• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kerusuhan Mei 1998 dalam novel Putri Cina karya Sindhunata - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh kerusuhan Mei 1998 dalam novel Putri Cina karya Sindhunata - USD Repository"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KERUSUHAN MEI 1998 DALAM NOVEL

PUTRI CINA

KAR YA SINDHUNATA Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh:

Christopher Allen Woodrich NIM: 084114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

(3)

iii Merahnya Merah-Putihku

Setetes darah

Percik di benderaku tercinta Darah mereka tak berdosa Menjadi kambing hitam belaka Teriak sunyi orang tersiksa Masih bergema, masih bergema Tiada kita perdulikan nista

Teman kita dalam Bhineka Tunggal Ika Sewindu setengah telah berlalu

Tapi masih terharu hatiku

Melihat sang merah-putih berduka Semakin merah karna dosa kita Kapankah kita kan bekerja sama Kapankah merah-putihku bisa bahagia Bersih dari darah korban api dan musnah Merah merah semangat bukan luka Dijilat api benderaku masih berlambai Memberi sinar harapan bangsa

Sementara impian tak tercapai Selama kita masih memangsa

(4)

iv Tugas Akhir

PENGARUH KERUSUHAN MEI 1998 DALAM NOVEL

PUTRI CINA

KAR YA SINDHUNATA

Oleh:

Christopher Allen Woodrich NIM: 084114001

Telah disetujui oleh Pembimbing I

tanggal 5 January 2012 (Susilawati Peni Adji, S.S. M. Hum.)

Pembimbing II

(5)

v

PENGARUH KERUSUHAN MEI 1998 DALAM NOVEL

PUTRI CINA

KAR YA SINDHUNATA Dipersiapkan dan ditulis oleh

Christopher Allen Woodrich NIM: 084114001

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada 9 Januari 2012

Dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua Herry Antono ... Sekretaris S. E. Peni Adji ... Anggota Yoseph Yapi Taum ...

I. Baryadi Praptomo

S. E. Peni Adji ... ...

Fakultas Sastra

Dekan

(6)

vi

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akade mis

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Christopher Allen Woodrich NIM : 084114001

yang merupakan mahasiswa Sanata Dharma, memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Pengaruh Kerusuhan Mei 1998 Dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada) demi pengembangan ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Tulisan ini juga dilepaskan dengan lisensi hak cipta Creative Commons Attribution Share-Alike.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta, pada tanggal 12 January 2012

Yang menyatakan

(7)

vii ABSTRAK

Untuk memahami suatu karya sastra perlu kita memahami latar belakang sosial-budayanya, khususnya peristiwa sejarah di daerah karya itu ditulis. Demikian pula halnya meneliti Putri Cina, karya Sindhunata. Makalah ini bertujuan mencari hubungan antara Kerusuhan Mei 1998 dengan memahami unsurnya, yaitu Kerusuhan Mei 1998 dan karya Putri Cina. Dari pengertian dasar itu akan ditarik kemiripan dengan menggunakan teori sosiologi sastra.

Pada bulan Mei 1998 terjadi suatu peristiwa yang sampai sekarang mempengaruhi psikis orang keturunan Cina di Indonesia, khususnya yang WNI. Pada saat itu terjadi amuk massa yang amat keji dan diarahkan kepada orang Cina: perkosaan, pembunuhan, penjarahan dan pembakaran. Amuk massa ini akhirnya memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Kini peristiwa itu dikenal Kerusuhan Mei 1998.

Putri Cina menceritakan kehidupan dua perempuan Cina, yaitu Putri Cina, yang agak mistis, dan Giok Tien, yang menikah dengan seorang pribumi. Putri Cina merasa kehilangan identitasnya, maka dia melewati beberapa masa, dari keruntuhan kerajaan Majapahit sampai pada akhir rezim Prabu Amurco Sabdo, untuk mencari identitas itu. Giok Tien adalah istri Setyoko, senapati kerajaan Medang Kamulan Baru. Kakak-kakaknya dibunuh dan dia sendiri diperkosa. Biarpun akhirnya dia diselamatkan Setyoko dan berdua mereka memaksa Prabu Amurco Sabdo mengundurkan diri, dia tidak percaya pada suaminya. Ketika mereka akhirnya berbaikan, Setyoko dan Giok Tien dibunuh orang yang mengharapkan Giok Tien dari zaman dahulu.

(8)

viii

ABSTRACT

In order to understand a literary work one must understand its social and cultural background, especially the history of the area where it is written. The above statement holds true as well for analysing Putri Cina, by Sindhunata. This paper will explain the May 1998 tragedy and Putri Cina and then draw parallels between the two using the theory of sociology of literature.

In May 1998 something happened that until now affects people of Chinese descent in Indonesia, especially those who are Indonesian citizens. At that time a large pogrom occurred, directed towards Chinese-Indonesians. These acts included rape, murder, pillaging and razing. This pogrom eventually forced Suharto, the president of Indonesia, to resign. Now that event is known as the May 1998 Tragedy.

Putri Cina is about the lives of two Chinese women, namely Putri Cina (literally Chinese Princess), who is almost mystical, and Giok Tien, who is married to a pribumi (one considered to be indigenous to Indonesia). Putri Cina feels like she has lost her identity, so she travels through time, from the fall of the Majapahit kingdom up until the end of Prabu Amurco Sabdo’s regime to find it. Giok Tien is Setyoko’s wife, making her the wife of the commander in chief of the army of the kingdom of Medang Kamulan Baru. Her older sisters are murdered and she herself is raped. Even though she is eventually rescued by Setyoko and together they force Prabu Amurco Sabdo to resign, she doesn’t trust her husband. When they eventually are able to trust each other again, they are killed by one of Giok Tien’s long time admirers.

(9)

ix KATA PENGAN TAR

Tulisan ini merupakan suatu titik akhir dari perjalanan yang sudah saya tempuh selama sepuluh tahun, sejak kelas enam SD saat saya mulai mengenali kebudayaan Asia. Sejak itu, saya sudah mengikuti pertukaran pelajar ke Indonesia sehabis SMA dan bahkan kembali ke Indonesia untuk kuliah. Berdasarkan latar belakang saya dengan banyak teman keturunan Cina dan obsesi saya dengan hak asasi manusia, tugas akhir ini pun dapat diselesaikan.

Atas bantuan mereka dalam penyelesaian makalah ini saya ingin ucapkan terima kasih kepada orang-orang berikut:

• Trifosa Sie Yulyani Retno Nugroho, atas dukungannya dalam semua tugas akademik.

• Keluarga saya di Kanada, khususnya ibu saya Diane Marie Boismier dan nenek saya Sarah Della Whitehead Sr., untuk dukungannya selama saya kuliah di Indonesia.

• Peni Adji, S.S. M. Hum., untuk kesabarannya selama membimbing saya dalam penulisan tugas akhir ini.

• Dr. I Praptomo Baryadi M. Hum., untuk kesabarannya dalam membantu mengoreksi tata bahasa dan diksi

• Sindhunata, untuk usahanya memperjuangkan hak warga Tionghoa melalui karya ini.

Makalah ini tidak sempurna dan apabila terjadi kekurangan saya mohon maaf lebih dahulu. Terima kasih.

Yogyakarta, 12 January 2012

(10)

x

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 12 Januari 2012 Penulis

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSEMBAHAN ... ii

KUTIPAN PEMBUKA ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1: PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Tinjauan Pustaka ... 3

1.5 Landasan Teori ... 5

1.5.1 Teori Strukturalisme ... 5

1.5.2 Teori Sosiologi Sastra ... 7

1.6 Metode Penelitian ... 11

1.6.1 Metode Pengumpulan Data ... 11

1.6.2 Metode Analisis Data ... 12

1.6.3 Metode Penyajian Data ... 12

(12)

xii

1.7 Sistematika Penyajian ... 13

BAB 2: KERUSUHAN MEI 1998 DI INDONESIA ... 15

2.1 Latar Belakang ... 15

2.2 Kerusuhan di Jakarta ... 18

2.2.1 Secara Umum ... 18

2.2.2 Kerusuhan dan Penjarahan ... 22

2.2.3 Kekerasan Terhadap Etnis Cina ... 27

2.2.4 Respons Aparat ... 31

2.2.5 Reaksi Warga ... 33

2.3 Kerusuhan di Surakarta ... 35

2.4 Kerusuhan di Kota Lain ... 39

2.5 Dampak dari Kerusuhan Mei 1998 ... 41

BAB 3: ANALISIS STRUKTURAL NOVEL PUTRI CINA ... 43

3.1 Sudut Pandang ... 43

3.2 Gaya Bahasa ... 44

3.3 Alur ... 46

3.4 Latar ... 54

3.4.1 Latar Tempat ... 54

3.4.2 Latar Waktu ... 56

3.3.3 Latar Sosio-Budaya ... 57

3.5 Penokohan ... 58

3.5.1 Putri Cina ... 58

3.5.2 Giok Tien ... 60

3.5.3 Setyoko / Gurdo Paksi ... 61

3.5.4 Radi Prawiro / Joyo Sumengah ... 63

3.5.5 Prabu Murhardo / Prabu Amurco Sabdo ... 64

3.5.6 Korsinah ... 65

3.5.7 Keluarga Giok Tien ... 66

(13)

xiii

3.6 Tema ... 67

3.6.1 Krisis Identitas... 67

3.6.2 Kemabukan Kekuasaan ... 69

3.6.3 Cinta Sejati ... 71

BAB 4: PENGARUH KERUSUHAN MEI 1998 DALAM PUTRI CINA 74

4.1 Alur ... 74

4.2 Latar ... 81

4.2.1 Latar Tempat ... 81

4.2.2 Latar Waktu ... 84

4.2.1 Latar Sosio-Budaya ... 84

4.3 Penokohan ... 87

4.3.1 Putri Cina ... 87

4.3.2 Giok Tien ... 89

4.3.3 Setyoko / Gurdo Paksi ... 90

4.3.4 Radi Prawiro / Joyo Sumengah ... 91

4.3.5 Prabu Amurco Sabdo ... 94

4.3.6 Korsinah ... 96

4.3.7 Keluarga Giok Tien ... 97

4.3.8 Aryo Sabrang ... 99

BAB 5: PENUTUP ... 101

5.1 Kesimpulan ... 101

5.1.1 Ringkasan Penelitian ... 101

5.1.2 Kesimpulan ... 103

5.2. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105

LAMPIRAN ... 109

(14)

xiv DAFTAR ISTILAH

Oleh karena tiga tokoh mengubah nama dengan jabatan baru atau berjalannya waktu, akan digunakan hanya satu nama untuk ketiga tokoh itu, berdasarkan nama pertama yang digunakan secara kronologis, yaitu:

Nama Yang Dilambangkan

Prabu Murhardo : Prabu Murhardo / Prabu Amurco Sabdo Setyoko : Setyoko / Gurdo Paksi

Radi Prawiro : Radi Prawiro / Joyo Sumengah

Selain itu, di tugas akhir ini digunakan istilah Cina, yang kadang dianggap sebagai penghinaan, a untuk menjaga konsistensi dengan novel Putri Cina, yang menggunakan istilah itu.

a Istilah Tionghoa dan China sering dianggap lebih netral. Lihat Woodrich, Christopher Allen.

(15)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Kerusuhan di Jakarta ... 109

2. Data Kerusakan dan Korban ... 110

2.1 Data Kerusakan dan Korban Versi DKI Jakarta ... 110

2.2 Dat a Ker usak a n da n Korba n Ve rs i Tim Re la wa n Unt uk Kemanusiaan (TRUK) ... 110

2.3 Data Korban Versi RSCM ... 111

2.4 Data Kerusakan dan Korban Versi Kodam Jaya ... 111

2.5 Data Kerugian Bisnis Properti Akibat Kerusakan ... 112

2.6 Data Kerusakan dan Korban TRUK ... 112

2.7 Data Korban Jiwa dan Luka-Luka Versi Tabloid Berita Mingguan Adil ... 112

2.8 Data Kerusakan Versi Tabloid Berita Mingguan Adil ... 113

2.9 Data Perkosaan Tim Gabungan Pencari Fakta ... 113

3. Transcript Wawancara dengan Wahyu Apri Wulan Sari ... 114

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra bertitik tolak pada dunia nyata, termasuk karya sastra Indonesia. Pada waktu sastra Indonesia lahir, kekuasaan Belanda mewarnai semua aspek kehidupan; dengan demikian, karya sastra yang diterbitkan, seperti Sitti Nurbaya, di permukaan tampak pro-Belanda.1 Pada saat perang kemerdekaan, kemanusiaan dan semangat perjuangan tidak dapat terpisah dari kehidupan; demikian pula pada karya sastra, seperti dalam Jalan Tak Ada Ujung, yang mengutamakan tema kemanusiaan dan kemerdekaan. Setiap periode diilhami oleh peristiwa nyata.2

Demikian pula Putri Cina karya Sindhunata, yang diterbitkan pada tahun 2007. Akibat kekacauan ekonomi, pada tahun 1998 orang keturunan Cina dijadikan kambing hitam di seluruh Indonesia. Di Jakarta sendiri, dalam waktu tiga hari (dari tanggal 13 – 15 Mei 1998) sebanyak 1.217 orang tewas,3 152 wanita diperkosa,4 dan ada kerugian material setidaknya Rp. 2,5 triliun.5 Sebagai akibat dari krisis ekonomi dan kerusuhan di “kota paling aman dan dijaga se-Indonesia,” akhirnya Presiden

1 Siregar, Bakri. Sedjarah Sastera Indonesia Modern. 1964. Akademi Sastera dan Bahasa

“Multatuli”: Jakarta. Hal. 31 – 32.

2 Teeuw, A. Sastra Baru Indonesia I. Diterjemahkan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Ed isi Pertama.

1980. Nusa Indah: Ende. Hal. 170 – 172.

3 Hartin ingsih, Maria, dan Ahmad Arif. “Tragedi Mei: Membaca Kota dari Puing Berjelaga.” 2008.

Kompas. 16 Mei. Hal. 49.

4 “Soal Kerusuhan: Pemerintah Bentuk Tim Interdep.” 1998. Kompas. 14 Ju li. Hal. 6. 5

(17)

Suharto terpaksa mengundurkan diri.6 Kerusuhan ini menyebabkan hilangnya identitas dalam batin warga keturunan Cina, yang menjadi bingung: apa artinya nasionalitas, kalau tidak bisa Cina dan tidak bisa Indonesia? Putri Cina lahir sebagai tanggapan pertanyaan itu.7

Biarpun Putri Cina merupakan tanggapan atas pertanyaan identitas, novel itu tidak dapat dipisahkan dari peristiwa yang telah mengilhaminya. Novelnya penuh dengan peristiwa yang menjadi paralel kerusuhan Mei 1998, di antaranya kerusuhan yang menjadi alasan pembunuhan orang Cina, perkosaan wanita Cina, ketidakmampuan pemerintah untuk mencegah kerusuhan, dan gara-gara yang tersebar di seluruh Indonesia. Sejauh manakah Putri Cina mencerminkan realitas?

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini memecahkan tiga masalah, yaitu:

1.2.1 Bagaimanakah peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia? 1.2.2 Bagaimanakah struktur novel Putri Cina karya Sindhunata?

1.2.3 Bagaimanakah Kerusuhan Mei 1998 mempengaruhi Putri Cina karya Sindhunata?

6 Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. 2008. Yayasan Obor Indonesia:

Jakarta. Hal. 212

7

(18)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tiga tujuan sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. 1.3.2 Mendeskripsikan struktur novel Putri Cina karya Sindhunata.

1.3.3 Mendeskripsikan pengaruh Kerusuhan Mei 1998 terhadap novel Putri Cina karya Sindhunata.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka telah ditemukan beberapa pembahasan Putri Cina

karya Sindhunata. Pembahasan-pembahasan yang ditemukan ada yang merupakan skripsi/tugas akhir, esai dan resensi buku.

Pembahasan pertama ditulis oleh Maria Hartiningsih berjudul “Pergumulan Menguakkan Identitas”. Tulisan ini merupakan resensi buku Putri Cina. Resensi yang diterbitkan di Kompas pada tanggal 23 September 2007 ini memberi sinopsis plot, serta membahas salah satu pesan novel, yaitu “Identitas Tunggal adalah Ilusi.” Biarpun ada sedikit pembahasan interteks pada pembukaan dengan menjelaskan sedikit tentang Kerusuhan Mei 1998 dan pengaruhnya di dunia sastra, serta satu paragraf yang menarik keparalelan di antara dunia nyata dan dunia Putri Cina:

Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang berbeda-beda. Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu (hal 149-150). Sejarah kontemporer mencatat pengambinghitaman etnis Cina sejak tahun 1740 (hal 85-86).8

8

(19)

Dalam penulisan ini belum dijumpai pembahasan sosiologi sastra historis yang mendalam. Sementara, tugas akhir ini diharapkan dapat membahas ilham dari sudut sosiologi sastra sejarahwi secara lebih dalam.

Ditemukan pula sebuah skripsi dari Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada berjudul “Novel Putri Cina Karya Sindhunata: Analisis Intertekstual” oleh Dedy Purwono. Skripsi ini, yang diselesaikan pada tahun 2008, membahas Putri Cina dengan teori interteks. Skripsi Dedy sebagaimana dikemukakan di inti sarinya:

Berdasarkan teori intertekstual, nampak kehadiran teks-teks lain dalam novel Putri Cina. Teks lain yang kehadirannya dapat dilacak dalam novel Putri Cina yaitu Babad Jaka Tingkir, Babad Tanah Jawa, sajak-sajak Cina klasik, drama “Jakarta 2039”, dan novel Sam Pek Eng Tay. Kehadiran teks-teks tersebut saling berkaitan dan menetralisasi satu sama lain sehingga berhasil menambah kualitas novel Putri Cina sebagai sebuah produktivitas.9

Skripsi tersebut bertujuan untuk mencari interteks di antara Putri Cina dengan karya sastra lain. Sementara, tugas akhir ini akan mencari pengaruh Kerusuhan Mei 1998 dalam karya Putri Cina dengan menggunakan teori sosiologi sastra.

Sementara, Novita Dewi, dosen Kajian Bahasa Inggris (Pascasarjana) di Universitas Sanata Dharma, menulis makalah mengenai bagaimana Putri Cina

melambangkan usaha untuk rekonsilasi masyarakat pasca-Kerusuhan Mei 1998. Sebagaimana dinyatakan dalam abstraknya,

Tulisan ini bertujuan mengungkapkan adanya rekonsilasi pasca konflik lewat imajinasi historis dalam karya terbaru Sindhunata Putri Cina (2007). Rekonsilasi akan pesan perdamaian ditunjukkan melalui menerimanya tokoh akan ketidakjelasan identitasnya. Pesan ini dikemas

9

(20)

menggunakan narasi tentang peperangan, balas dendam, dan pengambinghitaman dengan mengangkat sejarah, mitos, cerita rakyat, dan realitas politik modern yang menggarisbawahi kengerian dan kesia-siaan perang antarsaudara. Rekonsilasi dan peran perdamaian ini dibayar oleh cinta dan kematian.10

Tulisan Novita Dewi ini menggunakan sosiologi sastra sejarah, folklor, dan politik untuk menunjukkan bagaimana novel Putri Cina merupakan sebuah usaha untuk merekonsiliasi suku pribumi dengan orang keturunan Cina. Sementara, tugas akhir ini mengutamakan teori sosiologi sastra sejarah dan dimaksud untuk menemukan ilham- ilham Putri Cina.

1.5 Landasan Teori

Dalam tugas akhir ini akan digunakan dua teori, yaitu teori strukturalisme untuk memahami novel Putri Cina dan teori sosiologi sastra untuk memahami hubungannya dengan Kerusuhan Mei 1998.

1.5.1 Teori Strukturalisme

Teori strukturalisme dalam sastra merupakan pengertian struktural terhadap sebuah karya sastra, baik prosa, puisi maupun drama. Berdasarkan strukturnya; penelitian ini akan menelusuri sudut pandang naskah, alur cerita, latar, penokohan, dan tema.

10

(21)

Sudut pandang merupakan bagaimana suatu cerita disampaikan. Apabila disampaikan dengan “aku-an” (tokoh utama ialah si “Aku”), maka sudut pandangnya disebut orang pertama. Apabila cerita disampaikan dengan menggunakan nama tokoh dan narator yang mempunyai kedudukan di luar cerita, maka naskah mempunyai sudut pandang orang ketiga atau “dia-an”. Sudut pandang orang ketiga ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu terbatas (hanya mengetahui beberapa tokoh saja), dan mahatahu (mengetahui keadaan dan pikiran semua tokoh).11

Alur cerita (plot) adalah apa yang terjadi dalam cerita. Alur ini dibagi dalam lima bagian, yakni perkenalan, munculnya konflik, perkembangan konflik, klimaks dan penyelesaian. Walaupun secara umum kelima bagian tersebut berurutan, ada juga karya yang menggunakan urutan yang berbeda, dengan menggunakan teknik seperti

flashback untuk mengembangkan cerita.12

Latar terdiri dari tiga bagian, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosio-budaya. Latar tempat adalah ruang lingkup di mana cerita terjadi, baik secara sempit (misalnya istana presiden) maupun luas (misalnya Jawa Barat). Latar waktu adalah kurun waktu di mana sebuah peristiwa itu terjadi, baik secara sempit (misalnya jam tiga siang), maupun luas (misalnya tahun 1998). Latar sosio-budaya adalah keseluruhan adat dan kebudayaan di tempat dan waktu di mana cerita terjadi.13

11 Ratna, Nyo man Kutha. Teori, Metode, dan Tek nik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga

Postruk turalisme Perspek tif Wacana Naratif. Cetakan 1. 2004. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal. 319 – 320

12 Ibid. Hal. 240 – 243. 13

(22)

Penokohan adalah perkembangan tokoh-tokoh dalam cerita. Ada tiga jenis tokoh, yaitu protagonis (pelaku/pendorong cerita), antagonis (penghambat protagonis), dan tritagonis (pembantu protagonis dan / atau antagonis). Hubungan di antara para tokoh dapat menyebabkan dan menyelesaikan konflik.14

Tema adalah pembahasan terhadap hal- hal mendasar dalam naskah yang merupakan perjuangan universal. Ada tema klasik, seperti ‘yang baik mengalahkan yang jahat,’ dan ada juga yang lebih jarang digunakan seperti ‘yang jahat mengalahkan yang baik.’15

Dalam penelitian ini, yang akan dijadikan acuan ialah plot, latar, penokohan, dan tema, sementara sudut pandang akan disinggung pada Bab III tapi tidak didalami pada Bab IV.

1.5.2 Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra (juga disebut sosiokritik) adalah ilmu sastra interdisiplin (ilmu sastra dengan ilmu sosiologi)16 yang dipicu sebagai tanggapan atas kekurangan teori strukturalisme. Oleh karena dipercaya bahwa karya sastra harus dipahami sebagai satu aspek kebudayaan yang melengkapi kebudayaan lain, sosiologi sastra berusaha untuk memahaminya dalam konteks kebudayaan itu. Semua aspek saling melengkapi, baik pengarang, artifak, pembaca, maupun interteks.17

14 Ratna, Nyo man Kutha. Op. Cit. Hal. 318. 15 Obstfeld, Raymond. Op. Cit. Hal. 1, 65, 115, 171. 16

Ratna, Nyo man Kutha. Op. Cit. Hal. 338.

17

(23)

Menurut Jonathan Culler, karya sastra, yang merupakan suatu sistem simbol, hanya dapat mempunyai arti apabila dijelaskan dari mana asal- usulnya dan untuk siapa dimanfaatkan. Penelitian yang tidak memperhatikan ini tidak dapat menjelaskan karya sastra dengan sesungguhnya.18

Dalam penerapannya, teori sosiologi sastra dinyatakan lebih mudah dipergunakan untuk prosa, khususnya novel. Menurut Nyoman Kutha Ratna, ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, serta paling luas. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung bahasa sehari- hari, sehingga paling mudah dipahami.19

Sosiologi sastra dianggap teori yang baru. Biarpun dinyatakan telah lahir pada abad kedelapan belas, baru ada buku teks yang diterbitkan pada tahun 1970.20 Walaupun demikian, perkembangannya sudah pesat. Di bawah ini dijelaskan berbagai aspek teori sosiologi sastra.

Menurut Nyoman Kutha Ratna, kedudukan karya sastra adalah sebagai berikut.

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin. Ketiga subjek itu adalah anggota masyarakat.

2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga digunakan masyarakat.

18 Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of

Literature. Routledge & Kegan Pau l: London. Hal. 5. dalam Ratna, Nyo man Kutha. Op. Cit. Hal. 337.

19

Ratna, Nyo man Kutha. Op. Cit. Hal. 335 – 336.

20

(24)

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah- masalah kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat- istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas; artinya, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.21

Dengan demikian, menurut Nyoman Kutha Ratna kekayaan karya sastra terjadi karena dua hal, sebagaimana dijelaskan di bawah.

1. Pengarang, dengan pengetahuan intersubjektivitasnya, menggali kebudayaan masyarakat lalu memasukkan kebudayaan itu dalam karyanya. Keberhasilan pemasukan kebudayaan itu bertitik tolak pada kemampuan pengarang dalam melukiskannya.

2. Pembaca, dengan pengertian kebudayaan itu, memahami apa yang dibaca dengan kaca mata budaya itu. Apabila pembaca tidak memahami atau berasal dari kebudayaan itu, sangat susah untuk karya sastra berhasil mengesankan pembaca.22

Menurut Nyoman Kutha Ratna, karya sastra selamanya milik masyarakat yang melahirkan pengarangnya. Selama hidup pengarang, dia dapat diakui sebagai

21

Ibid. Hal. 333.

22

(25)

pengarang karya sastra. Namun, setelah kematiannya pengarang tunggal itu diganti dengan pengarang jamak, yaitu masyarakat yang melahirkan situasi sosio-budaya yang mewarnai karya sastra. Pengarang jamak ini yang dinamakan pengarang implisit. Tidak ada karya sastra yang merupakan hanya hasil dunia batin pengarang sendiri.23

Pernyataan serupa dinyatakan oleh ahli ilmu sastra lain. Menurut Jonathan Culler, tidak ada karya sastra yang berasal dari pikiran yang benar-benar independen yang dapat dimengerti oleh masyarakat luas. Apabila karya sastra diharapkan untuk dibaca, dipahami, dan dinikmati masyarakat, harus termasuk horison harapan

pembaca, atau sistem kebiasaan dan pikiran umum di masyarakat itu yang sudah pasti akan dipahami pembaca. 24

Sebagai ilmu interdisiplin antara ilmu sastra dan sosiologi, sosiologi sastra juga menerapkan berbagai aspek kebudayaan, antara lain sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Namun, prioritas dalam penelitian sosiologi sastra adalah karya sastra sendiri, dengan ilmu- ilmu lain sebagai ilmu pembantu.25

Ada tiga macam model penelitian karya sastra yang dapat digunakan seorang peneliti, sebagai berikut:

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi.

23 Ibid. Hal. 336. 24

Culler, Jonathan. Op. Cit. Hal. 5. dalam Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 337.

25

(26)

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu.

3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan dengan menggunakan disiplin tertentu. Model ini mudah diterapkan dengan cara yang salah, sehingga karya sastra menjadi objek kedua.26

Dalam penelitian ini, aspek sosiologi sastra yang akan diteliti adalah sejarah, dengan menggunakan model ketiga.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan di atas, diperlukan data yang cukup mengenai Kerusuhan Mei 1998 beserta unsur intrinsik novel Putri Cina. Untuk pengumpulan data itu, digunakan dua metode, yaitu kajian pustaka dan wawancara.

Untuk data tentang Kerusuhan Mei 1998, akan digunakan sumber sekunder, antara lain buku sejarah, artikel koran, artikel majalah, dan novel. Sementara, untuk data mengenai perasaan dan pengalaman orang, akan digunakan metode wawancara supaya perasaan dan pengalaman korban lebih menonjol.

26

(27)

1.6.2 Metode Analisis Data

Oleh karena ketiga masalah yang akan dipecahkan dalam tugas akhir ini mempunyai sifat yang sangat berbeda, akan digunakan tiga metode analisis data. Untuk Bab 2, yang bersifat sejarah kuantitatif/kualitatif, akan digunakan metode historis deskriptif agar apa yang terjadi dapat dikemukakan dengan jelas. Untuk Bab 3, yang menggunakan teori strukturalisme, akan digunakan metode analisis objektif-deskriptif, sesuai dengan filsafat dasar teori strukturalisme bahwa tidak ada unsur di luar karya sastra yang berperan dalam pembentukan karya sastra tersebut. Sementara, untuk Bab 4, yang berusaha untuk menghubungkan keterjadian pada Kerusuhan Mei 1998 dengan keterjadian dalam novel Putri Cina, akan digunakan metode komparatif, dengan menarik kesamaan di antara kenyataan sejarahwi dan keterjadian dalam novel.

1.6.3 Metode Penyajian Data

Data akan disajikan secara deskriptif, dengan kesimpulan ditarik dari deskripsi itu.

1.6.4 Sumber Data

(28)

mengetahui emosi yang terasa oleh korban kerusuhan, sementara sumber tersier dalam bentuk kamus digunakan untuk penerjemahan istilah-istilah asing.

1.7 Sistematika Penyajian

Tugas akhir ini akan dibagi menjadi lima bab dan tujuh belas subbab. Bab satu adalah pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi menjadi tujuh subbab dan menjelaskan latar belakang masalah, masalah, teori yang digunakan, tujuan dan metode penelitian, dan sistem penyajian.

Bab dua berfungsi sebagai informasi yang menjelaskan Kerusuhan Mei 1998, ditarik dari berbagai sumber sekunder dan hasil wawancara pribadi. Bab ini akan dibagi menjadi lima subbab, dengan subbab pertama menjelaskan penyebab Kerusuhan Mei 1998, subbab dua menceritakan peristiwa di Jakarta, subbab tiga menceritakan peristiwa di Surakarta, subbab empat menceritakan garis besar kerusuhan di kota lain dan subbab lima menjelaskan dampak kerusuhan itu dalam batin warga Cina.

Bab tiga adalah kajian struktural Putri Cina. Bab ini akan dibagi dalam lima subbab. Setiap subbab akan merupakan penjelasan salah satu aspek struktur Putri

Cina, yaitu sudut pandang, alur cerita, latar cerita, penokohan, dan tema.

(29)
(30)

BAB 2

KERUSUHAN MEI 1998 DI INDONESIA 2.1 Latar Belakang

Kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998 adalah akibat dari krisis moneter yang telah terjadi di Asia Selatan-Timur mulai di Thailand pada bulan Juli 1997. Pada saat itu, pemerintah Thailand memutuskan mengembangkan nilai tukar baht. Itu menyebabkan nilai tukar mata uang negara tetangganya, seperti ringgit dan rupiah, bergoyang. Sebagian besar mata uang di Asia Selatan-Timur menjadi lemah, termasuk rupiah. Pada tanggal 13 Agustus 1997 harga tukar rupiah sudah sampai nilai terendah yang pernah ada sampai saat itu, dengan harga tukar sebanyak Rp. 2.682 per dolar AS. Semakin hari harga tukar rupiah menjadi semakin rendah, dan harga barang dan keperluan dasar seperti nasi menjadi semakin mahal. Walaupun pemerintah Indonesia dapat pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF), tarik- menarik di antara pemerintah Indonesia dan IMF membuat situasi di Indonesia menjadi semakin buruk, sampai pada Maret 1998 situasi ekonomi di Thailand dan negara- negara lain sudah mulai menjadi lebih baik, tetapi situasi di Indonesia menjadi semakin buruk.27

Kehancuran ekonomi ini tidak dapat diacuhkan oleh masyarakat. Pada tengah dan akhir tahun 1997 jumlah mahasiswa- mahasiswi yang melakukan aksi keprihatinan, dan itu hanya di kampus mereka saja. Kemudian, mulai pada bulan Januari 1998 jumlah mahasiswa- mahasiswi yang berpartisipasi dalam aksi-aksi

27

(31)

keprihatinan mulai bertambah sampai ratusan orang; juga ada dosen dan alumni yang mulai terlibat. Aksi keprihatinan besar pertama terjadi pada tanggal 16 Januari, 1998 di Kampus Institut Teknologi Bandung; aksi keprihatinan ini disusun oleh lebih dari 500 mahasiswa- mahasiswi. Setelah itu aksi keprihatinan menjadi semakin besar, seperti aksi keprihatinan yang terjadi di Universitas Indonesia pada tanggal 25 dan 26 Februari dan yang terjadi di Universitas Gadjah Mada pada bulan Maret 1998.28 Akhirnya aksi-aksi keprihatinan terus meluas sampai ke seluruh kota besar di Indonesia, dan hampir setiap hari berlangsung demonstrasi mahasiswa- mahasiswi.29

Demonstrasi semakin hari menjadi semakin terbuka anti-pemerintah. Contohnya, pada aksi keprihatinan yang terjadi di Universitas Gadjah Mada sebuah boneka kertas Presiden Soeharto yang setinggi dua meter dibakar; marak- marak seperti ini tidak jarang berlanjut menjadi bentrokan antara mahasiswa- mahasiswi dan aparat keamanan. Agar masyarakat bisa lebih tenang dan mahasiswa- mahasiswi bisa kembali belajar tanpa melakukan aksi keprihatinan lagi, Menteri Pertahanan dan Keamanan / Panglima ABRI (Menhankam/Pangab) Jenderal Wiranto mengajak masyarakat menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dalam dialog. Namun, pada awalnya senat mahasiswa-mahasiswi menolak ajakan berdialog. Akhirnya pada tanggal 18 April 1998 terjadi sebuah dialog antara pemerintah dan tokoh masyarakat, cendekiawan, dan mahasiswa- mahasiswi di Gedung Niaga Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran. Namun, sejumlah senat mahasiswa-mahasiswi tidak hadir dan, walaupun

28 Ibid. Hal. 83 – 84. 29

(32)

Menhankam/Pangab menganggap dialog itu sukses, sebenarnya dialog antara pemerintah dan senat mahasiswa- mahasiswi itu tidak menyurutkan niat para mahasiswa- mahasiswi untuk terus menggelar aksi-aksi keprihatinan dan mimbar bebas.30

Awal Mei 1998 suasana di Indonesia masih sangat kacau, penuh dengan rasa takut dan ragu. Aksi mahasiswa-mahasiswi menjadi semakin luas, tetapi di antara semua ini rezim Soeharto memutuskan untuk menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Soeharto menyatakan bahwa, sesungguhnya, harga BBM sudah lama mau dinaikkan tetapi situasi sampai saat itu belum memungkinkannya, dan apabila harganya tidak dinaikkan, keadaan akan lebih berat lagi. Setelah mengumumkan itu, Presiden Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir untuk hadir di Konferens Tingkat Tinggi G-15. Setelah dia pergi, suasana menjadi semakin kacau.31

Korban dari aparat keamanan pertama dalam kekacauan dan aksi-aksi keprihatinan ini ialah Letnan Dua (Pol) Dadang Rusmana, Kepala Satuan Intelijen Kepolisian Resor Bogor; dia tewas di Rumah Sakit Ciawi pada pukul 16.00, tanggal 9 Mei 1998, setelah dihajar kepalanya dengan batu sampai pingsan oleh mahasiswa-mahasiswi saat dia mengamankan protes mereka di Kampus Universitas Djuanda (Unida) di Bogor. Selain Letnan Dua (Pol) Dadang Rusmana ada satu pihak keamanan lain yang tewas setelah menjadi korban pemukulan mahasiswa- mahasiswi,

30

Luhulima, James. Op. Cit. Hal. 84 – 86.

31

(33)

yaitu Kapten (Inf.) Ali, Kepala Seksi Intelijen Komando Distrik Militer Bogor.32 Kedua kematian itu menyebabkan pihak keamanan menjadi semakin keras terhadap mahasiswa- mahasiswi yang melakukan demonstrasi, hingga tiga hari kemudian terjadi sebuah tragedi yang, setelah semua sudah berakhir, menyebabkan ribuan orang tewas se-Indonesia, kehancuran harta yang bernilai triliunan rupiah, dan memaksa Soeharto mengundurkan diri.

Pada pukul 17:20, tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa dari Universitas Trisakti yang memprotes situasi ekonomi dan rezim Soeharto, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan Hafidhin Alifidin Royan, ditembak mati setelah mahasiswa-mahasiswi mulai kembali ke kampus setelah melakukan aksi keprihatinan tanpa senjata dan secara teratur.33 Pelaku aksi keprihatinan kembali ke halaman kampus Trisakti pada tanggal 13 Mei untuk memprotes kezaliman penguasa militer yang telah menembak mahasiswa-mahasiswi yang tidak bersenjata, dan berhasil membunuh empat di antaranya. Namun, aksi tersebut diarahkan oleh provokator dan kemudian menjadi aksi rasialis anti-Cina.34

2.2 Kerusuhan di Jakarta35

2.2.1 Secara Umum

32 Ibid. 111 – 112. 33 Ibid. 112 – 113.

34 Setiono, Benny G. Op. Cit. Hal. 1083. 35

(34)

Kerusuhan mulai tersebar dari dekat kampus Universitas Trisakti. Pada tanggal 13 Mei, sekitar pukul 11:00 WIB daerah itu ramai dengan mahasiswa yang berduka cita atas kematian rekan mereka. Ada banyak karangan bunga tanda simpati. Ada pula beberapa tokoh politik dan masyarakat berkumpul melakukan orasi, memberi dukungan reformasi yang dipelopori mahasiswa.36

Di luar kampus, terlihat massa terus bertambah. Ada aparat keamanan terlihat berkumpul di bawah jembatan layang Kuningan, memperhatikan massa. Setelah mahasiswa menolak bergabung dengan massa, massa mulai menyebar ke arah Roxy, Tomang, Jalan S. Parman, Jalan Daan Mogot, dan Citraland. Setelah massa bubar terjadi pembakaran di berbagai lokasi yang dilewati.37 Kerusuhan yang mulai dekat Trisakti ini akhirnya sampai ke seluruh Jakarta, bahkan ke Tangerang dan Bekasi.

Massa perusuh, yang diperkirakan dua juta orang,38 terdiri dari orang dari semua segi kehidupan. Ibu- ibu dan bapak-bapak menjarah barang untuk keluarga, remaja-remaja menjarah barang elektronik seperti compact disk dan televisi, kanak-kanak menjarah gula- gula, permen, coklat, dan permainan, sedangkan orang tua menjarah kesukaan mereka. Massa ini sangat bersemangat melakukan kerusuhan ini; mereka beteriak, bertepuk tangan, dan bersorak sambil merusak, menjarah, dan membakar.39

36 Jusuf, Ester Indayani dan Ray mond R. Siman jorang. Rek a Ulang Kerusuhan Mei 1998. 2005. Tim

Solidaritas Kasus Kerusuhan Mei 1998: Jakarta. Hal. 11

37 Ibid. Hal. 15.

38 Chailil, Munawar, dan Tim Foru m. “Di Ujung Aksi Damai.” 1998. Forum Keadilan. 1 Juni 39

(35)

Massa dikendalikan oleh provokator yang dicurigai merupakan anak buah dari aparat dengan persuasi, misalnya “Bakar Citraland!”40 Provokator ini kadang-kadang malah membuat perusuh lain menjadi korban. Contohnya, ratusan ibu- ibu, remaja-remaja, dan anak-anak diprovokasi untuk menyerbu beberapa mal dan menjarah barang-barang, tetapi kemudian menjadi korban pembakaran ketika provokator-provokator membakar mal atau pertokoan tersebut;41 ini terjadi di Yogya Plaza dan Department Store Klender, dan sesedikitnya 259 orang tewas dalam kasus-kasus tersebut.42

Pada umumnya target kerusuhan ini adalah orang Cina; ribuan toko dan rumah yang milik warga etnis Cina dijarah dan dibakar. Demikian juga ribuan kendaraan bermotor yang menjadi bangkai karena dibakar dalam pogrom43 anarkis itu. Demikian juga sejumlah mal dan pertokoan lain seperti Supermall Karawaci, Glodok Plaza, dan Yogya Department Store Klender.44 Kantor-kantor Bank Central Asia, yang milik Sudono Salim, juga ditarget dan menjadi korban perusuhan ini.45

Selama tiga hari kerusuhan ini terjadi (13 – 15 Mei 1998), sebagian besar orang berkuasa hanya diam. Yang bertanggung jawab atas keamanan masyarakat di Jakarta, yaitu Kapolda Metro Jaya Mayjen Hamami Nata dan Pangdam Jaya Mayjen

40 Sumbogo, Priyono B., Hidayat Gunadai, dan Andi Zulfikar Anwar. Op. Cit. 23 Mei. Hal. 24 – 31 41 Setiono, Benny G. Op. Cit. Hal. 1083 – 1084.

42 Arif, Ah mad dan Maria Hart iningsih. “10 Tahun Kerusuhan Mei: Berebut Ruang Ingatan.” 2008.

Kompas. 14 Mei. Hal. 1

43 “Pembunuhan besar-besaran thd suatu bangsa”

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. 2009. Gramed ia: Jakarta. Hal. 1087.

44

Setiono, Benny. G. Op. Cit. Hal. 1083.

45

(36)

Sjafrie Sjamsuddin, tidak melakukan apa pun untuk mencoba mengatasi anarki yang terjadi pada saat itu; aparat keamanan disuruh menyelesaikan kerusuhan itu sendiri. Demikian juga Panglima ABRI Jenderal Wiranto, yang melepas tangan,46 dan mengutamakan persiapan upacara serah terima jabatan Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad di Malang tanggal 14 Mei, 1998, walaupun ada orang yang tewas dan dikorbankan di sekitarnya.47

Ketika aparat keamanan berusaha untuk mencegah aksi massa, terjadi pemberontakan yang besar. Batu dilempar ke arah aparat keamanan, dan di satu kasus ada truk yang dikendarai dengan kecepatan tinggi agar truk tersebut dibenturkan ke pos polisi. Mobil polisi dikejar, dan polisi ditimpuki. Aparat keamanan membalas dengan tembakan ke udara, tetapi akhirnya mereka tidak mampu menenangkan masyarakat dan para perusuh tidak bisa dihentikan. Oleh sebab itu, karyawan-karyawan di berbagai toko dan perusahaan lain seperti Pusat Perkulakan Goro membiarkan massa membawa pulang barang, asal mereka tidak membakar gedung. Akhirnya, massa perusuh dibiarkan menjarah, merusak, dan membakar sepuasnya.48

Setelah kekacauan anarkis selesai, Jakarta kelihatan seperti zona perang. Biarpun jumlah korban dan kerugian tidak disetujui oleh para analis,49 sudah diakui bahwa jumlah korban dan kerugian tidaklah sedikit. Menurut The Jakarta Post, ada lebih dari seribu orang tewas, dan jumlah seluruh kerugian diperkira

46 Setiono, Benny G. Op. Cit. Hal. 1084. 47 Luhulima, James. Op. Cit. Hal. 122. 48

Ibid. Hal. 24 – 31.

49

(37)

sedikitnya Rp. 2,5 triliun, atau USD 238 juta. Sekitar 13 pasar, 2.479 rumah toko, 40 mal, 1.604 toko, 45 bengkel, 387 kantor, 9 SPBU, 8 bus dan kendaraan umum lainnya, 1.119 mobil, 826 sepeda motor, dan 1.026 rumah dirusaki, dijarah, dan / atau dibakar selama kerusuhan berlangsung.50

Menurut Kompas, pada tahun 1998 jumlah korban yang tewas diperkirakan di antara 200 dan 500 orang.51 Namun, sekarang jumlah korban yang tewas diperkirakan mencapai 1.217 orang.52 Jumlah korban perkosaan mencapai 152 orang, dengan 15 di antara mereka yang tewas.53

Semua ini menjadi sangat mengejutkan untuk warga Jakarta, karena ketika ada protes-protes di kota lain para pemimpin sangat tegas menyatakan bahwa Jakarta adalah “kota yang paling aman dan dijaga se-Indonesia.” Oleh sebab itu, belum ada yang siap, baik warga maupun aparat keamanan, untuk menghindari kerusuhan itu.54

2.2.2 Kerusuhan dan Penjarahan

Dapat digunakan penjarahan Yogya Plaza di Klender, Jakarta Timur, sebagai studi kasus bagaimana kerusuhan dijalankan.

Sekitar pukul 12.00 WIB [Pen. tanggal 14 Mei], terjadi perkelahian antar pelajar di sekitar Jalan I Gusti Ngurah Rai. Mereka terlihat saling melempar batu di Jalan Layang Klender. Sekitar 30 pelajar masuk pemukiman Kampung Jati. Warga mengusir karena takut

50 Setiono, Benny G. Op. Cit. Hal. 1084.

51 Harsanto, Damar, dalam Su mbogo, Priyono B., Hidayat Gunadai, dan Andi Zu lfikar Anwar. Op.

Cit. 23 Mei. Hal. 24 – 31.

52 Hartin ingsih, Maria, dan Ahmad Arif. “Tragedi Mei: Membaca Kota dari Puing Berjelaga.” 2008.

Kompas. 16 Mei. Hal. 49.

53

“Soal Kerusuhan: Pemerintah Bentuk Tim Interdep.” Op. Cit.

54

(38)

merugikan warga. Kemudian mereka lari ke arah Klender. Sampai di stasiun Klender, di dekat persimpangan Yogya Plaza terlihat sekelompok massa, kira-kira 20 orang berdiri di situ. Ketika para pelajar itu melewati mereka, beberapa orang dari kelompok massa tersebut berteriak ‘Serang, Serang!’ Mereka memiliki ciri berbadan cukup tegap, atletis, dan berambut cepak. Segera setelah komando itu, massa menyerang pelajar dengan menggunakan kayu, batu dan batangan besi. Pelajar yang diserang lalu lari masuk ke arah Yogya Plaza.

Kesaksian lain menyebutkan sebelumnya keadaan sekitar Yogya Plaza belum terjadi apa-apa. Kemudian banyak orang lari- lari sambil berteriak ‘Serbu Yogya! Serbu Yogya!’. Terlihat banyak yang pakai seragam sekolah, tapi badannya besar-besar dan wajahnya tua-tua, ada yang bertato. Mereka menyerbu Yogya Plaza sambil membuka pakaian seragam sekolah.

Kesaksian lain lagi menyebutkan adanya kelompok pemuda dan pelajar yang seolah-olah bertengkar untuk mengundang massa. Kemudian massa mulai berdatangan. Tidak berapa lama kemudian terlihat ada yang mulai membakar ban bekas di depan plaza.

Pada saat yang hampir bersamaan terlihat seorang berpakaian polisi berdiri di atas Jalan Layang Klender mengamati tawuran antar pelajar itu.

Banyak massa yang ikut menjarah. Banyak orang terlihat mondar-mandir mengambil barang jarahan.

Sekitar pukul 15.00 – 15.15 WIB, salah seorang warga melihat sebuah truk besar berplat merah berwarna orange masuk ke lokasi Yogya Plaza. Truk tersebut mengangkut kira-kira 50 orang yang berpakaian macam- macam (berpakaian seragam sekolah, berbaju singlet dll.)

Saksi mata melihat orang-orang tersebut saling mengenal. Mereka masing- masing membawa jirigen berwarna putih dan berlari ke arah Yogya Plaza. Tidak diketahui apa yang mereka kerjakan, tetapi beberapa saat kemudian mereka kembali ke truk dengan tangan kosong.

Ciri-ciri orang-orang yang datang dengan truk berwarna orange tersebut adalah berbadan tegap dan berumur kira-kira 20 – 30 tahun. Mereka berpakaian preman, ada yang menggunakan seragam SMA. Beberapa di antara mereka berambut cepak, lainnya berpotongan rambut biasa saja. Mereka sepertinya saling mengenal satu sama lain dan mendapat perintah dari supir dan satu orang yang duduk di samping supir. Setelah orang-orang tersebut berada di Yogya Plaza, kemudian terdengar ledakan keras dari belakang Yogya Plaza. Setelah ledakan, supir dan 2 orang lain di truk, melambaikan tangan ke orang-orang yang tadi membawa jirigen.

(39)

orang-orang mengamati hal yang sama. Saat itu saksi mata sudah melihat asap tebal mulai keluar dari Yogya Plaza.

Warga ... melihat sekitar 50 orang turun dari dua buah truk yang datang dari arah Pondok Kopi ke Yogya Plaza sambil membawa jirigen dan terlihat ada yang memimpin dengan menggunakan HT dan berkaca mata. Warga yang menyaksikan melihat bahwa isi jirigen tersebut adalah bensin. Terlihat ada orang melempar jirigen di lantai satu. Terlihat juga ada yang mengumpulkan segala macam barang menjadi satu, kemudian disiram dengan bensin (dari jirigen) dan dibakar. Diketahui kemudian ternyata ada yang mengunci lantai 2, sehingga anak-anak dan yang lainnya tidak dapat keluar menyelamatkan diri.

Sekitar pukul 15.30 WIB, [di] lantai dua bangunan terlihat banyak orang terjebak dan berusaha keluar. Api sudah membesar dan asap tebal menghalangi pandangan. Dari luar bangunan terlihat banyak orang melambai tangan meminta tolong dari lantai 4 gedung. Warga kemudian mengambil tali tambang dari kain iklan film di bioskop Yogya Plaza untuk diulurkan dengan bambu ke lantai 4.

Sekitar pukul 15.30 – 17.30 WIB, terlihat banyak orang dari lantai 4 turun dengan menggunakan tambang tersebut. Dalam keadaan panik, banyak juga orang melompat ke bawah. Akibat banyak orang menjadi terluka dan meninggal dunia.

Sekitar pukul 21.00 WIB di sekitar Yogya Plaza hujan turun dan api mulai padam.

Sekitar pukul 21.30 WIB, setelah api mulai padam warga mencoba masuk ke dalam gedung. Saat masuk melalui pintu eskalator di satu, terlihat kawat dikaitkan ke pintu rolling door, menghalangi jalan keluar. Saksi berhasil masuk sampai batas escalator di lantai dua. Hawa di dalam ruangan sangat panas. Sandal yang digunakan sempat meleleh. Terlihat di dalam ruangan banyak mayat terbakar bertumpuk menjadi satu.

Warga lain, yang juga mencoba untuk memasuki bangunan, melihat pintu rolling door dalam keadaan terkunci gembok dan pintu masuk dihalangi oleh kawat yang diikat ke pintu rolling door dan dikaitkan ke eskalator sehingga pintu rolling door tidak dapat dibuka. ... rolling door tersebut sebelumnya dalam keadaan terbuka karena digunakan orang banyak keluar masuk gedung.55

Seperti dilihat dari kasus Yogya Plaza, awalnya sekelompok provokator datang dan memancing emosi massa agar siap menjarah. Kemudian, provokator pergi

55

(40)

dan membiarkan massa menjarah sepuasnya. Modus operandi ini juga dilihat di seluruh Jakarta, antara lain, sebagai berikut.

• Pada tanggal 14 Mei di Sunter, Jakarta Utara, terlihat beberapa pengendara

sepeda motor mondar- mandir dan memainkan gas dengan keras di sepanjang jalan depan Kompleks Ruko Griya Inti Sentosa. Pengendara motor tersebut terlihat berbadan kekar dan sebagian besar menggunakan seragam SMU, tetapi wajahnya mereka terlihat cukup tua untuk disebut pelajar SMA. Tidak lama kemudian massa datang dan menjarah Kompleks Ruko Griya Inti Sentosa.56

• Pada tanggal 14 Mei, di depan Supermarket Hero Megaria, Jakarta Pusat,

terlihat tiga pria berusia antara 20 – 30 tahun melempari bangunan dengan batu. Mereka berambut cepak, berbadan tegap, dan berpakaian preman. Tiga pria ini melempar batu dahulu, lalu diikuti massa. Setelah massa sibuk melempari dan menjarah Hero, mereka lenyap.57

• Pada tanggal 14 Mei, di Ciledug, Tangerang, terlihat sekitar 3 – 5 orang

memimpin massa. Mereka umumnya berbadan kekar dan berambut cepak. Umumnya mereka mengenakan baju hitam, celana jeans dan meneriakkan yel- yel “Bakar Cina!” dan “Jarah Cina!” Di bawah pimpinan mereka, toko-toko dan Mal Ciledug dijarah.58

56 Ibid. Hal. 61 – 62. 57

Ibid. Hal. 101.

58

(41)

Massa pada umumnya terdiri dari kaum rendah dan dari segala usia, baik dewasa, remaja, maupun anak.59 Jumlahnya diperkirakan mencapai dua juta orang.60 Mereka pada umumnya menjarah barang yang harga aslinya mahal, dan merusak barang yang tidak diambil.61

Massa dipimpin oleh sekelompok provokator. Para provokator ini mempunyai ciri-ciri yang mirip, yaitu berjenis kelamin pria, berbadan tegap dan atletis, berambut hitam cepak, dan terkoordinasi. Oleh karena itu, diduga bahwa para provokator adalah aparat yang memancing emosi rakyat.62

Provokator ini berusaha untuk mengarahkan serbuan massa pada perusahaan atau toko milik warga keturunan Cina atau orang Cina sendiri. Selain menggunakan yel seperti “Cina babi!”63 atau “Ganyang Cina!”64 dan komando seperti “Cina-Cina, JP milik Cina, bakar-bakar!”,65 massa secara aktif diarahkan agar tidak menjarah perusahaan milik orang pribumi. Ini terlihat di Cempaka Putih Tengah, Jakarta Pusat, ketika massa dikomando untuk tidak menjarah atau membakar gedung Asuransi Bumi Putera.66

59 Ibid. Hal. 1 – 179.

60 Chailil, Munawar, dan Tim Foru m. Op. Cit.

61 Jusuf, Ester Indayani dan Ray mond R. Siman jorang. Op. Cit. Hal. 1 – 19. 62 Ibid. Hal. 101,

63 Ibid. Hal. 29 64 Ibid. Hal. 55 65

Ibid. Hal. 132

66

(42)

2.2.3 Kekerasan Terhadap Etnis Cina

Selain anggota massa yang meninggal dalam kebakaran, juga sering terjadi kekerasan yang ditargetkan kepada etnis Cina. Ada bukti bahwa pemukulan, pembunuhan, dan perkosaan telah terjadi secara massal.67 Beberapa kasus kekerasan terhadap orang-orang Cina, antara lain sebagai berikut.

• Pada tanggal 14 Mei di Tomang, Jakarta Barat seorang warga etnis Cina

dipaksa turun dari angkatan mikrolet JB 03, lalu dipukuli beramai- ramai sambil barangnya dirampas.68

• Pada tanggal 14 Mei di Glodok, Jakarta Barat seorang warga etnis Cina

kehilangan dua cucu laki- lakinya yang terbakar selama kerusuhan.69

• Pada tanggal 14 Mei di Slipi, Jakarta Barat dua orang keturunan Cina, seorang

lelaki dan seorang perempuan, dilempari batu oleh massa dan luka berat. Massa berteriak “Cina babi, bunuh!” Akhirnya diselamatkan seorang aparat TNI (yang juga dilempari batu) dan dibawa ke Apotek Prima. Apotek itu kemudian hendak dibakar massa, tetapi pemiliknya keluar dengan berpakaian Muslim dan meyakinkan massa agar tidak melakukan hal tersebut.70

• Pada tanggal 14 Mei di Mangga Besar, Jakarta Utara, massa membakar dan

merusuh sambil meneriakkan kata-kata seperti “Reformasi! Reformasi!” serta

67 Setiono, Benny. G. Op. Cit. Hal. 1083 – 1084.

68 Jusuf, Ester Indayani dan Ray mond R. Siman jorang. Op. Cit. Hal. 18 – 19. 69

Ibid. Hal. 23.

70

(43)

yel- yel anti-Cina seperti “Ganyang Cina!” Seorang warga etnis Tionghoa hampir ditikam oleh salah seorang di antara kelompok massa.71

• Pada tanggal 14 Mei di Jalan Mangga Besar, Jakarta Utara, sebuah mobil

Mercedes Benz milik etnis Tionghoa dihentikan oleh lebih dari dua puluh orang, lalu penumpangnya dipaksakan turun. Mobil kemudian dirusak dan dibakar.72

• Pada tanggal 14 Mei di Grasera, Jakarta Timur terlihat massa melakukan

sweeping pengendara bermotor. Semua yang melintasi dipaksa membuka helm sebelum diizinkan pergi. Ketika ditanya mengapa ada sweeping ini, seorang anggota massa menjelaskan “Kami mencari orang Cina.”73

Ada pula kekerasan seksual yang terjadi kepada wanita keturunan Cina. Perkosaan ini dinyatakan terjadi secara ramai-ramai, dan kerap tidak ada yang bersedia membantu. Contohnya, di Glodok telah terjadi perkosaan yang brutal kepada wanita etnis Cina di depan umum, dan korban-korban perkosaan itu kadang dibunuh setelah digunakan.74 Tercatat bahwa jumlah korban perkosaan mencapai 152 orang, dengan 15 di antara mereka yang tewas.75

Yang tidak dibunuh merasa trauma dan ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa atau bunuh diri karena tidak bisa menahan rasa malu dan trauma.76 Untuk

71 Ibid. Hal. 54 – 55. 72 Ibid. Hal 61. 73 Ibid. Hal. 123.

74 “Jangan Biarkan Pelecehan dan Perkosaan Tak Terselesaikan.” 1998. Ko mpas. 06 Juni. Hal. 12. 75

“Soal Kerusuhan: Pemerintah Bentuk Tim Interdep.” Op. Cit.

76

(44)

menyelamatkan diri ribuan orang asing dan orang Cina melarikan diri, sampai perusahaan penerbangan menyediakan penerbangan ekstra untuk para pengungsi.7778 Kejadian perkosaan ini sangat tragis, sebagaimana bisa dilihat dari kasus ‘Andina’ di bawah, yang terjadi di Jakarta pada tanggal 13 Mei, 1998:

… sebut saja [Andina]. Gadis berusia 26 tahun ini, pada hari naas itu … pulang dari kantornya. Sebuah bank swasta di kawasan Tomang. Ia dibonceng pacarnya, pegawai perusahaan komputer, menuju rumahnya di bilangan Jelambar, Jakarta Barat.

Merasa keadaan sudah mereda, mereka nekad pulang menjelang pukul 21.00 WIB. Keduanya tak pernah bermimpi, dalam perjalanan itu, di suatu tempat di Jakarta Barat mereka tiba-tiba dikepung massa yang muncul begitu saja entah dari mana.

Di keremangan malam itu, Andina sudah tak mampu lagi berpikir diapakan saja dirinya. Yang teringat hanyalah, ia ditarik-tarik massa agar turun dari sepeda motor.

‘Tuhan, tolong Tuhan....’ hanya kata-kata itu yang dia teriakkan, di tengah-tengah himpitan kepanikan dan ketakutan luar biasa. Blazernya sudah terlepas, sementara seluruh harta miliknya dilolosi. Uang, handphone, kartu ATM, SIM, STNK, helm, bahkan obat dokter untuk orang-tuanya yang baru ditebus di apotek, habis dijarah.

Andina tidak ingat lagi, diapakan saja dirinya waktu itu. Hanya doa yang terus menguatkannya. Sekali ia jatuh terjengkang, tetapi dengan kekuatan yang tersisa ia bangun dan kembali memegang baju pacarnya erat-erat. Sang pacar, yang orang-tuanya berencana melamar tanggal 17 Mei -empat hari sebelum kejadian ini menimpa- tak berdaya dipukuli massa. Yang terdengar hanyalah rintihannya, ‘Ampun Pak… ampun… Saya orang biasa...’

Sementara teriakan massa makin menyeramkan. Tetapi dalam keputusasaan, menurut penuturan Andina, tiba-tiba ada orang tua muncul. Ialah yang memerintahkan agar para penjarah membebaskan dua anak manusia ini. Andina dan pacarnya bisa pergi meninggalkan tempat itu, sebelum kemudian ditolong polisi jaga di dekat situ yang juga tak luput dari lemparan batu massa.

77 Sumbogo, Priyono B., Hidayat Gunadai, dan Andi Zulfikar Anwar. Op. Cit. 23 Mei. Hal. 24 – 31. 78

(45)

Oleh polisi mereka diantar ke rumah penduduk. Seorang penduduk kemudian memboncengkan keduanya sampai rumah. Berhari-hari kemudian, Andina masih saja dicekam peristiwa itu [hingga] lama ia tak masuk kantor. Sekujur tubuhnya penuh bilur-bilur biru, bahkan juga di pangkal paha. Bekas-bekas kekerasan ini, baru hilang seminggu kemudian.

[Ketika ditanya mengapa dia menceritakan peristiwa itu, dia menyatakan bahwa dia] ‘Sakit, sakit sekali... Saya bercerita, dengan harapan ada salah satu dari mereka bisa membaca, bisa tahu apa yang saya rasakan, dan tak mengulanginya pada orang lain.’79

Beberapa kasus perkosaan lain yang tercatat termasuk:

• ‘Dini’, seorang wanita keturunan Cina yang diculik di daerah Jalan Jenderal

Sudirman lalu diperkosa di daerah persawahan pada tanggal 15 Mei 1998. Karena menjadi trauma, dia akhirnya berpindah ke Amerika Serikat.80

• ‘Mei Ling’, seorang ibu dari dua anak keturunan Cina yang pada tanggal 14

Mei 1998 dicegat massa di jalan, lalu diperkosa oleh empat orang pria. Setelah diselamatkan, badannya penuh memar dan dalam keadaan syok. Menjadi sangat takut pada lelaki, dan akhirnya harus masuk ke rumah perawatan di Jakarta, dengan anaknya diasuh orang lain.81

• ‘Lina’, seorang pemudi keturunan Cina yang pada tanggal 14 Mei 1998

dikejar massa lalu diperkosa ramai-ramai di dalam rumahnya oleh lebih dari sepuluh orang. Setelah diperkosa, perempuan berusia empat belas tahun itu

79 “Luka Kerusuhan, Lu ka Perempuan.” 1998. Kompas. 5 Juni. Hal. 1. 80

“Hidup yang Terenggut”. 2003. Te mpo. 25 Mei. Hal. 169.

81

(46)

menjadi takut pada lelaki dan tidak mendapatkan haid untuk jangka waktu yang panjang. Akhirnya berpindah ke Taiwan.82

• ‘Mona Johan’, seorang pemudi keturunan Cina yang diperkosa di antara

tanggal 13 dan 14 Mei 1998 oleh lima orang lelaki. Empat di antara mereka memegang kakinya, sementara lelaki kelima menempatkan leher dan kepala Mona ke ujung tempat tidur, lalu memaksa alat kelaminnya ke dalam mulut Mona. Keempat pria lain bergantian memerkosanya di vagina. Setelah diperiksa, akhirnya Mono Johan bersama keluarga berpindah ke Australia.83

2.2.4 Respons Aparat

Respons aparat selama kerusuhan terjadi tidak ada kepastian.84 Dalam kasus-kasus tertentu, seperti kasus-kasus Slipi di atas, aparat berusaha untuk menyelamatkan warga yang ada dalam kondisi bahaya, bahkan atas risiko besar.

Namun, ada pula banyak laporan aparat tidak berusaha untuk mencegah penjarahan atau kekerasan, biarpun ada kemampuan. Misalnya, di daerah Mangga Besar, Jakarta Utara, pada tanggal 14 Mei 1998:

Saksi ... melihat sekitar 50-an orang dari arah Jembatan Baru berusaha memasuki wilayah Pasar Pagi Mangga Dua. Kelompok massa ini dihadang 50-an pasukan Kostrad (terlihat dari baret hijau yang dikenakan) yang berjaga di bawah jalan layang kereta api. Selain pasukan yang berjaga juga terlihat 2 buah truk dan panser. Warga mengatakan

82 Ibid. Hal. 169.

83 Gunadi, Fannie. “Mona, di Balik Sprei Kembang.” 1998. Te mpo. 12 Oktober. Hal. 63. 84

(47)

bahwa pasukan terlihat telah berjaga sejak siang hari pada tanggal 13 Mei.

Kelompok orang tersebut setelah berhasil dihadang akhirnya bergerak mundur menuju perumahan dan toko di Jalan Mangga Dua.

Sekitar pukul 10:00 – 11:00 WIB, sebuah toko material mulai dilempari kelompok massa yang baru saja berpindah dari seberang jalan. Toko tersebut dilempari hingga pecah kaca-kacanya, kemudian mereka mulai menggedor dan mendobrak pintu lantai bawah. Tidak lama kemudian asap tebal mulai mengepul dan membesar dengan cepat. Terdengar beberapa kali ledakan (diperkirakan disebabkan oleh pengencer cat yang diletakkan di lantai bawah).

Suasana menjadi semakin panik setelah asap mulai memenuhi lantai dua dan pintu belakang yang tidak bisa dijebol penghuni bangunan. Akhirnya dengan segala upaya 3 laki- laki penghuni toko berhasil keluar dari bangunan dengan dibantu warga yang berada di belakang toko. Orang tua dan seorang penghuni lainnya juga berhasil ditolong, tetapi mereka telah dalam keadaan terbakar.

Setelah semua penghuni bangunan berhasil keluar, salah seorang korban menghampiri pasukan yang berada di bawah jembatan layang. Ia meminta bantuan dan pengawalan untuk mengantar anggota keluarga yang luka ke rumah sakit. Permintaan itu ditolak pasukan. Kemudian korban tersebut menghubungi ambulans. Ambulans baru datang sekitar pukul 22:00 WIB.

Selama peristiwa terjadi, pasukan yang berjarak sekitar 20 meter tersebut tidak melakukan tindakan menghalangi atau menghentikan massa yang melempar, membobol, dan membakar bangunan.85

Selain itu, ada laporan bahwa ada aparat yang mencari keuntungan dalam kerusuhan itu. Menurut hasil penelitian Tim Solidaritas Kerusuhan Mei 1998, di wilayah Glodok pada tanggal 14 Mei 1998 terlihat sekelompok polisi yang menyuruh perusuh mengisi truk dengan barang jarahan, lalu pergi dengan membawa barang-barang itu.86

Ada pula kecurigaan bahwa provokator yang memancing rakyat untuk melakukan kerusuhan adalah tentara, biarpun ini belum dibuktikan. Menurut pikiran

85

Ibid. Hal. 46 – 48.

86

(48)

rakyat pada waktu itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, yang pada saat itu merupakan pemimpin Kostrad, bersama Mayor Jenderal Syafrie Sjamsoeddin, yang bertanggung jawab atas anggota ABRI di Jakarta, menyuruh bawahannya untuk memancing emosi rakyat dan melakukan kekerasan untuk dua alasan, yaitu untuk meneror musuh pemerintah dan memalukan Menteri Pertahanan Jenderal Wiranto, yang menjadi pesaingnya untuk menjadi presiden setelah Soeharto turun.87 Biarpun memang provokator mempunyai ciri-ciri yang seperti prajurit dan hal ini dipercaya oleh rakyat, belum ada bukti definitif.

Risiko untuk aparat yang berusaha untuk mencegah amuk massa memang tinggi, sebagaimana dilihat di Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat ketika pos polisi hancur ditabrak truk, lalu dibakar.88 Namun, aparat bertugas untuk mencegah kerusuhan sebisa mungkin dan tidak dibenarkan untuk menggunakan situasi untuk kepentingan sendiri.

2.2.5 Reaksi Warga

Sebagai akibat ketidakmampuan aparat untuk mencegah massa, masyarakat terpaksa mengambil inisiatif sendiri untuk melindungi diri. Menurut ahli politik-ekonomi AS Albert Hirschman, secara umum ada tiga respons yang paling dimungkinkan dalam kerusuhan, yaitu exit (keluar dari negara di mana kerusuhan

87 Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. 2006. Singapore University

Press: Singapura. Hal. 106 – 107.

88

(49)

terjadi), voice (melakukan protes dan demonstrasi), dan loyalty (menerima semua dengan diam).89 Ketiga cara ini digunakan oleh masyarakat.

Exit pada umumnya dilakukan orang Cina. Mereka bersembunyi di beberapa hotel milik pribumi atau meninggalkan Indonesia untuk pergi ke negara asing yang dianggap lebih aman.90 Jumlah pengungsi Cina pada saat itu diperkira mencapai 10.000 sampai 100.000 orang.91 92

Sementara, voice digunakan oleh karyawan toko-toko tertentu yang ditarget oleh massa. Namun, voice ini bukan merupakan cara menentang pasif. Karyawan berusaha secara aktif untuk mencegah penjarahan. Misalnya, di Jatinegara Plaza, Jakarta Timur, karyawan ditugaskan untuk menjaga pintu dan menghentikan orang yang berusaha untuk masuk; karyawati disuruh pulang.93 Ini juga terlihat dalam kasus orang yang menyelamatkan tetangga, seperti keluarga keturunan pemilik toko material yang diselamatkan oleh warga setempat di Mangga Dua, Jakarta Utara.94

Sementara, jalan loyalty diikuti oleh orang-orang miskin atau menengah, baik pribumi maupun keturunan; ini kelompok yang paling besar. Pemilik toko pribumi memasang tanda bertulisan “Milik Pribumi”, “Milik Haji,”95

89 Khoiri, Ilham. “I. W ibowo tentang Liberalisasi Masyarakat Tionghoa.” 2008. Ko mpas. 10 Februari.

Hal. 12.

90 Sumbogo, Priyono B., Khoiri A kh madi, dan Nurlis Effendi. "Massa Hantu Merayap dan Memicu

Kerusuhan Itu." 1998. Gatra. 16 Mei. Hal. 24 – 28.

91 Khoiri, Ilham. 2008. Op. Cit.

92 Gie, Kwik Kian. “Warga Keturunan Tionghoa dan Distribusi.” 1998. Kompas. 7 Juni. Hal. 4. 93 Jusuf, Ester Indayani dan Ray mond R. Siman jorang. Op. Cit. Hal. 130 – 131.

94

Ibid. Hal. 46 – 47.

95

(50)

Reformasi”,96 dan sebagainya; mereka berharap agar kepribumian mereka dapat menghindari amuk massa.

Orang Cina bersembunyi di rumah diam-diam dan berharap agar semua kerusuhan selesai dengan cepat. Orang-tua berkorban demi keselamatan anak mereka dengan cara menyediakan makanan sepuasnya untuk anak-anak tetapi hanya mengambil makanan untuk dirinya sendiri ketika anak-anak sudah puas. Banyak orang-tua yang harus berpuasa selama beberapa hari kerusuhan itu terjadi.97 98

Namun, ada pula orang yang menggunakan kerusuhan itu untuk mencari keuntungan sendiri. Karena situasi mendesak itu, harga naik tidak terkendalikan. Contohnya, harga tiket keluar Jakarta dinaiki sembarangan, hingga tiket pesawat Jakarta – Batam yang aslinya hanya Rp. 580.000 dijual dengan harga 1,3 juta.99

2.3 Kerusuhan di Surakarta

Pada bulan Mei 1998 kota Surakarta (juga dikenal dengan nama Solo) mengalami kerusuhan yang mirip Jakarta. Pada tanggal 8 Mei ada insiden di antara kurang- lebih 5.000 anggota masyarakat dan polisi; dalam kasus itu sebanyak 25 orang terluka oleh peluru karet dan lebih dari 100 orang terluka oleh pelemparan batu.100 Keadaan menjadi lebih anarkis mulai dari tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan yang disebabkan oleh penewasan empat mahasiswa Trisakti di Jakarta mulai terasa di

96 Wawancara pribadi dengan Wahyu Apri Wulan Sari, tanggal 15 November 2008. 97 Sumbogo, Priyono B., Khoiri A kh madi, dan Nurlis Effendi. 1998. Op. Cit. Hal. 24 – 28. 98 Khoiri, Ilham. 2008. Op. Cit.

99

“Lega..., Lepas dari Jakarta.” 1998. Kompas. 21 Mei. Hal. 8.

100

(51)

Surakarta. Dengan kabar tentang penembakan mahasiswa- mahasiswi Trisakti, rasa hangat berkembang dalam hati masyarakat umum dan menyebabkan warga-warga Solo mulai kerusuhan yang terasa separah kerusuhan yang terjadi di Jakarta.101

Didahului oleh orang yang bersepeda motor, massa menjarah semua pertokoan dan sebagainya sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi, Sudirman, Urip Sumoharjo, Ir Sutami, dan seluruh jalan di dalam kota. Massa juga dipinggirkan oleh warga Surakarta yang, walau tidak menjarah, memberi semangat kepada para perusuh. Warga Cina yang terlihat dikejar dan diperlakukan dengan jahat. Dalam waktu semalam, hasil pembangunan selama 30 tahun dihancur dan dibakar.102

Aparat keamanan tidak mampu menghindari kerusuhan itu. Jumlah aparat keamanan di Surakarta diakui sangat sedikit, dan dari personel yang ada sebagian besar ditugaskan untuk mendukung Polri mengamankan aksi keprihatinan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Oleh sebab itu, massa perusuh tidak dihentikan dan penjarahan, perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran terjadi,103 baik kepada milik warga umum maupun milik aparat keamanan.104 Akibatnya, massa perusuh mampu bergerak ke luar kota. Pada tanggal 15 Mei 1998 massa sebesar ribuan orang sudah tiba di Boyolali, Jawa Tengah dan menjarah dan membakar pabrik, toko, rumah, dan sebagainya. Dampak dari ini terasa sampai ke Salatiga.105

101 “Kota Solo Penuh Asap.” 1998. Kompas. 15 Mei. Hal. 11.

102 “’Si Lembut’ Itu Mendadak Beringas.” 1998. Kompas. 16 Mei. Hal. 11.

103 “Amien Rais: Kerusuhan Jakarta dan Solo ada Dalangnya.” 1998. Kompas. 11 Juni. Hal. 1. 104

“Kota Solo Penuh Asap.” 1998. Op. Cit. Hal. 11

105

(52)

Oleh sebab kerusuhan itu, hampir semua pusat pembelanjaan tertutup. Demikian juga bank, sekolah, kantor pemerintah, dan sebagainya. Warga Surakarta yang tidak ikut massa itu hanya bisa bersembunyi, berdoa dan berharap bahwa mereka tidak akan kena kerusuhan itu. Toko-toko, bank, kantor, dan lain- lain sejauh Salatiga, Jawa Tengah, tutup karena takut dirusuh oleh massa itu.106 Ketika kerusuhan sudah selesai pun jarang ada yang berani membuka tokonya; demikian banyak orang yang menderita saat itu.107

Warga Cina di Surakarta dijadikan kambing hitam untuk semua masalah masyarakat, dan demikian ditarget dalam kerusuhan itu. Perumahan, vihara, dan toko Cina dirampok dan dibakar oleh massa tersebut. Berikut adalah naratif dari Wahyu Apri Wulan Sari, seorang orang Jawa dengan keturunan Jepang yang tinggal di Surakarta pada saat kekacauan Mei 1998.

Saya melihat banyak sekali pertokoan, mall, pasar, semuanya dibakar. Banyak bangkai mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang menjadi bangkai di jalan raya pada saat itu. Penjarahan juga ada di mana-mana. Banyak rumah-rumah penduduk di Surakarta, khususnya penduduk Cina yang dijarah, dan dibakar. Bahkan ada banyak juga wanita yang diperkosa; tapi tidak sebanyak di Jakarta.

Salah satu teman saya yang terkena serangan itu, Lina (dia adalah warga keturunan Cina yang [keluarganya] memiliki toko buku terkenal di Solo, namanya Toko Buku Sekawan), dia sendiri diperkosa, dan orang tuanya dibuang keluar. Seisi tokonya dijarah penduduk. Walaupun penjagaan dari para penduduk setempat sudah banyak membantu, tapi ternyata itu semuanya tidak berhasil. Akhirnya Toko Sekawan tersebut terbakar, seisinya. Dan Lina sendiri menjadi stress berat, sampai saat ini. Dia sekarang masih berada di Rumah Sakit Jiwa Kentingan, Surakarta.

106

Ibid.

107

Referensi

Dokumen terkait