• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA JALAN PELARIAN DARURAT DAN EVAKUASI (tadinya 3.19 dan 3.20, tapi sekarang digabung jadi 1 peta)

GAMBAR 3.10 PETA RENCANA JARINGAN AIR BERSIH ? ADA YA

PETA JALAN PELARIAN DARURAT DAN EVAKUASI (tadinya 3.19 dan 3.20, tapi sekarang digabung jadi 1 peta)

R

REENNCCAANNAA IIMMPPLLEEMMEENNTTAASSII

4

4.1.1 KEKELLEEMMBBAGAGAAAANN PPEENNAATTAAANAN RRUUAANNGG KKOOTTAA BBAANNDDAA AACCEEHH

4

4.1.1..11 PEPENNDDAAHHUULLUUAANN

Dalam kegiatan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia hampir selalu bersentuhan dengan pemanfaatan ruang. Karena banyak ragam dalam kegiatan manusia, seperti kegiatan penyediaan perumahan, pertanian, industri, perdagangan serta beragam kegiatan lainnya, maka sangat besar timbulnya potensi konflik diantara bermacam-macam kepentingan dan fungsi dalam pemanfaatan ruang.

Besarnya potensi konflik dalam pemanfaatan ruang inilah memunculkan kebutuhan untuk melakukan usaha-usaha penataan ruang. Secara sederhana penataan ruang dapat diartikan sebagai upaya untuk mengatur pemanfaatan ruang sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan dan keadilan dalam penggunaan sumberdaya yang disebut ruang tersebut. Keseimbangan dan keadilan yang dimaksud misalnya keseimbangan dan keadilan dalam penggunaan luas lahan untuk pertanian, kehutanan, perdagangan, industri dan kepentingan serta fungsi lainnya.

Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, yang dimaksud ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya, sedang tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Untuk mendapatkan keseimbangan lingkungan, berdasarkan fungsinya maka dalam penataan ruang dikenal adanya 2 (dua) jenis kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya, dimana kawasan lindung

BAB

IV

adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedang kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

Dilihat dari perspektif fungsi-fungsi manajemen, maka penataan ruang akan merupakan sebuah siklus proses yang saling berhubungan yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, dimana penataan ruang tersebut berdasar wilayah administratif akan terdiri penataan ruang nasional, penataan ruang provinsi dan penataan ruang kabupaten/kota.

4

4.1.1..22 REREFFEERREENNSSII PEPERRAATTUURRAANN DADANN PPEERRUUNDNDAANNGG-U-UNNDDAANNGGAANN

P

PEENNAATTAAANAN RRUUAANNGG

Berkaitan dengan kegiatan penataan ruang, baik pada tataran perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang maupun pada tataran pengendalian pemanfaatan ruang, beberapa peraturan dan perundang-undangan yang dapat dipakai sebagai rujukan diantaranya adalah :

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional

4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Peran serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah

6. Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 Tanggal 12 Agustus 2002, Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang

4

4.1.1..33 AZAZAASS-A-AZZAASS DDAANN TTUUJJUUANAN PPEENNAATTAAAANN RRUUAANNGG

Seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang pasal 2 (dua) , maka proses penataan ruang berazaskan :

1. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara : • Terpadu

• Berdayaguna dan berhasilguna • Serasi, selaras dan seimbang • Berkelanjutan

Azas ini memberikan landasan bahwa dalam penataan ruang semua kepentingan harus dijamin untuk diakomodasikan, apakah itu kepentingan masyarakat, pemerintah maupun kepentingan swasta atau dunia usaha baik usaha skala besar, menengah maupun yang berskala kecil atau golongan ekonomi lemah. Sedangkan dilihat dari perspektif kemanfaatannya, penataan ruang harus berangkat dari pemikiran untuk menghindari sedapat mungkin kemudaratan dalam pemanfaatan ruang, mengingat sifat ketersediaan sumberdaya ruang yang terbatas artinya tidak dapat ditambahkan dari yang tersedia dialam ini, oleh karenanya pemanfaatan ruang harus diorientasikan pada dayaguna dan hasilguna bagi kesejahteraan manusia secara agregat, luas dan menyeluruh tanpa mengorbankan kepentingan yang bersifat privat, sehingga penataan ruang dapat mewujudkan kualitas ruang sesuai potensi dan fungsi ruang yang tersedia.

Isu keselarasan, keserasian dan keseimbangan merupakan isu yang penting dalam penataan ruang, terutama yang berkaitan dengan struktur dan pola pemanfaatan ruang, persebaran penduduk antar wilayah, pertumbuhan antar sektor dan wilayah. Ketidakseimbangan dalam pertumbuhan pembangunan baik secara spasial maupun secara sosial dan ekonomi akan menjadi problem yang serius dalam pembangunan. Kemampuan daya dukung dan kelestarian sumberdaya alam harus juga menjadi perhatian penting dalam penataan ruang mengingat kita sedang terus mendorong konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), suatu model pembangunan yang memperhatikan kepentingan generasi di masa yang akan datang.

2. Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum

Azas ini mengisyaratkan pentingnya keterlibatan semua unsur pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penataan ruang, baik pada fase perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang maupun pada fase pengendalian pemanfaatan ruang. Semua anggota pemangku kepentingan mempunyai akses yang sama dalam memperoleh

informasi serta mempunyai kedudukan yang setara dalam proses penataan ruang meskipun tentunya terdapat fungsi-fungsi yang berbeda. Sekalipun penataan ruang merupakan domain publik, hal ini tidak mengabaikan rasa keadilan dan perlindungan hukum bagi setiap warga dalam menjalankan hak dan kewajibannya berkaitan dengan penataan ruang sehingga didorong untuk mencapai win-win solution.

Apabila azas-azas dalam penataan ruang dapat dioperasikan dalam menjadi landasan bagi pemanfaatan ruang, maka diharapkan tercapainya tujuan dari penataan ruang, antara lain :

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional

2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya

3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :

• Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera

• Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia

• Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdayaguna, berhasil guna, dan tepatguna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia

• Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan

• Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan

4.1.4 KEKERRAANNGGKKAA KKOONNSSEEPPTTUUAALL HUHUBBUUNNGGAANN RREENNCCAANNAA TATATTAA RURUAANNGG

D

DEENNGGAANN RREENNCCAANNAA PPEEMMBBAANNGGUUNNAANN

Rancangan sistem perencanaan pembangunan di daerah acapkali disusun dengan cara menyederhanakan masalah, dimana rancangan sistem perencanaan tersebut berupaya untuk menghindari penjelasan mengenai komplikasi hubungan diantara beragam jenis dokumen perencanaan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perencanaan pembangunan di daerah, baik hubungan yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horisontal. Realita selama ini menunjukkan bahwa terdapat dikotomi antara perencanaan tata ruang dengan perencanaan pembangunan di daerah, sehingga sulit ditelusuri hubungan antara perencanaan tata ruang di satu sisi dengan

perencanaan pembangunan daerah di sisi yang lain. Tidak meleburnya perencanaan tata ruang menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan di daerah menjadikan implementasi perencanaan tata ruang di daerah tidak dapat berjalan secara efektif, demikian juga dengan efektifitas pengendaliannya.

Struktur perencanaan pembangunan di Indonesia berdasarkan hirarki dimensi waktunya berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dibagi menjadi perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek (tahunan), sehingga dengan Undang-Undang ini kita mengenal satu bagian penting dari perencanaan wilayah yaitu apa yang disebut sebagai rencana pembangunan daerah, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP-D), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra-SKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja-SKPD) sebagai kelengkapannya. Sementara itu tentang perencanaan keruangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, dimana dengan Undang-Undang ini secara hirarki Pemerintahan, Perencanaan Tata Ruang dibagi menjadi Rencana Tata Ruang Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota yang membagi ruang dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Meskipun seringkali dinyatakan bahwa perencanaan tata ruang merupakan matra keruangan dari perencanaan pembangunan, namun demikian didalam praktiknya sering ditemui potensi jarak/gap bahkan potensi distorsi antara perencanaan keruangan dan perencanaan pembangunan. Fakta mengenai hal ini seringkali ditemui pada saat diskusi pembahasan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dimana pembahasan tentang hubungan antara rencana pembangunan dan rencana tata ruang tidak dapat dijelaskan dengan memuaskan. Ketidakjelasan ini mengakibatkan sulitnya memberikan jawaban atas pertanyaan seberapa jauh rencana tata ruang dapat dioperasionalisasikan. Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah kembali perbincangan mengenai bagaimana rencana tata ruang dapat dioperasionalisasikan ditengah-tengah beragam perencanaan pembangunan yang ada di daerah.

Beberapa Pandangan tentang Posisi Penataan Ruang

Anggapan masyarakat tentang fungsi penataan ruang yang diharapkan dapat menyelesaikan segala persoalan pembangunan di daerah, telah memberikan beban moral yang berat bagi para kaum perencana. Masalah-masalah sosial dan ekonomi di daerah, seringkali dihubungkan dengan penataan ruang dalam melihat timbulnya masalah maupun dalam mencari jawaban atas permasalahan tersebut. Alisjahbana dalam tulisannya berjudul Mendulang Uang dengan Tata Ruang mengungkapkan : “Pertumbuhan ekonomi kota pada akhirnya ikut menggerakkan pertumbuhan kebutuhan barang dan jasa sebagai ikutannya. Dari sini dilema itu dimulai. Pada satu sisi, perubahan itu mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan sosial yang membutuhkan ruang. Sementara pada sisi lain, sumberdaya dan ruang kota yang tersedia jumlahnya terbatas. Dihimpit oleh permintaan yang terus berkembang itu, pertumbuhan kota perlu ditunjang dengan perencanaan dan pengelolaan tata ruang yang mampu mengoptimalkan ruang yang terbatas dan tidak bisa ditambah. Terlebih, mengingat pertumbuhan investasi pada akhirnya menuntut peningkatan kuantitas dan kualitas ruang pula. Tetapi sayangnya, sampai sejauh ini persepsi tata ruang yang diadopsi oleh pengelola kota belum banyak mengakomodasi kepentingan masyarakat dan swasta. Paradigma yang berkembang belum melihat keterkaitan antara tata ruang dengan pendanaan, baik dari pemerintah maupun investasi swasta dan swadaya masyarakat bagi pembangunan kota. Lebih jauh lagi, pola perencanaan tata ruang belum mampu memberikan dorongan dan kemudahan bagi pengelola kota untuk menjabarkan tata ruang ke dalam program jangka menengah. Padahal “rencana tata ruang kota” adalah pijakan bagi “dimensi spasial” dari pilar pembangunan kota dan menjadi salah satu perangkat kebijakan jangka menengah dan panjang yang menentukan arah dan skenario pembangunan kota pembangunan kota yang dirangkai dengan pembangunan regional maupun nasional. Dengan demikian, tata ruang juga diharapkan mampu menjelaskan prosedur pemberian izin investasi agar sejalan dengan rencana tata ruang yang disusun. Namun sejauh ini rencana tata ruang masih seperti sebuah perangkat yang tidak terkait langsung dengan rencana investasi kota. Kalaupun ada, kekuatannya tak seberapa dan seringkali menyerah pada program jangka pendek, apalagi jika ada kepentingan tertentu didalamnya. Setali tiga uang dengan evaluasi tata ruang, yang lebih sebagai bahan justifikasi berbagai macam “kebijakan” pada periode tertentu sebelumnya .”

Tulisan tersebut diatas mengisyaratkan beberapa pandangan tentang penataan ruang antara lain sebagai berikut :

• Rencana tata ruang merupakan dimensi spasial pembangunan wilayah .

• Bahwa terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi didaerah dengan penataan ruang.

• Penataan ruang yang berkualitas akan dapat mendorong rencana investasi didaerah. • Pertumbuhan wilayah perlu ditunjang oleh pengelolaan tata ruang untuk

mengoptimasikan volume ruang yang terbatas.

• Masih didapati adanya kenyataan bahwa penataan ruang masih belum dapat mengakomodasi rencana pembangunan dan pendanaan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.

• Belum jelasnya hubungan antara perencanaan tata ruang dengan perencanaan pembangunan mengakibatkan permasalahan yang cukup serius dalam implementasi rencana tata ruang serta skenario pengembangan wilayah.

• Pengendalian tata ruang cenderung lemah yang diindikasikan dengan menangnya kepentingan-kepentingan jangka pendek yang oportunistik dan bertentangan dengan kaidah-kaidah penataan ruang.

Persepsi tentang penataan ruang yang dipenuhi dengan harapan-harapan yang cukup besar terhadap perannya untuk menjadi inspirator utama pembangunan didaerah ternyata belum dapat berjalan seperti diharapkan disebabkan terutama karena belum “meleburnya” penataan ruang sebagai bagian integral dari perencanaan pembangunan di daerah. Penataan ruang di satu sisi berjalan dengan format dan kaidah-kaidahnya sendiri dan di sisi yang lain, perencanaan pembangunan berjalan dengan tata cara dan norma-normanya sendiri.

Menanggapi hubungan antara rencana tata ruang dengan berbagai macam perencanaan pembangunan, Achmad Djunaedi dalam tulisannya berjudul Alternatif Model Penerapan Strategis dalam Penataan Ruang Kota di Indonesia, mengusulkan dua alternatif model yaitu, model pertama perencanaan strategis pembangunan daerah berjalan seiring secara kohesif dengan perencanaan strategis tata ruang wilayah, dan model kedua rencana strategis menjadi payung bagi rencana pembangunan daerah dan rencana tata ruang wilayah. Kedua model tersebut tampak pada diagram dibawah ini pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

Gambar 4.1 :

Pada usulan alternatif model pertama, Djunaidi berusaha untuk “mereduksi” potensi gap antara perencanaan pembangunan dengan perencanaan tata ruang wilayah dengan cara menggunakan analisis SWOT yang sama bagi kedua perencanaan tersebut dimana proses analisis SWOT ini dianggotai baik oleh perencana tata ruang maupun perencana pembangunan, proses selanjutnya adalah langkah untuk “mengkohesikan” antara perencanaan tata ruang dengan perencanaan pembangunan. Intinya model ini mengusulkan agar terjadi proses saling memberikan masukan diantara kedua jenis perencanaan tersebut mulai dari rencana berstrata strategis sampai yang berstrata operasional baik kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun yang dilaksanakan oleh swasta dan masyarakat.

Pada usulan alternatif model kedua, Djunaidi berusaha untuk lebih mempertegas upaya “menghilangkan” gap antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penyusunan rencana tata ruang dan rencana pembangunan dimulai dengan terlebih dahulu menyusun Rencana Strategis yang bersifat umum, tidak hanya dengan analisis SWOT seperti pada model pertama.

2. Rencana Strategis Dinas/Departemen/Sektoral di “dialogkan” dengan Rencana Strategis Tata Ruang Wilayah. Dengan “mendialogkan” kedua jenis perencanaan strategis tersebut diharapkan terjadi saling koreksi diantara kedua perencanaan tersebut, sehingga potensi gap dan distorsi diantara keduanya diharapkan dapat “dihilangkan” demikian keselarasan kedua jenis perencanaan tersebut dapat dicapai. 3. Rencana Strategis Dinas/Departemen/Sektoral selanjutnya diterjemahkan dalam

Program Pembangunan Daerah demikian juga Rencana Strategis Tata Ruang Wilayah diterjemahkan dalam Rencana Strategis Pengembangan Bagian Wilayah/Kawasan dan Program Pengembangan Bagian Wilayah/Kawasan.

4. Pelaksanaan pembangunan oleh Pemerintah, Swasta dan Masyarakat merujuk kepada berbagai perencanaan tata ruang dan perencanaan pembangunan diatas.

Dua alternatif model tersebut diatas telah berusaha untuk memposisikan dimana perencanaan tata ruang wilayah berada diantara tuntutan-tuntutan pembangunan baik dibidang ekonomi maupun dibidang sosial serta bidang-bidang lainnya.

Perencanaan Pembangunan di Daerah

Perencanaan pembangunan daerah seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, mewajibkan daerah untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang berdurasi waktu 20 (dua puluh) tahun, perencanaan ini berisi tentang visi, misi dan arah pembangunan daerah. Perencanaan ini kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang berdurasi waktu 5 (lima) tahun, memuat kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program SKPD dan lintas SKPD, program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Selanjutnya RPJM Daerah dijabarkan dalam perencanaan berdurasi tahunan yang disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

Beberapa hal yang perlu menjadi catatan dalam perencanaan pembangunan didaerah ini diantaranya adalah bahwa RPJP Daerah berdurasi waktu 20 (duapuluh) tahun, tentu ini berdurasi waktu lebih panjang dari RTRW Propinsi yang 15 (lima belas) tahun dan RTRW Kabupaten/Kota yang berdurasi waktu 10 (sepuluh) tahun, degan demikian menjadi logis jika dilihat durasinya, RTRW Daerah “mengacu” kepada RPJP Daerah. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana “teknik” untuk mengoperasikan kata “mengacu” tersebut sedemikian rupa sehingga terjadi keselarasan atau tidak terjadi distorsi antara RPJP Daerah dengan RTRW Daerah, sehingga RPJP Daerah dapat bermetamorfosa dalam matra keruangan dalam 10 (sepuluh) tahun mendatang dalam bentuk RTRW Daerah. Harapan akan peluang semacam ini menjadi semakin lebih besar jika RPJP Daerah memuat substansi sektoral sekaligus juga implikasi keruangannya dan dalam potongan-potongan skenario 5 (lima) tahunan.

RPJM Daerah yang berdurasi waktu 5 (lima) tahunan dimana penyusunannya mengacu pada RPJP Daerah dan RPJM Nasional. Diantara RPJP Daerah dan RPJM Daerah terdapat perencanaan RTRW yang berdurasi waktu 10 (sepuluh) tahun, lebih panjang dari RPJM Daerah, karenanya menjadi masuk akal jika RPJM Daerah “mengacu” kepada RTRW Daerah, apalagi jika didalam RTRW Daerah memuat skenario potongan 5 (lima) tahunan. Permasalahannya adalah dalam banyak kasus, RPJM Daerah tidak mengungkapkan implikasi keruangan dari program-program pembangunannya, hal mana disebabkan

karena tidak diungkapkannya lokasi kegiatan dari program-program pembangunannya. Keadaan ini menjadikan RPJM Daerah lemah dan tidak berdaya sebagai instrumen strategis dalam operasionalisasi perencanaan tata ruang di daerah. Faktor strategis lain yang dapat dianggap sebagai unsur lemah RPJM Daerah sebagai instrumen operasionalisasi rencana tata ruang adalah bahwa pelaku pemanfaat ruang adalah semua stakeholder, yaitu pemerintah daerah, pemerintah pusat, swasta, dan masyarakat, sementara RPJM Daerah hanya memuat program dan kegiatan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan Lintas Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Lintas SKPD). Oleh karenanya RPJM Daerah jika format muatannya seperti itu, maka lebih cocok disebut sebagai Rencana Kegiatan 5 Tahun Pemerintah Daerah dan bukan perencanaan pembangunan di daerah karena tidak mengintegrasikan kegiatan pembangunan seluruh stakeholdernya.

Jika RPJM Daerah bersifat indikatif maka Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berdurasi tahunan relatif lebih bersifat definitif karena keterlaksanaannya akan didukung dengan ketersediaan anggaran yang disebut sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan demikian secara teoritis seharusnya RKPD akan menjadi instrumen yang lebih nyata dalam operasionalisasi rencana tata ruang khususnya dari sektor pemerintah daerah. Namun dalam kenyataannya RKPD ini lemah fungsinya sebagai instrumen operasionalisasi rencana tata ruang baik RTRW apalagi RDTRK/RBWK karena karena penyusunannya tidak diorientasikan kepada kedua perencanaan tata ruang tersebut dan tidak dimilikinya Program Distrik Multi Sektor.

Bagian lain yang tidak kalah pentingnya dalam mengoperasikan perencanaan pembangunan dan perencanaan keruangan adalah perencanaan keuangan dan perencanaan kelembagaan.

Usulan Alternatif Hubungan Rencana Tata Ruang dengan Rencana Pembangunan

Selama ini dikalangan masyarakat berkembang pandangan tentang hubungan antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan sebagai dua hal yang terpisah, walaupun di beberapa pembahasan ada upaya untuk “mendekatkan” keduanya. Dalam bahasa masyarakat yang lebih sederhana seringkali diungkapkan sebagai “rencana tata ruang berjalan sendiri dan rencana pembangunan juga berjalan sendiri, masing-masing berjalan sendiri-sendiri”. Memang dasar hukum dari kedua jenis perencanaan tersebut

disusun secara terpisah yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Draft RUU perubahan UU Penataan Ruang dalam penjelasannya juga mengusulkan upaya mendekatkan kedua jenis perencanaan tersebut dengan menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah harus mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang, namun hal ini dapat menimbulkan tafsir bawa perencanaan tersebut bersifat “sequensial” yaitu penyusunan RPJP dahulu baru peyusunan RTRW padahal keduanya adalah sama-sama perencanaan jangka panjang. Dalam pemahaman yang lain bila konsep seperti dilaksanakan, hal itu akan dapat mematikan konsep untuk “mendialogkan” kedua perencanaan tersebut.

Implikasi praktis yang nyata dalam perencanaan pembangunan didaerah seperti telah disampaikan dalam bagian Pendahuluan adalah bahwa baik dalam pembahasan penyusunan draft RPJP-Daerah maupun draft RPJM-Daerah tidak dapat dijelaskan sampai sejauh mana kedua perencanaan pembangunan tersebut telah “didialogkan”, karena tidak adanya pemahaman konseptual mengenai pentingnya hal tersebut, disamping secara teknis tidak adanya tekanan metodologis untuk melakukannya. Karenanya perencanaan pembangunan terutama pada RPJM-Daerah yang pada intinya merupakan pernyataan perencanaan sektoral tidak mengungkapkan lokasi kegiatan yang direncanakannya dan akibatnya perencanaan pembangunan seperti itu tidak dapat mengungkapkan implikasi spasialnya.

Untuk menghindari beberapa kelemahan hubungan antar jenis perencanaan tersebut diatas disampaikan beberapa hal :

1. Jika kita simak lebih mendalam mengenai isi apa yang disebut selama ini sebagai