• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM TIONGHOA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM TIONGHOA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indones"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA

(Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Dika Prasetyo Wibisono NIM: 06 4114 018

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

Saya memang seseorang yang berjalan lamban, tetapi saya tidak akan berjalan ke belakang. (Abraham Lincoln)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap

kali kita jatuh. (Confusius)

Salah satu penemuan terbesar yang pernah ditemukan manusia adalah bahwa mereka akhirnya menyadari jika mereka bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak mereka sangka bisa

mereka lakukan.

(Henry Ford)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Sang Maha Kasih, Yesus Kristus Bapak Ibu yang telah membuat aku ada

(5)

Wibisono, Dika Prasetyo. 2013. Dominasi danHegemoni Kerajaan Demak Terhadap Kaum Tionghoa dalamm novel Putri Cina Karya Sindhunata. Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa di dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis alur cerita; kemudian menggunakan hasil analisis alur untuk lebih memahami dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.

Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam novel Putri Cina adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak berjalan secara kronologis atau progresif. Ini dikarenakan ada beberapa peristiwa yang mengalami flash back. Konflik utama dalam novel Puteri Cina sendiri adalah hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa. (2) Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali sejak Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin Bun) dan berakhir ketika kerajaan Demak mengalahkan kerajaan Majapahit. Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa yang terlihat dalam empat bidang yaitu hegemoni agama, hegemoni politik, hegemoni ekonomi dan hegemoni budaya. Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukan oleh Gramsci yaitu Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decandent), dan hegemoni yang minimum.

Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali sejak Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin Bun) dan berakhir ketika kerajaan Demak mengalahkan kerajaan Majapahit. Hegemoni agama kerajaan Demak digambarkan ketika Raden Patah mendirikan kerajaan Demak. Hegemoni politik kerajaan Demak dijabarkan ketika kaum Tionghoa dipaksa tunduk pada aturan yang telah dibuat oleh kerajaan Demak. Hegemoni ekonomi kerajaan Demak digambarkan pada saat Kaum Tionghoa yang mayoritas bekerja sebagai pedagang menjadi sapi perahan. Kaum Tionghoa hanya dianjurkan untuk berdagang dan berdagang saja demi kemakmuran kerajaan. Hegemoni budaya kerajaan Demak terdekripsikan ketika kaum Tionghoa dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan budaya mereka sendiri. Hegemoni total (integral) Gramsci tampak ketika kerajaan Demak telah berhasil menguasai kerajaan Majapahit sepenuhnya. Hegemoni merosot kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa ditunjukkan oleh rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh kaum Tionghoa atas kebijakan yang telah dibuat oleh Raden Patah. Hegemoni minimum dalam kaitannya dengan analisis novel Putri Cina hegemoni minimum ditunjukkan oleh kediktatoran Raden Patah yang dirasakan sudah tidak lagi memandang kaun Tionghoa sebagai bagian dari rakyat kerajaan Demak.

(6)
(7)

toward the Tionghoa. The Sosiology Literature. A Thesis. Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University. Yogyakarta.

This thesis studied about the domination and hegemony of Demak kingdom toward the Tionghoa in Putri Cina novel written by Sindhunata. The aim of this study was to analyze and describe the domination hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa.

This study used sosiology literature approach. Begun with structure of the text analyses which is focused on plot analyses then continued with the domination and hegemony of Demak kingdom. The Demak’s kingdom domination begun at Raden Patah controlled Demak Kingdom. The hegemony consisted of four aspects. Those were religion, politics, culture and economics. There are three level of Hegemony based on Gramsci’s theory, total hegemony (integral), slump hegemony (decadent) and third minimum hegemony.

The method used in this study was descriptive method. The steps done in this study was through the plot story analysis; then used the result of plot of the story to really comprehend the domination and hegemony of Demak kindoms towards the Tionghoa.

The result of this research were (1) The plot of Putri Cina novel was mixture plot. The events did not happen chronologically or progresive. This was because some of the events were flash back. The main conflict in Putri Cina novel itself was the domination and hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa. (2) The domination of Demak kingdom was begun at Demak controlled by Raden Patah. Hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa seen in this novel consisted of four aspects. Those were religion, politics, economics and culture.

The domination of Demak kingdom described when Raden Patah was controlled. The religion hegemony of Demak kingdom described when Raden Patah built Demak kingdom. The politics hegemony of Demak kingdom happened when the Tionghoa forced to obey the rules made by Demak kingdom. The economic hegemony of Demak kingdom was described when the Tionghoa as the majority worked as traders became the colonized. The Tionghoa was only suggested to trade and only trade for the sake of the wealth of the country. The culture hegemony of Demak kingdom described when the Tionghoa banned to hold the activities deal with own culture.

(8)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam

menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:

1. S.E Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing I, terima kasih

telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan

membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing II, terima kasih

atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan

skripsi ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar

membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

4. Bapak dan ibu tercinta yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran

dan biaya sehingga dapat mendidik penulis sampai melangkah sejauh

(9)
(10)
(11)

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

1.6.3 Teori Dominasi dan Hegemoni Gramsci ... 14

1.6.3.1Teori Dominasi ………... 14

1.7.2.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 24

1.7.2.4 Sumber Data ... 25

(12)

2.1 Alur ... 26

2.1.1 Tahap Situation (Tahap Penyituasian) ... 27

2.1.2 Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan .... Konflik ... 29

2.1.3 Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik) ... 32

2.1.4 Tahap Climax (Tahap Klimak) ………. 34

2.1.5 Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian) ... 37

2.2 Rangkuman ... 40

BAB III DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM TIONGHOA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA ... 43

3.1 Kerajaan Demak ... 45

3.1.1 Dominasi Kerajaan Demak Terhadap Kaum Tionghoa ... 46

3.1.2 Hegemoni Kerajaan Demak Terhadap kaum Tionghoa … 51

3.1.2.1 Hegemoni Agana Kerajaan Demak ……… 53

3.1.2.2 Hegemoni Politik Kerajaan Demak ……… 60

3.1.2.3 Hegemoni Ekonomi Kerajaan Demak ………. 66

3.1.2.4 Hegemoni Budaya Kerajaan Demak ………... 67

3.2 Rangkuman ... 73

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 76

4.2 Saran ... 81

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan jalan untuk menyempurnakan hidup manusia. Melalui sastra seseorang mampu melihat dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya dan merencanakan apa yang akan dia perbuat. Manusia memerlukan kesenian untuk melengkapi kehidupannya.Kesenian tersebut dapat diperoleh salah satunya melalui sebuah karya sastra. Dunia sastra merupakan sebuah wadah seni yang dapat memberikan kepuasan ataupun pengetahuan yang diterima oleh pembaca melalui refleksinya terhadap karya sastra, realitas, dan imajinasi. Hanya saja, yang membedakannya dengan seni yang lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Semi,1984:39).

(14)

peristiwa sejarah, pengalaman pribadi, tragedi kemanusiaan maupun peristiwa politik dapat menjadi cikal bakal sebuah karya sastra.

Sebuah karya sastra dijadikan alat pengontrol sosial dalam masyarakat.Karya sastra bagi pembaca dapat menjadi gambaran suatu kehidupan sosial sebuah masyarakat.Di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai humanisme yang secara implisit maupun eksplisit terdapat di dalam substansi sebuah karya. Hal ini juga terdapat dalam novel Putri Cina .

Di dalam novel Putri Cina, Sindhunata mendeskripsikan cerita yang bersumber pada kenyataan sosial dalam masyarakat.Kenyataan ini tampak dalam usaha penegasan kekuasaan atau usaha menciptakan suatu hegemoni antarelemen masyarakat. Novel ini menggambarkan proses hegemoni di tanah Jawa yang selalu berakhir dengan cara kekerasan dan menggunakan cara-cara yang licik. Kerajaan Demak dan Majapahit sebagai pihak yang memiliki hegemoni berusaha untuk dapat melanjutkan kekuasaan yang dimilikinya selama mungkin.Namun, ketika pihak penguasa tidak mampu mengatasi berbagai persoalan, diperlukan kambing hitam sebagai pembenaran atas ketidakmampuan penguasa.Di dalam hal ini identitas menjadi suatu alat politik.Kaum Cina sebagai minoritas dipaksa menjadi tameng pihak penguasa.

Putri Cina bercerita tentang seorang putri berkebangsaan Cina yang

(15)

Damar. Di Palembang Putri Cina melahirkan dua anak sekaligus yaitu Raden Patah dan Raden Kusen yang kelak akan mendirikan kerajaan Demak di tanah Jawa.

Dari Palembang Putri Cina melakukan pengembaraan ke Pulau Jawa.Di pulau Jawa, dia melihat bagaimana kaumnya dianiaya bahkan dibunuh demi melanggengkan kekuasaan pihak penguasa dalam hal ini kaum Jawa.Dalam novel ini terlihat jelas konflik antara kaum Jawa dengan kaum Tionghoa. Hal tersebut diperkuat dengan dialog antara tokoh Sabdopalon-Nayagenggong dengan Putri Cina:

“Orang yang dianggap bersalah dan ditimpai kesalahan adalah Paduka (Putri Cina) dan kaum Paduka” (Sindhunata 2007:71).

Dalam kutipan di atas tampak bagaimana kaum Jawa (kerajaan Majapahit) mencari “kambing hitam” bagi keberlangsungan kekuasaan. Kaum Tionghoa dijadikan korban bagi pertikaian yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit dengan segala hegemoni dan otoritas yang dimiliki dapat mencari korban atas rivalitas politik yang terjadi diantara mereka. Kerajaan Majapahit dengan cerdik mencari kambing hitam atas kesalahan yang dilakukan oleh pihak penguasa.

(16)

“Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang, dan bahkan disukai juga oleh orang-orang pribumi.Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat mereka di kelenteng-kelenteng.Bahkan mereka tidak diperbolehkan merayakan tahun baru Cina. Orang Cina yang nekat terpaksa merayakan tahun barunya dengan sembunyi-sembunyi”(Sindhunata 2007:110).

Dari kutipan-kutipan di atas terlihat bahwa ada usaha kerajaan Demak untuk merepresi kaum Cina.Konflik antara tokoh dikemas dengan nuansa politik yang cukup kental.Keinginan yang besar kerajaan Demak dan Majapahit untuk melanggengkan kekuasaan telah mengakibatkan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dipersalahkan.

Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengangkat novel Putri Cina dengan gambaran hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit sebagai objek penelitian. Penulis akan mengkaji benturan diantara sesama kaum Jawa yang mengkondisikankaum Cina sebagai korbannya.

(17)

Latar sosial yang akan dianalisis dari novel Putri Cina adalah hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa. Hegemoni ini digambarkan melalui konflik-konflik yang terjadi di dalam cerita.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana unsur alur yang ada dalam novel Putri Cina ?

1.2.2 Bagaimana dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan-rumusan masalah di atas, maka tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan alur yang terdapat dalam novel Putri Cina ? 1.3.2 Mendeskripsikan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak

terhadap kehidupan kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina ?

1.4Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan manfaat dari penelitian ini yaitu:

(18)

1.4.2 Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi kesusastraan Indonesia yaitu apresiasi terhadap novel Putri Cina.

1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca sastra untuk meninjau fenomena kehidupan sosial dalam novel yang ada di Indonesia.

1.5Tinjauan Pustaka

Novel ini pernah diresensi oleh Maria Hartiningsih di harian Kompas 23 September 2007.Hartiningsih menceritakan bahwa Putri Cina mengisahkan adanya pengkambinghitaman etnis Cina oleh etnis Jawa yang disusun secara rapi dan sistematis.Novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya,tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks kekuasaan yang berbeda-beda.Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu.Sejarah kontemporer mencatat pengkambinghitaman etnis Cina sejak 1740.

(19)

rekonsiliasi masyarakat pasca-konflik lewat imajinasi historis dalam novel karya Sindhunata Putri Cina.

Rekonsiliasi akan pesan perdamaian dalam novel Putri Cina ditunjukkan pada bagaian awal dan akhir novel. Bahwa tokoh menerima ketidakjelasan identitasnya.Pesan ini menjadi mengena karena dikemas secara riuh dengan kisah-kisah peperangan, balas dendam, dan tentu saja pengkambinghitaman.Kisah-kisah-kisah tadi diangkat dari sejarah, mitos, cerita rakyat dan realitas politik modern yang menggarisbawahi kengerian dan kesia-siaan perang antarsaudara.Lebih-lebih, adanya narasi tokoh Putri Cina yang menerima takdirnya dan bersedia mengampuni musuh yang telah menfitnah dan memporakporandakan keluarganya.Hal ini merupakan narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi yang dibayar oleh cinta dan kematian. Aroma cinta dan kematian juga tersirat dalam kisah perjalan cinta berujung maut antara dua anak manusia berbeda warna kulit Gurdo Paksi-Giok Tien yang menjadi titik bidik buku ini berdiri di atas lapisan-lapisan kisah lain yang secara beragam melibatkan cinta dan kematian sebagai tema. Karya ini juga menghadirkan ruang untuk berkontemplasi bahwa “melindungi semua orang, Jawa maupun Cina” tidak hanya dibebankan pada

(20)

Novel Putri Cina pernah dibahas dalam peluncuran dan bedah novel Putri Cina dengan tema “Narasi dan Identitas Putri Cina” di Bandung pada tanggal 11 Desember 2007 yang dimuat dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2008 oleh Karlina Supelli dan Bambang Sugiharto. Karlina Supelli, dosen STF Driyakara Jakarta membahas novel Putri Cina dengan judul Putri Cina: Tragedi dan Transendensi. Karlina Supelli menyatakan bahwa Putri Cina adalah perjalanan memasuki problematika eksistensi dengan ketidakpastian hakikat diri serta kegamangan identitas hanyalah merupakan bagian. Novel ini (Putri Cina) adalah penelusuran terhadap situasi manusia sekaligus kondisi eksistensinya dengan pencabangan pokok-pokoknya ke banyak sekali peristiwa, tetapi semuanya mengerucut ke satu hal: kekerasan bukan perkara yang menyergap manusia secara gaib (Putri Cina halaman 63). Kekerasan mengakar dalam kondisinya sebagai manusia (BASIS, 2008: 36).

Putri Cina membawa pesan yang lama sudah ada bersama kita, bahkan

(21)

jatuh bangun emosinya.Putri Cina memaksa kita (pembaca) mengimajinasikan itu semua melalui dialog-dialog batinnya, dalam penafsirannya atas peristiwa, atau dalam langkah berikut yang ia (Putri Cina) pilih setiap kali ia selesai mendengarkan dongeng, atau kala dongeng menjelma di dalam dirinya ( BASIS: 2008: 41).

Bambang Sugiharto dalam makalahnya yang berjudul Putri Cina : Semacam Genealogi Kekerasan menyatakan bahwa novel Putri Cina adalah novel

yang tidak lazim. Ketidaklaziman disebabkan karena tokoh (Putri Cina) adalah sosok perempuan anonim, representasi simbolik perempuan Tionghoa umumnya, namun sekaligus juga konkret, sebab ia muncul dalam setiap zaman dalam sosok-sosok perempuan berbeda, yang terpintal dalam aneka peristiwa. Novel ini (Putri Cina) tak lazim juga karena pada akhirnya agaknya semua tokoh di sana hanyalah konfigurasi konseptual untuk membangun wacana tentang hakikat kekerasan dan mekanisme pengkambinghitaman, sekaligus pula ia (novel Putri Cina) semacam penulisan ulang sejarah dalam rangka merumuskan kerumitan masalah identitas (BASIS, 2008: 43).

(22)

Putri Cina adalah bagaikan membaca tulisan purba babad Jawa.Di dalamnya fakta dan fiksi saling berkelit dan dengan amat bebasnya (BASIS, 2008: 45).

Yang menonjol dari novel ini adalah upaya pelacakan identitas, yang berakhir pada semacam genealogi kekerasan beserta mekanisme kambing hitamnya.Genealogi kekerasan di sini dalam arti pelacakan akar-akar yang telah membentuk situasi-situasi penuh dilemma dan kekerasan hingga hari ini. Kepentingan reflektif-filosofis ini memang membuat gaya dan kerangka mitologis menjadi siasat yang strategis (BASIS, 2008: 45).

Novel Putri Cina pernah dianalisis dalam bentuk skripsi oleh Christhoper Woodrich (2011) dengan judul Pengaruh Kerusuhan Mei 1998 dalam Putri Cina. Woordrich (2011: 106) mengatakan bahwa Kerusuhan Mei 1998 telah sangat mempengaruhi pikiran warga Cina di Indonesia. Perkosaan, pembunuhan, dan penjarahan massal itu telah meninggalkan bekas di hati mereka yang tidak mudah hilang. Penulisan Putri Cina bukanlah sekadar penulisan novel, tetapi pengabadian suatu pengalaman dalam bentuk tulisan. Hal-hal yang terjadi di dalam novel mempunyai maksud untuk mencatat pengalaman dan keterjadian untuk masa depan, supaya orang dapat memahami apa yang dialami. Meskipun ditulis secara alegoris, kenyataan sangat menonjol. Putri Cina mengemukakan kenyataan pahit yang harus dipahami. Novel ini juga menyampaikan suatu pesan,bahwa perlu ada kebhinekatunggalikaan supaya negeri ini (Indonesia).

(23)

Tionghoa sejak zaman dahulu. Penguasa pada zaman dulu menggunakan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dikorbankan untuk melanggengkan kekuasaan yang telah dimiliki oleh pihak penguasa. Putri Cina merupakan gabungan antara tragedi dengan peristiwa sejarah Jawa. Hal inilah yang menarik penulis untuk mengangkat novel Putri Cina dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.

1.6Landasan Teori

Untuk dapat memahami hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Cina dalam novel Putri Cina penulis menggunakan teori alur, sosiologi sastra dan konsep hegemoni.

1.6.1 Teori Alur

Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton dalam Nurgiyantoro 2010:113).

Sudjiman (1988:30) menambahkan bahwa alur merupakan peristiwa-peristiwa yang diurutkan untuk membangun tulang punggung cerita.Peristiwa-peristiwa tidak hanya meliputi yang bersifat fisik seperti cakapan/lakuan, tetapi termasuk perubahan sikap tokoh yang mengubah jalan nasib.

(24)

dapat menjalankan sebuah alur cerita saja.Peristiwa-peristiwa ini juga disebut dengan peristiwa penting.Peristiwa penting adalah kejadian-kejadian yang mempengaruhi gerak sebuah alur cerita.Dalam sebuah teks sastra, peristiwa penting ini berkembang dengan sifat yang saling terkait sehingga menciptakan sebuah alur cerita. Untuk menganalisis sebuah alur cerita, yang harus dirunut dan dianalisis hanya kejadian-kejadian yang termasuk dalam peristiwa penting saja (Singgalingging: 2009: 14).

Menurut Nurgiyantoro (2010:149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima tahapan yaitu, (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap pemunculan konflik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap denouement atau tahap penyelesaian.

Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2010: 149).

(25)

Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai titik intensitas puncak.Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memilki lebih dari satu klimaks, namun tetap ada satu klimaks utama.Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro, 2010:150).

1.6.2 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner antara sosiologi dengan ilmu sastra (Wiyatmi,2006:30). Sosiologi sastra adalah studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial (Swingewood via Faruk.2005:1). Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi (Ratna, 2010:332).

(26)

Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antara peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran realitas sosial , atau yang hendak digambarkan.

1.6.3 Teori Dominasi dan Hegemoni

1.6.3.1 Dominasi

Arti dominasi dalam prespektif teori kritis adalah suatu kekuasaan yang paling dominan, berasal dari luar diri manusia, sangat mempengaruhi dan turut mengatur seluruh aktivitas dan kegiatan berpikir serta tingkah laku manusia, sementara manusia menerimanya tanpa landasan kesadaran yang utuh (Ginting, 2012:42).

(27)

Secara lebih spesifik (Ginting, 2012:42) membagi dominasi menurut bidangnya yaitu dominasi birokrasi, dominasi budaya. Dominasi birokrasi dikemukakan oleh Max Webber sedangkan dominasi budaya dianalisis oleh Jurgen Habermas.

Birokrasi menurut Max Webber mengacu pada mengacu kepada kasus-kasus pemaksaan kekuasaan, tatkala seseorang pelaku menuruti perintah spesifik yang dikeluarkan orang lain. Menawarkan bentuk-bentuk hadiah, penghargaan, materiil, kehormatan sosial, merupakan bentuk paling meresap dari ikatan yang mengikat antara pengikut dan pimpinan. Ditambahkan bahwa telah terjadi dominasi dalam organisasi birokrasi yang berskala besar. Weber memandang bahwa birokrasi sudah tidak lagi efisien, akan tetapi menghasilkan korban yang bersifat psikologis atau emosional. Ikatan kesetiaan pribadi yang memberi arti dan tujuan hidup di masa lampau dirusakkan oleh impersonalitas birokrasi. Kepuasan dan kesenangan mencetuskan perasaan secara spontan ditekan oleh tuntutan taat pada spesialisasi sempit, rasional dan sistematis dalam sebuah kantor birokrasi. Singkatnya, logika efesiensi telah menghancurkan perasaan dan emosi manusia secara sistematis (Weber via Ginting, 2012:45).

(28)

sebagai hal kacau balau, tidak tersistematisasi, bisu menanti untuk diubah menjadi keadaan tertib, yang menembus berkat adanya administrasi. Akhirnya, birokrasi menghasilkan suatu gaya taksonomik (sifat tergolong-golong), yang memungkinkan terbawa atau menjalar secara berhasil ke dalam lingkungan kehidupan sosial lainnya. Selanjutnya, yang lebih fatal lagi adalah birokrasi kurang bersifat menstimulus timbulnya fantasi kreatif dan cenderung memfiksasi daripada menginovasi. Weber mengatakan bahwa kekuasaan yang baik ialah bersifat tradisionil, kharismatik, legal dan rasional, sebagai kemungkinan bahwa seorang pelaku akan mampu mewujudkan gagasannya sekalipun ditentang orang lain, dengan siapa pelaku itu berada dalam hubungan sosial (Webber via Ginting, 2012:47).

(29)

diri dari dogmatisme, melainkan sebagai kemampuan kognitif memanipulasi alam secara teknis.

1.6.3.2 Teori Hegemoni

Antonio Gramsci menciptakan suatu teori untuk menganalisis kekuasaan.Teori ini disebut teori hegemoni.Teori ini lahir sesudah teori fundamental dari Karl Max.Di dalam teori hegemoni dan dominasi ini Gramsci menjabarkan mengenai kekuasaan yang bertendensi menjadi sesuatu yang disebutnya sebagai hegemoni.

Menurut Hendarto via Patria-Arief (2003:125) ada tiga syarat suatu keadaan disebut hegemoni. Pertama, orang menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuens-konsekuensi bila ia tidak menyesuaikannya. Dalam keadaan ini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sanksi-sanksi yang menakutkan.Kedua, orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara-cara tertentu.Konformitas dalam hal ini merupakan partisipasi uang tidak terefleksikan dalam hal bentuk aktivitas yang tetap, sebab orang yang menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan untuk menolak.Ketiga, konformitas yang muncul dari tingkah laku memiliki hubungan dengan unsur tertentu dalam masyarakat.

Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai “dominasi” dan sebagai „kepemimpinan‟ intelektual dan moral. Dan di satu pihak,

(30)

lain pihak, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika kelompok socsal ini mempraktekkan kekuasaan, tapi bahkan bila pihak penguasa telah memegang kekuasaan penuh di tangannya,pihak penguasa masih harus terus “memimpin” juga ( Gramsci via Patria- Arief 2003: 117-118).

Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”.Lebih sering kata itu

digunakan oleh para komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian dominasi.Akan tetapi, bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks.Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk – bentuk politis, kultural dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa (Faruk 2005:63).

(31)

berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara.

Menurut Gramsci, kriteria metodologis yang menjadi dasar studinya (teori hegemoni) didasarkan pada asumsi, bahwa supremasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai

“kepemimpinan moral dan intelektual”. Suatu kelompok sosial mendominasi kelompok –kelompok anatagonistik yang cenderung “dihancurkan” , atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara. Atau, kelompok tersebut memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya ( Faruk 2005: 68).

Dalam sistem kekuasaan menurut Gramsci, suatu rezim akan memakai dua jalan untuk memperoleh kekuasaan. Yang pertama adalah penguasaan kesadaran melalui jalan pemaksaan dan kekerasan (coercive). Kedua adalah melalui penguasaan lewat jalan hegemoni, yaitu kepatuhan dan kesadaran elemen masyarakat (Sutrisno-Putranto, 2013:30).

(32)

dimanipulasi oleh kekuatan yang hegemonik dengan memberikan pendidikan cultural dan politik dalam keseharian (Sutrisno-Putranto, 2013:31).

Secara lebih rinci, Faruk (2005:65) menjelaskan bahwa teori hegemoni Gramsci digunakan untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan idelogis tertentu dalam kelashegemonik yang diyakini bertindak bagi kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Konsep hegemoni dengan demikian mengimplikasikan bahwa aplikasinya melibatkan konstelasi kekuatan sosial politik yang luas yang disebutnya dengan blok historis, yaitu hubungan resiprokal antara wilayah aktivitas politik, kultural, religi maupun dengan wilayah ekonomi.

Untuk lebih memformulasikan secara lebih mendalam, Teori hegemoni Gramsci meliputi empat bidang yaitu:

a. Hegemoni Politik b. Hegemoni Budaya c. Hegemoni Agama d. Hegemoni Ekonomi

(33)

sendiri dengan orang lain (Faruk 2005: 65). Hegemoni agama berfungsi untuk menciptakan common sense terhadap suatu golongan tertentu. Common sense meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul,tahayul, dan opini-opini (Faruk 2005: 70-71).

Hegemoni ekonomi dijadikan alat negara untuk memperoleh legitimasi negara di mata masyarakat.Bagi Gramsci elemen ekonomi digunakan untuk mempengaruhi aktifitas negara dan aktifitas sipil (Patria-Arif 2005: 136).

Hegemoni politik merujuk pada pengertian bahwa masyarakat sipil yang menentukan jalannya suatu negara melalui tangan suatu kelompok yang mendominasi dengan seperangkat aturan hukum.Hukum dan aturan politik digunakan untuk menjalankan suatu roda pemerintahan (Patria- Arif 2005: 133).

1.7Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan

(34)

1.7.2 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata Yunani meta, berarti „dari‟ atau „sesudah‟, dan hodos, yang artinya „perjalanan‟. Kedua istilah tersebut dipahami sebagai

perjalanan atau mengejar suatu tujuan (Basuki, 2006: 92). Metode dapat didefinisikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud atau juga cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Basuki, 2006:93).

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, metode hasil analisis data. Berikut diuraikan masing-masing tahap penelitian tersebut.

1.7.2.1.1 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data didapat melalui studi pustaka. Teknik tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudulPutri Cina, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan

objek tersebut.

(35)

1.7.2.1.2 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis isi untuk menganalisis data-data yang telah dikumpulkan.Metode analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis, misalnya, karya sastra, maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.

Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan menghadirkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.

Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran.Dasar penafsiran dalam analisis isi adalah menitikberatkan pada isi dan pesan.Oleh karena itu, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi.

(36)

secara tepat bagaimana alur cerita, dan hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina.

Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah pertama, menganalisis alur novelPutri Cina yang berupa analisis alur ceritanya. Kedua, adalah menganalisis hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Cina dalam novel Putri Cina. Hal ini dilakukan agar pemahaman hegemoni merupakan cermin proses sosial.

1.7.2.1.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

(37)

1.7.2.1.4 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Judul Buku : Putri Cina

Pengarang : Sindhunata Tahun Terbit : 2007

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 306 halaman

1.8 Sistematika Penyajian

(38)

BAB II

ANALISIS ALUR NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA

Untuk dapat mengetahui dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa penulis harus menganalis struktur dari novel Putri Cina. Struktur karya sastra terbagi dalam berbagai macam unsur. Pada bab ini penulis hanya akan memaparkan analisis unsur alur dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Analisis alur dilakukan agar dapat menggambarkan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.

Penulis hanya akan menganalisis alur pada saat berdirinya kerajaan Demak sampai dengan berakhirnya masa transisi kerajaan Majapahit yang dikalahkan oleh kerajaan Demak di novel Putri Cina karya Sindhunata. Hal tersebut dilakukan agar pada analisis pada bab ini terfokus dengan hal-hal yang berhubungan dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata.

2.1 Alur

Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap pemunculan konflik, (3) tahap rising action

(39)

2.1.1 Tahap situation (tahap penyituasian)

(1) “Di hadapan Tao, segala usaha manusia takkan berarti apa-apa. Apapun usahamu, kau harus menerima, bahwa akhirnya gunung-gunung akan tetap hijau dan sungai-sungai akan selalu mengalir seperti adanya. Dan tidaklah Chuang Tzu berkata,”Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja.” Untuk apakah semuanya,bila akhirnya manusia cukup dibaringkan di atas daun ketika ia untuk selamanya tertidur?” ( Sindhunata, 2006: 13 ).

Selanjutnya, dipaparkan bahwa Putri Cina tidak berasal dari Cina. Dia mempunyai leluhur Jawa. Menurut dongeng Kim Liyong, Putri Cina ada sebelum Jaka Prabangkara (anak raja Majapahit Prabu Brawijaya V) menikah dengan dua orang gadis Cina yang kelak akan melahirkan banyak anak-cucu dan akhirnya berlayar sampai ke tanah nenek luhurnya, Tanah Jawa. Menurut babad Jaka Prabangkara, Putri Cina merupakan keturunan dari perkawinan antara Jaka Prabangkara dengan seorang putri di negeri Cina bernama Kim Liyong. Seperti dalam kutipan berikut ini:

(40)

Di dalam novel ini juga diceritakan mengenai sejarah kerajaan Demak dan runtuhnya kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan Demak memiliki seorang raja yaitu Raden Patah. Raden Patah adalah anak dari Arya Damar (Anak Prabu Brawijaya V) dengan Putri Cina. Raden Patah memiliki seorang adik yaitu Raden Kusen yang kelak akan menjadi seorang adipati di Terung.

Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan karena sebuah serangan yang dilakukan oleh kerajaan Demak. Kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah mendapat dukungan dari berbagai kekuatan dari Bupati Madura, Arya Teja dari Tuban, Bupati Sura Pringga dan penguasa kerajaan Giri menyerang kerajaan Majapahit. Kekalahan Majapahit dapat digambarkan melalui kutipan di bawah ini:

“Pusat Majapahit dikepung. Prabu Brawijaya memerintahkan Patih Gadjahmada balas menyerang mereka. Namun ternyata, mereka tak mudah ditaklukkan. Malah dengan mudah pasukan Majapahit menyerah kalah” (Sindhunata 2006:31).

(41)

yang dapat meringankan bebannya yaitu Sabdopalon-Nayagenggong,abdi setia Prabu Brawijaya.

Dalam novel Putri Cina tahap penyituasian diawali dengan kilas balik mengenai nasib kehidupan Putri Cina yang sengsara. Kilas balik diawali dengan keheranan Putri Cina terhadap kaumnya ( kaum Tinghoa) yang selalu berusaha untuk mencari harta benda saja tanpa tanpa memikirkan nasib mereka di kemudian hari. Pada tahap ini selanjutnya dipaparkan bahwa Putri Cina tidak berasal dari Cina. Putri Cina memiliki leluhur Jawa. Di dalam tahap penyituasian ini juga diceritakan mengenai sejarah kerajaan Demak dan Majapahit.

2.1.2 Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik)

Tahap pemunculan konflik dalam novel Putri Cina menceritakan awal dari kisah kesengsaraan Putri Cina. Dalam perjalanannya di Pulau Jawa Putri Cina merasa heran dengan keadaan Majapahit sekarang. Sepeninggal Raja Prabu Brawijaya V, keadaan Majapahit berubah total. Bangunan kerajaan Majapahit rusak dan keadaan rakyat menjadi tidak terurus. Putri Cina bertanya kepada salah seorang wanita yang dulu menjadi danyangnya yaitu Loro Cemplon. Dari mulut Loro Cemplon inilah akhirnya Putri Cina kemudian menjadi mengetahui keberadaan Sabdopalon-Nayagenggong yang telah mempersiapkan diri untuk murca,menghilang dari dunia. Putri Cina pun memutuskan untuk melanjutkan

(42)

Sabdopalon-Nayagenggong menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Majapahit setelah kepemimpinan Prabu Brawijaya V. Sabdopalon-Nayagenggong kemudian mulai menceritakan keadaan Majapahit dengan kisah perang Baratayuda di padang Kurusetra. Perang Baratayuda adalah perang antara Pandawa dan Kurawa. Pihak yang menjadi pemenang dari perang itu adalah Pandawa. Akan tetapi, kemenangan Pandawa itu diperoleh dengan satu syarat yaitu semua keturunan Pandawa harus siap menerima kutukan dari Kurawa. Kutukan itu menyebutkan bahwa di tanah Jawa ini selamanya akan terjadi pertikaian.

Salah satu yang menjadi korbannya adalah cucu Abimanyu yaitu Prabu Janamejaya, anak dari Prabu Parikesit. Janamejaya berpikir untuk mengakhiri dendam Kurawa terhadap Pandawa adalah dengan mencari kurban. Janamejaya memilih kurban tersebut adalah saudaranya sendiri, Srutasena. Tetapi upacara kurban tidak jadi dilaksanakan karena para keturunan Pandawa harus menerima kutukan seperti yang terdapat pada kutipan di bawah ini:

“Ya,terbukti sekali lagi sekarang, bahwa darah dendam di Kurusetra itu tidak pernah reda. Sekarang akulah yang terkena kutukan itu.Kurban apa pun takkan bisa menghalangi kutukanku ini, kata Sarama.”( Sindunata, 2006: 50).

(43)

Sabdopalon-Nayagenggong memberitahu kepada Putri Cina bahwa pertikaian yang ada di Tanah Jawa tidak hanya melibatkan manusia, tetapi juga dewa. Hal ini terdapat dalam kutipan di bawah ini:

“”Ya, Paduka, seperti sudah hamba katakan berulang kali,jauh sebelum anak-anak momongan hamba bertikai,hamba sudah bertikai,ketika hamba masih di alam dewa dulu. Karena hamba adalah Semar,Sang Hyang Ismaya yang menelan Gunung Garbawasa untuk mengalahkan saudara hamba,Togog,Sang Hyang Antaga”,kata Sabdopalon-Nayagenggong” ( Sindunata, 2006: 66).

Sabdopalon-Nayagenggong lalu berkata bahwa dia akan kembali ke tempat dia menelan Gunung Garbawasa untuk bertapa. Menurut Sabdopalon-Nayagenggong Gunung Garbawasa sebetulnya merupakan simbol dari keduniawiaan. Sabdopalon-Nayagenggong baru akan pergi ke Gunung Garbawasa setelah menceritakan sebuah ramalan mengenai siapa yang menjadi korban pertikaian di antara sesama orang Jawa.

“Benar Paduka. Ketika keadaan damai, Paduka adalah manusia seperti mereka karena sama seperti mereka. Tapi ketika keadaan pecah dalam pertikaian,Paduka bukanlah manusia karena Paduka tidak sama dengan mereka.”.( Sindhunata 2006: 71).

(44)

mulai menjadi kenyataan setelah munculnya sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan Baru yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Murhardo.

Dalam novel Putri Cina, tahap pemunculan konfilik menceritakan awal dari kisah kesengsaraan Putri Cina. Dalam perjalanannya di pulau Jawa Putri Cina bertemu dengan Loro Cemplon, salah seorang danyangnya. Dari pertemuannya dengan Loro Cemplon inilah kemuadian Putri Cina bertemu dengan Sabdopalon-Nayagenggong. Sabdopalon-Nayagenggong bercerita tentang apa yang terjadi di kerajaan Majapahit setelah kepemimpinan Prabu Brawijaya V yang diawali dengan cerita mengenai perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Setelah bercerita mengenani perang BarataYudha, Sabdopalon-Nayagenggong lalu menjelaskan kepada Putri Cina bahwa kelak dia dan kaumnya (kaum Tionghoa) juga akan menerima kutukan yang sama seperti dalam perang Baratayudha. Setelah mendengar cerita dari Sabdopalon-Nayagenggong Putri Cina kemudian diam sejenak kemudian berpikir bahwa kaum Tionghoa akan menjadi pihak yang dipersalahkan atas konflik yang terjadi diantara sesama kaum Jawa.

2.1.3 Tahap rising action (tahap peningkatan konflik)

(45)

Baru hidup damai dan sejahtera. Ia memerintah dengan penuh welas asih. Akan tetapi, setelah beberapa tahun kemudian keadaan berubah. Keadaan menjadi kacau balau. Rakyat lalu mengubah namanya menjadi Prabu Amurco Sabdo. Prabu Amurco Sabdo berarti raja yang mengkhianati kata-katanya sendiri. Rakyat Pedang Kamulan menduga bahwa rajanya telah dibutakan oleh kekuasaan. Kekuasaan itu diperoleh dengan cara yang tidak lazim.

“Wahyu dan segala perangkat gaib lainnya membuat ia ora eling lan waspada. Ia akan menjadi lupa akan ajaran leluhur,bahwa manusai itu harus selalu ingat akan pesan aja dumeh. Maksudnya,kalau sudah sakti dan berkuasa, janganlah lupa, bahwa wong sekti ana kalane apes,pangkat bisa minggat,wong pinter bisa lai,rejeki bisa mati,donya bisa lunga: orang sakti bisa celaka,pangkat bisa minggat,orang pintar bisa lupa, rezeki bisa mati,dunia bisa pergi.” (Sindhunata 2006: 101).

Pedang Kamulan telah menjadi negeri yang kacau. Dan Putri Cina berpikir tinggal menunggu waktunya bagi kaum Cina untuk menjadi korban dari kekacauan di negeri Pedang Kamulan. Putri Cina melihat sebuah petanda melalui kupu-kupu kunung yang terbang. Menurut tradisi Cina, kupu-kupu kuning terbang merupakan simbol dari kematian.

(46)

2.1.4. Tahap climacx (tahap klimak)

Pada tahap ini konflik meningkat. Dalam novel Putri Cina tahap ini dimulai dari persekongkolan antara penasihat Raja Amurco Sabdo yaitu Patih Wrenggono dan Tumenggung Joyo Sumenggah. Mereka berdua sepakat untuk mencari kambing hitam atas keadaan yang terjadi di kerajaan Pedang Kamulan.

“Dan yang lebih menegerikan lagi adalah peristiwa ini: banyak wanita Cina diperkosa. Malahan, di banyak tempat, wanita Cina diperkosa ramai-ramai. Dan kejinya, perkosaan itu dilakukan di hadapan orang tua atau saudara-saudara wanita Cina yang malang itu.” ( Sindhunata, 2006: 150).

Kekacauan semakin brutal tetapi penguasa terlihat membiarkan semuanya terjadi. Beberapa orang beanggapan bahwa Prabu Amurco Sabdo harus turun dari jabatannya dan menunujukkan kebencian yang sangat mendalam kepada kaum Cina.

Sementara itu di tengah Senopati Gurdo Paksi sedang sibuk mengatasi huru-hara yang terjadi di kota, istri Gurdo Paksi yaitu Giok Tien berada di dalam rumah bersama dua saudaranya yaitu Giok Liang dan Giok Hwa. Mereka takut untuk keluar dari rumah. Tanpa sebab yang jelas Giok Tien mengingatkan saudara-saudaranya tentang lakon yang dijalani Giok Tien. Sebelum menjadi istri Gurdo Paksi, Giok Tien adalah seorang penari. Giok Tien pernah memerankan lakon Sampek Eng Tay.

(47)

mereka berdua hidup dan terbang menjadi sepasang kupu-kupu yang indah.” ( Sindhunata 2006: 200).

Tiba-tiba ada segerombolan prajurit dari istana Majapahit datang ke rumah Giok Tien. Mereka dipimpin oleh Joyo Sumenggah. Joyo Sumenggah ingin menyalamatkan Giok Tien beserta saudara-saudaranya. Saat ingin menyelamatkan Giok Tien beserta saudara-saudaranya, dua kakaknya mati ditusuk oleh orang tak dikenal. Joyo Sumengah pun datang beserta para prajurit. Giok Tien merasa heran karena suaminya (Gurdo Paksi) tidak menyelamatkannya. Joyo Sumenggah berusaha untuk membujuk Giok Tien agar bersedia ikut dengannya. Giok Tien hanya diam, tetap tidak mau. Akhirnya kesabaran Joyo Sumenggah hilang. Birahinya memuncak dan dia ingin memperkosa Giok Tien. Ketika Joyo Sumenggah ingin memperkosa Giok Tien, tiba-tiba datang Prabu Amurco Sabdo sehingga Joyo Sumenggah tidak jadi memperkosa Giok Tien.

Giok Tien pun dibawa oleh Prabu Amurco Sabdo ke istana. Sementara itu suaminya, senopati Gurdo Paksi merasa dijebak karena dituduh telah membunuh dua kakak Giok Tien dengan pusaka kerajaan yaitu keris Pesat Nyawa.

“Cik, kau tahu bukan aku yang membunuhmu. Aku minta keadilan karena pusaka laknat ini.” (Sindhunata 2006: 238).

(48)

Wis manuta, among sira gawe swarga. Sudahlah,Putri Cina, menurutlah kepadaku, hanya kaulah yang dapat menyediakan surga bagiku. Dengan buas ia melucuti busananya. Nafsunya sudah tinggal melompat keluar, ketika ia mulai melihat badan Giok Tien yang putih dan halus mulus itu. Giok Tien sudah tidak berdaya lagi ketika Prabu Amurco Sabdo menindihkan badannya ke tubuhnya. Ia hanya bisa menjerit lirih. Jeritan itu terdengar pedih merintih.” ( Sindhunata 2006: 251).

Tanpa disadari perbuatan Amurco Sabdo dilihat oleh Joyo Sumengah. Untuk menutupi perbuatannya dia menawari Joyo Sumenggah untuk memperkosa Giok Tien juga. Tetapi sebelum Joyo Sumengah melaksanakan niatnya, Gurdo Paksi datang. Dia marah terhadap Prabu Amurco Sabdo dan Joyo Sumengah. Kedatangan Gurdo Paksi diikuti oleh kedatangan Patih Wrenggono yang mengabarkan jika rakyat menuntut pertanggungjawaban Gurdo Paksi.

Giok Tien lalu mengancam jika nama baik suaminya tidak dipulihkan, dia akan membeberkan perbuatan Prabu Amurco Sabdo kepada rakyat. Amurco Sabdo lalu mengumumkan pengunduran dirinya kepada rakyat dan otomatis Gurdo Paksi pun harus melepaskan jabatannya sebagai senopati.

(49)

marah kepada Prabu Amurco Sabdo dan Prabu Joyo Sumenggah. Gurdo Paksi datang ke istana untuk menuntut pertanggung jawaban kepada Prabu Amurco Sabdo atas kekacauan yang terjadi.

2.1.5. Tahap denouement (tahap penyelesaian)

Tahap ini di dalam novel Putri Cina mengulas tentang kehidupan rakyat pasca raja Prabu Amurco Sabdo dan akhir kisah cinta antara Giok Tien dengan Gurdo Paksi. Kehidupan rakyat di kerajaan Pedang Kamulan menjadi damai kembali setelah Aryo Sabrang menjadi raja baru.

“Di mana-mana,sawah-sawah mulai menghijau dan segar. Petani-petani gembira karena panenan mereka berhasil. Pedagang-pedagang pun dapat menjalankan usahanya dengan hati tenang.” (Sindhunata 2006: 280).

Gurdo Paksi dan Giok Tien kembali bersatu. Mereka hidup bersama. Setelah empat puluh hari kematian kakak-kakak Giok Tien, Gurdo Paksi dan Giok Tien berziarah ke makam para saudara Giok Tien. Kesedihan Giok Tien tampak kembali ketika mereka tiba di depan pusara. Dia teringat akan kenangan-kenangan indah mereka bertiga. Tiba-tiba sebuah anak panah meluncur dari belakang Gurdo Paksi, Giok Tien mendorong tubuh Gurdo Paksi dan anak panah itu akhirnya tertancap di dada Giok Tien.

(50)

Giok Tien akhirnya tewas di pangkuan Gurdo Paksi. Ternyata yang membunuh Giok Tien adalah Joyo Sumengah yang kini menjadi senopati di Padang Kamulan. Akhirnya apa yang telah diimpikan oleh Giok Tien terjadi juga. Mereka menjadi Sam Pek Eng Tay.

Untuk lebih memperjelas analisis alur pada novel Putri Cina karya Sindhunata yang berhubungan dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa, penulis melampirkan bagan alur sebagai berikut :

BAB Halaman Bagian Alur

1 9-14 Perkenalan; timbulnya konflik 1 2-12 15-87 Timbulnya konflik 2

13-17 88-149 Klimaks

19-20 153-165 Penyelesaian

Pada bab pertama, tokoh Putri Cina diperkenalkan. Konfliknya sebagai tokoh juga muncul; ternyata dia merasa kehilangan identitas, yang ditandai dengan kehilangan wajahnya.

(51)

keturunannya bertakdir kembali ke tanah Jawa. Oleh karena itu, Putri Cina merasa bahwa dia sebenarnya sudah orang Jawa.

Namun, dia (Putri Cina) teringat lagi bahwa pada kerajaan Majapahit sudah ada seorang selir dari Cina; dengan demikian, Putri Cina merasa bahwa pencariannya tidak selesai. Dia ingat bahwa selir Cina itu telah dienyahkan saat hamil ke Sumatra (Sriwijaya) karena kehendak permaisuri kesayangan raja; selir itu dinikahkan dengan anak raja itu dan akhirnya melahirkan anak dari kedua bapak-anak itu. Kedua anaknya tumbuh dewasa, lalu pulang ke tanah Jawa dan akhirnya menjatuhkan raja Majapahit dan mendirikan kerajaan baru, kerajaan Demak.

Pada konflik 2 Kerajaan Demak di bawah pimpinan Raden Patah berusaha untuk melakukan kudeta terhadap kerajaan Majapahit. Kudeta terhadap kerajaan Majapahit mendapatkan dukungan dari Adipati Terung serta pihak-pihak lain yang sepaham dengan Raden Patah. Kerajaan Majapahit menjadi terjepit. Prabu Brawijaya beserta pasukannya berlindung di dalam lingkungan istana kerajaan Majapahit.

(52)

menguasai kerajaan Majapahit. Seluruh tatanan Majapahit yang berlatar belakang agama Hindhu diganti secara perlahan oleh Raden Patah yang membawa idelogi agama Islam.

2.2. Rangkuman

Pada Bab II analisis struktur dititikberatkan pada analisis alur novel Putri Cina karya Sindhunata. Di dalam novel ini, alur dibagi menjadi lima tahapan yaitu

tahap situation (penyituasian), tahap circumstances (tahap pemunculan konflik), tahap rising action (tahap peningkatan konflik), tahap climacx (tahap klimak ) dan nouement ( tahap penyelesaian).

Bagian awal merupakan tahap penyituasian. Bagian ini dimulai dengan kilas balik ini diawali dengan keheranan Putri Cina terhadap kaumnya (orang cina) yang selalu mencari kekayaan saja tanpa memikirkan nasib mereka di kemudian hari. Dia merasa heran mengapa orang Cina tidak mengingat ajaran leluhur mereka. Putri Cina merasa mengapa kaumnya hanya berusaha untuk mencari kekayaan selama masa hidupnya. Dia menyayangkan falsafah-falsafah nenek moyang kaum Tionghoa sudah dilupakan.

(53)

salah seorang wanita yang dulu menjadi danyangnya yaitu Loro Cemplon. Dari mulut Loro Cemplon inilah akhirnya Putri Cina mengetahui keberadaan Sabdopalon-Nayagenggong.

Bagian ketiga adalah tahap rising action (tahap peningkatan konflik). Pada tahap ini berkisah tentang Prabu Muhardo yang awalnya sangat dicintai oleh rakyatnya. Di bawah kepemimpinannya, rakyat Medang Kamulan Baru hidup damai dan sejahtera. Ia memerintah dengan penuh welas asih seperti yang diidam-idamkan oleh rakyat. Tetapi setelah beberapa tahun kemudian keadaan berubah. Suasana menjadi kacau balau. Rakyat lalu mengubah namanya menjadi Prabu Amurco Sabdo. Perubahan nama ini merupakan reaksi rakyat terhadap kepemimpinan Prabu Muhardo. Nama Prabu Amurco Sabdo berarti raja yang mengkhianati kata-katanya sendiri. Rakyat Pedang Kamulan menduga bahwa rajanya telah dibutakan oleh kekuasaan. Kekuasaan itu diperoleh dengan cara yang tidak lazim.

Bagian keempat adalah tahap climacx (tahap klimaks). Dalam novel Putri Cina tahap ini dimulai dari persekongkolan antara penasehat Raja Amuco Sabdo

(54)

Tahap kelima merupakan tahap penyelesaian konflik di dalam novel Putri Cina. Tahap ini di dalam novel Putri Cina mengulas tentang kehidupan rakyat

pasca Prabu Amurco Sabdo.dan akhir kisah cinta antara Giok Tien dengan Gurdo Paksi. Kehidupan rakyat di kerajaan Pedang Kamulan menjadi damai kembali setealah Aryo Sabrang menjadi raja baru. Gurdo Paksi dan Giok Tien kembali bersatu. Setelah empat puluh hari kematian kakak-kakak Giok Tien, Gurdo Paksi dan Giok Tien berziarah ke makam para saudara Giok Tien. Kesedihan Giok Tien tampak kembali ketika mereka tiba di depan pusara. Dia teringat akan kenangan-kenangan indah mereka bertiga. Tiba-tiba sebuah anak panah meluncur dari belakang Gurdo Paksi, Giok Tien mendorong tubuh Gurdo Paksi dan anak panah itu akhirnya tertancap di dada Giok Tien.

(55)

BAB III

DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM

TIONGHOA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA

Dari analisis Bab II, terlihat adanya permasalahan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Dominasi dan hegemoni tersebut timbul karena adanya peranan kekuasaan dari kerajaan Demak. Dalam Bab III, permasalahan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak danterhadap kaum Tionghoa tersebut akan dianalisis lebih dalam lagi. Analisis dominasi dan hegemoni diurutkan mulai dari yang paling dominan hingga yang memiliki peranan paling kecil. Analisis dominasi dan hegemoni berikut ini meliputi analisis dominasi kerajaan Demak dan hegemoni kerajaan Demak yang terbagi atas hegemoni agama, hegemoni politik, hegemoni ekonomi dan hegemoni budaya. Dalam analisis ini penulis menggunakan teori dominasi dan hegemoni Antonio Gramsci.

Arti dominasi dalam prespektif teori kritis adalah suatu kekuasaan yang paling dominan, berasal dari luar diri manusia, sangat mempengaruhi dan turut mengatur seluruh aktivitas dan kegiatan berpikir serta tingkah laku manusia, sementara manusia menerimanya tanpa landasan kesadaran yang utuh (Ginting, 2012:42).

(56)

dominasi.Akan tetapi, bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks.Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk – bentuk politis, kultural dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa (Faruk 2005:63).

Meskipun Gramsci memulai analisis dari bidang politik, agama, ekonomi dan budaya penulis terlebih dahulu menganalisis bidang agama,politik, ekonomi dan terakhir bidang budaya. Hal ini dipilih karena penulis melihat bidang agama yang paling mayoritas mendominasi dibandingkan ketiga bidang yang lain.

Hegemoni agama berfungsi untuk menciptakan common sense terhadap suatu golongan tertentu. Common sense meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul, dan opini-opini (Faruk 2005: 70-71). Hegemoni politik merujuk pada pengertian bahwa masyarakat sipil yang menentukan jalannya suatu negara melalui tangan suatu kelompok yang mendominasi dengan seperangkat aturan hukum. Hukum dan aturan politik digunakan untuk menjalankan suatu roda pemerintahan (Patria- Arif 2005: 133).

Hegemoni ekonomi dijadikan alat negara untuk memperoleh legitimasi negara di mata masyarakat. Bagi Gramsci elemen ekonomi digunakan untuk mempengaruhi aktivitas negara dan aktivitas sipil (Patria-Arif 2005: 136).

(57)

dan data-data dan yang dengan cepat menyebutkannya dalam setiap kesempatan yang dengan demikian mengubah meraka menjadi suatu perintang antara diri mereka sendiri dengan orang lain (Faruk 2005: 65). Dalam analisis hegemoni ini, akan diawali dengan deskripsi singkat mengenai kerajaan Demak.

3.1 Kerajaan Demak

Demak terletak di daerah Pegunungan Muria , Jawa Tengah. Pada abad XVI Demak telah menjadi lumbung padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian sekitar Demak. Sungai yang menjadi penghubung antara Demak dengan daerah dalaman di Jawa Tengah adalah sungai Serang, yang anak-anak sungainya bersumber di pegunungan kapur dan bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Di sebelah selatan pegunungan Kapur tersebut terletak daerah-daerah tua Jawa Tengah, yaitu Pengging dan Pajang (De Graff-Pigeaud 1974: 38).

(58)

3.1.1 Dominasi kerajaan Demak terhadap Kaum Tionghoa

Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa mulai nampak sejak Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin Bun). Raden Patah merupakan anak dari Prabu Brawijaya. Demak yang sebelumnya merupakan daerah di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit berubah menjadi daerah yang maju di bawah pimpinan Raden Patah. Sebelumnya Demak hanya merupakan sebuah daerah kekuasaan Majapahit seperti daerah-daerah kekuasaan lain yang dimiliki oleh kerajaan Majapahit. Proses dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali dengan pendirian Demak menjadi kerajaan Demak. Raden Patah yang menjadi abdi kerajaan Majapahit mendirikan kerajaan Demak yang berlatar belakang agama Islam. Hal tersebut terdeskripsikan dalam kutipan berikut ini:

Kapal singgah di Sura Pringga. Raden Patah dan Raden Kusen turun, terus berjalan ke Ngampeldenta. Di sana mereka memeluk agama baru, dan berguru kepada Sunan Ngampeldenta (Sindhunata, 2007: 28).

(59)
(60)

Di sana mereka memeluk agama baru, dan berguru kepada Sunan Ngampeldenta. Setelah beberapa lama, Raden Kusen mengingatkan, mereka masih harus pergi ke Majapahit. Raden Patah menolak. Ia tak mau lagi ke sana, karena tak ingin mengabdi kepada raja yang lain agamanya dari dia (Sindhunata, 2007: 28).

Berdasarkan kutipan di atas, nampak bahwa Raden Patah telah mantap untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Hindhu. Hal ini tentunya membuat Sunan Ampel menjadi gembira. Sunan Ampel mendapatkan calon penerus untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa yaitu Raden Patah.

Raden Patah yang pada awalnya menganut agama Hindhu berubah menganut agama Islam setelah lama menetap di Demak. Hal ini tidak terlepas dari adanya peran Sunan Ampel yang saat itu sedang merintis penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Agama Hindhu yang pada saat itu telah mendominasi pulau Jawa, berusaha diimbangi oleh Sunan Ampel yang membawa agama Islam. Untuk memperkuat pengaruhnya di daerah Demak dan sekitarnya Sunan Ampel terus memperdalam ilmu agama Islam kepada Raden Patah. Ambisi Sunan Ampel untuk mendominasi agama Islam melalui Kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa tidak hanya dengan merekrut Raden Patah sebagai “peminpin” pemberontak Majapahit.

(61)

Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya V sebagai bukti dharma baktinya kepada raja Brawijaya V. hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut ini:

Setelah beberapa lama, Raden Kusen mengingatkan, mereka masih harus pergi ke Majapahit. Raden Patah menolak. Ia tak mau lagi ke sana, karena tak ingin mengabdi kepada raja yang lain agamanya dari dia (Sindhunata, 2007: 28).

Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah yang telah menganut agama Islam kemudian mendirikan kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Raden Patah telah berhasil didoktrin oleh Sunan Ampel untuk memeluk agama baru yaitu Islam. Lain halnya dengan Raden Kusen, dia tetap melanjutkan perjalanan ke Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya. Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah telah mendirikan padepokan bernama Bintara. Padepokan tersebut menjadi pusat untuk memperdalam ilmu agama Islam yang diajarkan oleh Sunan Ampel kepada Raden Patah. Di bawah pimpinan Raden Patah pedepokan Bintara menjadi jaya dan terkenal sampai ke seluruh pulau Jawa. Raden Patah yang memilih tetap tinggal di Ngampeldenta berusaha untuk terus memperdalam agama Islam. Guna menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di pulau Jawa, Raden Patah berencana mendirikan suatu padepokan di Ngampeldenta. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut ini:

(62)

yang yang dicarinya. Maka di sinilah ia mendirikan padepokannya. Dan dinamainya tempat itu Bintara (Sindhunata, 2007: 28).

Dengan adanya pendirian padepokan yang akan menjadi cikal bakal munculnya kerajaan Demak, usaha Raden Patah dan Sunan Ampel untuk memusatkan penghayatan agama Islam menjadi terfasilitasi. Padepokan ini diharapkan oleh Raden Patah dan Sunan Ampel mempermudah penyebaran agama Islam di pulau Jawa yang pada saat itu masih didominasi oleh agama Hindhu.

Raden Patah memiliki pendapat bahwa selain agama Islam tidak boleh ada agama lain yang ada di pulau Jawa. Kemunculan hal ini tidak terlepas dari perubahan sikap drastis yang ditunjukkan oleh Raden Patah setelah memeluk agama Islam. Kaum Tionghoa pun mulai merasakan agama Islam menjadi kekuatan baru di Majapahit selain agama Hindhu yang telah ada terlebih dahulu. Demak yang berubah menjadi kerajaan, semakin lama mulai memperbesar pengaruh agama Islam di Pulau Jawa.

(63)

3.1.2 Hegemoni kerajaan Demak terhadap Kaum Tionghoa

Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dimulai sejak adanya rencana pemberontakan Demak terhadap kerajaan Majapahit. Sebelum melakukan pemberontakan ke Majapahit, Sunan Ampel ingin memperkokoh ajaran agama Islam yang mulai mendominasi di pulau Jawa, Sunan Ampel sengaja menjodohkan Raden Patah dengan keluarganya sendiri. Hal tersebut seperti yang tergambar dalam kutipan di bawah ini:

Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta Sunan Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia mengawinkan Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak Nyai Ageng Manyura, putri sulungnya (Sindhunata, 2007: 28).

Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah dijodohkan dengan cucu Sunan Ampel sendiri. Pernikahan campuran antara Raden Patah yang latar belakang Hindhu dengan Nyai Ageng Mendaka yang berlatar belakang agama Islam sengaja dilakukan oleh Sunan Ampel. Raden Patah tidak kuasa untuk menolak perkawinan tersebut karena mengingat banyak jasa yang telah dilakukan Sunan Ampel kepada dirinya termasuk merubah paradigma (cara berpikir) Raden Patah terhadap Prabu Brawijaya V.

(64)

merasa gembira. Prabu Brawijaya memuji kemajuan yang dialami Demak di bawah tangan Raden Patah.

Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali oleh penyerangan kerajaan Majapahit oleh Raden Patah. Penyerangan kerajaan Majapahit oleh kerajaan Demak tidak dilakukan oleh Raden Patah sendiri. Dia mendapatkan dukungan dari berbagai pihak termasuk dari pihak-pihak yang sebelumnya telah terhegemoni oleh kerajaan Majapahit. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut ini:

“Akhirnya saatnya pun tiba. Di Demak, bergabunglah menjadi satu kekuatan -kekuatan yang hendak menyerang Majapahit. Kecuali Adipati Terung, meraka adalah Bupati Madura, Arya Tedja dari Tuban, Bupati Sura Pringga, dan penguasa Giri” (Sindhunata, 2007: 30-31).

Masa transisi pergantian puncak kekuasaan Majapahit dari tangan Prabu Brawijaya ke tangan Raden Patah berjalan dengan mulus. Meskipun peralihan kekuasaan dari Parabu Brawijaya kepada Raden Patah harus diawali dengan peperangan.

(65)

kaum Tionghoa tergambar dalam pembentukan kaum Tionghoa sebagai kaum yang eksklusif yang pada ujungnya akan menjadikan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dibenci oleh masyarakat pribumi melalui motif ekonomi. Hegemoni budaya kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa tergambar pada pelarangan kerajaan Demak terhadap kegiatan budaya leluhur kaum Tionghoa. Hegemoni-hegemoni tersebut di atas akan diuraikan lebih lanjut dalam sub-sub bab di bawah ini.

3.1.2.1 Hegemoni Agama Kerajaan Demak

Hegemoni agama berfungsi untuk menciptakan common sense terhadap suatu golongan tertentu. Common sense meliputi sistem-sistem kepercayaan meneyeluruh, tahayul, dan opini-opini (Faruk 2005: 70-71).

Menurut Girard (2006:211) agama berfungsi untuk menundukkan kekerasan, dan menjaga supaya kekerasan itu tidak liar. Akan tetapi agama dijadikan kedok permainan kekuasaan politik oleh Kaum Jawa untuk membuat suatu tatanan kehidupan baru di Majapahit. Tatanan yang tentunya sesuai dengan apa yang menjadi kehendak pihak penguasa. Agama telah menjadi alat bagi kaum Jawa untuk melanggengkan kekuasaan suatu rezim.

(66)

perjalanan mereka menuju Majapahit, mereka bertemu dengan seseorang tokoh agama Islam yang kemudian dikenal dengan Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) di daerah Ngampeldenta. Di sana mereka berdua memeluk agama baru yaitu agama Islam seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini :

Kapal singgah di Sura Pringga. Raden Patah dan Raden Kusen turun, terus berjalan ke Ngampeldenta. Di sana mereka memeluk agama baru, dan berguru kepada Sunan Ngampeldenta (Sindhunata, 2007: 28).

Dalam kutipan di atas, terlihat jika Raden Patah dan Raden Kusen telah memeluk agama baru yaitu Islam dari sebelumnya memeluk agama Hindu. Perubahan agama yang dianut oleh keduanya membuat perubahan paradigma (mind set) keduanya berubah mengenai kepercayaan. Di bawah bimbingan dan arahan dari Sunan Ampel mereka berdua kemudian mempunyai pandangan berbeda mengenai Kerajaan Majapahit yang bernafaskan dengan nuansa Agama Hindhu. Agama Hindhu yang kental dengan kegiatan ritus pemujaan dewa dan hal-hal yang mistis tentu sangat bertolak belakang dengan Agama Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Bamboo rafting di Sungai Amandit, jungle tracking ke perbukitan Meratus, berkunjung ke desa- desa kecil milik suku Dayak Meratus, dan tentu saja menyaksikan acara adat Aruh

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa radio internet merupakan alternatif media massa bagi khalayak yang ingin mengakses media sesuai dengan kebutuhannya, peneliti tertarik

Sekretaris ULP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dijabat oleh Kepala Biro atau Perwira Tinggi Polri pada Ssarpras Polri yang ditetapkan dengan

Hubungan yang baik antara penyanyi dalam sebuah paduan suara akan menciptakan suasana yang menyenangkan ketika menyanyikan sebuah lagu, karena komunikasi

PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN (Studi Penelitian Tentang Konflik Keagamaan Antara Nahdhlatul Ulama Dengan Majelis Tafsir Al- qur’an Di Desa

The response with perturbation and observation (P&O) MPPT Technique waveforms are 11(a) PV array output current 11(b) PV array output voltage 11(c) PV array output

Gambaran umum hasil penelitian dari data yang diperoleh, yaitu meliputi data skor pretest dan posttest dari 50 siswa yang terdiri dari kelas eksperimen dengan

Terampil jika menunjukkan sudah ada usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan menentukan jarak antara titik dan