• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SPASIAL PERMUKIMAN TIDAK TERENCANA

5.2. Pola Spasial Permukiman Informal

Dalam mengidentifikasi kawasan permukiman informal digunakan standard yang ditetapkan oleh UN-Habitat (2003) mengenai kriteria permukiman informal. Menurut UN-Habitat, permukiman informal didefinisikan dengan kurangnya sistem perumahan yang aman, kurangnya area gerak yang cukup, tidak terdapat akses terhadap air bersih atau sanitasi yang tidak memadai, serta tidak adanya status kepemilikan yang aman.

Pada permukiman informal di kawasan Kampung Nelayan Medan Belawan terdapat permasalahan mengenai surat-surat kepemilikan bangunan dan lahan. Permukiman informal ditandai dengan tidak adanya status kepemilikan tanah yang aman dan sesuai dengan peraturan pemerintah. Kemudian, kurangnya fasilitas-fasilitas dasar pada kawasan pesisir. Pada kawasan ini, limbah air kotor bangunan langsung dibuang ke laut dan menyebabkan laut tercemar. Selain itu, permukiman juga dibangun di atas lahan PT. Pelindo sehingga bangunan tersebut dibangun di atas tanah yang tidak dimiliki pemilik rumah. Lahan pada sekitar pesisir pantai juga sebenarnya tidak baik untuk dijadikan kawasan hunian permanen karena akan mengganggu ekosistem laut. Fasilitas dasar publik atau fasilitas pelayanan masih terdapat pada beberapa titik di area kawasan ini, namun fasilitas tersebut hanya terbatas pada fasilitas pendidikan dan peribadahan. Struktur bangunan tidak memadai dan berada di bawah standard perumahan. Kondisi ekonomi sebagian besar penduduk juga berada di bawah rata-rata dan kondisi hidup mereka tidak sehat karena air yang pasang akan menenggelamkan sekitar 1-2 meter dinding rumah sehingga barang pemukim ikut terendam. Air laut

yang kotor karena sampah dapat menyebabkan penyakit yang cukup serius bagi pemukim. Kondisi ini menjadi kriteria bagi permukiman tidak terencana yang berada pada kawasan Kampung Nelayan sehingga dapat dibedakan dari permukiman yang mengikuti peraturan pemerintah (Gambar 5.5).

Gambar 5.5 Posisi Permukiman Informal

Secara makro, letak area permukiman tidak terencana banyak yang berorientasi menghadap laut dan berada di pinggiran pantai (Gambar 5.6). Dalam sejarah perkembangan wilayah ini, lahan yang berada pada sekitar pinggiran laut

Keterangan Gambar:

: Permukiman informal : Permukiman formal

adalah lahan milik perusahaan PT. Pelindo I. Lahan ini tidak dapat digunakan sebagai permukiman atau lokasi hunian bagi pemukim di tempat ini. Namun, akibat dari beberapa alasan ekonomi maupun sosial, pemukim pun satu per satu menempati lokasi ini.

Kualitas ruang yang terbentuk pada permukiman informal cenderung tidak maksimal untuk memenuhi kebutuhan penghuninya. Hal tersebut menjadi wajar karena sistem perundang-undangan tidak mampu menyediakan kebutuhan rumah tinggal untuk penduduk di Kampung Nelayan ini. Hal ini membuktikan teori Tsenkova (2010), bahwa penyebab terbentuknya permukiman informal disebabkan oleh perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang- undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan perumahan yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat, dan struktur administrasi publik yang sudah usang. Pemicu lain terbentuknya susunan massa bangunan, sistem jalan, dan ruang terbuka pada kawasan informal ini juga adalah perencanaan ruang yang tidak memadai dan kebijakan perumahan yang tidak dapat menyediakan perumahan yang terjangkau.

Gambar 5.6 Contoh bagan peta lokasi permukiman informal di Kampung Nelayan Keterangan Gambar:

Pada peta di Gambar 5.6 dapat dilihat posisi permukiman informal pada Kampung Nelayan yang berada pada area pinggiran laut. Posisi permukiman tidak terencana tersebut menyebar di sepanjang jalan di pinggiran pantai dengan bangunan berorientasi langsung ke arah laut. Di sebelah luar dari permukiman informal tersebut terdapat area permukiman formal. Pada mulanya pada sekitar tahun 1960-an, area permukiman ini adalah tanah kosong berlumpur dan tidak ditempati oleh satu orang pemukim pun. Namun, akibat dari proses pemindahan warga yang dilakukan pemerintah pada tahun 1960-an, tanah pada area ini ditinggikan dan dipadatkan agar dapat didirikan bangunan. Hal ini terus berlanjut sampai area permukiman menyebar mendekati area pantai atau pinggiran laut walaupun area pantai secara peraturan pemerintah tidak boleh didirikan bangunan. Sekarang, pada area permukiman Kampung Nelayan terdapat dua jenis area permukiman, yaitu permukiman formal dan permukiman tidak terencana (informal).

Area permukiman yang terbangun tanpa peraturan pemerintah mempunyai pola massa bangunan yang cenderung terlihat lebih acak. Permukiman yang terbangun tanpa rencana ini banyak yang berada langsung di atas laut. Banyak dari pemukim yang memilih untuk tinggal di tempat dengan lahan yang lebih rendah karena lebih menguntungkan mereka (Zhang, dkk., 2014). Area pinggiran pantai termasuk salah satu daerah yang dengan tanah yang lebih rendah dibandingkan area di sekitarnya. Teori ini menegaskan letak tanah pada daerah pesisir pantai cenderung memudahkan pemukim mendirikan bangunan karena tidak ada peraturan yang jelas sehubungan dengan izin mendirikan bangunan.

Pada prinsipnya, daerah pantai dalam jarak 20-50 meter harus bebas dari pembangunan fisik dalam bentuk apapun. Kenyataannya, bagian area tersebutlah yang selalu menjadi pilihan bagi para pendatang yang belum mepunyai tempat tinggal dan hendak mencari nafkah lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Menurut Tsenkova (2010), permukiman informal adalah sebuah respon terhadap gagalnya pasar untuk memproduksi tempat tinggal yang cukup secara kuantitas dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat miskin. Faktor pembentuk permukiman informal adalah perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan pemerintah yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat dan struktur administrasi publik yang sudah usang. Keempat faktor yang dikemukaan oleh Tsenkova dapat ditemukan pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan. Faktor pertama adalah perencanaan ruang yang tidak memadai. Pada kawasan permukiman tidak terencana ini tidak terdapat sistem atau peraturan mengenai letak bangunan maupun ruang terbuka. Hal ini berhubungan dengan faktor kedua yaitu sistem peraturan yang tidak update dan kompleks. Tidak terdapat peraturan yang jelas mengenai sistem pembangunan hunian pada kawasan pinggiran pantai. Apabila peraturan tersebut ada pun tidak diterapkan dengan tegas pada kawasan Kampung Nelayan. Walaupun begitu, kesalahan mengenai pembangunan hunian pada pinggiran pantai tidak sepenuhnya diakibatkan oleh pemukim itu sendiri namun juga oleh kebijakan pemerintah yang tidak mampu menyediakan perumahan bagi masyarakat dengan pendapatan per kapita yang rendah. Hal ini menyebabkan

masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah pada kawasan pinggiran pantai daripada tidak memiliki tempat tinggal sama sekali.

Selain itu, menurut Oelofse dan Dodson (1997), terbentuknya permukiman informal juga terjadi akibat dari proses urbanisasi masyarakat dari daerah ke kota, masyarakat yang pindah dari area kota yang sudah padat, dan pertambahan populasi secara natural. Hal ini terjadi pada kawasan informal Kampung Nelayan Belawan Medan di mana masyarakat banyak yang pindah dari daerah lebih kecil menuju perkotaan namun tidak mendapatkan hunian yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi mereka. Hal ini juga terjadi akibat dari bertambahnya populasi awal pada permukiman informal tersebut yang disebabkan oleh pemukim yang tinggal secara berketurunan di daerah tersebut. Contohnya adalah sebuah rumah yang ditempati oleh orangtua pemukim yang beberapa tahun kemudian meluas menjadi sebuah rumah lagi akibat dari bertambahnya anggota keluarga yang sudah menikah dan berkeluarga.

Permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan terbentuk tanpa perencanaan dan peraturan pemerintah, namun sebagai wadah interaksi antar pemukim, permukiman ini terbentuk berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki oleh para pemukim. Batasan-batasan tersebut dapat terwujud dalam bentuk batasan ekonomi seperti kemampuan beli si pemukim atau batasan sosial seperti kekerabatan dan mata pencaharian si pemukim.

Area permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan ini tersebar ke dalam beberapa tempat. Bagian-bagian tersebut terletak

pada kawasan Jalan Gulama, Jalan Hiu, kawasan lorong-lorong yang terhubung dengan Jalan T. M. Pahlawan yaitu Lorong Bakti, Lorong Amal, Lorong Sukur, dan Lorong Supir, dan kawasan terakhir adalah daerah di ujung jalan T. M. Pahlawan. Pada setiap area permukiman terdapat pola spasial yang khusus antara jaringan jalan, blok massa, dan ruang terbuka. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan lokasi permukiman, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial masyarakat pemukim. Kajian spasial setiap lokasi permukiman tidak terencana di Kampung Nelayan terdapat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1 Kajian spasial permukiman tidak terencana di Kampung Nelayan

Lokasi Kajian Spasial Ruang

(a) Jalan Gulama

 Area pertama permukiman tidak terencana di Jalan Gulama

Kawasan informal pertama ada pada Jalan Gulama. Kawasan ini terletak pada area barat permukiman. Pada kawasan ini terdapat permukiman formal dan permukiman informal. Permukiman formal pada Jalan Gulama terbangun secara teratur mengikuti garis jalan dan berorientasi pada jalan besar. Permukiman tidak terencana pada kawasan ini terletak pada area yang berorientasi ke laut dan berdiri di atas jalan-jalan atau gang-gang kecil.

Dapat dilihat pada area permukiman informal di Jalan Gulama, massa bangunan sebagian berdiri pada area jalan yang dibangun oleh pemerintah atau Jalan Gulama itu sendiri. Sebagian besar bangunan berdiri langsung pada area jalan kecil atau gang-gang yang dibangun sendiri oleh pemukim tersebut. Massa bangunan-massa bangunan berdiri rapat satu sama lain. Jalanan informal yang dibangun oleh pemukim tersebut langsung menuju ke arah laut. Pada ujung jalan biasanya terdapat kapal-kapal nelayan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pemukim dengan mata pencaharian nelayan pada permukiman tersebut. Pada beberapa bangunan juga terdapat jalan kecil pada area belakang sebagai tempat mereka untuk menambatkan kapal. Tidak

 Area pertama permukiman informal pada Jalan Gulama yang tinggal pada area ini juga tidak memiliki ruang untuk parkir kendaraan pada halaman rumahnya akibat dari keterbatasan lahan, sehingga kendaraan biasanya diparkirkan pada badan jalan atau lahan kosong yang tersisa. Selain itu, tidak terdapat akses terhadap air bersih dan air kotor pada perumahan tidak terencana ini. Warga harus membeli air bersih dalam bentuk jerigen dan warga langsung mengalirkan saluran pembuangan air kotor ke laut. Pada Jalan Gulama terlihat susunan massa bangunan dengan pola segi empat yang posisinya sangat berdekatan dengan massa bangunan lainnya. Ada massa bangunan yang posisi dindingnya menyatu dengan dinding bangunan tetangganya dan ada massa bangunan yang mempunyai jarak dengan massa bangunan lainnya. Jarak tersebut merupakan ruang yang dapat dilalui oleh pejalan kaki. Penghuni menggunakan ruang sirkulasi ini juga sebagai tempat untuk berinteraksi. Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut

 Gang kecil pada permukiman informal yang terhubung langsung dengan Jalan Gulama

Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut

 Area kedua permukiman informal pada Jalan Gulama dengan bangunan permanen

Pada area kedua permukiman informal di Jalan Gulama, massa bangunan yang terbentuk langsung berada pada pinggiran jalan arteri sekunder namun juga berbatasan langsung dengan laut. Bangunan berdiri sejajar dan lurus serta dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Bangunan pada area ini dibangun dengan menggunakan bahan bangunan permanen seperti batu bata dan sudah berpagar dan memiliki teras rumah sendiri. Berbeda dengan area pertama yang lebih bersifat non permanen pada bahan bangunan. Hal yang menyebabkan area permukiman ini juga termasuk area permukiman informal adalah sifat kepemilikan lahan pada permukiman ini bukan milik pribadi melainkan milik perusahaan PT. Pelindo.

Pada kawasan ini, bangunan yang terbangun mencerminkan kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan area sebelumnya yang dibangun secara non permanen. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan bangunan pada sekitar Jalan Gulama yang bersertifikat resmi untuk kemudian mempengaruhi masyarakat yang berada pada permukiman informal untuk membangun bangunannya serupa atau semirip mungkin dengan bangunan di sekitarnya yang cenderung formal. Walaupun bangunan tersebut permanen, bangunan didirikan di atas tanah milik perusahaan PT. Pelindo sehingga bangunan tersebut tidak memiliki surat kepemilikan yang sah. Hal ini

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut Jalan Gulama

Perbedaan fasad bangunan yang terdapat pada pola spasial lingkungan ini dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat yang bermukim di sekitar lingkungan tersebut.

 Area ketiga permukiman informal pada Jalan Gulama Pada area ketiga permukiman informal pada Jalan Gulama hampir mirip dengan pola massa bangunan pada area kedua sebelumnya. Bangunan berdiri langsung di pinggiran jalan arteri sekunder dan berbentuk lurus atau sejajar dengan jalan. Pada area ini bangunan juga berdiri secara permanen dan terhubung langsung dengan jalan yang dibangun pemerintah sehingga dapat dilewati oleh kendaraan roda empat. Hal ini dapat disebabkan oleh keinginan pemukim untuk membangun bangunan yang cenderung sama dengan pemukim sebelumnya sehingga bangunan pada area sepanjang Jalan Gulama memiliki karakteristik bangunan permanen walaupun dibangun di atas tanah yang bukan milik pribadi.

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut Jalan Gulama

 Area keempat permukiman informal pada Jalan Gulama

Pola massa bangunan pada area keempat sedikit berbeda dibandingkan dengan area pertama dan kedua yang berada pada Jalan Gulama. Perbedaan tersebut terletak pada banyaknya area lahan kosong pada kawasan ini. Area lahan kosong tersebut tidak digunakan untuk aktivitas sehari-hari warga karena tanahnya berlumpur dan sering dijadikan tempat pembuangan sampah bagi warga. Pada area ini juga terdapat coastal port atau galangan kapal. Lokasi galangan kapal tersebut berada pada area pesisir pantai berbatasan langsung dengan lahan kosong. Bangunan pada area ini juga termasuk bangunan permanen dan terintegrasi dengan jalan yang dapat dilewati oleh kendaraan roda empat.

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong : Coastal port Jalan Gulama

(b)Jalan Hiu

 Area lahan kosong menuju penambatan kapal nelayan pada Jalan Gulama

Area informal juga terdapat pada Jalan Hiu. Pada Jalan Hiu terdapat area bangunan formal dan bangunan informal. Bangunan formal terletak pada pinggiran Jalan Hiu dan biasanya memiliki fungsi sebagai tempat perekonomian atau bisnis. Tempat perekonomian tersebut memiliki area bangunan lain di belakangnya dan area tersebut digunakan sebagai hunian. Area hunian tersebut berdiri langsung di atas laut atau pesisir pantai sehingga menyebabkan bangunan tersebut dapat dikategorikan sebagai bangunan yang tidak mengikuti peraturan pemerintah. Pada area ini juga terdapat beberapa lahan kosong dan tempat penambatan kapal nelayan. Selain itu, bangunan pada area ini juga sama dengan bangunan yang terletak pada Jalan Gulama yang bersifat permanen.

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong Jalan Hiu

(c) Lorong Bakti

 Area permukiman informal pada Lorong Bakti

Area permukiman informal selanjutnya pada kawasan Kampung Nelayan ini ada pada Lorong Bakti. Lorong Bakti terintegrasi langsung dengan Jalan T. M. Pahlawan. Pada area ini sebagian besar rumah bersifat permanen karena dibangun menggunakan batu bata. Area ini berada di pinggiran pantai dan sebagian rumah berdiri di atas laut. Semakin mengarah menuju laut semakin rentan rumah tersebut untuk mengalami banjir ketika laut pasang. Apabila dilihat secara mikro, rumah-rumah yang berada pada area permukiman informal umumnya berdiri sendiri atau berdempetan dengan rumah lain. Bangunan yang berdiri sendiri biasanya menyediakan sebuah ruang kosong yang sempit dan hanya bisa dilalui pejalan kaki atau malah tidak dapat dilewati siapapun. Orientasi bangunan pada area ini langsung menghadap area pantai atau laut. Sirkulasi jalan juga hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua dan pejalan kaki. Hal ini disebabkan oleh minimnya keadaan ekonomi masyarakat untuk membangun jalan yang lebih besar. Hal ini juga dapat disebabkan oleh tidak adanya masyarakat pada permukiman informal yang memiliki kendaraan roda empat sehingga jalan yang lebih besar tidak diperlukan.

Pada area Lorong Bakti, lokasi penyebaran massa bangunan cenderung mengikuti massa bangunan yang telah berdiri sebelumnya. Massa

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong Lorong Bakti

masyarakat dalam membangun hunian secara satu per satu dan dibangun mengikuti pola bangunan yang telah ada sebelumnya. Kondisi geografis permukiman yang berada di pinggiran laut menyebabkan lahan yang dibangun terbatas. Hal ini menyebabkan laut menjadi batas teritori pemukim dalam membangun permukimannya.

(d)Lorong Amal

 Area permukiman informal pada Lorong Amal

Area permukiman informal pada Lorong Amal terintegrasi dengan lorong pada Lorong Bakti. Kawasan pada area Lorong Amal hampir mirip dengan keadaan pada Lorong Bakti. Pada area ini terdapat sebagian rumah yang berdiri di atas pesisir pantai dengan sebagian besar rumah berdiri secara non permanen. Jalan pada area ini juga tidak dapat dilewati kendaraan roda dua ataupun roda empat. Jalan di area ini hanya dapat dilewati oleh pejalanan kaki saja. Rumah yang berada pada area ini juga tidak memiliki teras depan sehingga bangunan langsung terhubung dengan jalan. Pada area Lorong Amal juga terdapat jalan yang langsung menuju atau berbatasan dengan laut. Pada area ini, terdapat kapal-kapal nelayan yang ditambatkan sehingga memudahkan pemukim yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan untuk langsung pergi melaut.

(e) Lorong Sukur Pada Lorong Sukur jalan yang terbentuk lebih rumit dan bercabang

dibandingkan pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Rumah-rumah tersusun padat dan saling bersusun satu sama lain menghadap jalan atau gang kecil di depan rumah. Keadaan pada Lorong Sukur kurang lebih sama dengan keadaan permukiman pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Jalanan di depan rumah hanya dapat dilalui kendaraan roda dua atau pejalan kaki. Kebanyakan jalan atau lorong kecil tersebut berdiri di atas air laut dan kemungkinan besar tenggelam apabila waktunya pasang. Jalan sempit ini menimbulkan ruang linear yang terasa sempit apabila terdapat bangunan yang berdiri di sisi kiri

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong

 Area permukiman informal pada Lorong Sukur berdiri di atas pondasi beton yang ditancapkan ke permukaan pantai. Terdapat pula rumah yang dibangun menggunakan tiang pipa PVC.

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut Lorong Sukur

(f) Lorong Supir

 Area permukiman informal pada Lorong Supir

Area permukiman informal pada Kampung Nelayan ini paling banyak terdapat pada kawasan Lorong Supir dan berdiri di antara lorong- lorong yang cukup sempit. Lorong tersebut sebagian hanya dapat dilewati kendaraan roda dua sedangkan sebagian lagi hanya dapat dilewati pejalan kaki saja. Selain lorong-lorong yang diberi perkerasan, terdapat pula jalan- jalan kecil yang terbuat dari tanah timbunan. Akibat didirikan di atas pantai, bangunan harus ditinggikan sekitar 1 meter untuk mencegah air masuk ke dalam rumah apabila terjadi pasang. Selain itu, tanah yang ditempati pemukim bersifat lembab dan basah sehingga tidak cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Pada bangunan-bangunan di permukiman informal di sekitar lorong Supir ini tidak terdapat banyak tanaman pada lahannya. Selain akibat dari kondisi tanah, luas lahan untuk perkebunan juga terbatas. Hal ini dapat disebabkan oleh kebutuhan pemukim dan keterbatasan ekonomi atau sosial mereka dalam membangun rumah. Dalam keterbatasan mereka membangun bangunan atau hunian, pemukim tentu memilah lebih dulu kebutuhan ruang. Kebutuhan area hijau untuk penyerapan air seperti lahan kosong untuk tanaman dan kebun tidak menjadi prioritas utama sehingga tidak terdapat banyak tanaman pada area permukiman informal. Lorong ini mengindikasikan kecilnya ruang gerak pada permukiman tidak terencana.

Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong : Coastal port Lorong Supir

 Kondisi suasana permukiman informal pada kawasan Lorong Supir

kriteria UN-Habitat (2003) mengenai kriteria permukiman informal di mana kurangnya area gerak yang mencukupi. Hal ini dapat dilihat pada salah satu area Lorong Supir di mana bangunan langsung berdiri pada badan jalan. Selain terbatasnya area gerak untuk jalan dan transportasi, kurangnya lahan bangunan menyebabkan pemukim menjemur pakaiannya pada badan jalan. Aktivitas ini menyebabkan area badan jalan semakin bertambah sempit. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi masalah karena masyarakat yang tinggal pada area permukiman ini tidak banyak yang memiliki kendaraan roda dua atau empat sehingga jalan di depan hunian mereka hanya digunakan untuk berkumpul atau berjalan kaki saja.

Keterangan Gambar: : Salah satu lokasi permukiman informal

 Kondisi area lahan di depan rumah pada permukiman informal di Lorong Supir

Keterangan Gambar: : Salah satu lokasi permukiman informal

 Kondisi lorong atau jalan yang terbentuk pada area