• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5: PENUTUP

1. Peta Kerusuhan di Jakarta

kasus-kasus tertentu, seperti kasus-kasus Slipi di atas, aparat berusaha untuk menyelamatkan warga yang ada dalam kondisi bahaya, bahkan atas risiko besar.

Namun, ada pula banyak laporan aparat tidak berusaha untuk mencegah penjarahan atau kekerasan, biarpun ada kemampuan. Misalnya, di daerah Mangga Besar, Jakarta Utara, pada tanggal 14 Mei 1998:

Saksi ... melihat sekitar 50-an orang dari arah Jembatan Baru berusaha memasuki wilayah Pasar Pagi Mangga Dua. Kelompok massa ini dihadang 50-an pasukan Kostrad (terlihat dari baret hijau yang dikenakan) yang berjaga di bawah jalan layang kereta api. Selain pasukan yang berjaga juga terlihat 2 buah truk dan panser. Warga mengatakan

82 Ibid. Hal. 169.

83 Gunadi, Fannie. “Mona, di Balik Sprei Kembang.” 1998. Te mpo. 12 Oktober. Hal. 63.

84

Lihat Lampiran 1: Peta Kerusuhan di Jakarta, bagian Titik A muk Massa Terbesar untuk gambaran respons aparat.

bahwa pasukan terlihat telah berjaga sejak siang hari pada tanggal 13 Mei.

Kelompok orang tersebut setelah berhasil dihadang akhirnya bergerak mundur menuju perumahan dan toko di Jalan Mangga Dua.

Sekitar pukul 10:00 – 11:00 WIB, sebuah toko material mulai dilempari kelompok massa yang baru saja berpindah dari seberang jalan. Toko tersebut dilempari hingga pecah kaca-kacanya, kemudian mereka mulai menggedor dan mendobrak pintu lantai bawah. Tidak lama kemudian asap tebal mulai mengepul dan membesar dengan cepat. Terdengar beberapa kali ledakan (diperkirakan disebabkan oleh pengencer cat yang diletakkan di lantai bawah).

Suasana menjadi semakin panik setelah asap mulai memenuhi lantai dua dan pintu belakang yang tidak bisa dijebol penghuni bangunan. Akhirnya dengan segala upaya 3 laki- laki penghuni toko berhasil keluar dari bangunan dengan dibantu warga yang berada di belakang toko. Orang tua dan seorang penghuni lainnya juga berhasil ditolong, tetapi mereka telah dalam keadaan terbakar.

Setelah semua penghuni bangunan berhasil keluar, salah seorang korban menghampiri pasukan yang berada di bawah jembatan layang. Ia meminta bantuan dan pengawalan untuk mengantar anggota keluarga yang luka ke rumah sakit. Permintaan itu ditolak pasukan. Kemudian korban tersebut menghubungi ambulans. Ambulans baru datang sekitar pukul 22:00 WIB.

Selama peristiwa terjadi, pasukan yang berjarak sekitar 20 meter tersebut tidak melakukan tindakan menghalangi atau menghentikan massa yang melempar, membobol, dan membakar bangunan.85

Selain itu, ada laporan bahwa ada aparat yang mencari keuntungan dalam kerusuhan itu. Menurut hasil penelitian Tim Solidaritas Kerusuhan Mei 1998, di wilayah Glodok pada tanggal 14 Mei 1998 terlihat sekelompok polisi yang menyuruh perusuh mengisi truk dengan barang jarahan, lalu pergi dengan membawa barang-barang itu.86

Ada pula kecurigaan bahwa provokator yang memancing rakyat untuk melakukan kerusuhan adalah tentara, biarpun ini belum dibuktikan. Menurut pikiran

85

Ibid. Hal. 46 – 48.

86

rakyat pada waktu itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, yang pada saat itu merupakan pemimpin Kostrad, bersama Mayor Jenderal Syafrie Sjamsoeddin, yang bertanggung jawab atas anggota ABRI di Jakarta, menyuruh bawahannya untuk memancing emosi rakyat dan melakukan kekerasan untuk dua alasan, yaitu untuk meneror musuh pemerintah dan memalukan Menteri Pertahanan Jenderal Wiranto, yang menjadi pesaingnya untuk menjadi presiden setelah Soeharto turun.87 Biarpun memang provokator mempunyai ciri-ciri yang seperti prajurit dan hal ini dipercaya oleh rakyat, belum ada bukti definitif.

Risiko untuk aparat yang berusaha untuk mencegah amuk massa memang tinggi, sebagaimana dilihat di Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat ketika pos polisi hancur ditabrak truk, lalu dibakar.88 Namun, aparat bertugas untuk mencegah kerusuhan sebisa mungkin dan tidak dibenarkan untuk menggunakan situasi untuk kepentingan sendiri.

2.2.5 Reaksi Warga

Sebagai akibat ketidakmampuan aparat untuk mencegah massa, masyarakat terpaksa mengambil inisiatif sendiri untuk melindungi diri. Menurut ahli politik-ekonomi AS Albert Hirschman, secara umum ada tiga respons yang paling dimungkinkan dalam kerusuhan, yaitu exit (keluar dari negara di mana kerusuhan

87 Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. 2006. Singapore University Press: Singapura. Hal. 106 – 107.

88

terjadi), voice (melakukan protes dan demonstrasi), dan loyalty (menerima semua dengan diam).89 Ketiga cara ini digunakan oleh masyarakat.

Exit pada umumnya dilakukan orang Cina. Mereka bersembunyi di beberapa hotel milik pribumi atau meninggalkan Indonesia untuk pergi ke negara asing yang dianggap lebih aman.90 Jumlah pengungsi Cina pada saat itu diperkira mencapai 10.000 sampai 100.000 orang.91 92

Sementara, voice digunakan oleh karyawan toko-toko tertentu yang ditarget oleh massa. Namun, voice ini bukan merupakan cara menentang pasif. Karyawan berusaha secara aktif untuk mencegah penjarahan. Misalnya, di Jatinegara Plaza, Jakarta Timur, karyawan ditugaskan untuk menjaga pintu dan menghentikan orang yang berusaha untuk masuk; karyawati disuruh pulang.93 Ini juga terlihat dalam kasus orang yang menyelamatkan tetangga, seperti keluarga keturunan pemilik toko material yang diselamatkan oleh warga setempat di Mangga Dua, Jakarta Utara.94

Sementara, jalan loyalty diikuti oleh orang-orang miskin atau menengah, baik pribumi maupun keturunan; ini kelompok yang paling besar. Pemilik toko pribumi memasang tanda bertulisan “Milik Pribumi”, “Milik Haji,”95

89 Khoiri, Ilham. “I. W ibowo tentang Liberalisasi Masyarakat Tionghoa.” 2008. Ko mpas. 10 Februari. Hal. 12.

90 Sumbogo, Priyono B., Khoiri A kh madi, dan Nurlis Effendi. "Massa Hantu Merayap dan Memicu Kerusuhan Itu." 1998. Gatra. 16 Mei. Hal. 24 – 28.

91 Khoiri, Ilham. 2008. Op. Cit.

92 Gie, Kwik Kian. “Warga Keturunan Tionghoa dan Distribusi.” 1998. Kompas. 7 Juni. Hal. 4.

93 Jusuf, Ester Indayani dan Ray mond R. Siman jorang. Op. Cit. Hal. 130 – 131.

94

Ibid. Hal. 46 – 47.

95

Reformasi”,96 dan sebagainya; mereka berharap agar kepribumian mereka dapat menghindari amuk massa.

Orang Cina bersembunyi di rumah diam-diam dan berharap agar semua kerusuhan selesai dengan cepat. Orang-tua berkorban demi keselamatan anak mereka dengan cara menyediakan makanan sepuasnya untuk anak-anak tetapi hanya mengambil makanan untuk dirinya sendiri ketika anak-anak sudah puas. Banyak orang-tua yang harus berpuasa selama beberapa hari kerusuhan itu terjadi.97 98

Namun, ada pula orang yang menggunakan kerusuhan itu untuk mencari keuntungan sendiri. Karena situasi mendesak itu, harga naik tidak terkendalikan. Contohnya, harga tiket keluar Jakarta dinaiki sembarangan, hingga tiket pesawat Jakarta – Batam yang aslinya hanya Rp. 580.000 dijual dengan harga 1,3 juta.99

2.3 Kerusuhan di Surakarta

Pada bulan Mei 1998 kota Surakarta (juga dikenal dengan nama Solo) mengalami kerusuhan yang mirip Jakarta. Pada tanggal 8 Mei ada insiden di antara kurang- lebih 5.000 anggota masyarakat dan polisi; dalam kasus itu sebanyak 25 orang terluka oleh peluru karet dan lebih dari 100 orang terluka oleh pelemparan batu.100 Keadaan menjadi lebih anarkis mulai dari tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan yang disebabkan oleh penewasan empat mahasiswa Trisakti di Jakarta mulai terasa di

96 Wawancara pribadi dengan Wahyu Apri Wulan Sari, tanggal 15 November 2008.

97 Sumbogo, Priyono B., Khoiri A kh madi, dan Nurlis Effendi. 1998. Op. Cit. Hal. 24 – 28.

98 Khoiri, Ilham. 2008. Op. Cit.

99

“Lega..., Lepas dari Jakarta.” 1998. Kompas. 21 Mei. Hal. 8.

100

Surakarta. Dengan kabar tentang penembakan mahasiswa- mahasiswi Trisakti, rasa hangat berkembang dalam hati masyarakat umum dan menyebabkan warga-warga Solo mulai kerusuhan yang terasa separah kerusuhan yang terjadi di Jakarta.101

Didahului oleh orang yang bersepeda motor, massa menjarah semua pertokoan dan sebagainya sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi, Sudirman, Urip Sumoharjo, Ir Sutami, dan seluruh jalan di dalam kota. Massa juga dipinggirkan oleh warga Surakarta yang, walau tidak menjarah, memberi semangat kepada para perusuh. Warga Cina yang terlihat dikejar dan diperlakukan dengan jahat. Dalam waktu semalam, hasil pembangunan selama 30 tahun dihancur dan dibakar.102

Aparat keamanan tidak mampu menghindari kerusuhan itu. Jumlah aparat keamanan di Surakarta diakui sangat sedikit, dan dari personel yang ada sebagian besar ditugaskan untuk mendukung Polri mengamankan aksi keprihatinan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Oleh sebab itu, massa perusuh tidak dihentikan dan penjarahan, perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran terjadi,103 baik kepada milik warga umum maupun milik aparat keamanan.104 Akibatnya, massa perusuh mampu bergerak ke luar kota. Pada tanggal 15 Mei 1998 massa sebesar ribuan orang sudah tiba di Boyolali, Jawa Tengah dan menjarah dan membakar pabrik, toko, rumah, dan sebagainya. Dampak dari ini terasa sampai ke Salatiga.105

101 “Kota Solo Penuh Asap.” 1998. Kompas. 15 Mei. Hal. 11.

102 “’Si Lembut’ Itu Mendadak Beringas.” 1998. Kompas. 16 Mei. Hal. 11.

103 “Amien Rais: Kerusuhan Jakarta dan Solo ada Dalangnya.” 1998. Kompas. 11 Juni. Hal. 1.

104

“Kota Solo Penuh Asap.” 1998. Op. Cit. Hal. 11

105

Oleh sebab kerusuhan itu, hampir semua pusat pembelanjaan tertutup. Demikian juga bank, sekolah, kantor pemerintah, dan sebagainya. Warga Surakarta yang tidak ikut massa itu hanya bisa bersembunyi, berdoa dan berharap bahwa mereka tidak akan kena kerusuhan itu. Toko-toko, bank, kantor, dan lain- lain sejauh Salatiga, Jawa Tengah, tutup karena takut dirusuh oleh massa itu.106 Ketika kerusuhan sudah selesai pun jarang ada yang berani membuka tokonya; demikian banyak orang yang menderita saat itu.107

Warga Cina di Surakarta dijadikan kambing hitam untuk semua masalah masyarakat, dan demikian ditarget dalam kerusuhan itu. Perumahan, vihara, dan toko Cina dirampok dan dibakar oleh massa tersebut. Berikut adalah naratif dari Wahyu Apri Wulan Sari, seorang orang Jawa dengan keturunan Jepang yang tinggal di Surakarta pada saat kekacauan Mei 1998.

Saya melihat banyak sekali pertokoan, mall, pasar, semuanya dibakar. Banyak bangkai mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang menjadi bangkai di jalan raya pada saat itu. Penjarahan juga ada di mana-mana. Banyak rumah-rumah penduduk di Surakarta, khususnya penduduk Cina yang dijarah, dan dibakar. Bahkan ada banyak juga wanita yang diperkosa; tapi tidak sebanyak di Jakarta.

Salah satu teman saya yang terkena serangan itu, Lina (dia adalah warga keturunan Cina yang [keluarganya] memiliki toko buku terkenal di Solo, namanya Toko Buku Sekawan), dia sendiri diperkosa, dan orang tuanya dibuang keluar. Seisi tokonya dijarah penduduk. Walaupun penjagaan dari para penduduk setempat sudah banyak membantu, tapi ternyata itu semuanya tidak berhasil. Akhirnya Toko Sekawan tersebut terbakar, seisinya. Dan Lina sendiri menjadi stress berat, sampai saat ini. Dia sekarang masih berada di Rumah Sakit Jiwa Kentingan, Surakarta.

106

Ibid.

107

Setiap saya dan keluarga saya berjalan di jalan dengan menggunakan mobil atau kendaraan lain, dan kami hampir diserang penduduk, kami selalu berkata, ‘Kami orang Jawa, kami Pro-Reformasi!,’ atau menyebutkan nama perusahaan kami yang dikenal dengan nama Indonesianya. Rumah kami juga ditulisi dengan banner Pro-Reformasi, yang jumlahnya banyak sekali.

Kami telah mencoba membantu orang Cina. Dulu, sempat kami membantu orang Cina, yang rumahnya kebetulan berhadapan dengan rumah tante saya di daerah Jagalan. Jagalan adalah salah satu kampung Cina di Solo. Mereka satu keluarga bertempat tinggal di Vihara, walaupun mereka tidak terkena serangan apapun, tapi mereka merasa takut akan serangan yang mungkin akan tiba-tiba terjadi. Akhirnya mereka kami tampung di rumah tante selama beberapa hari, dan kebetulan saat itu, saya dan keluarga saya ikut juga.

Awalnya kami semua takut untuk keluar rumah, bahkan kami berencana untuk pindah ke luar kota, dan juga pindah sekolah. Solo benar-benar seperti kota mati saat itu, tidak ada orang, cuma bangkai mobil dan motor, dan juga pecahan kaca di mana- mana. Banyak gedung yang terbakar. Sekolah-sekolah, termasuk sekolah saya pun, ditutup untuk beberapa waktu, sampai menunggu pengumuman lebih lanjut dari pihak sekolah. Lebih parah lagi, kami tidak bisa menemukan toko atau pasar yang terbuka, jadi kami sempat kehabisan bahan makanan selama beberapa hari. Suasana saat itu benar-benar seperti perang mendadak di kota Solo108 (Lampiran 3)

Oleh sebab Surakarta jauh lebih kecil daripada Jakarta (luasnya Surakarta sekitar 44 km2 dan penduduk pada saat itu berjumlah 500.000), kerugian dan intensitas kerusuhan itu lebih terasa, dan selama berbulan-bulan warga Cina di Surakarta hidup dalam suasana ketakutan, walaupun suasana di Surakarta mulai menjadi lebih tenang pada tanggal 17 Mei 1998. Dalam aksi kerusuhan yang terjadi selama dua hari itu, tercatat 56 kantor dan bank, 27 toko swalayan, 217 toko, 12 rumah makan, 18 ruang pamer mobil, dan delapan pabrik dirusak dan dibakar. Massa

108

juga membakar 287 mobil, 570 sepeda motor, 55 bus dan tujuh truk.109 Jumlah kerugian dari kerusuhan itu mencapai Rp. 457 miliar.110 Selain itu, korban tewas terbakar dalam bangunan yang terbakar diperkirakan mencapai 31 orang.111 Ada juga 24 keluarga yang melaporkan bahwa ada anggota keluarga yang diperkosa saat kerusuhan itu.112 Dari 230 perusuh yang ditangkap polisi, hanya 19 masih ditahan satu bulan kemudian.113

2.4 Kerusuhan di Kota-Kota Lain

Di kota lain di Jawa juga terjadi kerusuhan, tetapi pada umumnya tidak separah kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Surakarta. Walaupun demikian, warga Cina penuh dengan rasa ketakutan, baik di kota yang mengalami kerusuhan maupun di kota yang masih relatif tertib. Warga yang tinggal di pinggiran kota, jauh dari aparat keamanan, merasa paling khawatir.114

Di Surabaya, 10.000 orang keturunan Madura menjaga keamanan Surabaya dengan membawa celurit.115 Namun, penjarahan masih terjadi pada tanggal 14 Mei di kawasan Sidotopo. Massa membobol pintu toko-toko dan menjarah, kemudian membakar milik warga keturunan Cina.116 Akibatnya, warga Surabaya masih harus

109 “Warga Desak Otak Kerusuhan Solo Diungkap.” 1998. Kompas. 06 Juni. Hal. 11.

110 “Daerah Sekilas.” 1998. Kompas. 06 November. Hal. 8.

111 “Warga Desak Otak Kerusuhan Solo Diungkap.” 1998. Op. Cit.

112 “Perkosaan di So lo Tak Terungkap.” 1998. Ko mpas. 22 Juli. Hal. 11.

113 “Polisi So lo Masih Menahan 19 Perusuh.” 1998. Ko mpas. 22 Juni. Hal. 9.

114 “Lega..., Lepas dari Jakarta.” 1998. Kompas. 21 Mei. Hal. 8.

115 “Rakyat Harus Ikut Mencari Perusuh.” 1998. Ko mpas. 22 Mei. Hal. 5.

116

Wijayanta, Hanibal W. Y., Sen Tjiauw, dkk. “Percik Bara Seantero Nusantara.” 1998. Foru m Keadilan. 1 Juni. Hal. 19.

menjaga diri dengan cara mereka sendiri. Toko, kantor, dan sebagainya tertutup.117 Di Bandung, massa melempari toko-toko dengan batu hingga sekitar 20 toko rusak berat.118 Juga masih ada ratusan orang Semarang yang melarikan diri agar mereka tidak kena kerusuhan apabila kerusuhan terjadi.119 Di seluruh Jawa, suasana sangat was oleh karena adanya kerusuhan besar di Jakarta dan Solo. Yang paling was-was ialah warga Cina, yang pada umumnya menutup diri dalam rumah, rumah toko, atau hotel, atau keluar dari Indonesia.120

Berikut adalah naratif dari Trifosa Sie Yulyani Retno Nugroho, seorang warga keturunan Cina yang bertempat tinggal di Semarang sejak lahir sampai tahun 2009. Naratif ini menggambarkan suasana di Semarang pada saat itu.

… [keluarga saya] merasa sedikit takut karena banyak isu yang mengatakan, seperti ‘ninja- ninja itu akan mendatangi rumah-rumah orang Cina atau suku Cina dengan membunuh atau bahkan merampas harta dan memerkosa para gadis atau wanitanya.’ Jadi, kami hanya bersembunyi di dalam rumah dan mempersiapkan pintu darurat bila seandainya sesuatu terjadi, dan kami merasa was-was di saat malam. Jadi tidur pun terasa harus terjaga.

Kemudian, saat sekolah harus sedikit tertutup dengan menggunakan jaket dan topi untuk menutupi identitas diri sehingga tidak mencolok di luar; itu karena di Semarang ada kejadian dekat rumah kami di mana seorang gadis Cina yang sedang naik motor dipukul sampai jatuh dari motornya dan diperkosa ramai-ramai... dan dia dibiarkan tergeletak begitu saja di jalan. Saya tidak melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri; saya hanya mendengarnya dari tetangga-tetangga yang menyaksikan kejadian ini. Akan tetapi, tidak seorang pun dari mereka yang berani menolong gadis itu saat kejadian berlangsung. Dia akhirnya ditolong dan dibawa ke rumah sakit ketika segerombolan orang jahat itu pergi

117 “Hamp ir Seluruh Kota Sepi dan Mencekam.” 1998. Op. Cit.

118 Wijayanta, Hanibal W.Y., Sen Tjiauw, d kk. Op. Cit. Hal. 19.

119

“Lega..., Lepas dari Jakarta.” 1998. Kompas. 21 Mei. Hal. 8.

120

meninggalkannya; namun, malang gadis itu akhirnya meninggal dunia. Pada saat itu saya merasa sangat takut dan membenci sekali perbuatan [pemerkosa itu] (Lampiran 4.).

2.5 Dampak dari Kerusuhan Mei 1998

Pada saat kerusuhan di Jakarta terjadi, Presiden Soeharto masih hadir di KTT G-15 di Kairo, Mesir; setelah dia diberi tahu keadaan di Indonesia dia segara kembali ke Indonesia. Namun, setiba di Indonesia Presiden Soeharto menyadari dia kehilangan kendali pemerintahan dan kekuasaan karena demonstrasi untuk menuntut dilakukannya reformasi dan penggantian pemerintahan telah mencapai puncaknya; puluhan ribu mahasiswa- mahasiswi berdemonstrasi setiap hari di seluruh Indonesia. Apalagi, empat belas calon anggota kabinetnya telah meninggalkan beliau, dipimpin oleh Menteri/Ketua Bappenas Ir. Ginanjar Kartasasmita. Oleh karena hal- hal itu, pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI, dan Wakil Presiden Habibie mengambil sumpahnya menjadi Presiden RI. Berakhirlah masa Orde Baru dan muncullah masa Reformasi.121

Suasana politik berubah dengan hadirnya Presiden Habibie. Dia segara berusaha untuk menjaga jarak dari rezim otoriter Soeharto dan membersihkan citra buruk Indonesia di dunia internasional. Untuk mendapatkan itu, Presiden Habibie melakukan tiga hal: dia mengutuk Kerusuhan Mei 1998 dalam jumpa pers pada tanggal 15 Juni 1998,122 memerintahkan Jaksa Agung Mayjen Andi Galib, SH. agar memeriksa kasus korupsi yang telah terjadi pada saat Orde Baru, dan juga mulai

121

Setiono, Benny G. Op. Cit. Hal. 1086.

122

menghapus dikotomi di antara orang Pribumi dan orang Non-Pribumi dengan cara mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 pada tanggal 16 September 1998.123 Namun, selama berbulan-bulan setelah kerusuhan, masih ada orang yang mengancam korban kerusuhan dan menyatakan bahwa kerusuhan itu akan terulang.124

123

Setiono, Benny G. Op. Cit. Hal. 1087 – 1090.

124

BAB 3

ANALISIS STRUKTURAL NOVEL PUTRI CINA

Bab ini, yang membahas struktur novel Putri Cina, mulai dari sudut pandang dan gaya bahasa yang digunakan supaya pengertian alur yang lebih mendalam dapat digarap. Peristiwa-peristiwa dalam cerita tidak bisa lepas dari bagaimana alur disampaikan; tidaklah mungkin bahwa ada eksposisi tentang perilaku antagonis dalam cerita bersudut-pandang Aku-an. Sementara, setelah alur dibahas maka hal- hal yang tergantung pada alur, yaitu latar dan penokohan, akan dijelaskan supaya pengertian alur ini menjadi lebih bulat. Terakhir ada tema, yang mengikat segala aspek cerita.

3.1. Sudut Pandang

Novel Putri Cina ditulis dalam sudut pandang dia-an maha-tahu. Dia-an ini memusatkan tokoh “Putri Cina” dan Giok Tien, tetapi ada pula tokoh lain yang pikirannya disampaikan penulis. Berikut ada tiga contoh, satu dari pihak Putri Cina, satu dari Giok Tien, dan satu dari Prabu Murhardo sebagai tokoh minor. Yang mengisahkan Putri Cina berbunyi demikian:

Tak henti-hentinya, ia si Putri Cina itu, bertanya, ke mana wajahnya? Segala jawab ia dapatkan, toh belum juga wajah itu ia temukan. Ia tidak sadar, ia sendiri yang telah meletakkan wajahnya. Ia merasa, wajah itu berat dan amat mengganggunya. Sekarang, wajah itu bagaikan sebuah topeng yang selalu ada di tangannya.125

Sementara, kutipan dari bagian yang mengisahkan Giok Tien:

125

Giok Tien baru saja melepas dandanannya. Tiba-tiba di hadapannya berdiri seorang lelaki tampan dan gagah perkasa. Giok Tien sendiri terkejut, mengapa di hatinya terasa, seakan ia melihat Pangeran Tejaningrat sungguhan berdiri di hadapannya? ‘Tidakkah Pangeran Tejaningrat itu hanyalah Tejo, temanku sesama pemain Ketoprak Sekar Kastubo yang sudah kukenal setiap hari? Kenapa ia seakan menjadi sungguh nyata, persis seperti kubayangkan sebagai Tejaningrat yang asli, ketika aku main sebagai Roro Hoyi?’ tanya Giok Tien dalam hati.126 Sementara, kutipan dari bagian yang mengisahkan perilaku Prabu Murhardo:

Prabu Amurco Sabdo berhenti lagi sejenak. Ia terentak dan bertanya mendadak. Mengapa senapatinya bisa memiliki Putri Cina yang cantik ini, dan aku sendiri tidak? Hatinya lalu makin bergelora panas. Sekarang Gurdo Paksi, senapatinya, tak mau patuh dan taat pada perintahnya. Dan bisa saja ia mengkhianatinya. Sebelum ia dikhianati oleh Senapati, apa salahnya ia menikmati istrinya yang cantik ini? Senapati boleh menghancurkan kekuasaannya, tetapi apa arti kemenangan itu, bila ia bisa menggagahi dan menghancurkan istrinya ini? Ya, dengan menaklukkan istrinya, ia telah menaklukkan dan membungkam kuasa Senapati, jika ia memang sungguh hendak

Dokumen terkait