• Tidak ada hasil yang ditemukan

Musik Dalam Ibadah Kontemporer di GBI Medan Plaza: Suatu Kajian Struktur, Konteks dan Fungsi Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Musik Dalam Ibadah Kontemporer di GBI Medan Plaza: Suatu Kajian Struktur, Konteks dan Fungsi Sosial"

Copied!
295
0
0

Teks penuh

(1)

MUSIK DALAM IBADAH KONTEMPORER

DI GBI MEDAN PLAZA :

SUATU KAJIAN STRUKTUR, KONTEKS DAN FUNGSI SOSIAL

T E S I S

Oleh

ANDY K. MANURUNG NIM. 097037006

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

Judul Tesis : Musik Dalam Ibadah Kontemporer di GBI Medan Plaza: Suatu Kajian Struktur, Konteks dan Fungsi Sosial

Nama : Andy K. Manurung

Nomor Pokok : 097037006

Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D Rev. Dr. Paul Kwangjong Suh

NIP. 196108291989031003

Ketua Anggota

Program Studi Magister (S2) Fakultas Ilmu Budaya

Penciptaan dan Pengkajian Seni Dekan,

Ketua,

Drs. Irwansyah Harahap, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A.

NIP. 19621221 199703 1 001 NIP. 19511013 197603 1 001

(3)

Telah diuji pada

Tanggal 5 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah Harahap, M.A. (______________________ )

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( ______________________ )

Anggota I : Dra. Rithaony Hutajulu, M.A. ( ______________________ )

Anggota II : Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph. D. ( ______________________ )

Anggota III : Rev. Dr. Paul Kwangjong

(4)

PRAKATA

Pertama, puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, yang oleh kebaikan

dan kemurahanNya, tesis ini dapat saya selesaikan.

Saya menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister (S2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni Universitas Sumatera Utara, Drs. Irwansyah

Harahap, M.A., Sekretaris Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian

Seni, Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., atas kesempatan yang diberikan kepada saya

untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan

Pengkajian Seni di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang teramat istimewa saya tujukan kepada

pembimbing saya Prof. Mauly Purba, M.A., Ph.D., sebagai Komisi Pembimbing dan

kepada Rev. Dr. Paul Kwangjong Suh (South East Asia Bible Seminary, Malang)

sebagai Anggota. Terima kasih atas dukungan dan bimbingan yang diberikan kepada

saya sehingga tesis ini selesai, khususnya kepada Rev. Dr. Paul yang telah menempuh

ribuan mil dari Malang untuk hadir di Medan, juga tidak lupa terima kasih kepada

keluaga Prof. Mauly Purba dan Ibu atas dukungan yang luar biasa. Tuhan

memberkati.

Terima kasih saya tujukan kepada Bapak Pdt. R. Bambang Jonan sebagai

Gembala Pembina GBI Rayon 4 atas materi kuliah Pujian dan Penyembahan, Bapak

Pdp. Obed Sembiring (Flow Music dan Departemen Musik GBI Medan Plaza),

(5)

(rekan-rekan imam musik di Departemen Musik GBI MMTC), kepada Bapak Hendy

Yunus, Darwin Tjemerlang dan seluruh pengerja GBI SWorD Swiss-Bel Hotel,

terima kasih atas support-nya, serta rekan-rekan kolega di STT Misi Internasional Pelita Kebenaran. Saya juga berterima kasih kepada Bapak Drs. Muhammad

Takari, M.Hum., Ph.D beserta para dosen yang tidak saya tuliskan satu persatu, atas

dukungan dan bimbingannya di Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, kepada Ibu

Dra. Rithaony Hutajulu, M.A. sebagai penguji atas masukan dan saran dalam tulisan

ini, serta rekan-rekan staf pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas HKBP

Nommensen Medan, Purwacaraka Music Studio Medan, Saudara Alvon Bernardus,

S.Sn., Bang Leo Sirait dan Kak Erika Sigalingging (Opus Le Music School), Yopi

Kuncoro, SE. (Yopi Music School), Bapak Ir. Reynold Nadeak (Redrow

Architecture), Sister Nathalie Marbun,S.S (Global English Course)

Saya juga sangat berterima kasih kepada istri tercinta Dinar br. Manullang dan

sumber inspirasiku Kimi Kanaan Manurung serta Khezia Shekinah Manurung yang

telah ikut “berjibaku” dalam perjuangan ini. Kepada keempat orang tua saya terkasih yang ada di Medan dan di Jambi, beserta seluruh keluarga besar saya. Terima kasih

atas dukungan dan doanya. Saya berdoa agar anugerah damai sejahtera dan kasih

karunia Allah dicurahkan dari sorga atas kehidupan kita. Dalam nama Yesus, Amin.

Andy K. Manurung

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Andy K. Manurung

Tempat/Tanggal Lahir : Cot Girek, Aceh Utara / 8 Agustus 1977

Alamat : Jalan Pelajar Gg. Alas No. 1 Medan

Agama : Kristen

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Dosen Fakultas Bahasa & Seni Universitas HKBP

Nommensen Medan.

Staf Pengajar Purwacaraka Music Studio Medan.

Pendidikan : 1. Sarjana Seni (S.Sn) dari Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas HKBP Nommensen, Jurusan Musikologi,

lulus tahun 2003

2. SMA Kristen Immanuel Medan, lulus tahun 1995

Pada tahun akademi 2009/2010 diterima menjadi mahasiswa pada Program

Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya,

(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan,

Andy K. Manurung

NIM. 097037006

(8)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL………. HALAMAN PERSYARATAN………...

HALAMAN PENGESAHAN………... i

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI..………... ii

PRAKATA……….... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. v

PERNYATAAN……… vi

DAFTAR ISI………. vii

DAFTAR TABEL………... xi

ABSTRACT……….. xii

INTISARI……….. xiii

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 “Porsi” dan Genre Musik yang lebih Berbeda……... 15

1.2.1. Label Kharismatik………... 19

1.2.2. Gereja Sebagai Organisme dan Organisasi…. 20 1.3 Mengkaji Struktur, Konteks dan Fungsi Sosial……. 21

1.3.1. Asumsi Dasar Penelitian ………. 21

1.4 Lingkup Penelitian………... 23

(9)

1.6 Terminologi dan Konsep……… 24

1.7 Landasan Teori ……….. 27

1.7.1. A Functional Theory of Culture oleh Bronis- law Malinowski………. …. 1.7.2. Used and Function Theory oleh Alan P. Merriam………... 28

1.7.3. Teori Struktur Upacara dan Isi Simbolik Dalam Agama Oleh Victor Turner…………. 31

1.7.4. Music and Trance: A Theory of the Relation Between Music and Possession oleh Gilbert Rouget………. 32

1.7.5. Perspective in Music Theory oleh Paul Cooper………. 34

1.8 Rumusan Masalah……….. 35

1.9 Tinjauan Pustaka……… 36

1.10 Metodologi Penelitian……… 38

1.10.1. Pendekatan Penelitian………... 38

1.11 Sistematika Penulisan……… 39

(10)

2.1.1. Berakar Dari Gerakan Montanis (170 M)……. 41 2.1.2. Latar Belakang Sejarah Gereja Bethel Indo-

nesia……….. 48 2.1.3. Sejarah ‘Lahirnya’ GBI Medan Plaza………... 50 2.1.3.1. Gereja Mula-Mula Dengan 119 Jemaat

Dan Pengerja………. 53 2.1.3.2. Tempat Ibadah Yang Nomaden Menjadi

Permanen………... 55 2.2 Sejarah Musik Dalam Kekristenan……….. 60 2.3 Apa Itu Musik Gereja………... 62 2.4 Musik Dalam Ibadah Menurut Fungsionalisme……... 64 2.5 Kontekstualisasi Musik Gereja……… 65 2.5.1. Lahirnya Istilah Kontekstualisasi………. 65 2.5.2. Sejarah Transformasi Musik Dalam Gereja….. 74 2.5.3. GBI Medan Plaza: “Porsi” Musik Yang

Lebih Besar………... 79 2.5.4. Peranan Imam Musik………. 83 2.6 Musik Dalam Ibadah Kontemporer Terhadap Kaji-

an Perilaku……….. 90

2.6.1. Sejarah Awal GBI Medan Plaza Menekan-

kan Pujian Penyembahan…..………. ….. 92 2.6.2. Manifest (Spirit Possession, Trance) Mela-

(11)

2.8 Ibadah Kontemporer: Bentuk Pola Ibadah di Abad-

20………. 112

BAB III. MUSIK DALAM IBADAH KONTEMPORER DI GBI - MEDAN PLAZA………... 3.1 Pelayanan Musik………... 114

3.1.1. Merekrut dan Inisiasi Imam Musik…………... 114

3.1.2. Menentukan Lagu Dalam Ibadah………. 117

3.2 Nashville Number System………... 119

3.3 Penggunaan Nada Dasar (Key Signature)……… 123

3.4 Flowing……… 126

3.5 Improvisasi……….. 132

3.6 Pemakaian Kode Jari (Fingering Code)……….. 136

3.7 Modulasi (Modulation)……… 144

3.8 Pola Ending……….. 147

3.9 Kadens (Cadence)……… 157

3.9.1. Authentic Cadence……… 160

3.9.2. Plagal Cadence………. 161

3.9.3. Accidental Cadence………... 162

3.10 Tempo dan Dinamik……… 163

3.11 Sorak-Sorai……….. 165

3.12 Open Chord……….. 169

(12)

3.14 Karakteristik Progresi Akord………... 174 3.14.1. Progresi Akord I-V/VII-vi-V-IV-iii-ii-V-I…. 174 3.14.2. Progresi Akord IV-IV/V-iii-vi-ii-V-I……... 176 3.14.3. Progresi Akord I-VIIb-IV/vi-IV/vib-I/V-V-I… 178

3.14.4. Progresi Akord IV-vi-VIIb-V-I……… 180

BAB IV IBADAH KONTEMPORER DI GBI MEDAN PLAZA: KAJIAN STRUKTUR, KONTEKS

DAN FUNGSI SOSIAL……… 182

4.1 Etnografi GBI Medan Plaza………. 182 4.1.2. Perangkat Pendukung Ibadah……… 186 4.1.3. Pelayanan Yang Terlibat Dalam Ibadah……... 195 4.2 Struktur Ibadah Yang Fleksibel dan Spontan………. 197

4.2.1. Ibadah Kontemporer Sebagai Sistem dan

Struktur Kebudayaan……… 200 4.2.2. Penyajian Ibadah Kontemporer……… 204 4.3 Ibadah Kontemporer Sebagai Sebuah Kontekstua-

lisasi………. 214

4.3.1. Ibadah Kontemporer Dalam Konsep Kon –

tekstualisasi………... 214 4.3.2. Hubungan Restorasi Pondok Daud dan Do-

(13)

4.3.3. Kriteria Ibadah Yang Sukses……… 223

4.3.4. Refleksi Kebudayaan Kharismatik Dalam Perspektif Etnologi……… 224

4.3.5. Gerakan-Gerakan Kultural Kharismatik Dalam Perspektif Alkitabiah……… 232

4.4 Aspek Sosiologis Agama………. 238

4.4.1. Ungkapan Religius Perorangan………. 239

4.4.2. Ungkapan Religius Kolektif………. 240

4.5 Fungsi Sosial Musik dan Ibadah Kontemporer……… 241

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 248

5.1 Kesimpulan………. 248

5.2 Saran……… 251

KEPUSTAKAAN……….. 253

GLOSARIUM………... 258

LAY OUT GBI MEDAN PLAZA……….. 263

LAMPIRAN FOTO-FOTO………... 264

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Muatan Isi Dari Musik Gereja (Rohani)……… 71

Tabel 2. Perbedaan Tujuan Musik Sekuler Dan Musik Gereja………… 73

Tabel 3. Struktur Umum Penyajian Ibadah Kontemporer Di GBI Me-

(15)

ABSTRACT

This writing discussed about how Christian Charismatic movements used music as a religious service to communicate to God in GBI Medan Plaza. By using scientific and theology approach, this recitation will be doing by other approach which used qualitative research method. By using several approach like multidiscipline, interdiscipline and transdiscipline, this writing will researh how a Charismatic religious service is—contemporary worship—done by using Christian contemporary music. By using ethnology theories, it will be analyze how the cultures of Charismatic applied as a congregation effort to fulfill their religious necessity.

A finding that have gotten from this research is as following, contemporary worship performed flexible structurally and the characteristic is more spontaneous. It is very different with traditional churches which is used liturgy “style”. In contemporary worship, music has a dominant role when worship is performing. Thus from the first second till the end of worship, music sounds always have a role to produce and build an atmosphere in worship God. Music domination in worship looks like a strong relevance by perspective of GBI Medan Plaza to restore tabernacle of David which have overthrown. Tabernacle of David is full of praise and worship (music) to God. Thus the worship is identical with music and it is a form of contextual what does King David do when he worships God.

Christian contemporary music and contemporary worship have functions in it’s social- culture context. Music and contemporary worship still can go on and applies in GBI Medan Plaza because of social functions like : (a) social-culture integration, (b) conservation and culture continuity, (c) education, (d) consolation, (e) as tool of Evangelist, (f) as tool of communication, (g) as reflection of Christian spiritual.

(16)

INTISARI

Tulisan ini akan mengulas bagaimana sebuah gerakan Kristen Kharismatik memanfaatkan musik dalam sebuah ibadah untuk berkomunikasi dengan Sang Khalik di GBI Medan Plaza. Dengan menggunakan pendekatan saintifik dan teologis, kajian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Selain itu, berbagai pendekatan baik multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin tulisan ini akan meneliti bagaimana sebuah ibadah Kharismatik—ibadah kontemporer (contemporary worship)—dilakukan dengan menggunakan musik Kristen kontemporer (Christian contemporary music). Menggunakan teori-teori etnologi akan ditelaah bagaimana kultur-kultur Kharismatik tersebut dilakukan sebagai sebuah usaha jemaatnya untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka.

Temuan yang di dapati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, secara struktur ibadah kontemporer dilakukan dengan fleksibel dan sifatnya lebih spontan. Sangat berbeda dengan gereja-gereja tradisional yang menggunakan “gaya” ibadah liturgi. Dalam ibadah kontemporer musik juga memiliki peran yang begitu dominan saat ibadah dilakukan. Sehingga mulai detik pertama hingga ibadah berakhir, bunyi musik selalu berperan dalam menciptakan dan membangun sebuah atmosfir yang

menyembah kepada Tuhan.

Dominasi musik dalam ibadah tampak sebagai sebuah relevansi yang kuat dengan visi GBI Medan Plaza untuk memulihkan pondok Daud yang telah roboh. Dimana dalam pondok Daud tersebut dipenuhi oleh pujian dan penyembahan (musik) kepada Allah. Sehingga ibadah gereja ini identik dengan musik dan merupakan bentuk kontekstualisasi apa yang Raja Daud lakukan ketika menyembah Allah.

Musik Kristen kotemporer dan ibadah kontemporer memiliki fungsi dalam konteks sosio-budaya. Musik dan ibadah kontemporer tetap dapat berlangsung dan dilakukan di GBI Medan Plaza karena fungsi-sungsi sosial. Musik dan ibadah kontemporer memiliki fungsi-fungsi sebagai: (a) integrasi sosio-budaya, (b) kelestarian dan kesinambungan budaya, (c) pendidikan, (d) hiburan, (e) sebagai sarana penginjilan (misionari), (f) sebagai sarana komunikasi, (g) sebagai pencerminan spiritualitas Kristen.

(17)
(18)

ABSTRACT

This writing discussed about how Christian Charismatic movements used music as a religious service to communicate to God in GBI Medan Plaza. By using scientific and theology approach, this recitation will be doing by other approach which used qualitative research method. By using several approach like multidiscipline, interdiscipline and transdiscipline, this writing will researh how a Charismatic religious service is—contemporary worship—done by using Christian contemporary music. By using ethnology theories, it will be analyze how the cultures of Charismatic applied as a congregation effort to fulfill their religious necessity.

A finding that have gotten from this research is as following, contemporary worship performed flexible structurally and the characteristic is more spontaneous. It is very different with traditional churches which is used liturgy “style”. In contemporary worship, music has a dominant role when worship is performing. Thus from the first second till the end of worship, music sounds always have a role to produce and build an atmosphere in worship God. Music domination in worship looks like a strong relevance by perspective of GBI Medan Plaza to restore tabernacle of David which have overthrown. Tabernacle of David is full of praise and worship (music) to God. Thus the worship is identical with music and it is a form of contextual what does King David do when he worships God.

Christian contemporary music and contemporary worship have functions in it’s social- culture context. Music and contemporary worship still can go on and applies in GBI Medan Plaza because of social functions like : (a) social-culture integration, (b) conservation and culture continuity, (c) education, (d) consolation, (e) as tool of Evangelist, (f) as tool of communication, (g) as reflection of Christian spiritual.

(19)

INTISARI

Tulisan ini akan mengulas bagaimana sebuah gerakan Kristen Kharismatik memanfaatkan musik dalam sebuah ibadah untuk berkomunikasi dengan Sang Khalik di GBI Medan Plaza. Dengan menggunakan pendekatan saintifik dan teologis, kajian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Selain itu, berbagai pendekatan baik multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin tulisan ini akan meneliti bagaimana sebuah ibadah Kharismatik—ibadah kontemporer (contemporary worship)—dilakukan dengan menggunakan musik Kristen kontemporer (Christian contemporary music). Menggunakan teori-teori etnologi akan ditelaah bagaimana kultur-kultur Kharismatik tersebut dilakukan sebagai sebuah usaha jemaatnya untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka.

Temuan yang di dapati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, secara struktur ibadah kontemporer dilakukan dengan fleksibel dan sifatnya lebih spontan. Sangat berbeda dengan gereja-gereja tradisional yang menggunakan “gaya” ibadah liturgi. Dalam ibadah kontemporer musik juga memiliki peran yang begitu dominan saat ibadah dilakukan. Sehingga mulai detik pertama hingga ibadah berakhir, bunyi musik selalu berperan dalam menciptakan dan membangun sebuah atmosfir yang

menyembah kepada Tuhan.

Dominasi musik dalam ibadah tampak sebagai sebuah relevansi yang kuat dengan visi GBI Medan Plaza untuk memulihkan pondok Daud yang telah roboh. Dimana dalam pondok Daud tersebut dipenuhi oleh pujian dan penyembahan (musik) kepada Allah. Sehingga ibadah gereja ini identik dengan musik dan merupakan bentuk kontekstualisasi apa yang Raja Daud lakukan ketika menyembah Allah.

Musik Kristen kotemporer dan ibadah kontemporer memiliki fungsi dalam konteks sosio-budaya. Musik dan ibadah kontemporer tetap dapat berlangsung dan dilakukan di GBI Medan Plaza karena fungsi-sungsi sosial. Musik dan ibadah kontemporer memiliki fungsi-fungsi sebagai: (a) integrasi sosio-budaya, (b) kelestarian dan kesinambungan budaya, (c) pendidikan, (d) hiburan, (e) sebagai sarana penginjilan (misionari), (f) sebagai sarana komunikasi, (g) sebagai pencerminan spiritualitas Kristen.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

—Saat akan menghadiri ibadah di GBI Medan Plaza, mata saya dimanjakan terlebih dahulu oleh berbagai produk yang ditawarkan di gerai-gerai dan toko-toko sepanjang perjalanan saya menuju gereja, mulai dari lantai satu hingga ke lantai enam di mana GBI Medan Plaza tersebut berada. Saya lebih memilih menggunakan escalator daripada lift yang penuh karena disesaki oleh jemaat yang juga hendak beribadah seperti saya. Tentu sebuah pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya ketika saya hendak beribadah di gereja, di mana gereja tradisional1 biasanya tidak berdiri dan melakukan aktivitas ibadah di tempat-tempat publik dan elit, gedung-gedung bertingkat seperti hotel, mall, plaza dan pusat perbelanjaan lainnya.

Tentu saja orang tidak sepenuhnya mengira bahwa saya hendak beribadah ke gereja—jika mereka tidak melihat saya menggenggam Alkitab ditangan saya2—selain karena di gedung yang sama dan atap yang sama terdapat begitu banyak tempat yang bisa saya tuju selain beribadah ke gereja yang ada di lantai enam dan tujuh, juga karena baju yang saya gunakan lebih casual tidak formil seperti di gereja tradisional yang identik dengan pakaian formil dalam beribadah. Ketika saya tiba di lantai

1

Sebuah terminologi yang diberikan kepada gereja-gereja yang ibadahnya dilakukan dengan liturgikal. Paul Basden mengarahkan terminologi tersebut umumnya diberikan kepada gereja Protestan dan gereja Katolik (Paul Basden, The Worship: Finding a Style to Fit Your Church, Downers

Grove:Intervarsity,1999.,hlm.42) 2

(21)

enam, lobby gereja telah disesaki oleh jemaat yang antri menunggu masuk (ibadah jam sebelumnya sudah hampir usai, terdengar samar-samar doa syafaat sedang dipanjatkan).

Setibanya di pintu masuk, dengan sedikit berdesakan saya masih sempat disambut dengan hangat dan senyuman oleh diaken3 dan diakones yang mengenakan pakaian hitam putih, sambil mempersilahkan saya masuk tentunya tidak lupa diaken tersebut membagikan lembaran warta jemaat kepada saya. Setelah memilih tempat duduk, saya memandangi sekeliling ruangan gereja, cukup luas untuk ukuran sebuah gereja jika dibandingkan dengan gereja-gereja lain yang selama ini pernah saya kunjungi.

Dengan kapasitas gedung yang terbilang cukup besar, mampu menampung ±3300 jemaat,4 tentu tidak mudah bagi diaken untuk mengenal secara fisik maupun secara personal setiap jemaat yang hadir di ibadah.5 Seperti penuturan Bapak Simanjuntak salah seorang diaken yang pernah melayani di GBI Medan Plaza, beliau mengatakan bahwa saat ibadah berakhir dan saat akan memulai ibadah berikutnya merupakan suasana yang penuh sesak, karena jemaat yang hendak beribadah berusaha masuk, sedangkan jemaat yang selesai ibadah berusaha keluar. Walaupun sudah dikoordinasikan agar masuk dan keluar melalui pintu tertentu, tetapi dengan jumlah jemaat yang mencapai ribuan dan berusaha keluar dan masuk secara bersamaan menjadikan suasana berdesakan.

Terdapat panggung (stage)—dalam istilah teologia disebut altar—yang diatasnya terdapat podium kayu yang memiliki tanda salib di depannya seakan-akan menegaskan bahwa kita sedang berada di gereja, juga dilengkapi seperangkat alat band dan sound system Electro Voice (EV) tergantung di langit-langit (line arai), juga terdapat beberapa kamera video profesional yang siap menampilkan jalannya ibadah kedalam layar yang besar yang terpasang di atas mimbar. Semua perangkat hardware

3

Pejabat/pelayan dalam jemaat purba yang melayani para janda dan orang miskin. Namun dalam konteks gereja sekarang diaken (pria) dan diakones (wanita) melayani sebagai yang menerima dan meyambut jemaat di gereja.

4

Persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus, baik yang di satu tempat maupun keseluruhan persekutuan Kristen

5

Salah satu pola gereja Kharismatik saat ini adalah jumlah jemaat yang super-besar (mega church) namun Wilfred J. Samuel mengungkapkan dalam gereja yang super-besar koinonia

(22)

tadi mungkin biasa ditemukan dalam suasana konser artis-artis profesional, tetapi saat ini telah “mampir” di gereja. Kebaktian dimulai dengan doa, sang pemimpin pujian (worship leader)6 dan penyanyi latar (singer) bernyanyi diiringi oleh combo band dengan membawa pujian dan penyembahan7 yang dilantunkan ±8-10 kali pengulangan. Jemaat kemudian diundang untuk bangkit berdiri sambil bernyanyi, melompat, menari, bersalaman, bersorak karena gembira, menangis, mengepalkan, mengacungkan tangan, dan sebagainya. Sementara itu bagi anggota jemaat yang telah lanjut usia, diperbolehkan tetap duduk dan menikmati musik yang terkesan “hingar-bingar”.

Setelah 45-50 menit ibadah berlangsung, saatnya bagi pengkhotbah menyampaikan Firman Tuhan, lalu pengkhotbah mulai naik ke altar, bernyanyi dan berdoa dengan suara ringan. Sambil menyapa jemaat, pengkhotbah mengeluarkan gadget-gadget pendukung dalam menyampaikan materi khotbah misalnya, Notebook, Handphone, I-Pad, Blackberry dan sebagainya.8 Sepanjang khotbah, diselingi beberapa nyanyian yang relevan dengan tema khotbah, menggunakan kisah-kisah kesaksian tentang kesembuhan, Roh Kudus,9 tentang berkat, menggunakan berbagai ilustrasi untuk menyampaikan Firman Tuhan dan diselingi humor-humor untuk menghindari perasaan kantuk jemaat. Khotbah dilakukan dengan sangat sistematis, menyerupai orasi, berapi-api, suara yang “menggelegar” dan cenderung komunikatif dua arah dengan mengajak jemaat untuk berdialog.

6

Di lingkungan GBI Medan Plaza dan kalangan Kharismatik istilah worship leader dan singer

lebih populer digunakan, sehingga kedepannya dalam tulisan ini saya akan gunakan istilah tersebut. 7

Istilah pujian dan penyembahan dapat mengacu kepada sebuah bentuk pola ibadah dan repertoar lagu. Kata pujian atau penyembahan yang digunakan pada konteks yang berbeda memiliki arti yang berbeda juga.

8

Pengkhotbah dalam gereja ini juga biasa menggunakan Microsoft Power Point untuk menyampaikan materi khotbah, sesuatu perlengkapan yang tidak digunakan dalam khotbah-khotbah dalam gereja-gereja tradisional.

9

(23)

Tulisan di atas sengaja saya awali dalam topik ini untuk memberikan

gambaran bagaimana ibadah dilakukan oleh gereja masa kini. Gambaran suasana

ibadah persekutuan di atas mencerminkan sejumlah ciri khas gerakan10 dan

persekutuan gereja Kharismatik yang juga dapat dijumpai dibanyak tempat di seluruh

belahan dunia. Perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan yang terjadi

dialami gereja selama di dunia merupakan sebuah sejarah yang sangat panjang selama

±2000 tahun. Sejarah gereja menceritakan tentang kisah pergumulan antara Injil

dengan bentuk-bentuk yang digunakan untuk mengungkapkan Injil tersebut.11

Judul tulisan ini—saya harap—akan mewakili terhadap kerinduan saya dalam

mengkaji bagaimana sebuah ibadah yang dilakukan di GBI Medan Plaza yang

memanfaatkan musik sebagai media doa. Musik yang digunakan dalam ibadah

Kharismatik merupakan musik dengan gaya yang sangat berbeda dari gereja-gereja

tradisional yang himne. Kita melihat terjadi perkembangan perlakuan terhadap cara

menyanyi jemaat dalam ibadah. Awalnya nyanyian jemaat dalam ibadah hanya

mazmur12 saja, kemudian berkembang dengan adanya himne. Himne adalah nyanyian

berbait dengan syair baru (bukan dari kitab suci). Himne dan liturgi dikembangkan

10

Gerakan dalam tulisan ini dapat mengacu kepada aktivitas gerak-gerik olah tubuh, seperti: melompat, menari, bertepuk tangan, dan sebagainya. Namun juga dapat mengacu kepada sebuah periode masa perkembangan gereja seperti Gerakan Pentakostal, Gerakan Kharismatik dan sebagainya. Sehingga pada konteks yang berbeda kata gerakan akan memiliki arti yang berbeda pula.

11

Dr. Th.van den End, Harta dalam Bejana, BPK Gunung Mulia.Jakarta.2004 12

(24)

oleh dua tokoh besar yaitu Ambrosius (333-397) dan Gregorius Agung (590-604).13

Ambrosius kemudian dianggap sebagai Bapak Himne Katholik karena nyanyian yang

diciptakan oleh kedua tokoh ini digunakan sebagai model himne bagi generasi

berikutnya dan sangat mempengaruhi perkembangan musik Barat pada jaman-jaman

selanjutnya.14

Sebagai sebuah kehidupan bersama religius yang berpusat pada Kristus,

gereja sarat akan aktivitas seni, khususnya musik. Sebagian besar dari hal tersebut

termanifestasi dalam ibadah. Ibarat dua buah sisi mata uang, musik dan ibadah tidak

dapat dipisahkan dalam sebuah tata ibadah gereja. Ibadah merupakan salah satu cara

jemaat untuk berhubungan dengan Sang Khalik secara dramatis-simbolis.15 Secara

historis, gereja telah meyakini bahwa ibadah merupakan tindakan komunal yang

ditawarkan dalam bentuk ucapan syukur sebagai pemberian kepada Allah, suatu

penerimaan akan Firman Allah dan berbagai anugerah dari Allah, juga sebagai

tanggapan atas pemberian dari setiap orang, semua yang kurang dari itu bukanlah

maksud sebenarnya dari ibadah itu sendiri.

David R. Ray mengatakan jika sebuah gereja ingin ibadahnya menjadi

autentik dan kontekstual, ibadah tersebut haruslah merefleksikan bagaimana jemaat

itu sesungguhnya. Suatu ibadah jemaat yang autentik merefleksikan siapa diri mereka

secara kultural, waktu dan tempat mereka tinggal, dan iman dari hati dan pikiran

13

Stanley Sadie, The New Grove-Dictionary of Music and Musician-Volume VII, hlm.696 14

Albert Seay, Music in the Medieval World, Prentice-Hall,Inc.1975, Englewood Cliffs, New Jersey., hlm.48.

15

(25)

mereka. Beribadah secara autentik dan kontekstual tidak semudah dan dapat diduga

seperti dengan cara biasanya dilakukan atau seperti diambil dari buku salah satu

denominasi, namun jauh lebih dapat dinikmati, diimani dan efektif16.

Selain perubahan dalam teologi dogmatika, dalam gereja juga terjadi

perubahan dan kontekstualisasi pola ibadah serta musik yang digunakan. Alkitab

menuliskan peran musik dalam kehidupan serta ibadah jemaat, namun setiap gereja

memiliki peran, “gaya musik” dan “porsi” musik yang berbeda-beda pula. Dalam

gereja tradisional misalnya, penyembahan dilakukan dengan lagu-lagu yang

dinyanyikan dari buku-buku himne yang sudah lama dan digunakan sebatas aktivitas

liturgikal17 dengan pola ibadah teratur.

Pola ibadah yang sifatnya liturgikal merupakan sesuatu yang telah lama

menjadi pertentangan hangat bagi kaum gereja tradisional dan Kharismatik. Kata

liturgi sendiri berasal dari bahasa Yunani litourgia, yang artinya mempersatukan orang-orang.18 Secara populer masyarakat awam mengartikan liturgi sebagai upacara

gereja, atau tatacara ibadah gereja, dan sebagainya. Sangat berbeda dengan yang

dilakukan oleh kalangan gereja-gereja Kharismatik, musik dalam ibadah sifatnya

lebih fleksibel, spontan, tidak dilakukan dengan struktur yang “kaku”.

Ketika gereja Kharismatik menggunakan musik yang dikenal sebagai musik

16

David R. Ray, Gereja Yang Hidup, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000.,hlm.41 17

Tatacara liturgikal dalam kekristenan merupakan cara-cara yang ibadah yang digunakan dalam Synagogue rumah doa, pujian, dan pengajaran agama kaum Yahudi.(Albert Seay,

Op.Cit.,hlm.9.) 18

(26)

Kristen kontemporer (Christian contemporary music)19 dalam sebuah ibadah,

kalangan gereja tradisional justru menganggapnya sebagai sebuah ketidakmengertian

akan arti himne dan telah “mencuri” kemuliaan Allah. Penggunaan musik Kristen

kontemporer dengan peralatan combo band—gaya musik dan aransemennya seperti

musik populer umumnya—tersebut kemudian merefleksikan sebuah ibadah yang

disebut sebagai ibadah kontemporer (contemporary worship)20 yang sifatnya dinamis

dan penuh antusiasme.

Kalangan industri rekaman di Indonesia, produser dan pengamat musik

memberi label yang berbeda terhadap musik-musik yang memiliki pesan Injil, yakni

menyebutnya sebagai musik atau rohani. Sedangkan untuk lagu atau musik yang

bernafaskan Islam mereka menyebutnya sebagai musik atau lagu religi. Pembedaan

ini selain untuk memberi klasifikasi juga lebih bertujuan kepada motif penjualan di

pasar industri musik Indonesia.

Di luar dari perilaku penyanyinya, musik rohani merupakan musik yang

mengandung nilai-nilai ibadah. Musik rohani adalah musik gerejawi, namun musik

gereja adalah musik yang dipakai dalam ibadah gereja.21 Sementara itu kalangan

gereja Kharismatik memiliki pandangan yang berbeda terhadap musik-musik yang

19

Istilah Christian Music Contemporer dianalogikan sebagai jenis musik gereja yang diluar kaidah-kaidah musik maupun instrumentasi gereja tradisi yang menggunakan musik bergaya himne diiringi piano,organ dan sebagainya dalam setiap ibadah, sedangkan Christian Music Contemporer

identik dengan terminologi musik masa kini dengan perangkat musik combo band komplit. Winardo Saragih, Misi Musik, Yogyakarta, Andi Offset,hlm.76

20

Ibadah kontemporer (contemporary worship) merupakan ibadah yang sifatnya lebih fleksibel dan tidak diatur dalam sebuah rutinitas yang tersusun secara liturgis.

21

(27)

ada di luar gereja. Mereka menyebutnya sebagai musik “dunia”22 yang sangat

berbeda tujuan dengan musik-musik Kristen kontemporer. Bagi sebagian orang

sekilas tidak ada yang berbeda antara musik-musik Kristen kontemporer dengan

musik-musik “dunia” tadi, baik dari segi instrumentasi maupun aspek musikal, seperti

aransemen dan iramanya. Letak perbedaan yang signifikan justru hanya pada

penggunaan lirik lagu tersebut.

Musik Kristen kontemporer cenderung menggunakan lirik-lirik Alkitabiah

yang diarahkan vertikal kepada Allah, sedangkan musik “dunia” menggunakan

lirik-lirik yang lebih diarahkan horizontal kepada sesama manusia atau alam. Di dalam

musik gereja penggunaan lirik yang Alkitabiah mendapat perhatian khusus, karena

melalui lirik tersebut akan muncul interpretasi musikal yang akan menghidupkan lirik

tersebut. Dengan kekuatan lirik akan terjadi “aklamasi” dan “proklamasi” tentang

iman percaya di dalam nyanyian.23 Seorang imam musik sendiri ketika mengikuti sebuah mata kuliah pujian dan penyembahan24 di STT Misi Internasional Pelita

Kebenaran berbicara secara terus terang, bahwa ia mengalami kesulitan membedakan

antara musik “dunia” dan musik gereja—yang kontemporer—jika tidak mendengar

dari liriknya. Hal ini terutama karena musik “dunia” dan musik Kristen kontemporer

22

Dibaca “sekuler”, dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah “dunia” karena kata ini lebih familiar di lingkungan gereja.

23

Aklamasi: jemaat bernyanyi dan bermusik karena ingin memberikan jawaban iman percaya melalui puji-pujian atas karya keselamatan yang telah dikerjakan oleh Allah melalui Yesus Kristus. Proklamasi: jemaat ataupun gereja juga harus memberitakan bagi orang lain tentang perbuatan-perbuatan Allah yang dahsyat melalui Yesus Kristus.

24

(28)

memiliki kesamaan dalam berbagai aspek musikal. Bapak Pdp.Obed Sembiring25

mengatakan agar berhati-hati memilih lagu yang akan digunakan dalam ibadah.

Menurut Bapak Pdp. Obed Sembiring bahwa banyak musik yang mengaku atau

dianggap sebagai lagu rohani tetapi justru tidak ada kata Yesus, Tuhan atau Allah

disitu.26

Hal ini kemudian menarik perhatian saya dan kemudian saya mencoba

menelaah hal tersebut. Saya kemudian teringat ketika diakhir tahun 2010 dalam

sebuah perayaan Natal di sebuah gereja, dimana saya termasuk salah seorang pemain

musik di acara ibadah Natal tersebut dalam rangka mengiringi sebuah vokal grup.

Vokal grup tersebut justru menyanyikan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Alm.

Chrisye dengan judul Hening, yang sama sekali tidak ada kata Yesus dan Allah di

dalamnya. Pdp. Obed Sembiring mengatakan memang terdapat kata Tuhan

disebutkan di lagu tersebut, tapi Tuhan yang mana? Tidak mengarah kepada satu

sosok pribadi, yaitu Yesus.

Dalam tulisan ini saya perlu mengulas unsur-unsur apa yang menjadikan

sebuah lagu bisa dikatakan sebagai lagu atau musik gereja. Karena saya menemukan

banyak kasus dalam lagu-lagu lain, sebagian orang menanggapi sebagai lagu rohani,

sementara pihak lain tidak demikian. Seperti lagu Ruth Sahanaya “Kaulah

25

Pdp.Obed Sembiring adalah Ketua Departemen Musik GBI Rayon IV Medan Plaza, Direktur Sekolah Musik FLOW yang juga dibawahi oleh GBI Medan Plaza.

26

(29)

Segalanya”, atau lagu Josh Groban “You Raise Me Up” yang sering ‘mampir’ di

gereja. Hal ini bisa terjadi karena setiap pihak memiliki kriteria yang berbeda dalam

memberi label terhadap sebuah lagu sehingga menjadi lagu rohani. Hal ini bisa saja

akibat ketidakmengertian, minimnya pemahaman, atau karena batasan dan kriteria

yang berbeda-beda pada institusi-institusi gereja sehingga belum ada kriteria yang

“pas” dan dapat diterima banyak pihak untuk menentukan sebuah lagu rohani atau

tidak.

Hal ini mungkin akan menjadi sebuah perdebatan yang cukup serius bagi

kalangan gereja Kharismatik dan di luar Kharismatik. Khususnya dalam tulisan ini

saya mengaitkan permasalahan ini dengan musik Kristen kontemporer dan

Departemen Musik yang ada di GBI Medan Plaza yang sudah memiliki

konsep-konsep dan batasan yang jelas terhadap sebuah lagu, mana yang layak diberi label

lagu rohani (gereja) dan yang tidak layak—tanpa memandang genre27 musik—seperti

pernyataan Bapak Pdp.Obed Sembiring di atas. Sementara bagi kalangan di luar

GBI Medan Plaza memiliki pandangan yang lebih luas dan batasan yang sedikit

lebih “longgar” terhadap sebuah lagu yang layak diberi label rohani atau tidak.

Tujuan saya tidak untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi justru

saya merasa perlu dalam tulisan ini untuk menjelaskan bagaimana perbedaan musik

yang layak diberi label sebagai musik gereja dan musik “dunia” (sekuler)

Selanjutnya dalam tulisan ini akan mengulas bagaimana sesungguhnya

27

(30)

struktur bentuk dari sebuah ibadah yang kontemporer tersebut. Ketika ibadah tersebut

dilakukan apa-apa saja yang dilakukan oleh para jemaat, oleh hamba Tuhan, dan

semua orang yang memiliki andil sehingga ibadah tersebut dapat berjalan dengan—

saya meminjam istilah Pdt. R. Bambang Jonan—“sukses”. Bagaimana sebuah ibadah

kontemporer dapat dikatakan “sukses” dan apa yang menjadi kriteria sebuah ibadah

kontemporer “sukses” juga menjadi perhatian menarik bagi saya untuk menelaahnya

lebih jauh.

Kajian lebih jauh juga saya tujukan pada ibadah kontemporer tersebut saat

dilakukan, kemudian melalui aktivitas ibadah tersebut akan terlihat begitu banyak

kebudayaan-kebudayaan Kharismatik yang termaktub di dalamnya melalui

penyajian-penyajian musik Kristen kontemporer. Adakah relevansi yang kuat antara refleksi

kebudayaan Kharismatik yang dilakukan jemaat dengan musik Kristen kontemporer,

atau ibadah kontemporer dengan visi GBI Medan Plaza untuk memulihkan pondok

Daud,28 sehingga muncul sebuah pola ibadah yang menurut Wilfred J. Samuel

cenderung berkesan selebratif, “hingar bingar” dan antusias. Dimana dalam suasana

yang selebratif jemaat merasa begitu dinamis serta aktif dalam ibadah termasuk

melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan atas tujuan tertentu. Perilaku jemaat

dalam ibadah kontemporer sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan

28

(31)

pemimpin pujian (worship leader), imam musik29 (worship musician) membangun

komunikasi yang aktif.30 Worship leader merupakan pelayanan yang memerlukan kecakapan tersendiri, yang berbeda dengan pelayanan imam musik (worship

musician), pendeta, penatua atau penyanyi (singer). Worship leader memiliki beban yang berat untuk memimpin seluruh jemaat (mereka yang sakit, letih, sakit hati, keras

kepala, malas, tak dapat diajar) ke dalam suatu suasana yang menciptakan hubungan

dengan Allah baik secara pribadi maupun jemaat secara keseluruhan.31 Ada tiga tugas

worship leader dalam sebuah ibadah kontemporer, yaitu: (1) membawa seluruh jemaat ke dalam hadirat Allah sehingga mereka dapat memuji dan menyembah-Nya

dan mendengarkan-Nya dalam setiap ibadah, (2) mengkoordinir dan menyatukan para

penyanyi dan pemain musik dalam pelayanan mereka kepada Allah dan dalam

jemaat, (3) untuk mempersiapkan jemaat pada pelayanan Firman Tuhan. Kemudian

saya akan melihat perilaku jemaat dan aktivitas dalam ibadah tersebut melalui

perspektif sosiologis.

Sebuah ibadah kontemporer menurut pandangan ilmu sosial merupakan

sebuah pertunjukan seni (performing art) yang juga dengan mudah dipahami bagi pandangan masyarakat awam. Dalam sebuah kesempatan bersama orang tua, saya

dan keluarga menghadiri satu ibadah di GBI Resto Surabaya dan merupakan salah

29

Imam adalah suatu jabatan dalam umat Israel yang penting peranannya. Tugasnya: mempersembahkan korban, mengadakan doa syafaat dan memberi berkat. Dalam gereja, imam musik

adalah jabatan yang bertugas melayani dalam bidang musik 30

Secara teologi pendapat ini tidak diterima, seorang worship leader dan imam musik tidak mengandalkan kemampuannnya dalam melayani Tuhan, melainkan karena Tuhanlah yang memampukan mereka melalui Roh Kudus.

31

(32)

satu cabang GBI Medan Plaza. Sepulang dari ibadah dalam perjalan pulang di mobil

orang tua saya berkata “Seperti melihat konser saya tadi!”. Saya menafsirkan orang

tua saya memiliki konsep yang cukup jelas bahwa apa yang disaksikannya adalah

sebuah pertunjukan seni seperti yang ia juga lihat dan kenal selama ini dibanyak

media. Karena ia menyaksikan seseorang menyanyi (worship leader) di panggung diiringi oleh musisi (imam musik) yang memainkan seperangkat alat musik seperti,

piano, synthesizer, gitar bas, drum dan beberapa penyanyi latar (backing vocal). Sehingga orang tua saya menyimpulkannya bahwa yang ia saksikan lebih menyerupai

sebuah konser daripada sebuah ibadah di gereja yang selama ini ia kenal.

Menurut Murgiyanto (1995)32 kajian-kajian keilmuan mengenai seni terbagi

dalam beberapa cabang seni, salah satunya adalah seni pertunjukan (performing art

atau cultural performance) yang didalamnya termasuk: seni musik, tari, teater, yang juga meliputi seperti: sirkus, kabaret, olah raga, ritual, upacara, prosesi pemakaman,

dan lain-lain.

Dalam sebuah ibadah kontemporer, proses “membangun” mesbah33 bagi

Tuhan melalui doa, pujian dan penyembahan yang dipenuhi atmosfir penyembahan

yang intim dengan Tuhan dilakukan ketika lagu penyembahan pertama dinyanyikan.

Atmosfir penyembahan adalah menciptakan atau membangun suasana dalam

32

Dalam Muhammad Takari, et al Masyarakat Kesenian di Indonesia, Studia Kultura Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara,2008.hlm.5

33

(33)

keintiman (intimacy) dengan Tuhan melalui musik sehingga menghadirkan suasana

yang penuh dengan hadirat Tuhan (His presence).34 Dalam hadirat Tuhan tersebut ada, sukacita (Mazmur 16:11), kuasa (Kisah Para Rasul 1:8), karunia-karunia Roh

Kudus yang nyata (1 Korintus 12:7-11), berkat-berkat jasmani (Matius 6:33), doa dan

permintaan dan lain-lain.

Atmosfir penyembahan “dibangun” melalui lagu-lagu penyembahan yang

kemudian dilanjutkan dengan menggunakan sebuah pola akor penyembahan yang

disebut flowing dilakukan berulang-ulang dengan dinamik yang bervariatif dengan mengundang Roh Kudus dan hadirat Tuhan memenuhi tempat ibadah tersebut.

Sementara itu menurut Pdp. Obed Sembiring akor penyembahan bukanlah sebuah

pola, tetapi akor penyembahan adalah cara untuk membawa jemaat dalam kesatuan

penyembahan melalui musik yang baik. Beliau mengatakan “Musik yang baik adalah

musik yang memiliki unsur doa, penyembahan dan firman”.

Dalam “membangun” mesbah atau atmosfir penyembahan setiap imam musik

harus memiliki kepekaan terhadap flowing, kepekaan tersebut dilatih melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Departemen Musik gereja ini dan melalui

kasih karunia yang diberikan oleh Roh Kudus. Imam musik harus dapat melihat

tuntunan Roh Kudus bagaimana menggunakan flowing tersebut lalu kemudian diterapkan melalui dinamika-dinamika musik sehingga akan terbangun sebuah

34

(34)

suasana yang teduh, intim atau bahkan megah. Flowing yang digunakan di GBI

Medan Plaza sangat bervariatif dan memiliki makna yang berbeda dalam setiap

bentuknya. Saya akan melihat flowing sebagai progresi akor yang baku dan dipakai dalam sebuah ibadah kontemporer, serta bagaimana bentuk progresi akor flowing

yang sarat akan improvisasi tersebut ditempatkan dan digunakan dalam ibadah.

Selain itu saya akan mengulas bagaimana musik tersebut disajikan dalam

ibadah dengan melihat karakteristik progresi akor, modulasi, kadens, open chord, slash chord, pemakaian nada dasar, improvisasi, pemakaian kode jari, pola ending dan sebagainya. Tulisan ini juga akan mengarahkan perhatian terhadap peran musik

dalam setiap ibadah. Saya akan mengulas mengapa mulai detik pertama ibadah

hingga akhir ibadah musik selalu hadir. Mengapa musik tersebut sangat dominan di

gereja ini, bahkan saat Pendeta berkhotbah musik yang lembut melalui permainan

piano memiliki peranan mengiringi jalannya khotbah. Hal ini juga pernah saya alami

ketika melayani sebagai imam musik di salah satu gereja cabang GBI Hermes Palace,

seorang istri pejabat gereja mendatangi saya ketika sesi ibadah kedua akan dimulai

dan mengatakan agar saya nanti tetap memainkan piano saya secara lembut dan

ringan ketika pendeta sedang berkhotbah, tentu saya taat dengan instruksi tersebut.

(35)

Seorang ahli musik gereja John F. Wilson35 mengatakan, tidak semua musik

yang ditampilkan di gereja digunakan secara efektif bagi kemuliaan Tuhan.

Beberapa cara membawakan musik tidak menyumbangkan apa-apa hanya sekedar

atmosfir euphoria belaka, sementara yang lain melakukan sedikit lebih baik karena

berhasil menggugah emosi jemaat. Ada banyak alasan mengapa hal ini benar. Hal ini

sering ditelusuri kembali karena kelemahan komponis, pemain (imam musik) dan

pendengar (jemaat) dalam melakukan kewajibannya.

Di sisi lain, masalahnya dapat dihubungkan dengan fisik lingkungan, seperti

suhu udara, arsitektur gereja atau faktor lain. Bagaimanapun juga, anggapan bahwa

para pemain memiliki kemampuan teknis musikal yang sudah cukup memadai, tetapi

sesungguhnya sumber utama masalahnya hampir selalu terletak pada kekurangan

kekuatan Roh Kudus dibalik beberapa ibadah.36

Setiap denominasi gereja memiliki “porsi” dan “gaya” (genre) musik yang

berbeda-beda dalam ibadah mereka. Gereja Kharismatik dengan “gaya” musik

Kristen kontemporer-nya, gereja tradisional dengan “gaya” musik himne dan ibadah

yang liturgikal, gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) dengan musik tradisional

Karo yang dimainkan melalui program musik keyboard, atau GKJ (Gereja Kristen

Jawa) dengan musik gamelan dalam ibadahnya. Kebutuhan teologis memungkinkan

gereja melakukan inkulturasi karena dirasa efektif agar pekabaran Injil dapat diterima

oleh beragam suku bangsa. David J. Hesselgrave menyebutnya sebagai

35

John F.Wilson, An Intorduction to Church Music, Moody Press, Chicago,1965 36

(36)

“pempribumian”. Sehingga saat mengulas tentang musik gereja maka tidak dapat

dibatasi oleh satu genre musik tertentu, karena setiap gereja memiliki kebutuhan dan

“porsi” musik masing-masing.

Gereja sangat menekankan pentingnya sebuah komitmen bagi imam musik

yang melayani dibidang musik, sehingga musik yang digunakan jangan sampai

menjadi penghalang dalam ibadah. Penghalang dalam ibadah yang dimaksud seperti

pengalaman berikut. Dalam salah satu pelayanan gereja cabang dari GBI Medan

Plaza, ketika pujian penyembahan usai, dan Pendeta naik ke altar untuk menyampaikan Firman Tuhan (khotbah), sang Pendeta berkata kepada tim musik dan

pemimpin pujian, “Maaf ya kepada worship leader dan tim musik, saya tidak merasakan hadirat Tuhan di tempat ini”. Bahkan satu ketika dalam sebuah pelayanan,

piano yang saya gunakan tidak mengeluarkan suara saat doa syafaat37 (doa diakhir

ibadah selesai), sehabis berdoa koordinator ibadah, pendoa, rekan-rekan pengerja mengatakan “agak aneh” atmosfir yang dirasakan jika berdoa tidak ada musik yang

mengiringi. “Seperti anti-klimaks, ujar rekan saya, Daniel Limbong”. Hal ini bisa

terjadi karena GBI Medan Plaza memiliki standar musik dalam pujian dan

penyembahan yang digunakan pada setiap ibadah dan telah menjadi ciri khas bagi

gereja ini. Sehingga ketika dalam ibadah imam musik tidak bermain dalam standar musik yang telah ditetapkan oleh gereja, maka hal tersebut dapat menjadi penghalang

dan mengganggu kelancaran ibadah itu sendiri.

37

(37)

Wilfred J. Samuel dalam bukunya Kristen Kharismatik mengatakan bahwa

musik dalam ibadah kontemporer cenderung overdosis atau berlebihan dalam ibadah.

Memang pernyataan Wilfred sangat subyektif bahkan terdengar sedikit tendensius,

namun saya berharap bisa membagi pengalaman saya tersebut dan menempatkan isu

tentang musik yang menurut Wilfred overdosis tersebut pada sudut perspektif yang

tepat.

Ketika saya menghadiri ibadah di GBI Medan Plaza untuk pertama sekali

pada tahun 1998, saat itu saya “mencerna” musik yang digunakan dalam ibadah

tersebut sebagai musik yang bergenre pop-rock dan mudah digemari oleh kawula

muda karena dianggap lebih dinamis. Ketika saya kemudian mulai ikut bergabung

melayani dalam tim Departemen Musik yang merupakan cabang dari GBI Medan

Plaza, yaitu GBI MMTC, GBI Sun Plaza, GBI Swissbel Hotel dan GBI Hermes

Palace saya merasa tertarik untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana struktur

musik dan ibadah kontemporer yang digunakan di GBI Medan Plaza. Mengapa

gereja ini harus menekankan terhadap pujian dan penyembahan, hal ini juga harus

menjadi perhatian saya pada bab berikutnya.

Dengan menganalisis pertanyaan-pertanyaan seperti paragraf sebelumnya

tentu akan membuat faset-faset tersebut terwujud secara eksplisit. Suatu gambaran

yang komprehensif akan pekerjaan dan peringatan akan Allah dalam setiap ibadah di

GBI Medan Plaza dengan demikian akan dibuat menjadi jelas akan peran musik.

(38)

teologis menyelidiki dan menganalisis musik dalam GBI Medan Plaza. Pengamatan

yang saya lakukan merupakan pengalaman saya selama ± 3 tahun melayani di

beberapa cabang gereja Kharismatik yang dibawahi oleh GBI Rayon IV Medan

Plaza.

1. 2. 1. Label Kharismatik

Ada dua hal berbeda yang dapat muncul dipikiran ketika seseorang

mendengar istilah "kharismatik”. Beberapa orang akan berpikir tentang sekelompok

orang “lapar” akan Tuhan, berjalan dalam kuasa rohani, Roh dalam ibadah, agresif

dalam penginjilan, dan berlimpah dalam kasih. Orang lain melihat kharismatik

sebagai individu-individu yang berorientasi pengalaman, imperialis dalam pandangan

(hanya mereka yang memiliki Injil penuh), elitis dalam sikap, tidak terkontrol dalam

ibadah, dan bebas dari setiap pegangan nyata dari Alkitab yang lebih dari sekedar

bukti teks. Gerakan Kharismatik memiliki perkembangan yang sangat pesat dan telah

menjadi lebih beragam, sehingga akan menyesatkan untuk menempatkan mereka

semua di bawah panji identik. 38

Tingkah laku-tingkah laku demikian sangat melekat dengan orang-orang yang

terlibat dalam gereja Kharismatik. Saat istilah “kebudayaan” digunakan dalam

konteks gereja kharismatik seperti GBI Medan Plaza, maka setiap pribadi-pribadi dan

kelompok-kelompok yang ada didalamnya memiliki kebutuhan yang spesifik, seperti

38

(39)

gaya, ekspresi, attitude yang mudah dikenali dan memberikan mereka image maupun

identitas yang khas sebagai Kharismatik. Contohnya, jemaat dalam lingkungan

Kharismatik sangat senang menggunakan sapaan shalom ketika bertemu dengan yang lain, selalu berjabat tangan ketika bertemu dengan rekan-rekan, bahkan

beberapa orang memandang memiliki sikap rohani yang lebih—istilah populer oleh

Pdt.R. Bambang Jonan terlalu ‘nge-roh’—dari orang lain. Ekspresi lain juga tampak

melalui orang yang “gemar” berbahasa Roh jika dalam satu perbincangan ada hal-hal

yang mengejutkan dirinya, lalu dengan spontan ia mengeluarkan ucapan-ucapan

“seperti” bahasa Roh39 tadi.

1. 2. 2. Gereja Sebagai Organisme dan Organisasi40

P.G. van Hooijdonk berpendapat gereja sebagai organisme merupakan

kenyataan sosial yang memperlihatkan kehidupan dan pertumbuhan orang beriman

sebagai kelompok, communio.41 Anggota jemaat merupakan satu tubuh, satu iman, satu baptisan dan satu Tuhan, satu Allah dan Bapa dari semua yang ada di atas kita

semua, oleh kita semua dan di dalam kita semua.

Sebagai organisasi gereja terdiri dari (1) Kesatuan (susunan) yg terdiri atas

bagian-bagian (orang dsb) dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu, (2) Kelompok

kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. (KBBI

39

Bahasa Roh (glossolalia) adalah salah satu karunia Roh Kudus yang memuji Allah di dalam doa dengan bahasa yang baru yang biasanya tidak dapat dipahami oleh orang yang memakainya (Lihat 1Korintus 12 dan 14)

40

Pdt.Dr.Rijnardus A.van Kooij,Menguak Fakta, Menata Karya Nyata. Jakarta,BPK Gunung Mulia 2007,hlm.6.

41

(40)

online) Organisasi adalah hukum yang mengatur dan membina hidup manusia

sebagai masyarakat, bangsa dan negara. GBI hidup dan bergerak dalam Negara

Hukum Indonesia. Oleh sebab itu GBI adalah salah satu Organisasi Agama Kristen

yang telah diakui oleh pemerintah c,q Departemen Agama Pusat Jakarta.

Akan tetapi bagi Dr. H.L Senduk42 gereja tidak boleh diidentikkan dengan

organisasi dunia lainnya. Dengan kata lain, gereja bukan suatu organisasi agama.

Wujud gereja sama sekali berbeda dengan organisasi dunia umumnya. Beliau secara

tegas mengatakan, bahwa gereja adalah Tubuh Kristus, yakni organisme ilahi yang

hidup di dalam dunia saat ini. Tuhan Yesus Kristus adalah Kepala Gereja yang

memiliki banyak anggota tersebar di seluruh pelosok dunia. Sehingga gereja yang

dibentuk Allah tidak akan pernah mati dimakan oleh waktu, melainkan akan mekar

dan berkembang secara pesat. Karena gereja yang dinamis adalah gereja yang selalu

mengedepankan perintah Allah dan membiarkan Roh Kudus bekerja secara leluasa di

dalamnya.

1. 3. Mengkaji Struktur, Konteks dan Fungsi Sosial Dalam Ibadah

Kontemporer

1. 3. 1. Asumsi Dasar Penelitian

Ketika kita hendak memahami konteks dan fungsi musik dan ibadah

kontemporer, kita dapat memulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut.

42

(41)

Kapan, dimana, bagaimana dan mengapa musik disajikan? Bagaimana musik

tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan melayani kebutuhan masyarakat

pendukungnya, serta bagaimana musik tersebut berperan dalam kehidupan jemaat

GBI Medan Plaza khususnya? Salah satu cara memahami musik adalah dengan

mempelajari konteks dan fungsi sosialnya.43

Penelitian ini akan dilakukan dengan tiga asumsi dasar. Pertama, musik dalam

ibadah kontemporer memiliki side effect yang akan menstimulus perasaan dan fisik jemaat yang ada, kemudian secara psikogis menimbulkan pengaruh timbal balik

(mutual influence) sehingga akan merefleksikan berbagai kebudayaan kharismatik di

dalam ibadah yang kontemporer tersebut. Kedua, musik Kristen kontemporer dan

ibadah kontemporer merupakan interpretasi apa yang dilakukan Raja Daud.44

Cara-cara penyembahan di dalam hukum Taurat dan kitab para nabi juga sangat

mencerminkan kepada pondok Daud. Itulah yang menjadi pusat pewahyuan dari

pujian dan penyembahan dalam Alkitab. Begitu juga cara-cara penyembahan yang

muncul di GBI Medan Plaza sangat mencerminkan apa yang dilakukan oleh Daud

dan merupakan ungkapan isi hati serta perasaan jemaat kepada Tuhan menurut

pola-pola tertentu dan lambang-lambang tertentu.

Dalam konteks kekinian, musik Kristen kontemporer dan ibadah kotemporer

merupakan implikasi apa yang dilakukan Daud, terlebih lagi GBI Medan Plaza

43

Mauly Purba,et.al,MusikPopuler,Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,Jakarta,2006.hlm.129 44

(42)

memiliki visi—istilah populernya “DNA"—untuk memulihkan pondok Daud yang

telah roboh. (Lihat dalam Amos 9:11) Ketiga, ibadah kontemporer dengan berbagai

refleski kebudayaan Kharismatik telah menjadi tools bagi jemat untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka, ini yang kemudian disebut sebagai “lapar” rohani.

1. 4. Lingkup Penelitian

GBI mencakup wilayah yang lebih luas yaitu Indonesia dan di luar negeri,

dengan demikian dalam kajian ini ruang lingkup dibatasi pada penelitian di Medan

Plaza saja. Secara geografis penelitian meliputi Kota Medan dimana GBI Medan

Plaza berdiri. Kota Medan merupakan kota yang dihuni beragam etnis dan agama.

Kota ini dianggap sebagai barometer keamanan di Indonesia dan menjadi contoh

pluralisme di Indonesia. Kota Medan juga memiliki jumlah pemeluk agama Kristen

dari etnis Batak, Karo, Nias dan Tionghoa yang cukup besar dibanding dengan

kota-kota lainnya di Indonesia. Oleh karena itu pemahaman tentang jemaat dan hamba

Tuhan (Pendeta) lebih diarahkan kepada masyarakat kota Medan khususnya.

Pembatasan lingkup penelitian bertujuan agar tulisan tidak terjerumus dalam jumlah

data yang terlalu banyak yang ingin diteliti.

1. 5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Mengingat bahwa tulisan-tulisan yang ada berkenaan dengan Gerakan

Kharismatik, jika bukan merupakan satu bagian kecil dalam konteks studi yang lebih

(43)

Kharismatik dan ditulis oleh kalangan internal pengikutnya. Disamping itu, bertolak

dari asumsi bahwa banyak dari peristiwa musik lokal di Sumatera Utara khususnya

yang perlu diteliti, dengan itu kajian ini diharapkan memiliki arti penting dalam

rangka memperkaya kajian terhadap musik dalam gereja Kharismatik di Kota Medan

khususnya.

Sementara itu Gerakan Kharismatik GBI Medan Plaza merupakan salah satu

bagian dari gerakan-gerakan Kristen di negeri ini, yang memiliki ciri khas sebagai

gerakan spiritual di abad 20. Kekhasan Gerakan Kharismatik terlihat pada metode

penyebaran ajaran, keorganisasian, peribadahan, dan kegiatan-kegiatan yang

diupayakan adaptif dengan kebutuhan masyarakat berkembang. Sehingga ciri khas

dan keunikan yang dimilikinya penting dan menarik untuk diteliti.

Selain itu, GBI Medan Plaza telah menjadi contoh perubahan dalam

mekanisme penggembangan ajarannya, fungsionalisasi organisasi serta orientasi

gerakan sosial terutama di Sumatera Utara. Bahkan gereja ini sedang berusaha untuk

memperoleh sertifikat ISO (International Standard Operation). Artinya gereja juga butuh pengakuan standar duniawi, sesuatu yang mungkin belum pernah dilakukan

oleh gereja-gereja lain sebelumnya.

Apa yang menjadi tujuan tulisan ini berikutnya adalah untuk secara singkat

merefleksikan berbagai kecendrungan Kristen Kharismatik saat ini yang tampak dan

berbagai kecendrungan yang tengah muncul dengan menunjukkan pola ibadahnya,

(44)

sumber referensi ilmiah dan teologis bagi banyak orang dan menjadi berkat dalam

melayani Tuhan khususnya bagi para pengerja.45

1. 6. Terminologi dan Konsep

Untuk dapat lebih jauh mengulas arti dari tema penelitian ini, yaitu musik,

struktur, konteks dan fungsi sosial ibadah kontemporer di GBI Medan Plaza, maka

terlebih dahulu dikemukakan terminologi dan konsep dari kata kunci, yakni: (1)

ibadah kontemporer, (2) kontekstualisasi, (3) atmosfir penyembahan, (4) hadirat

Tuhan, dan (5) pujian dan penyembahan, (6) imam musik, (7) worship leader, (8)

Kharismatik, (9) musik Kristen kontemporer, (10) flowing, (11) manifest, (12) Roh Kudus, (13) korban46, (14) mesbah, (15) pondok Daud, (16) ibadah, (17) open chord,

(18) ibadah kontemporer, (19) pengerja. Terminologi dan konsep yang saya gunakan dalam tulisan ini, merujuk

kepada apa yang ada dalam pemikiran dan dilakukan oleh para pengikut, yakni:

jemaat, imam musik, Pendeta dan para pengerja yang melayani di lingkungan GBI Medan Plaza pada umumnya dan juga terhadap pemahaman disiplin sosial empiris

45

Pengerja adalah merupakan istilah yang umum digunakan dalam GBI yang maksudnya adalah karya secara menyeluruh semua umatnya untuk kepentingan penyebaran agama Kristen. Makna ini juga merujuk kepada struktur organisasi GBI, yang terdiri dari pendeta yang lazim disebut Bapak Pembina, departemen-departemen, serta umat. (Gugun Sihombing,Manajemen Organisasi, Pelatihan, dan Struktur Musik di Gereja Bethel Indonesia Medan Plaza, Skripsi Etnomusikologi USU, Medan.)

46

(45)

dan teologi Kristen. Hal ini saya lakukan pertama untuk melihat sejauh mana konsep

mereka terhadap tema dari ulasan dalam tulisan ini. Alasan kedua saya melihat

pentingnya mengetahui apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh masyarakat

pendukung Gerakan Kharismatik ini khususnya di lingkungan GBI Medan Plaza.

1. 7. Landasan Teori

Ketika seorang ilmuwan mengkaji sebuah fenomena alam fisik atau sosial,

dengan latar belakang masalah tertentu, ada yang relatif sederhana dan ada pula yang

kompleks, maka ilmuwan tersebut biasanya menggunakan teori-teori. Teori menurut

pendapat Marckward et al., memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada

prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk

prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3) abstrak

pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau

rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena; (5) spekulasi atau

hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika

berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan

pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang

komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang

dieksekusi.47

47

(46)

Teori mengarahkan ilmuwan untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis

permasalahan keilmuan yang ditemuinya.Sesuai dengan yang menjadi permasalahan

dalam tulisan ini, maka penulis menggunakan beberapa teori untuk mengkaji

beberapa pokok permasalahan, selain beberapa teori pendukung yang dirasa perlu

dalam mengulas topik tertentu dalam tulisan ini.

1. 7. 1. A functional theory of culture Bronislaw Malinowski.

Saya akan melihat pola-pola gereja Kharismatik yang sedang muncul melalui

perspektif etnologis. Etnologi adalah cabang dari Antropologi yang menganalisis

secara komparatif, kebudayaan-kebudayaan dari masyarakat kontemporer atau

kelompok-kelompok linguistis. Penelitian etnologis akan mencakup penelitian atas

pola-pola tingkah laku individual dan komunal48, nilai-nilai kehidupan, model-model

religius dan sebagainya. Tujuan tulisan ini mengadopsi pendekatan etnologis adalah

untuk memberi wawasan yang mendalam dan reflektif, khususnya menyangkut

dengan ibadah, teologi, dan praktek-praktek ajarannya.

Dalam metode antropologi kebudayaan tercatat setidaknya terdapat enam ciri

berbeda yang disebut kompleks kultural, dan menentukan cara suatu komunitas

berfungsi. Menurut Malinowski terdapat enam ciri pada tingkat mikro dapat

dijelaskan sebagai kebutuhan individual dan pada tingkat makro sebagai kebutuhan

komunal, keenam ciri kompleks kultural tersebut adalah (1) lapar, (2) reproduksi, (3)

keamanan, (4) gerakan, (5) pertumbuhan, (6) kesehatan.

48

Teori pola tingkah laku individual dan komunal oleh Cooley dalam Wilfred J. Samuel,

(47)

Malinowski mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk

menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori

fungsional tentang kebudayaan atau a functional theory of culture. Ketika kebudayaan dikaitkan dalam konteks Kharismatik, maka akan tercermin

pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok orang yang memiliki kebutuhan spesifik, seperti

“gaya hidup” dan ekspresi yang bisa dibedakan, yang membuat mereka mendapat

label Kharismatik. Sehingga kebudayaan dalam Kharismatik mengacu kepada

kebiasaan praktek-praktek agama yang dapat dilihat melalui jemaat yang melakukan

ekspresi, teologi, dan aktivitas yang sifatnya pentakostal. Sehingga tulisan ini dapat

secara seksama meneliti kebiasaan-kebiasaan Kharismatik atau praktek-praktek

kultural, sikap-sikap dan kebiasaan, dan tingkah laku keagamaan.

Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: (1)

fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat

abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, perilaku manusia

dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) fungsi sosial dari suatu adat,

institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai

pengaruh atau kesannya terhadap keperluan suatu adat atau institusi lain untuk

mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang

terlibat; dan (3) fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi

ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk

(48)

1. 7. 2. Used and function theory Alan P. Merriam

Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba

menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam

membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi.

Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting.

Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada

keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari

aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain.49 Lebih jauh

Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai

berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a perticular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves.50

49

Alan P. Merriam,Anthropology of Music,Blomington Indiana:UniversityPress,1964.hlm.210 50

(49)

Dalam kutipan di atas Merriam membedakan defenisi guna dan fungsi musik

berasaskan kepada proses dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik

gunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak

bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Kemudian Merriam memberikan contoh, jika

seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi

musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan

kesinambungan dalam melanjutkan keturunan, yakni dengan memenuhi hasrat

biologis, bercinta, kawin dan memiliki keturunan. Ketika seseorang menggunakan

musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan

dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan

kegiatan-kegiatan upacara.

“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan

manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai

melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat

dilayaninya. Merriam menekankan bahwa penggunaan lebih berkaitan dengan sisi

praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi

internal budaya.

Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan bahwa

sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikolog tentang fungsi

musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi. Kesepuluh

fungsi musik itu adalah: (1) sebagai pengungkapan emosional, (2) sebagai

Gambar

Gambar 1. Ruko di Jalan Teuku Umar Yang Dijadikan Gereja Mula-Mula           (Sumber: Majalah 15th Anniversary GBI Rayon IV Medan Plaza)
Gambar. 5  Salah Seorang Musisi Kristen Kontemporer, Michael W Smith
Gambar 4.  Tabel tangga nada mayor dalam Nashville Number System
Gambar 11. Kode untuk menunjukkan nada dasar Bb                 (Sumber: Dokumentasi pribadi)
+7

Referensi

Dokumen terkait