• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUSIK DALAM IBADAH KONTEMPORER DI GBI MEDAN PLAZA 3.1. Pelayanan Musik

19. Pola Flowing minor vi-IV-V-vi

3. 5. Improvisasi

Improvisasi merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dalam flowing. Improvisasi juga telah dikenal dan digunakan dalam gereja sejak jaman Daud.

Improvisasi juga penting dalam beberapa tradisi sistem musik non-Barat seperti

tradisi musik blues yang berakar dari worksong orang-orang Afro-Amerika ketika menjadi budak saat bekerja di ladang. Namun improvisasi—istilah teologianya

disebut dengan pengungkapan (ekspresi) atau sering disebut “menyanyi dalam

Roh”—dalam musik Kristen kontemporer dalam konteks ini di GBI Medan Plaza

tidak dilakukan untuk tujuan mempertontonkan kebolehan individual seperti yang

dilakukan dalam genre musik jazz yang sekuler. Improvisasi sendiri menurut Ronald

Byrnside adalah:

Sebuah komposisi yang dimainkan secara improvisasi bisa dikatakan, setidaknya secara teoritis, sebagai komposisi yang ditampilkan hampir secara simultan; bisa dikatakan kreasi musikal secara spontan yang dipertunjukkan berbeda dengan karya-karya musik yang telah di tulis secara transkriptif, yang telah di aransemen sebelum ditampilkan. Tujuan improvisasi dan hasil dari karya yang di improvisasi tersebut menjadi keunikan, karena hanya bisa ditampilkan sekali. Improvisasi tidak dimaksudkan untuk di duplikasi pada pertunjukan yang akan datang, kecuali improvisasi direkam kedalam CD atau tape, jika tidak

ia akan hilang, kecuali dihadapan mereka yang hadir ketika improvisasi dimainkan.159

Inti dari improvisasi adalah mempertimbangkan terlebih dahulu apa yang akan

diimprovisasi (preconceived), lalu mempersiapkan terlebih dahulu (premeditated), ide musikal dan kerangka, struktur, yang secara khas meminjam dari komposisi yang

telah ada. Elemen yang dipinjam tersebut, dapat hanya berupa struktur formal dan

garis besar kerangka harmoni saja, atau hanya terdiri dari melodi yang tersusun, atau

dalam beberapa improvisasi musik hanya terdiri dari penggalan-penggalan melodi

dan bentuk desain melodi yang sangat umum. Dalam hal ini saya mencontohkan pola

flowing yang digunakan adalah struktur harmoni I-IV-I-IV maka seorang imam musik harus memiliki pertimbangan (preconceived) terlebih dahulu dalam pikirannya terhadap struktur harmoni tersebut, lalu ia mempersiapkan (premeditated) kedalam ritem-ritem yang akan digunakan dan menuangkannya ke instrumen yang digunakan.

Improvisasi dalam flowing dilakukan dalam batasan-batasan yang sempit sehingga tidak “mencuri” perhatian jemaat ketika penyembahan dilakukan. Artinya

jemaat tidak berusaha mencerna atau menganalisis, bahkan memberi nilai,

mengomentari isi improvisasi dari musik yang dimainkan sehingga ia dapat fokus

menyembah dan membangun komunikasi dengan Tuhan. Improvisasi merupakan

bagian dari kreatifitas dan spontanitas yang menurut Max Weber merupakan ciri khas

dari kharisma, akan tetapi improvisasi yang semata-mata untuk “unjuk kebolehan”

merupakan bagian pemikiran yang manusiawi. Improvisasi dapat dilakukan dengan

159

Ronald Byrnside,Contemporary Music and Music Cultures,Prentice-Hall.,Englewood Cliffs, New Jersey,1975,hlm.222.

taraf kewajaran yang murni hanya dengan berpikir untuk menemukan cara-cara yang

layak dan berbeda ketika menyembah Tuhan. Tetapi selayaknya improvisasi itu harus

merupakan pancaran yang keluar dari pertemuan yang sungguh-sungguh antara imam musik dengan Allah. Jika tidak demikian, pelayanan itu hanya untuk menyatakan ungkapan yang keluar dari pikiran imam musik tersebut dan bukan dari dalam Roh. Bapak Pdp.Obed Sembiring sebagai ketua Departemen Musik tidak

memungkiri sering menemukan beberapa “oknum” imam musik yang melakukan pelayanan seperti mencari “pengakuan” dari orang lain sebagai seorang musisi yang

memiliki kecakapan musikal lebih baik. Sehingga mengesampingkan pelayanan dan

mengorbankan jemaat yang datang ke ibadah karena permainan musiknya yang tidak

pada tempatnya. Beliau mengatakan gereja bukanlah tempat untuk mencari

popularitas, bukan tempat untuk menunjukkan kemampuan di hadapan jemaat, tetapi

untuk melayani Tuhan. Sehingga kedewasaan bermusik juga penting bagi pelayan

musik di gereja, sehingga secara emosional bermusik tidak berlebihan dalam

melakukan improvisasi. Untuk mencegah hal ini menjadi sebuah “tradisi” yang tidak

baik dalam lingkungan Departemen Musik GBI Medan Plaza, maka setiap imam musik yang akan melayani di gereja ini harus melewati sebuah audisi untuk mendapatkan standar kemampuan dan kapabilitas dalam musik dan karakter yang

baik.

Seorang worship leader juga melakukan improvisasi ketika melakukan penyembahan. Improvisasi dilakukan ketika suatu nyanyian atau lagu penyembahan

Tuhan bernyanyi dengan nada-nada yang di susun sendiri dan dengan kata-kata yang

diciptakan sendiri. Setidaknya ini dilakukan hanya pada satu chord saja. Improvisasi juga dapat dilakukan tetap merujuk kepada pola flowing yang dimainkan oleh imam musik. Biasanya jemaat dan worship leader akan menyanyikan ucapan-ucapan syukur, doa, meninggikan nama Yesus, ucapan terima kasih, Halleluya, dan

sebagainya juga yang dikombinasikan dengan bahasa Roh (glossolalia). Ucapan-ucapan tersebut dinyanyikan dengan melodi-melodi melismatik dan gaya recitatif.160 Keindahan bentuk garis melodi dalam menyanyi bagi Tuhan sangat penting. Worship leader dituntut belajar ekspresif dan bernyanyi dengan ekspresif serta mampu menyanyikan garis-garis melodi yang menarik. Jika worship leader bernyanyi menggunakan suatu lintasan nada dasar, maka ia harus mendengarkan nada-nadanya

lalu meletakkan garis melodi secara tepat dalam setiap nada.

Tidak semua Pendeta memiliki kemampuan berimprovisasi yang baik ketika

menyembah Tuhan, sehingga saya juga menemukan Pendeta-Pendeta yang kadang

terlalu memaksa melakukannya namun tidak pada nada dan ketukan yang tepat atau

melodi terdengar “sedikit” disharmonis. Terutama beberapa Pendeta yang melakukan

konversi ke agama Kristen dari agama lain saat mereka telah dewasa, dimana mereka

dari kecil tidak terbiasa dengan musik dan nyanyian, sehingga mereka menemukan

kesulitan ketika akan melakukan improvisasi atau bernyanyi saat akan memulai

160

Gaya nyanyian yang lebih mirip “berbicara” dengan tingginada tertentu (artinya, teks atau pemahaman teks diutamakan). Ritmenya sesuai dengan ritme suku kata, bahkan urutan nada-nada lebih cenderung kepada repetisi nada tertentu. Sebuah resitatif biasanya diiringi dengan akor-akor dan bas yang sederhana (figured bass)

khotbah misalnya.

Dalam beberapa kesempatan ibadah, saya melihat beberapa Pendeta yang

kurang menguasai musik, ketika hendak melakukan khotbah mereka tidak melakukan

penyembahan, melainkan hanya berdoa saja lalu khotbah. Mereka menghindari

nyanyian dan menyerahkan sepenuhnya kepada worship leader.161 Tetapi karena dalam ibadah kontemporer tidak ada prosesi ibadah yang liturgis, namun sifatnya

lebih fleksibel, jadi tidak menjadi satu masalah bila seorang pendeta ketika hendak

berkhotbah memulai dengan menyembah, bernyanyi, atau berdoa saja lalu khotbah.

3. 6. Pemakaian Kode Jari (FingeringCode)

Sebuah lagu pujian maupun penyembahan ketika akan dibawakan oleh

seorang worship leader dalam sebuah ibadah belum tentu sama nada dasarnya dengan worship leader yang lain. Tergantung kepada kemampuan tinggi rendahnya jangkauan suara worship leader tersebut. Sehingga diawal lagu baik pujian maupun penyembahan seorang worship leader memberikan aba-aba melalui kode-kode penjarian yang telah dimengerti musisi untuk memainkan nada dasar yang

dimaksudkankan. Untuk nada dasar C dilambangkan dengan jari telunjuk, nada dasar

D dilambangkan dengan jari telunjuk dan tengah, nada dasar E dilambangkan dengan

jari telunjuk, tengah dan manis, nada dasar F dilambangkan dengan jari telunjuk,

161

Saya tidak menilai secara holistik terhadap seluruh Pendeta yang melakukan konversi ke agama Kristen tidak memiliki kemampuan bernyanyi dan berimprovisasi. Saya membuat gambaran umum karena kajian yang saya lakukan tidak berpijak berdasarkan penelitian ilmiah terhadap permasalahan kapabilitas Pendeta-Pendeta tersebut dalam bernyanyi dengan membuktikan suatu teori maupun hipotesis tertentu, melainkan lebih didasarkan kepada pengamatan kasar dalam ibadah saja.

tengah, manis dan kelingking, nada dasar G dilambangkan dengan keseluruhan lima

jari, nada dasar A dilambangkan dengan jari jempol kearah bawah, dan nada dasar Bb

dilambangkan dengan jari jempol kesamping (vertical) dan jari telunjuk kebawah (horizontal)

Kode penjarian memiliki peranan penting dalam lancarnya sebuah ibadah.

Kode penjarian berguna untuk beberapa fungsi seperti: (1) untuk menunjukkan nada

dasar, (2) untuk modulasi, (3) untuk mengakhiri lagu (ending), (4) untuk interlude, (4) untuk reffrain, (5) untuk verse , (6) hanya drum, (7) hanya piano, (8) dan sebagainya. Penempatan kode-kode yang sama misalnya jari telunjuk memiliki arti

yang berbeda pada saat yang berbeda, hal ini harus dimengerti oleh setiap imam musik agar tidak menimbulkan kekeliruan.Misalnya seorang worship leader memberi kode jari telunjuk ketika lagu belum dimulai berarti yang ia maksud adalah nada

dasar C, sedangkan ketika worship leader memberi kode jari telunjuk ditengah-tengah lagu artinya imam musik harus kembali ke verse. Demikian untuk beberapa

kode penjarian yang lain.

Dalam beberapa kasus yang saya melihat, beberapa worship leader bisa saja terlambat memberikan kode penjarian kepada imam musik dalam sebuah lagu yang sedang dinyanyikan atau raagu-ragu, bahkan merubah kode yang telah diberi kepada

imam musik pada saat hitungan (detik-detik) terakhir dalam sebuah bar yang akan berakibat kesalahan oleh imam musik. Atau beberapa imam musik tidak memperhatikan kode yang diberikan oleh worship leader karena ia terlalu asik menyembah—dengan mata tertutup—sehingga ketika ia membuka matanya worship

leader tersebut tidak lagi memberi kode karena ia berpikir imam musik telah melihat sebelumnya. Seorang imam musik memang diharuskan ikut menyembah dalam ibadah, namun tidak diperbolehkan menutup mata, agar tetap fokus menerima setiap

instruksi dari worship leader.

Berikut ini kode penjarian yang digunakan dalam ibadah:

Gambar 5. Kode jari untuk menunjukkan nada dasar C dan untuk kembali ke bentuk verse

Gambar 6. Kode penjarian untuk menunjukkan nada dasar D dan untuk kembali ke refrain

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 7. Kode penjarian untuk menunjukkan nada dasar E

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 8. Kode penjarian untuk menunjukkan nada dasar F (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 9. Kode penjarian untuk menunjukkan nada dasar G

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 10. Kode penjarian untuk menunjukkan

nada dasar A (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 11. Kode untuk menunjukkan nada dasar Bb (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 12. Kode penjarian ending 3 untuk mengakhiri lagu (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 13. Kode jari ending 2 pengulangan

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 14. Kode jari ending 1 pengulangan (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 15. Kode penjarian untuk interlude. Tetapi bila lagunya bentuk ternary a, b, dan c maka kode penjarian ini untuk bentuk ke tiga, yaitu c. Atau dalam kondisi lain kode ini juga berfungsi sebagai tanda kepada imam musik untuk bermain dengan dinamik lembut setelah penyembahan dilakukan. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 16. Kode penjarian untuk modulasi atau overtone (Sumber: Dokumentasi pribadi)

3. 7. Modulation (Modulasi)

Istilah ini digunakan untuk membedakan nada dasar antara nada dasar yang

‘lama’ dan nada dasar yang ‘baru’. Nada dasar yang digunakan pertama digunakan

disebut nada dasar original key . Biasanya, musik akan dimulai dan diakhiri pada nada dasar yang sama, yaitu original key. Dalam modulasi, musik bergerak dari nada dasar ‘lama’ ke nada dasar yang ‘baru’. Modulasi atau juga dikenal dengan overtone dapat dilakukan untuk tujuan merubah nada dasar yang ke lebih tinggi atau nada

dasar lebih rendah dari sebelumnya.

Dalam ibadah kontemporer, modulasi merupakan salah satu cara yang

dilakukan memberi “angin segar” kepada lagu praise atau worship yang bisa dikatakan cenderung memiliki bentuk yang minim karena hanya terdiri dari dua

bentuk (binary). Setiap nada dasar yang kita pergunakan merepresentasikan sebuah posisi kepada pemahaman musikal kita. Nada dasar akan menjadi titik atau wilayah

orientasi dalam keseluruhan tangga nada dan hubungannya secara musikal.

Pdt. Robert Siahaan sebagai Pendeta yang sering melayani dalam ibadah di

GBI Medan Plaza mengatakan, beberapa worship leader seperti “keranjingan” melakukan modulasi. Dalam sebuah lagu worship beberapa worship leader melakukan modulasi tiga hingga empat kali modulasi. Saya justru melihatnya sebagai

“penyiksaan” terhadap jemaat dan bahkan menjadi semacam latihan kelas vokal bagi

sebuah lagu, gunakan nada dasar yang bisa dijangkau jemaat supaya semua dapat

bernyanyi dengan pas” ujar Pdt. Robert Siahaan162 kepada saya dalam sebuah

percakapan. Menurut Pdt. Robert Siahaan M.Th, ia menemukan banyak worship leader di gereja “gemar” menurunkan nada dasar sebuah lagu lebih rendah dari seharusnya agar nanti bisa dilakukan beberapa kali modulasi. “Hal ini sama sekali

berbeda dengan pengalaman saya ketika saya melayani di Pulau Jawa. Sehingga

ketika saya pertama sekali datang dan melayani di Medan, saya melihat kebiasaan ini

sudah menjadi “tradisi” dikalangan worship leader, karena itu saya tidak mempermasalahkannya lagi”, Ujar Pdt. Robert163.

Dalam sebuah ibadah kontemporer khususnya di GBI Medan Plaza, saya

menemukan ada dua tipe Pendeta, yaitu Pendeta yang ‘gemar’ menyanyi

ditengah-tengah khotbah—biasa syair lagunya selaras dengan tema khotbah tersebut—dan

Pendeta yang tidak ‘gemar’ menyanyi saat berkhotbah. Seorang Pendeta yang gemar

menyanyi ditengah-tengah khotbah kadang mengikuti nada dasar lagu yang telah

dinyanyikan sebelumnya yang dimainkan lembut melalui piano. Padahal lagu lain

yang akan ia nyanyikan tidak sesuai dengan nada dasar tersebut, akibatnya lagu itu

terlalu rendah atau mungkin terlalu tinggi. Atau misalnya Pendeta tersebut telah

memberikan kode nada dasar sebelumnya, namun lagu tersebut tetap terlalu rendah

atau terlalu tinggi, maka dalam situasi ini jelas diperlukan modulasi untuk

162

Pdt. Robert Siahaan adalah Rektor STT Misi Internasional Pelita Kebenaran yang berada di bawah kelola GBI Medan Plaza dan YSKI (Yayasan Surya Kebenaran Indonesia) bekerja sama dengan ICM (International Christian Mission) yang berpusat di Singapura.

163

Disampaikan dalam sebuah persiapan ibadah sesi 2 di GBI Hermes pada tanggal 22 Mei 2011.

mendapatkan nada dasar yang tepat dan bisa dinyanyikan oleh semua orang.

Modulasi juga merupakan salah satu teknik untuk semacam memberi sesuatu

yang “baru” dalam membangun atmosfir hadirat Tuhan, karena lagu yang

dinyanyikan telah diulang-ulang 5 hingga 10 kali agar tidak terdengar monoton. Jika

modulasi dilakukan satu kali saya masih melihat jemaat dapat menikmati lagu

tersebut, tetapi saya melihat beberapa worship leader melakukannya 2 hingga 3 bahkan 4 kali seperti sedang ketagihan modulasi. Terlebih lagi gereja ini hanya

mengenal nada dasar yang terdiri dari C-D-E-F-G-A-Bb-C sehingg ketika modulasi

dilakukan banyak melakukan modulasi 1 langkah (whole step), tentu jika dilakukan tiga atau empat kali modulasi akan berdampak yang sangat signifikan.

Dalam ibadah di GBI Medan Plaza, modulasi yang biasa digunakan adalah

dengan menggunakan tingkat harmoni kelima (fifth) dari nada dasar yang akan dituju. Misalnya sebuah lagu penyembahan dimulai dari nada dasar G mayor dan akan

dilakukan modulasi menuju A mayor, maka imam musik akan memainkan tingkat kelima dari A mayor terlebih dahulu, yakni E mayor, Contoh 1. Modulasi

3. 8. Pola Ending

Dalam mengakhiri sebuah lagu khususnya penyembahan juga dilakukan

semacam “penyeragaman” ending yang akan menuju pengulangan berupa coda164 sebayak dua sampai tiga kali sebelum diakhiri kadens dan sorak-sorai. Sehingga jemaat dan worship leader akan dengan mudah mengetahui bahwa lagu tersebu akan berakhir. Dalam mengakhiri sebuah lagu merupakan sebuah situasi yang krusial bila

tidak dilakukan dengan koordinasi yang tepat antara worship leader dan imam musik, terutama dibagian kadens yang dimainkan dengan ritardando (tempo berangsur-angsur lambat) sering terjadi kesalah pahaman. Sehingga imam musik dituntut untuk dapat melihat gerakan tangan dan mendengar nyanyian worship leader yang memberi aba-aba sebuah ending yang ia inginkan.

164

Coda artinya buntut; ekor; tambahan pada penutup ciptaan. (Latifat Kodijat, Istilah-Istilah Musik. Djambatan,1986, hlm.15.)

Dalam hal ini bagaimanapun aransemen ending dari sebuah lagu penyembahan dalam sebuah album rekaman rohani, maka ketika dibawakan dalam

sebuah ibadah ending tersebut akan dibuat menggunakan pola yang telah menjadi standar dari GBI Medan Plaza. Seperti ada penyeragaman ending terhadap semua lagu penyembahan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan tidak menimbulkan

kekacauan dalam pelayanan. Karena personil imam musik tidak berasal dari satu tim musik yang sama, melainkan bisa berasal dari cabang lain yang belum tentu pernah

bersama-sama melayani sehingga dikhawatirkan memiliki ending yang berbeda-beda. Dengan adanya pola ending yang baku maka walaupun imam musik belum pernah bekerjasama dalam satu tim, maka masing-masing telah memahami ending yang bagaimana biasa digunakan kepada lagu penyembahan, sehingga kemungkinan

melakukan kesalahan dapat diminimalisir. Ada beberapa pola ending yang sering digunakan dalam ibadah di GBI Medan Plaza, namun pola-pola ending tersebut

digunakan mengacu kepada progresi akor dari lagu yang telah ada dan tidak semua

pola ending dapat diterapkan kepada lagu yang berbeda. Hal ini menuntut “kejelian” dan “feeling” musikalitas imam musik untuk menempatkan pola-pola ending tersebut. Namun semakin sering imam musik melayani dalam ibadah, maka semakin ia menguasai berbagai lagu-lagu penyembahan sehingga setiap imam musik telah memilkiki pola ending yang sama terhadap berbagai lagu yang sering digunakan dalam ibadah.

Dalam tulisan ini saya hanya akan memberikan contoh pola-pola ending yang biasa digunakan dalam lagu penyembahan (worship) saja, karena pola-pola ending

dalam lagu penyembahan telah baku digunakan dalam setiap ibadah dan merupakan

pola “standar” untuk mengakhiri sebuah lagu penyembahan. Sehingga dalam tulisan

ini saya tidak membahas pola ending untuk lagu-lagu pujian, karena dalam lagu-lagu pujian ending yang digunakan cenderung mengacu kepada aransemen ending yang digunakan oleh musisi Kristen kontemporer yang mempopulerkan lagu tersebut.

Sehingga ketika lagu tersebut dibawakan dalam ibadah imam musik berusaha untuk meniru aransemen tersebut, atau tim musik tersebut dapat mengaransemen ulang

dengan versi mereka sendiri. Artinya tim musik tersebut dapat mengurangi durasi

ending, menambahkan bahkan merubah keseluruhan ending tersebut. Dan biasanya aransemen yang dibawakan oleh tim musik yang ada di GBI Medan Plaza menjadi

“kiblat” bagi tim-tim musik yang ada di gereja cabang yang dibawahi oleh gereja ini.

Pola-pola ending yang sering digunakan dalam lagu penyembahan sebagai berikut: