terbitan pertama Berita Indonesia, tercantum edisi pertamanya adalah pada tanggal 29 September 1945. Oleh karena itu, Berita Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai surat kabar tertua pasca proklamasi kemerdekaan, melainkan disebut sebagai surat kabar yang hadir di ibu kota negara.26 Surat kabar ini dapat dibaca oleh penduduk di wilayah manapun. Berbeda dengan surat kabar daerah yang wilayah penyebarannya hanya pada region yang sama. Dari segi pemberitaan, surat kabar ibu kota lebih banyak memuat berita yang berskala nasional dan internasional.

Selain Berita Indonesia, ada surat kabar lain yang terbit di Indonesia, diantaranya yaitu Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Surat kabar tersebut merupakan surat kabar bekas Sinar Matahari yang sempat disegel oleh Jepang, kemudian kembali beroperasi dengan nama yang baru serta mencirikan perjuangan bangsa Indonesia. Kedaulatan Rakyat menjadi pers perjuangan masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan kemerdekaan. Surat kabar ini dapat dikatakan sebagai pelopor pers lokal yang ada di Yogyakarta pasca proklamasi 17 Agustus 1945.

26

(57)

Perkembangan pers Indonesia selanjutnya, berdasarkan letak atau kedudukannya, digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Pers Lokal atau Daerah

Pers lokal atau daerah adalah surat kabar yang berkedudukan di daerah tempat surat kabar itu terbit dan di daerah itu pula kantor pusat berlokasi. Mengenai isi berita, biasanya didominasi oleh berita dari daerah tersebut. Surat kabar daerah biasanya tidak dapat dibeli di daerah-daerah lain, kecuali berlangganan. Yang tergolong sebagai pers daerah, salah satunya adalah Kedaulatan Rakyat.

2. Pers Regional

Surat kabar yang tergolong sebagai pers regional berkedudukan di kota (biasanya ibukota propinsi) dan disebarkan ke daerah lain yang berada di luar wilayah kota itu, akan tetapi tidak ke seluruh wilayah Indonesia. Contohnya surat kabar Djawa Pos, yang tidak hanya disebarkan di Surabaya sebagai pusatnya tetapi juga di sebagian wilayah Indonesia yang lain.

3. Pers Nasional

Surat kabar yang tergolong pers nasional ini, terbit di daerah tertentu dan disebarkan ke sebagian besar wilayah Indonesia. Dalam hal ini, dapat diambil contoh surat kabar Merdeka, yang terbit di Jakarta dan disebarkan ke seluruh wilayah Indonesia.

(58)

menyandang predikat yang berbeda-beda, hadirnya pers dilatarbelakangi oleh rasa ingin tahu masyarakat terhadap perkembangan yang terjadi di luar lingkungan tempat ia berada. Hal tersebut tidak bisa didapatkan dengan sekedar bertanya kepada orang lain. Tetapi baru bisa didapatkan dari media informasi yang akurat dan faktual pemberitaannya.

Latar belakang kemunculan surat kabar, dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah unsur penyebab yang berasal dari dalam surat kabar itu sendiri (seperti, unsur tokoh yang mendirikan) dan faktor eksternal adalah unsur yang berasal dari luar (seperti, unsur masyarakat yang mempengaruhi).

1. Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi munculnya surat kabar adalah tokoh yang mendirikannya. Hal ini terkait dengan visi misi yang dibentuk oleh tokoh itu yang akan menentukan ke arah mana surat kabar akan berkembang. Unsur lain di luar tokoh yang biasanya turut mempengaruhi adalah partai politik dan golongan keagamaan. Seperti yang terjadi pada masa pergerakan, muncul surat kabar yang mengusung nama partai tertentu dengan mengemban visi misi dari partai yang bersangkutan.

Contoh surat kabar itu adalah Al-Djihad yang merupakan surat kabar bentukan Masyumi.27 Dari segi pemberitaannya, surat kabar tersebut berbeda dengan surat

27

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Securindo Packatama Indonesia dengan sistem tarif per jam, setelah ditinjau dari hukum Islam, akad yang dilakukan antara pengguna dan penyedia jasa termasuk dalam

I also declare that I agree to submit my thesis entitled Students’ Perception of Quipper as an Online Practice Tool for the English Computer-based National Examination

PENERAPAN TEKNIK THINK-TALK-WRITE (TTW) DALAM PEMBELAJARAN MENULIS TEKS BERITA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

TUGAS : Membantu Bupati dalam melaksanakan kebijakan teknis urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal dan PTSP.

1) Dengan diterbitkannnya Instruksi Presiden (Inpres) RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada intinya adalah mewajibkan

Fasilitas yang dapat digunakan untuk berbincang-bincang dalam bentuk teks secara langsung dengan pengguna internet di seluruh dunia yang sedang online pada saat bersamaan