• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. USULAN KATEKESE BAGI PARA FRATER BUNDA

C. Katekese Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pola

1. Pokok-pokok Katekese

Istilah katekese berasal dari bahasa Yunani “Katechein”, yang merupakan bentukan dari kata “Kat” yang berarti pergi atau meluas, dan “echo” yang artinya menggemakan atau menyuarakan ke luar. Berdasarkan bentukan kata tersebut kata “Katechein” berarti menggemakan atau menyuarakan ke luar. Kata “Katechein” digunakan oleh orang Kristen (Katolik) untuk menyuarakan/ menggemakan seluruh harta kekayaan Gereja misalnya Sabda Tuhan, Tradisi Gereja, dan keadaan hidup manusia dengan seluruh pengalaman hidupnya yang konkret dalam kehidupan sehari-hari. Namun istilah Katechein ini dalam perkembangan Gereja selanjutnya dikenal dengan istilah/ sebutan Katekese hingga saat ini (Papo, 1988: 11).

Dalam Kitab Suci terdapat bermacam-macam Pengertian katekese secara tersirat termaktub dalam beberapa perikop Kitab Suci, antara lain: dalam Injil Luk 1:4 Katekese berarti “diajarkan”, Kis 18:25 (pengajaran dalam jalan Tuhan); Kis 21:21 (mengajar); Rom 2:18 (diajar); I Kor 14:19 (mengajar) dan Gal 6:6 (pengajaran). Dalam konteks ini, katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman, dan pendidikan iman agar seorang dewasa semakin dewasa dalam imannya.

Menurut Telaumbanua (1999: 5) Katekese adalah “Usaha-usaha dari pihak Gereja untuk menolong umat agar semakin memahami, menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari”.

Klender-Jakarta tahun 1980, para peserta berhasil merumuskan pengertian katekese sebagai berikut: “Katekese adalah Komunikasi iman atau tukar pengalaman iman antar anggota jemaat atau kelompok. Melalui kesaksian para peserta saling membantu sedemikian rupa sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati dengan semakin sempurna” (Yosep Lalu, 2007: 12).

Sedangkan Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae berkata:

Katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud menghantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT, art. 18).

Betolak dari pengertian-pengertian tentang katekese di atas boleh dikatakan bahwa karya katekese mutlak diperlukan dalam usaha mengembangkan, memperdalam dan meningkatkan daya refleksi jemaat akan segala pengalaman hidupnya yang dipertemukan dengan harta kekayaan Gereja khususnya sabda Tuhan, sehingga dari sana mereka dapat semakin meghayati iman mereka secara lebih dewasa dan mendalam, serta mereka semakin menyatu dengan Kristus sebagai sumber dan tujuan kesaksian hidup mereka sehari-hari, baik dalam lingkup Gereja maupun dalam dunia/ masyarakat di mana mereka hidup dan berada. Hidup dalam kesatuan dengan Kristus akan menghantar umat untuk hidup dalam kelimpahan serta hidup dalam kemerdekaan sebagai anak-anak Allah.

b. Tujuan Pokok Katekese

Pengembangan suatu karya katekese yang baik hendaknya memiliki suatu tujuan/ cita-cita yang hendak dicapai, sehingga dengan demikian karya katekese itu menemukan makna evangelisasinya di tengah Gereja dan dunia sebagai medannya. Dalam hal ini Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) kedua yang dilangsungkan di Klender-Jakarta (1980), merumuskan tujuan katekese sebagai

berikut:

Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari, dan kita dapat membangun sikap metanoia kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup kita sehari-hari. Dengan demikian kita semakin sempurna dalam beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan makin dikukuhkan hidup Kristiani kita; pun pula kita semakin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan semakin mengokohkan Gereja semesta, sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat (Yoseph Lalu, 2007: 13).

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya tentang keberadaan dan perkembangan katekese di jaman sekarang, berkata:

Tujuan khas katekese ialah berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dan dari hari ke hari memekarkan diri menuju kepenuhannya serta semakin memantapkan perihidup Kristen umat beriman, baik muda maupun tua. Kenyataan itu berarti: merangsang, pada taraf pengetahuan maupun penghayatan, pertumbuhan iman yang ditaburkan oleh Roh Kudus melalui pewartaan awal, dan yang dikurniakan secara efektif melalui babptis. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa dalam seluruh proses evangelisasi tujuan katekese ialah: menjadi tahap pengajaran dan pendewasaan, artinya: masa orang Kristen, sesudah dalam iman menerima Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan, dan sesudah menyerahkan diri seutuh-utunya kepada-Nya melalui pertobatan hati yang jujur, berusaha makin mengenal Yesus, yang menjadi tumpuan kepercayaannya: mengerti misteri-Nya, Kerajaan Allah yang diwartakan oleh-Nya, tuntutan-tuntutan maupun janji-janji yang tercantum dalam amanat Injil-Nya, dan jalan yang telah digariskan-Nya bagi siapa pun yang ingin mengikuti-Nya (CT, art. 20).

Dalam hal ini katekese bermaksud mengembangkan pengertian tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh firman itu. Begitulah orang Kristen, yang berkat karya penebusan Kristus diubah menjadi ciptaan baru, memutuskan secara bebas untuk mengikuti Kristus, dan dalam Gereja makin banyak belajar berpikir seperti Dia, menilai segalanya seperti Dia, bertindak seturut dengan perintah-perintah-Nya dan berharap sesuai dengan ajakan-Nya. Dengan kata lain melalui katekese jemaat dapat hidup menyatu dengan sang sumber hidupnya yakni Kristus dan bahkan mereka dapat berperan sebagai alter-alter Kristus di tengah kehidupan mereka sehari-hari.

Demi tercapainya tujuan katekese, maka proses katekese yang dibangun harus mengutamakan unsur dialog partisipatif dan didukung oleh suasana yang nyaman dan penuh persaudaraan. Pola komunikasi yang dibangun bukan hanya antara pendamping dengan jemaat dan antar jemaat, namun komunikasi itu juga harus terjadi antara peserta/ jemaat dengan sabda Tuhan yakni Yesus Kristus sendiri yang hadir dan menyapa lewat sabda Kitab Suci yang didengarkan, direfleksikan dan dimaknai melalui pengalaman hidup serta dibagikan di antara jemaat dalam iman. Katekese juga harus disadari sebagai komunikasi iman antar peserta sebagai saudara seiman yang sederajat. Dalam hal ini proses katekese yang terjadi harus tercipta suasana di mana setiap jemaat menjadi “katekis” bagi jemaat yang lain, untuk saling membantu sehingga pada akhirnya terjadi perjumpaan dengan Kristus sendiri sebagai sumber dan pusat katekese yang dapat memperkembangkan dan mengokohkan iman mereka untuk semakin yakin dan berani mewartakan dan menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia dan sesama di sekitarnya (Heryatno, 2007: 8).

c. Isi Pokok Katekese

Isi pokok katekese adalah seluruh hidup Yesus Kristus yang mencakup peristiwa inkarnasi, hidup dan karya, penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus sebagai satu kesatuan karya keselamatan Allah bagi manusia dalam diri dan melalui Yesus sang Putra tunggal-Nya. Katekese hendaknya bersifat Kristosentris dalam arti Kristulah yang harus menjadi pusat dan sumber pewartaan itu sendiri. Gagasan di atas sangat sesuai dengan apa yang dicetuskan oleh Paus Yohanes paulus II dalam Ensikliknya yang berbunyi:

Sifat Kristosentris katekese juga mencakup maksud: bukan untuk menyampaikan ajaranya sendiri, atau entah ajaran seorang guru lain, melainkan ajaran Yesus Kristus, Kebenaran yang diajarakan-Nya, atau lebih cermat lagi: Kebenaran yang tak lain ialah Dia sendiri. Maka harus dikatakan, bahwa dalam katekese Kristus sendirilah, Sabda yang menjelma dan Putera Allah, yang

diajarkan; segala sesuatu yang diajarkan harus mengacu kepada-Nya. Lagi pula hanya Kristuslah yang mengajar; siapa saja selain Dia mengajar sejauh ia menyadari dan selalu menempatkan diri sebagai jurubicara kristus, dan memungkinkan Kristus mengajar melalui mulutnya,….(CT, art. 6).

Misteri hidup Yesus menjadi sumber dan pusat katekese, maka katekese dipahami sebagai usaha bersama untuk saling mengenal, memahami, dan percaya pada-Nya sebagai sumber keselamatan satu-satunya, dan sekaligus sebagai guru agung/ pengajar utama bagi setiap jemaat. Di sinilah letak sifat khas ktekese yakni “Kristosentris”.

d. Model-model katekese

Dalam dunia katekese ada begitu banyak model katekese yang ditawarkan untuk dapat digunakan dalam proses pengembangan katekese umat demi terbangun dan berkembangnya iman umat untuk mencapai kesempurnaan dan kepenuhan hidup dalam Kristus sebagai sumber dan tujuan hidup beriman jemaat. Berkaitan dengan model-model katekese ini, Sumarno (2007: 11-15) memaparkan beberapa model-model katekese antara lain:

1). Model Shared Christian Praxis (SCP):

Model SCP ini lebih menekankan pada proses berkatekese yang bersifat dialogal dan partisipasif, dengan maksud mendorong peserta, antara konfrontasi antara “tradisi” dan “visi” hidup mereka dengan “tradisi” dan “visi” Kristiani, agar baik secara pribadi maupun bersama, mampu mengadakan penegasan dan mengambil keputusan demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia yang terlibat di dalam dunia. Model ini bermula dari pengalaman hidup peserta, yang direfleksi secara kritis dan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman dan visi Kristiani supaya muncul sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada keterlibatan baru dalam

hidup sehari-hari. Maka sejak awal orientasi pendekatan dari model SCP ini adalah pada “praxis” peserta (Sumarno, 2007: 14-15).

2). Model Pengalaman Hidup

Katekese model pengalaman hidup ini bertitiktolak dari pengalaman hidup sehari-hari yang akan direfleksikan dalam terang iman dan dipertemukan dengan harta kekayan Gereja khususnya Sabda Tuhan.

3). Model Biblis

Katekese model biblis ini lebih bertitiktolak dari harta kekayaan gereja yakni Sabda Tuhan (Kitab Suci), dokumen-dokumen Gereja dan tradisi, yang kemudiaan dipertemukan dikaitkan dengan pengalaman hidup konkret sehari-hari yang direfleksikan dalam terang iman.

4). Model Campuran: Pengalaman Hidup dan Biblis.

Katekese model campuran ini merupakan gabungan dari model biblis dan model pengalaman hidup. Dalam hal ini bisa bertitiktolak dari Kitab Suci/ tradisi Gereja lalu dihubungkan dengan pengalaman hidup sehari dan bisa juga sebaliknya. Semuanya tergantung pada situasi dan kebijakan serta kreatifitas pemandu katekese/ fasilitatornya.

2. Pemilihan Katekese Model pengalaman Hidup