METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metoda Penentuan Lokasi Penelitian
Dalam menentukan lokasi penelitian, lokasi harus mencakup seluruh kriteria yang terkait mengenai permukiman informal. Menurut United Nations
Human Settlement Programmes (UN-Habitat, 2003), karakteristik permukiman informal adalah sebagai berikut:
 Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah;
 Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar;
 Perumahan melanggar peraturan pemerintah kota;
 Perumahan dibangun di atas tanah yang tidak dimiliki pemilik rumah;
 Akses terhadap fasilitas dasar publik yang tidak memadai;
 Struktur bangunan yang illegal, tidak memadai, dan berada di bawah
standard perumahan;
 Termasuk bagian yang ilegal pada sebuah permukiman;
 Kemiskinan dan terasing secara sosial;
 Kondisi hidup yang tidak sehat serta berbahaya.
Berdasarkan kriteria di atas, Kampung Nelayan termasuk salah satu permukiman informal. Kampung Nelayan berada pada Kecamatan Medan
Belawan, Medan. Perumahan yang berdiri di atas Kampung Nelayan tidak berada di atas lahan pribadi mereka. Oleh sebab itu, pembangunan permukiman tersebut
edukasi, dan pelayanan kesehatan tidak memadai. Fasilitas air bersih juga sangat
kurang. Struktur bangunan berada di bawah standard perumahan dan perekonomian masyarakat termasuk pada golongan ekonomi bawah. Permukiman
yang terbentuk di Kampung Nelayan Medan Belawan juga terbentuk secara tidak terencana. Permukiman ini terbentuk atas campur tangan masyarakat itu sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah.
3.2. Metoda Penentuan Variabel Penelitian
Dalam menentukan variabel penelitian, peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi interpretasi dari landasan teori. Teori yang digunakan adalah teori yang berhubungan dengan analisa spasial pada permukiman informal. Dalam
mengkaji teori, peneliti menghubungkan teori yang akan dikaji dengan permasalahan penelitian. Variabel yang ditentukan akan menjadi dasar dalam
membuat metoda pengumpulan data. Proses penentuan variabel dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Tabel Penentuan Variabel
Landasan Teori Interpretasi Variabel
2.1. Pola Spasial Elemen fisik pembentuk
Landasan Teori Interpretasi Variabel
ruang adalah utilitas, jaringan jalan, ruang terbuka, dan blok massa.
2.2. Pola Spasial Permukiman Informal 2.2.1. Permukiman Informal
 Perencanaan ruang yang tidak
perencanaan ruang yang tidak memadai. Sistem perencanaan ruang tidak ada diakibatkan karena permukiman terbentuk secara tidak sengaja sehingga tidak terdapat
campur tangan
pemerintah di dalamnya. Sehingga, sistem
Landasan Teori Interpretasi Variabel settlements in post-communist cities: administrasi publik tidak diterapkan masyarakat di permukiman informal.
Walaupun struktur ruang dan pola spasial permukiman informal sulit untuk diidentifikasi, terdapat persamaan antar pola ruang yang terbentuk pada tiap permukiman informal.
 Perbandingan pola
spasial permukiman informal.
2.3. Struktur Ruang Permukiman Informal
 Setiap permukiman memiliki dimensi
Bentuk dan fungsi saling terkait dan berhubungan
Landasan Teori Interpretasi Variabel pola spasial dipengaruhi oleh fungsi ruang dan fungsi ruang juga dipengaruhi oleh pola yang terbentuk. Ruang tehadap Pola Spasial Permukiman Informal
Mempelajari pola adalah melihatLandasan Teori Interpretasi Variabel buildings,
construction. Oxford
3.3. Metoda Pengumpulan Data
Metoda pengumpulan data mengacu pada variabel yang telah ditentukan. Variabel adalah dasar penentu data yang dibutuhkan dalam penelitian. Dalam
mendapatkan data diperlukan metode untuk pengumpulan data. Proses pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Metoda Pengumpulan Data
Variabel Data yang Diperlukan Metoda
 Elemen spasial permukiman yaitu sistem pola utilitas, jaringan jalan, ruang
 Membuat plot peta area permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan dari Google Earth dengan SketchUp atau CAD.
Variabel Data yang Diperlukan Metoda dengan metoda figure ground.
 Peran pemerintah selama ini
 Wawancara dengan masyarakat dan pemerintah setempat seperti kepala desa atau ketua RT.
 Kebijakan pemerintah
 Wawancara dengan masyarakat dan pemerintah setempat seperti kepala desa atau ketua RT.
 Wawancara kepada masyarakat.
Variabel Data yang Diperlukan Metoda seperti fungsi
hunian,
ekonomi, dan lain-lain
survey secara langsung ke Kampung Nelayan Medan Belawan.  Mengidentifikasi tata
guna lahan pada eksisting di lapangan dengan cara melakukan pengamatan atau survey secara langsung ke Kampung Nelayan Medan Belawan.  Mengidentifikasi
Variabel Data yang Diperlukan Metoda
ke Kampung Nelayan Medan Belawan.  Mengidentifikasi
kondisi ruang terbuka pada Kampung eksisting di lapangan dengan cara melakukan pengamatan atau survey secara langsung ke Kampung Nelayan Medan Belawan.  Mengidentifikasi
kondisi utilitas pada Kampung Nelayan
Variabel Data yang Diperlukan Metoda
atas terbentuknya tiap elemen fisik
 Mengidentifikasi latar belakang diletakkannya fungsi ruang dan elemen fisik permukiman pada suatu lokasi di permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan.
3.3.1. Pertanyaan Wawancara
Adapun dalam proses mengidentifikasi pola spasial permukiman, dilakukan wawancara kepada beberapa orang yang berpengaruh di daerah
tersebut. Pertanyaan wawancara adalah sebagai berikut:
Fasilitas Pendidikan
1. Di mana saja fasilitas pendidikan yang dibangun pada permukiman
Kampung Nelayan Medan Belawan?
2. Mengapa fasilitas pendidikan tersebut dibangun pada lokasi tersebut?
Fasilitas Kesehatan
2. Mengapa fasilitas kesehatan tersebut dibangun pada lokasi tersebut?
Fasilitas Ibadah
1. Di mana saja fasilitas ibadah yang dibangun pada permukiman Kampung
Nelayan Medan Belawan?
2. Mengapa fasilitas ibadah tersebut dibangun pada lokasi tersebut?
Fasilitas Taman/Ruang Terbuka
1. Di mana saja fasilitas taman yang dibangun pada permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan?
2. Mengapa fasilitas taman tersebut dibangun pada lokasi tersebut?
Fasilitas Hunian
1. Di mana saja fasilitas Hunian dibangun pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan?
3.4. Metoda Analisa Data
Metoda analisa data didapatkan melalui sintesa antara teori dan data yang dibutuhkan berdasarkan interpretasi kajian teori dengan permasalahan penelitian.
Metoda analisa data dijabarkan sesuai dengan sub bab pada Bab II Tinjauan Pustaka.
3.4.1. Metoda Analisa Pola Spasial
Adapun metoda analisa pola spasial dijelaskan pada Gambar 3.1 berikut.
Teori Data yang Diinterpretasi
Bagian utama dari perencanaan regional dan urban mencakup layout penggunaan ruang, sistem jalan, ruang terbuka, dan
 Analisa struktur ruang bangunan dan ruang luar yang terdiri dari blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas.
3.4.2. Metoda Analisa Pola Spasial Permukiman Informal
Adapun metoda analisa pola spasial permukiman informal dijelaskan pada Gambar 3.2 berikut.
Teori Data yang Diinterpretasi
Perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan perumahan yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat, dan struktur administrasi publik yang sudah usang
 Perencanaan ruang yang terbentuk
 Analisa pengaruh pemerintah dan masyarakat terhadap pola spasial permukiman
3.4.3. Metoda Analisa Sistem Struktur
Adapun metoda analisa sistem struktur ruang dijelaskan pada Gambar 3.3 berikut.
Teori Data yang Diinterpretasi
Setiap permukiman memiliki dimensi morfologi dan fungsi yang saling berhubungan. Keberadaan morfologi diidentifikasi dalam gambar suatu bentuk. (Sumber: Yang, T., Li, M., & Shen, Z. (2015))
 Data fungsi ruang
yang ada dan digunakan pada permukiman
 Data hubungan antara fungsi ruang dengan bentuk ruang
 Analisa hubungan fungsi ruang dengan bentuk ruang permukiman
Gambar 3.3 Analisa Sistem Struktur Ruang Data yang diperoleh
berbasis landasan teori. Data dianalisa
3.4.4. Metoda Analisa Pengaruh Struktur Ruang terhadap Pola Spasial
Permukiman Informal
Adapun metoda analisa pengaruh struktur ruang terhadap pola spasial
dijelaskan pada Gambar 3.4 berikut.
Teori Data yang
Diinterpretasi
Mempelajari pola adalah melihat tatanan yang memperlihatkan bagaimana hubungan di antara unsur-unsur tersebut terjadi atau berlangsung dan bagaimana unsur-unsur tersebut diletakkan. Mempelajari pola fisik adalah mempelajari rancangan fisiknya (Sumber:
Alexander, C. (1977). A pattern language: towns,
buildings, construction. Oxford University Press.)
 Analisa hubungan perubahan fungsi struktur ruang terhadap pola spasial permukiman
3.5. Metoda Menghasilkan Penemuan
3.5.1. Metoda Menghasilkan Penemuan Pola Spasial
Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.5.
Teori Data yang Diinterpretasi
Perencanaan ruang atau spasial adalah bagian utama dari perencanaan regional dan urban yang mencakup layout penggunaan ruang, sistem jalan, ruang terbuka, yang terdiri dari blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas.
 Analisa struktur ruang bangunan dan ruang luar yang terdiri dari blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas.
Penemuan:
 Sistem struktur ruang permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan
3.5.2. Metoda Menghasilkan Penemuan Permukiman Informal
Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.6.
Teori Data yang Diinterpretasi
Perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan perumahan yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat, dan struktur administrasi publik yang sudah usang menyebabkan terbentuknya permukiman tidak terencana.
(Sumber: Tsenkova, S. (2010))
 Perencanaan ruang yang terbentuk tanpa adanya pengaruh pemerintah atau masyarakat di luar pemukim
 Analisa pengaruh pemerintah dan masyarakat terhadap pola spasial permukiman
Penemuan:
 Penyebab terbentuknya ruang pada permukiman informal
3.5.3. Metoda Menghasilkan Penemuan Struktur Ruang
Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.7.
Teori Data yang Diinterpretasi
Setiap permukiman memiliki dimensi morfologi dan fungsi yang saling berhubungan. Keberadaan morfologi diidentifikasi dalam gambar suatu bentuk. (Sumber: Yang, T., Li, M., & Shen, Z. (2015))
 Analisa hubungan fungsi ruang dengan bentuk ruang permukiman
Penemuan:
 Jenis fungsi ruang yang terbentuk pada permukiman
 Hubungan fungsi ruang dengan bentuk ruang
3.5.4. Metoda Menghasilkan Penemuan Hubungan Struktur Ruang dengan Pola
Spasial
Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.8.
Teori Data yang
Diinterpretasi
Mempelajari pola adalah melihat tatanan yang memperlihatkan bagaimana hubungan di antara unsur-unsur tersebut terjadi atau berlangsung dan bagaimana unsur-unsur tersebut diletakkan. Mempelajari pola fisik adalah mempelajari rancangan fisiknya (Sumber: Alexander, C. (1977). A pattern language: towns, buildings, construction. Oxford University Press.)
 Analisa hubungan perubahan fungsi struktur ruang terhadap pola spasial
permukiman
Penemuan:
 Pola spasial permukiman informal  Penyebab perubahan fungsi pada struktur ruang
 Hubungan perubahan fungsi ruang terhadap perubahan pola spasial permukiman
PERMUKIMAN TIDAK TERENCANA DI PESISIR BELAWAN MEDAN
4.1. Kampung Nelayan Belawan di Medan
Lokasi penelitian berada di kawasan pesisir Kecamatan Medan Belawan Kota Medan. Kecamatan Medan Belawan berada pada bagian paling utara kota Medan dan berbatasan langsung dengan laut (Gambar 4.1). Kecamatan Medan
Belawan memiliki 6 kelurahan. Lokasi penelitian ini berada pada Kelurahan Belawan Bahagia.
Keterangan Gambar:
: Lokasi Penelitian
Daerah penelitian berada pada kawasan pinggiran laut dari Jalan Gulama sampai
Jalan T. M. Pahlawan (Gambar 4.2). Batas sebelah utara area ini adalah Jalan T. M. Pahlawan; sebelah timur berbatasan dengan Jalan Tongkol, Jalan Tenggiri, dan
Jalan Temenung. Pada area ini juga terdapat sebuah pasar tradisional yang bernama Pasar Baru. Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Dondong, Jalan Sepat, Jalan Selar, dan lain-lain; sedangkan sebelah barat berbatasan langsung
dengan laut. Menurut Wikipedia, pada 2001 jumlah penduduk kecamatan Medan Belawan mencapai 91.881 jiwa. Luas kecamatan sebesar 26,25 km2.
Gambar 4.2 Lokasi Penelitian (sumber: Google Maps, 2017) Keterangan Gambar:
Pada area jalan raya seperti Jalan Gulama, Jalan Hiu, dan Jalan T. M.
Pahlawan terdapat banyak fungsi hunian dan ekonomi; sedangkan pada area pinggiran laut terdapat banyak bangunan yang berfungsi sebagai hunian dan
terbuat dari papan yang dipancang menggunakan pondasi kayu atau pipa PVC. Untuk area jalan raya, rumah yang dibangun sudah menggunakan bata, permanen, dan mempunyai hak kepemilikan yang sah secara hukum. Dulunya, area di sekitar
jalan raya tersebut hanyalah sebuah lahan kosong. Namun, lahan tersebut kemudian dibangun untuk menampung masyarakat yang digusur pada tahun
1960-an. Sekarang, rumah-rumah yang dibangun tersebut sudah memiliki hak kepemilikan yang sah. Akibat dari berkembangnya populasi dan kebutuhan
masyarakat akan hunian, area permukiman tersebut semakin berkembang dan mulai bertumbuh di sekitar area pinggiran laut. Area pinggiran laut tersebut dibangun tanpa campur tangan peraturan pemerintah sehingga tidak memiliki hak
kepemilikan yang sah.
4.2. Keadaan Bentuk Permukiman di Kampung Nelayan Belawan di Medan
Bentuk permukiman pada lokasi penelitian terdiri dari dua jenis
permukiman, yaitu permukiman formal dan tidak informal. Lokasi permukiman terletak di sepanjang pesisir pantai dari Jalan Gulama hingga Jalan T. M. Pahlawan (Gambar 4.3). Bentuk yang informal terdapat pada kawasan yang
pada kawasan yang berbatasan atau menghadap langsung dengan jalan-jalan raya
Gambar 4.4-4.5).
Gambar 4.3 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 4.4 Bangunan di Atas Tanah yang Mempunyai Kepemilikan yang Jelas
Gambar 4.5 Contoh Bangunan yang Berdiri Tanpa Peraturan Pemerintah
Massa bangunan pada kawasan Kampung Nelayan dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu bagian yang terencana dan bagian tidak terencana. Gambar 4.6 menunjukkan peta kawasan hunian pada Kampung Nelayan Medan Belawan.
Bagian yang diwarnai merupakan tanda bahwa blok tersebut adalah hunian. Warna menunjukkan keadaan sarana tersebut.
Keterangan Gambar:
: Lokasi Penelitian
Keterangan Gambar:
Gambar 4.6 Keadaan sarana hunian Kampung Nelayan Medan Belawan
Pada Gambar 4.7, area yang dilingkari garis biru adalah area informal atau area yang terbentuk tanpa persetujuan pemerintah ataupun mempunyai kepemilikan yang sah. Sehingga, rumah atau bangunan yang berdiri pada area
lingkaran garis biru dapat dikatakan terbentuk secara tidak direncanakan. Area ini berbatasan langsung dengan pinggiran laut. Rumah-rumahnya sebagian besar
terbuat dari kayu. Kayu-kayu tersebut biasanya didapatkan langsung pada lokasi
Keterangan Gambar:
: Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali
: Rusak
permukiman ataupun dibeli dari tetangga. Pada area ini, banjir akibat pasang air
laut sering terjadi sehingga rumah-rumah atau bangunan dapat tenggelam mencapai kurang lebih 50 cm bahkan dapat mencapai kurang lebih 1,5 m pada
saat-saat tertentu.
Gambar 4.7 Peta Lokasi Penelitian pada Area Pinggiran Laut Kampung Nelayan
Keadaan jaringan jalan (Gambar 4.8) pada kawasan Kampung Nelayan Medan Belawan juga termasuk baik dan dapat digunakan. Beberapa jalan dapat
digunakan oleh kendaraan roda empat dan dua (Gambar 4.9) sedangkan beberapa Keterangan Gambar:
jalan pada permukiman yang tidak terencana hanya dapat dilalui motor, becak,
atau pejalan kaki saja (Gambar 4.10).
Gambar 4.8 Peta Keadaan Jaringan Jalan pada Kampung Nelayan Medan Belawan
Keterangan Gambar:
: Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali
: Rusak
Gambar 4.9 Kondisi Jalan pada Jalan Gulama
Gambar 4.10 Kondisi Jalan yang Hanya dapat Dilalui Pelajan Kaki yang Berdiri Tidak Terencana
Tidak terdapat Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan Kampung
Nelayan Medan Belawan. Beberapa tempat merupakan tanah kosong (Gambar 4.11), beberapa memiliki kondisi yang baik sedangkan beberapa lagi kondisi
tanah tidak baik dan dibuangi banyak sampah di atasnya.
Keterangan Gambar:
: Lokasi Penelitian
Keterangan Gambar:
Gambar 4.11 Peta Keadaan Lahan Kosong pada Kampung Nelayan Medan Belawan
Untuk prasarana seperti utilitas air bersih dan air kotor, bangunan formal
menggunakan saluran air pemerintah dari PDAM dan mengalirkan air kotor langsung ke parit di depan rumah. Sedangkan pada area permukiman informal,
tidak terdapat saluran air bersih sehingga pemukim membeli sendiri air bersih dalam jerigen dan saluran air kotor dibuang langsung ke laut. Sedangkan untuk kondisi listrik, area permukiman formal mendapatkan pemasokan listrik yang baik
dari PLN sedangkan permukiman yang tidak memiliki izin pemerintah tidak mendapatkan sambungan listrik dari tiang listrik PLN (Gambar 4.12).
Keterangan Gambar:
: Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali
: Rusak
Gambar 4.12 Peta Keadaan Prasarana Lampu Jalan
Keterangan Gambar:
: Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali
: Rusak
KAJIAN SPASIAL PERMUKIMAN TIDAK TERENCANA
5.1. Pola Spasial
Permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan adalah salah satu
lingkungan binaan yang dibangun oleh manusia dan berada pada area pesisir pantai. Lingkungan binaan ini ditandai oleh dominasi struktur buatan manusia
yang terbentuk atas kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup di atas lingkungan yang dipilihnya sebagai tempat naungan. Lingkungan binaan tersebut terdiri atas elemen fisik dan non fisik. Elemen fisik pada Permukiman Kampung
Nelayan adalah massa bangunan-massa bangunan, jaringan jalan, dan ruang-ruang terbuka. Menurut Trujillo (2012), pola spasial pada lingkungan binaan ditandai
dengan bentuk massa, jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Terjadinya spasial merujuk kepada elemen fisik suatu lingkungan binaan. Elemen fisik tersebut dapat dibangun secara terencana maupun tidak terencana oleh
pemukim yang ingin tinggal di permukiman tersebut. Elemen fisik yang terbangun secara terencana adalah bagian dari sistem ruang yang dibangun
berdasarkan peraturan dan mengikuti aturan tersebut, sedangkan elemen fisik yang terbangun tanpa terencana dibangun tanpa campur tangan pemerintah dan tidak memiliki batasan berlandaskan hukum karena tidak mengikuti peraturan
merupakan wujud tampilan penggunaan ruang yang diintegrasikan dengan
jaringan jalan dan ruang di luar massa bangunan.
Gambar 5.1 Pola massa bangunan permukiman Kampung Nelayan
Massa bangunan-massa bangunan tersebut ada yang tersusun secara teratur dan ada yang tersusun secara tidak teratur. Akibat dari adanya perbedaan dalam proses perwujudan kampung, terdapat perbedaan pada pola spasial permukiman
Kampung Nelayan ini. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan batasan dalam membangun bangunan dan kondisi geografis yang terjadi pada
permukiman Kampung Nelayan tersebut. Menurut Zhang, dkk, (2014), keadaan Keterangan Gambar:
suatu daerah dan faktor geografis permukiman mempengaruhi pola permukiman
manusia. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan pola permukiman yang terdapat pada area terencana dibandingkan dengan area tidak terencana pada kawasan
Kampung Nelayan. Permukiman yang terencana cenderung dibangun pada badan jalan pemerintah sedangkan permukiman tidak terencana cenderung membangun bangunan yang berorientasi ke pinggiran laut (Gambar 5.2). Pemerintah tidak
berperan dalam mewujudkan pola kampung yang informal karena penghuni kampung menggarap sendiri tempat ini tanpa izin. Pada permukiman formal,
batasan pemukim dalam membangun bangunannya adalah peraturan dari pemerintah, sedangkan pada permukiman informal tidak terdapat batasan dalam
membangun permukiman karena pemukim tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Batasan yang terdapat pada pemukim di permukiman informal terdapat pada keadaan sosial dan ekonomi pemukim. Pada kawasan
formal dengan kondisi tanah yang lebih rata dan padat, bangunan yang terbentuk cenderung mengikuti badan jalan dan terpola dengan grid yang lebih teratur. Bentuk permukiman yang terencana berdiri lebih teratur karena pada umumnya
masyarakat yang menghuni area yang terencana lebih mampu secara ekonomi dibandingkan masyarakat yang menghuni area tidak terencana. Pola massa
bangunan yang teratur berbentuk grid terbangun berorientasi pada jalan yang dibangun oleh pemerintah di mana jalan tersebut relatif lebih lebar dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Lebar jalan pemerintah pada kawasan ini 5-8
relatif tampak permanen dan memunculkan suasana yang tidak kumuh terhadap
ruang-ruang luarnya.
Berbeda dengan kawasan informal yang dibangun pada kawasan pinggiran
laut. Kondisi geografis pada pinggiran laut yang dikelilingi oleh air dan kondisi tanah yang lebih berlumpur dan lembab menyebabkan perbedaan letak permukiman yang cenderung tidak berbentuk grid dan terletak lebih acak. Kondisi
geografis ini juga menyebabkan perbedaan pada struktur dan bahan bangunan yang digunakan. Daerah formal cenderung terletak mengikuti jalan arteri sekunder
atau jalan formal yang dibentuk pemerintah sedangkan daerah informal cenderung terbentuk berorientasi ke laut dan berada pada jalan kecil atau gang dan lorong-lorong yang dibangun oleh pemukim itu sendiri (Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Pola massa yang terintegrasi dengan jalan dan ruang terbuka pada permukiman Kampung Nelayan
Hao, J., Zhu, J., & Zhong, R. (2015) menyatakan bahwa bentuk-bentuk
tersebut biasanya diikuti oleh layout penggunaan ruang, sistem jalan, dan ruang terbuka. Massa bangunan-massa bangunan yang terbentuk, baik pada permukiman formal maupun informal di Kampung Nelayan terintegrasi dengan sistem jalan,
ruang terbuka, dan fungsi-fungsi ruang yang terbentuk di dalamnya. Jaringan jalan yang ada pada permukiman Kampung Nelayan ini terdiri dari jalan formal yang
Keterangan Gambar:
: Pola permukiman terencana : Pola permukiman tidak terencana : Laut
dibangun oleh pemerintah dan jalan informal yang dibangun oleh pemukim itu
sendiri sebagai akibat dari hubungan yang terjadi antar massa bangunan (Gambar 5.3). Jalan informal yang pada awalnya terbentuk secara tidak terencana, pada
akhirnya diberi perkerasan oleh pemerintah. Jalanan yang dibangun oleh pemerintah dapat dilewati oleh kendaraan roda empat sedangkan jalanan yang dibangun oleh pemukim biasanya hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua
atau pejalan kaki saja.
Gambar 5.3 Pola Jaringan Jalan Kawasan Kampung Nelayan Medan
Elemen pembentuk lingkungan binaan selanjutnya adalah ruang terbuka (Gambar 5.4). Tidak terdapat ruang terbuka hijau (RTH) pada kawasan ini namun
terdapat beberapa lahan atau tanah kosong. Tidak terdapat banyak aktivitas pada
Keterangan Gambar: : Jalan yang dibangun oleh pemukim
area lahan kosong tersebut karena kondisi lahan yang berlumpur dan penuh
sampah. Beberapa area tanah kosong digunakan untuk tempat pembuangan sampah dan tempat peletakan barang-barang rongsokan.
Gambar 5.4 Peta letak area ruang terbuka pada kawasan Kampung Nelayan
Keterangan Gambar: : Massa bangunan : Jaringan jalan : Ruang terbuka : Laut
5.2. Pola Spasial Permukiman Informal
Dalam mengidentifikasi kawasan permukiman informal digunakan standard yang ditetapkan oleh UN-Habitat (2003) mengenai kriteria permukiman
informal. Menurut UN-Habitat, permukiman informal didefinisikan dengan kurangnya sistem perumahan yang aman, kurangnya area gerak yang cukup, tidak terdapat akses terhadap air bersih atau sanitasi yang tidak memadai, serta tidak
adanya status kepemilikan yang aman.
Pada permukiman informal di kawasan Kampung Nelayan Medan
Belawan terdapat permasalahan mengenai surat-surat kepemilikan bangunan dan lahan. Permukiman informal ditandai dengan tidak adanya status kepemilikan tanah yang aman dan sesuai dengan peraturan pemerintah. Kemudian, kurangnya
fasilitas-fasilitas dasar pada kawasan pesisir. Pada kawasan ini, limbah air kotor bangunan langsung dibuang ke laut dan menyebabkan laut tercemar. Selain itu,
permukiman juga dibangun di atas lahan PT. Pelindo sehingga bangunan tersebut dibangun di atas tanah yang tidak dimiliki pemilik rumah. Lahan pada sekitar pesisir pantai juga sebenarnya tidak baik untuk dijadikan kawasan hunian
permanen karena akan mengganggu ekosistem laut. Fasilitas dasar publik atau fasilitas pelayanan masih terdapat pada beberapa titik di area kawasan ini, namun
fasilitas tersebut hanya terbatas pada fasilitas pendidikan dan peribadahan. Struktur bangunan tidak memadai dan berada di bawah standard perumahan. Kondisi ekonomi sebagian besar penduduk juga berada di bawah rata-rata dan
yang kotor karena sampah dapat menyebabkan penyakit yang cukup serius bagi
pemukim. Kondisi ini menjadi kriteria bagi permukiman tidak terencana yang berada pada kawasan Kampung Nelayan sehingga dapat dibedakan dari
permukiman yang mengikuti peraturan pemerintah (Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Posisi Permukiman Informal
Secara makro, letak area permukiman tidak terencana banyak yang berorientasi menghadap laut dan berada di pinggiran pantai (Gambar 5.6). Dalam
sejarah perkembangan wilayah ini, lahan yang berada pada sekitar pinggiran laut Keterangan Gambar:
: Permukiman informal
adalah lahan milik perusahaan PT. Pelindo I. Lahan ini tidak dapat digunakan
sebagai permukiman atau lokasi hunian bagi pemukim di tempat ini. Namun, akibat dari beberapa alasan ekonomi maupun sosial, pemukim pun satu per satu
menempati lokasi ini.
Kualitas ruang yang terbentuk pada permukiman informal cenderung tidak maksimal untuk memenuhi kebutuhan penghuninya. Hal tersebut menjadi wajar
karena sistem perundang-undangan tidak mampu menyediakan kebutuhan rumah tinggal untuk penduduk di Kampung Nelayan ini. Hal ini membuktikan teori
Tsenkova (2010), bahwa penyebab terbentuknya permukiman informal disebabkan oleh perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan perumahan yang tidak
mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat, dan struktur administrasi publik yang sudah usang. Pemicu lain
terbentuknya susunan massa bangunan, sistem jalan, dan ruang terbuka pada kawasan informal ini juga adalah perencanaan ruang yang tidak memadai dan
Gambar 5.6 Contoh bagan peta lokasi permukiman informal di Kampung Nelayan Keterangan Gambar:
Pada peta di Gambar 5.6 dapat dilihat posisi permukiman informal pada
Kampung Nelayan yang berada pada area pinggiran laut. Posisi permukiman tidak terencana tersebut menyebar di sepanjang jalan di pinggiran pantai dengan
bangunan berorientasi langsung ke arah laut. Di sebelah luar dari permukiman informal tersebut terdapat area permukiman formal. Pada mulanya pada sekitar tahun 1960-an, area permukiman ini adalah tanah kosong berlumpur dan tidak
ditempati oleh satu orang pemukim pun. Namun, akibat dari proses pemindahan warga yang dilakukan pemerintah pada tahun 1960-an, tanah pada area ini
ditinggikan dan dipadatkan agar dapat didirikan bangunan. Hal ini terus berlanjut sampai area permukiman menyebar mendekati area pantai atau pinggiran laut
walaupun area pantai secara peraturan pemerintah tidak boleh didirikan bangunan. Sekarang, pada area permukiman Kampung Nelayan terdapat dua jenis area permukiman, yaitu permukiman formal dan permukiman tidak terencana
(informal).
Area permukiman yang terbangun tanpa peraturan pemerintah mempunyai pola massa bangunan yang cenderung terlihat lebih acak. Permukiman yang
terbangun tanpa rencana ini banyak yang berada langsung di atas laut. Banyak dari pemukim yang memilih untuk tinggal di tempat dengan lahan yang lebih
rendah karena lebih menguntungkan mereka (Zhang, dkk., 2014). Area pinggiran pantai termasuk salah satu daerah yang dengan tanah yang lebih rendah dibandingkan area di sekitarnya. Teori ini menegaskan letak tanah pada daerah
Pada prinsipnya, daerah pantai dalam jarak 20-50 meter harus bebas dari
pembangunan fisik dalam bentuk apapun. Kenyataannya, bagian area tersebutlah yang selalu menjadi pilihan bagi para pendatang yang belum mepunyai tempat
tinggal dan hendak mencari nafkah lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Menurut Tsenkova (2010), permukiman informal adalah sebuah respon terhadap gagalnya pasar untuk memproduksi tempat tinggal yang cukup secara
kuantitas dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat miskin. Faktor pembentuk permukiman informal adalah perencanaan ruang yang tidak memadai,
sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan pemerintah yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat dan struktur administrasi publik yang sudah
usang. Keempat faktor yang dikemukaan oleh Tsenkova dapat ditemukan pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan. Faktor pertama adalah perencanaan
ruang yang tidak memadai. Pada kawasan permukiman tidak terencana ini tidak terdapat sistem atau peraturan mengenai letak bangunan maupun ruang terbuka. Hal ini berhubungan dengan faktor kedua yaitu sistem peraturan yang tidak
update dan kompleks. Tidak terdapat peraturan yang jelas mengenai sistem pembangunan hunian pada kawasan pinggiran pantai. Apabila peraturan tersebut
ada pun tidak diterapkan dengan tegas pada kawasan Kampung Nelayan. Walaupun begitu, kesalahan mengenai pembangunan hunian pada pinggiran
masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah pada kawasan pinggiran
pantai daripada tidak memiliki tempat tinggal sama sekali.
Selain itu, menurut Oelofse dan Dodson (1997), terbentuknya permukiman
informal juga terjadi akibat dari proses urbanisasi masyarakat dari daerah ke kota, masyarakat yang pindah dari area kota yang sudah padat, dan pertambahan populasi secara natural. Hal ini terjadi pada kawasan informal Kampung Nelayan
Belawan Medan di mana masyarakat banyak yang pindah dari daerah lebih kecil menuju perkotaan namun tidak mendapatkan hunian yang sesuai dengan kondisi
sosial ekonomi mereka. Hal ini juga terjadi akibat dari bertambahnya populasi awal pada permukiman informal tersebut yang disebabkan oleh pemukim yang tinggal secara berketurunan di daerah tersebut. Contohnya adalah sebuah rumah
yang ditempati oleh orangtua pemukim yang beberapa tahun kemudian meluas menjadi sebuah rumah lagi akibat dari bertambahnya anggota keluarga yang
sudah menikah dan berkeluarga.
Permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan terbentuk tanpa perencanaan dan peraturan pemerintah, namun sebagai wadah
interaksi antar pemukim, permukiman ini terbentuk berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki oleh para pemukim. Batasan-batasan tersebut dapat terwujud dalam
bentuk batasan ekonomi seperti kemampuan beli si pemukim atau batasan sosial seperti kekerabatan dan mata pencaharian si pemukim.
Area permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan
pada kawasan Jalan Gulama, Jalan Hiu, kawasan lorong-lorong yang terhubung
dengan Jalan T. M. Pahlawan yaitu Lorong Bakti, Lorong Amal, Lorong Sukur, dan Lorong Supir, dan kawasan terakhir adalah daerah di ujung jalan T. M.
Pahlawan. Pada setiap area permukiman terdapat pola spasial yang khusus antara jaringan jalan, blok massa, dan ruang terbuka. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan lokasi permukiman, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial masyarakat
Tabel 5.1 Kajian spasial permukiman tidak terencana di Kampung Nelayan
Lokasi Kajian Spasial Ruang
(a) Jalan Gulama
 Area pertama permukiman tidak terencana di Jalan
Gulama
Kawasan informal pertama ada pada Jalan Gulama. Kawasan ini terletak pada area barat permukiman. Pada kawasan ini terdapat permukiman formal dan permukiman informal. Permukiman formal pada Jalan Gulama terbangun secara teratur mengikuti garis jalan dan berorientasi pada jalan besar. Permukiman tidak terencana pada kawasan ini terletak pada area yang berorientasi ke laut dan berdiri di atas jalan-jalan atau gang-gang kecil.
 Area pertama permukiman informal pada Jalan Gulama yang tinggal pada area ini juga tidak memiliki ruang untuk parkir kendaraan pada halaman rumahnya akibat dari keterbatasan lahan, sehingga kendaraan biasanya diparkirkan pada badan jalan atau lahan kosong yang tersisa. Selain itu, tidak terdapat akses terhadap air bersih dan air kotor pada perumahan tidak terencana ini. Warga harus membeli air bersih dalam bentuk jerigen dan warga langsung mengalirkan saluran pembuangan air kotor ke laut. Pada Jalan Gulama terlihat susunan massa bangunan dengan pola segi empat yang posisinya sangat berdekatan dengan massa bangunan lainnya. Ada massa bangunan yang posisi dindingnya menyatu dengan dinding bangunan tetangganya dan ada massa bangunan yang mempunyai jarak dengan massa bangunan lainnya. Jarak tersebut merupakan ruang yang dapat dilalui oleh pejalan kaki. Penghuni menggunakan ruang sirkulasi ini juga sebagai tempat untuk berinteraksi.
Jalan Gulama
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
 Gang kecil pada permukiman informal yang terhubung
langsung dengan Jalan Gulama
Jalan Gulama
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
 Area kedua permukiman informal pada Jalan Gulama dengan bangunan permanen
Pada area kedua permukiman informal di Jalan Gulama, massa bangunan yang terbentuk langsung berada pada pinggiran jalan arteri sekunder namun juga berbatasan langsung dengan laut. Bangunan berdiri sejajar dan lurus serta dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Bangunan pada area ini dibangun dengan menggunakan bahan bangunan permanen seperti batu bata dan sudah berpagar dan memiliki teras rumah sendiri. Berbeda dengan area pertama yang lebih bersifat non permanen pada bahan bangunan. Hal yang menyebabkan area permukiman ini juga termasuk area permukiman informal adalah sifat kepemilikan lahan pada permukiman ini bukan milik pribadi melainkan milik perusahaan PT. Pelindo.
Perbedaan fasad bangunan yang terdapat pada pola spasial lingkungan ini dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat yang bermukim di sekitar lingkungan tersebut.
 Area ketiga permukiman informal pada Jalan Gulama Pada area ketiga permukiman informal pada Jalan Gulama hampir mirip dengan pola massa bangunan pada area kedua sebelumnya. Bangunan berdiri langsung di pinggiran jalan arteri sekunder dan berbentuk lurus atau sejajar dengan jalan. Pada area ini bangunan juga berdiri secara permanen dan terhubung langsung dengan jalan yang dibangun pemerintah sehingga dapat dilewati oleh kendaraan roda empat. Hal ini dapat disebabkan oleh keinginan pemukim untuk membangun bangunan yang cenderung sama dengan pemukim sebelumnya sehingga bangunan pada area sepanjang Jalan Gulama memiliki karakteristik bangunan permanen walaupun dibangun di atas tanah yang bukan milik pribadi.
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
 Area keempat permukiman informal pada Jalan Gulama
Pola massa bangunan pada area keempat sedikit berbeda dibandingkan dengan area pertama dan kedua yang berada pada Jalan Gulama. Perbedaan tersebut terletak pada banyaknya area lahan kosong pada kawasan ini. Area lahan kosong tersebut tidak digunakan untuk aktivitas sehari-hari warga karena tanahnya berlumpur dan sering dijadikan tempat pembuangan sampah bagi warga. Pada area ini juga terdapat coastal port atau galangan kapal. Lokasi galangan kapal tersebut berada pada area pesisir pantai berbatasan langsung dengan lahan kosong. Bangunan pada area ini juga termasuk bangunan permanen dan terintegrasi dengan jalan yang dapat dilewati oleh kendaraan roda empat.
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
(b)Jalan Hiu
 Area lahan kosong menuju penambatan kapal nelayan pada Jalan Gulama
Area informal juga terdapat pada Jalan Hiu. Pada Jalan Hiu terdapat area bangunan formal dan bangunan informal. Bangunan formal terletak pada pinggiran Jalan Hiu dan biasanya memiliki fungsi sebagai tempat perekonomian atau bisnis. Tempat perekonomian tersebut memiliki area bangunan lain di belakangnya dan area tersebut digunakan sebagai hunian. Area hunian tersebut berdiri langsung di atas laut atau pesisir pantai sehingga menyebabkan bangunan tersebut dapat dikategorikan sebagai bangunan yang tidak mengikuti peraturan pemerintah. Pada area ini juga terdapat beberapa lahan kosong dan tempat penambatan kapal nelayan. Selain itu, bangunan pada area ini juga sama dengan bangunan yang terletak pada Jalan Gulama yang bersifat permanen.
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
: Lahan kosong
(c) Lorong Bakti
 Area permukiman informal pada Lorong Bakti
Area permukiman informal selanjutnya pada kawasan Kampung Nelayan ini ada pada Lorong Bakti. Lorong Bakti terintegrasi langsung dengan Jalan T. M. Pahlawan. Pada area ini sebagian besar rumah bersifat permanen karena dibangun menggunakan batu bata. Area ini berada di pinggiran pantai dan sebagian rumah berdiri di atas laut. Semakin mengarah menuju laut semakin rentan rumah tersebut untuk mengalami banjir ketika laut pasang. Apabila dilihat secara mikro, rumah-rumah yang berada pada area permukiman informal umumnya berdiri sendiri atau berdempetan dengan rumah lain. Bangunan yang berdiri sendiri biasanya menyediakan sebuah ruang kosong yang sempit dan hanya bisa dilalui pejalan kaki atau malah tidak dapat dilewati siapapun. Orientasi bangunan pada area ini langsung menghadap area pantai atau laut. Sirkulasi jalan juga hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua dan pejalan kaki. Hal ini disebabkan oleh minimnya keadaan ekonomi masyarakat untuk membangun jalan yang lebih besar. Hal ini juga dapat disebabkan oleh tidak adanya masyarakat pada permukiman informal yang memiliki kendaraan roda empat sehingga jalan yang lebih besar tidak diperlukan.
Pada area Lorong Bakti, lokasi penyebaran massa bangunan cenderung mengikuti massa bangunan yang telah berdiri sebelumnya. Massa
masyarakat dalam membangun hunian secara satu per satu dan dibangun mengikuti pola bangunan yang telah ada sebelumnya. Kondisi geografis permukiman yang berada di pinggiran laut menyebabkan lahan yang dibangun terbatas. Hal ini menyebabkan laut menjadi batas teritori pemukim dalam membangun permukimannya.
(d)Lorong Amal
 Area permukiman informal pada Lorong Amal
Area permukiman informal pada Lorong Amal terintegrasi dengan lorong pada Lorong Bakti. Kawasan pada area Lorong Amal hampir mirip dengan keadaan pada Lorong Bakti. Pada area ini terdapat sebagian rumah yang berdiri di atas pesisir pantai dengan sebagian besar rumah berdiri secara non permanen. Jalan pada area ini juga tidak dapat dilewati kendaraan roda dua ataupun roda empat. Jalan di area ini hanya dapat dilewati oleh pejalanan kaki saja. Rumah yang berada pada area ini juga tidak memiliki teras depan sehingga bangunan langsung terhubung dengan jalan. Pada area Lorong Amal juga terdapat jalan yang langsung menuju atau berbatasan dengan laut. Pada area ini, terdapat kapal-kapal nelayan yang ditambatkan sehingga memudahkan pemukim yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan untuk langsung pergi melaut.
(e) Lorong Sukur Pada Lorong Sukur jalan yang terbentuk lebih rumit dan bercabang
dibandingkan pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Rumah-rumah tersusun padat dan saling bersusun satu sama lain menghadap jalan atau gang kecil di depan rumah. Keadaan pada Lorong Sukur kurang lebih sama dengan keadaan permukiman pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Jalanan di depan rumah hanya dapat dilalui kendaraan roda dua atau pejalan kaki. Kebanyakan jalan atau lorong kecil tersebut berdiri di atas air laut dan kemungkinan besar tenggelam apabila waktunya pasang. Jalan sempit ini menimbulkan ruang linear yang terasa sempit apabila terdapat bangunan yang berdiri di sisi kiri
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
 Area permukiman informal pada Lorong Sukur berdiri di atas pondasi beton yang ditancapkan ke permukaan pantai.
Terdapat pula rumah yang dibangun menggunakan tiang pipa PVC.
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
(f) Lorong Supir
 Area permukiman informal pada Lorong Supir
Area permukiman informal pada Kampung Nelayan ini paling banyak terdapat pada kawasan Lorong Supir dan berdiri di antara lorong-lorong yang cukup sempit. Lorong tersebut sebagian hanya dapat dilewati kendaraan roda dua sedangkan sebagian lagi hanya dapat dilewati pejalan kaki saja. Selain lorong-lorong yang diberi perkerasan, terdapat pula jalan-jalan kecil yang terbuat dari tanah timbunan. Akibat didirikan di atas pantai, bangunan harus ditinggikan sekitar 1 meter untuk mencegah air masuk ke dalam rumah apabila terjadi pasang. Selain itu, tanah yang ditempati pemukim bersifat lembab dan basah sehingga tidak cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Pada bangunan-bangunan di permukiman informal di sekitar lorong Supir ini tidak terdapat banyak tanaman pada lahannya. Selain akibat dari kondisi tanah, luas lahan untuk perkebunan juga terbatas. Hal ini dapat disebabkan oleh kebutuhan pemukim dan keterbatasan ekonomi atau sosial mereka dalam membangun rumah. Dalam keterbatasan mereka membangun bangunan atau hunian, pemukim tentu memilah lebih dulu kebutuhan ruang. Kebutuhan area hijau untuk penyerapan air seperti lahan kosong untuk tanaman dan kebun tidak menjadi prioritas utama sehingga tidak terdapat banyak tanaman pada area permukiman informal. Lorong ini mengindikasikan kecilnya ruang gerak pada permukiman tidak terencana.
 Kondisi suasana permukiman informal pada kawasan Lorong Supir
kriteria UN-Habitat (2003) mengenai kriteria permukiman informal di mana kurangnya area gerak yang mencukupi. Hal ini dapat dilihat pada salah satu area Lorong Supir di mana bangunan langsung berdiri pada badan jalan. Selain terbatasnya area gerak untuk jalan dan transportasi, kurangnya lahan bangunan menyebabkan pemukim menjemur pakaiannya pada badan jalan. Aktivitas ini menyebabkan area badan jalan semakin bertambah sempit. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi masalah karena masyarakat yang tinggal pada area permukiman ini tidak banyak yang memiliki kendaraan roda dua atau empat sehingga jalan di depan hunian mereka hanya digunakan untuk berkumpul atau berjalan kaki saja.
Keterangan Gambar:
 Kondisi area lahan di depan rumah pada permukiman informal di Lorong Supir
Keterangan Gambar:
 Kondisi lorong atau jalan yang terbentuk pada area permukiman informal di kawasan Lorong Supir yang hanya dapat dilewati pejalan kaki
(g) Ujung Jalan T. M. Pahlawan Daerah ini berada pada bagian paling ujung Jalan T. M. Pahlawan. Areanya lebih sepi dibandingkan dengan area permukiman lain di sekitar jalan T. M.
Keterangan Gambar:
 Area permukiman informal di ujung Jalan T. M. Pahlawan
difungsikan. Di area ini juga terdapat beberapa massa bangunan tidak terencana dengan pola yang tersebar tidak teratur. Selain itu, area ini juga sudah berbatasan langsung dengan laut sehingga tanahnya lembab dan sering becek. Pada area ini banyak bangunan yang sudah terbengkalai dan tidak lagi terurus diakibatkan oleh aksesibilitas jalan yang terlalu jauh dari pusat pasar. Kemudian, tidak terlalu banyak hunian seperti pada lorong-lorong sebelumnya karena masalah jaringan jalan dan kondisi tanah yang kurang bagus.
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
: Lahan kosong : Coastal port
Pola spasial yang terbentuk pada permukiman tidak terencana tidak selalu
terlihat sama. Hal inilah yang dimaksud oleh Sobreira dan Gomes (2001) bahwa kelihatannya pola permukiman informal sulit untuk diidentifikasi. Bagian
bangunan yang terlihat membentuk kumpulan tersendiri ini dapat diidentifikasi dan dikaji pula ke dalam beberapa bagian seperti yang dikatakan Sobreira dan
Gomes (2001).
Gambar 5.7 Contoh perbandingan pola massa tidak terencana yang terbentuk pada (a) Lorong Bakti dan (b) Lorong Supir
Dalam menganalisa pola spasial permukiman informal, Sobreira dan
Gomes (2001) membagi pola ke dalam beberapa bagian. Bagian tersebut kemudian dapat dibedakan berdasarkan jumlah blok massa bangunan yang saling berdempetan. Pola spasial permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan
ini bermacam-macam dan dapat berbeda bentuk antara satu kawasan dengan kawasan lainnya (Gambar 5.7). Dalam mengkaji pola permukiman informal
tersebut, Sobreira dan Gomes (2001) ingin membuktikan bahwa terdapat pola atau
susunan fragmen yang mirip antara satu permukiman informal dengan
permukiman informal lainnya. Proses mengkaji atau pembuktian ini dilakukan dengan perhitungan geometris.
Gambar 5.8 Pembagian jenis pola spasial permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan di (a) Jalan Gulama, (b) Jalan Hiu, (c) Lorong Bakti, (d) Lorong Amal, (e)
Lorong Sukur, (f) Lorong Supir, dan (g) ujung Jalan T. M. Pahlawan (a)
(b) (c) (d) (e)
Dalam membagi kelompok permukiman di Kampung Nelayan, massa
bangunan-massa bangunan dibagi ke dalam beberapa jalan dan lorong. Pada setiap jalan dan lorong terdapat massa, jaringan jalan, dan ruang terbuka yang
kemudian diidentifikasi menjadi beberapa tipe pola. Pola spasial pada bangunan yang terbentuk tanpa rencana ini (Gambar 5.8) kemudian dibagi ke dalam beberapa fragmen pola. Pola-pola tersebut dibagi berdasarkan jumlah massa
bangunan yang saling berdekatan atau saling melekat. Sehingga, terdapat kelompok massa bangunan yang berdiri sendiri dan kelompok massa bangunan
yang terdiri dari dua sampai delapan massa bangunan yang berdempetan. Cara mengidentifikasi kelompok massa bangunan ini dilakukan oleh Sobreira dan
Gomes (2001). Sobreira dan Gomes (2001) menentukan kelompok massa bangunan tersebut dengan variabel s. Sehingga, kelompok massa bangunan yang terdiri dari satu massa saja dikatakan dengan s=1. Kemudian, kelompok massa
bangunan yang terdiri dari dua massa disebutkan dengan s=2, dan begitu seterusnya. Setelah diidentifikasi, Sobreira dan Gomes menghitung berapa banyak jumlah tiap kelompok massa bangunan tersebut dan menghitungnya ke dalam
sebuah grafik. Contoh pembagian kelompok massa bangunan tersebut pada Gambar 5.9. Kelompok massa bangunan tersebut dinamakan pulau (island)
(Sobreira dan Gomes, 2001).
Pada Lorong Bakti, kelompok massa bangunan berjumlah antara s=1 sampai s=4 (Gambar 5.9). Dapat dilihat beberapa bagian dari kumpulan massa
di Lorong Bakti, pulau-pulau yang berdiri sendiri (s=1) berjumlah 20 buah. Untuk
s=2 berjumlah 6 buah pulau. Untuk s=3 berjumlah 2 buah dan s=4 berjumlah 1 buah. Sedangkan pada Lorong Sukur jumlah s berkisar dari s=1 sampai s=13.
Untuk s=1 terdapat 17 buah pulau yang berdiri sendiri. Kemudian, s=2 terdapat 8 buah, s=3 terdapat 3 buah, s=4 terdapat 1 buah, s=5 terdapat 1 buah, s=6 terdapat 2 buah, s=9 terdapat 1 buah, s=12 terdapat 1 buah, dan s=13 terdapat 1 buah.
Contoh identifikasi jumlah massa bangunan pada Lorong Sukur dapat dilihat pada Gambar 5.10.
Peta Kunci
Gambar 5.9 Contoh identifikasi jumlah kelompok massa bangunan (pulau/island) pada kawasan Lorong Bakti
Peta Kunci
Gambar 5.10 Contoh identifikasi jumlah kelompok massa bangunan (pulau/island) pada kawasan Lorong Sukur
Keterangan Gambar:
: s=1 : s=2 : s=3 : s=4
Keterangan Gambar:
Maka, melalui 7 lokasi persebaran permukiman informal pada kawasan
Kampung Nelayan Medan Belawan persebaran kelompok massa bangunan (island) terlihat beragam. Jumlah pulau yang diidentifikasi dengan variabel (s)
pada tiap lokasi dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut.
Setelah mengetahui jumlah kumpulan massa bangunan yang tersebar pada permukiman informal, Sobreira dan Gomes (2001) memasukkan variabel dan
jumlah tersebut ke dalam sebuah grafik. Grafik tersebut menunjukkan bagaimana peta persebaran pola spasial permukiman informal juga memiliki sebuah pola
tersendiri yang memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain. Perbandingan luas pulau dengan jumlah pulau yang terdapat pada area permukiman informal di
Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan
(a) Jalan Gulama s=1 8
Pada Jalan Gulama, bangunan yang berdiri tunggal lebih banyak dibandingkan dengan bangunan lain yang berdiri berdempetan. Pada area ini, jumlah bangunan yang berdempetan mencapai 21 bangunan yang berdekatan. Banyaknya jumlah bangunan yang berdempetan mencapai 21 ini disebabkan oleh daerah Jalan Gulama yang sudah diaspal dan dekat dengan akses ke jalan besar atau pasar. Masyarakat pada daerah ini cenderung membangun bangunannya berdekatan akibat dari lahan bangunan yang sebagian besar sudah memiliki halaman atau teras di depannya. Berbeda dengan bangunan di permukiman tidak terencana yang lebih dekat ke arah pantai, mereka membangun rumah yang berdiri sendiri atau dikelilingi oleh jalan di sekitarnya sebagai akibat dari tidak adanya lahan depan atau teras untuk aksesibilitas. Perbedaan kecenderungan dalam membangun bangunan ini dapat disebabkan oleh perbedaan
(b) Jalan Hiu s=1 2
Seperti juga pada Jalan Gulama, massa bangunan yang berdiri sendiri lebih banyak dibandingkan dengan massa bangunan yang berdiri berdempetan. Perbedaannya, pada area Jalan Hiu, bangunan yang berdempatan (pulau) mencapai 7 buah bangunan. Dibandingkan dengan Jalan Gulama, massa bangunan yang berdempetan lebih sedikit. Hal ini dapat disebabkan oleh panjang Jalan Hiu yang lebih pendek dibandingkan Jalan Gulama. Jalan Hiu mencapai 230 meter sedangkan Jalan Gulama yang mencapai 520 meter. Perbedaan panjang jalan ini tentu mempengaruhi banyaknya bangunan yang dibangun di sepanjang badan jalan. Melalui hal ini dapat diidentifikasi bahwa jaringan jalan yang panjang dapat menghasilkan kumpulan massa bangunan (pulau) dengan s yang lebih banyak dibandingkan jalan yang lebih pendek.
Jumlah s=1 pada area Jalan Hiu juga tidak terlalu
s=2 1
s=6 1
s=7 1
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
tergolong mudah menuju pusat pasar dan hanya berjarak sejauh 260 meter menuju jalan arteri primer/Jalan Yos Sudarso. Hal ini dapat disebabkan oleh area Jalan Hiu yang memiliki banyak area industri atau perekonomian. Pada area ini juga terdapat fasilitas pendidikan dan rumah-rumah yang didirikan juga sudah permanen.
(c) Lorong Bakti s=1 20
Area permukiman informal pada Lorong Bakti
ini dapat dikatakan cukup banyak apabila dibandingkan area Jalan Gulama dan Jalan Hiu. Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi jaringan Jalan Gulama dan Jalan Hiu dibandingkan Lorong Bakti. Lorong Bakti hanya memiliki lebar sekitar kurang lebih 3 meter dibandingkan Jalan Gulama dan Jalan Hiu yang berukuran 8 meter. Perbedaan ini menyebabkan berbedanya tipe transportasi yang dapat melewati kedua jalan tersebut. Lorong Bakti yang hanya memiliki lebar 3 meter dan semakin menyempit di ujung jalan menyebabkan bangunan harus memiliki ruang pada daerah samping bangunannya untuk memaksimalkan penggunaan aksesibilitas atau jaringan jalan. Bangunan yang berdiri sendiri (s=1) banyak yang dibangun di atas jalan yang dibangun oleh pemukim itu sendiri. Keterbatasan lahan menyebabkan pemukim harus membangun arealnya sendiri dengan jaringan jalan yang baru. Selain itu, jaringan jalan pada Lorong Bakti terhubung dengan lorong disebelahnya yaitu Lorong Amal. Jaringan jalan yang terhubung ini dibangun secara informal oleh pemukim untuk memenuhi kebutuhan mereka akan aksesibilitas dari satu lorong ke lorong yang lain.
(d) Lorong Amal s=1 7
s=3 3
s=4 1
Sama seperti area Lorong Amal yang berada bersebelahan dengan Lorong Bakti, kumpulan massa terbanyak berada pada s=1. Bangunan yang berdiri tunggal tetap lebih banyak dibandingkan dengan bangunan yang berdempetan. Jumlah pulau terbanyak berada pada titik s=6. Pulau terbanyak berada pada ujung Lorong Amal yang berhubungan langsung dengan Jalan T. M. Pahlawan sedangkan semakin ke ujung lorong bangunan cenderung berdiri sendirian.
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
(e) Lorong Sukur
Pada Lorong Sukur jumlah bangunan yang berdiri lebih banyak dibandingkan pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Jaringan jalan yang terbentuk pada Lorong Sukur lebih rumit dan bercabang dibandingkan pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Selain itu, daerah ini memiliki jaringan jalan yang lebih banyak dan lebih panjang sehingga s (jumlah bangunan yang berdekatan) yang muncul lebih banyak dibandingkan dua lorong sebelumnya. Panjangnya jalan pada Lorong Sukur menyebabkan masyarakat lebih banyak membangun bangunannya pada sekitar badan jalan tersebut. Hubungan ini menjelaskan pengaruh jalan terhadap kumpulan massa bangunan yang terbentuk. Hal ini dapat juga terlihat pada kawasan permukiman informal di Jalan Gulama dan Jalan Hiu di mana pada jalan yang lebih panjang, variabel s yang terbentuk juga lebih banyak. Namun, pada Lorong Sukur, semakin mendekati laut semakin banyak
Area permukiman informal di Lorong Sukur
jalan yang sempit yang hanya dapat dilewati oleh pejalan kaki. Jaringan jalan yang terbentuk hanya berukuran 1 sampai 2 meter saja. Area bangunan yang berdiri sendiri banyak tersebar pada sekitar Jalan T. M. Pahlawan dan ada dua bangunan yang berdiri sendiri pada area yang semakin dekat ke laut.
(f) Lorong Supir s=1 39
s=2 8
s=3 2
s=4 2
s=5 2
s=6 1
s=7 2
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
s=8 2 bangunan lebih banyak yang berdiri sendiri dibandingkan berdiri berdempetan. Akibat dari jaringan jalan pada Lorong Supir yang lebih rumit dan bercabang ke laut, jumlah s yang dihasilkan mencapai 21. Artinya, terdapat sebuah area dengan 21 bangunan yang saling berdempetan. Area yang saling berdempetan ini adalah kumpulan bangunan yang berdiri saling membelakangi dan berada pada satu area jalan yang panjang sehingga bangunan yang dapat berdiri pun dapat lebih banyak.
s=11 1
s=14 1
s=17 1
s=18 1
s=21 1
s=31 1
Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal
: Massa bangunan formal
: Jalan : Laut
: Lahan kosong
Area permukiman informal pada Lorong Supir
(g) Ujung Jalan T. M. Pahlawan s=1 16
s=2 2
Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau pada area di
ujung Jalan T. M. Pahlawan
s=3 1 T. M. Pahlawan
Setelah mengidentifikasi grafik per lokasi pada permukiman informal di
Kampung Nelayan, selanjutnya identifikasi dilakukan pada satu permukiman informal secara keseluruhan (Tabel 5.3). Sehingga, jumlah s (pulau) yang
menunjukkan kelompok blok massa bangunan yang berdekatan digabungkan dari semua lokasi permukiman informal di kawasan ini.
Tabel 5.3 Total s dari seluruh lokasi pada permukiman Kampung Nelayan
s
Setelah mengkalkulasikan jumlah pulau yang terbentuk di kawasan Kampung Nelayan (Tabel 5.3), dapat dihasilkan grafik yang menunjukkan
perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau (Gambar 5.11). Menurut Sobreira dan Gomes (2001), dengan menggunakan kalkulasi geometri seperti model di
atas, setiap pola permukiman informal memiliki bentuk grafik yang hampir mirip. Sobreira dan Gomes (2001) melakukan penelitian di Brazil dan Nairobi, Kenya.
0
Gambar 5.11 Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau permukiman informal di Nairobi,
Kenya
(sumber: Sobreira dan Gomes, 2001)
0
Gambar 5.12 Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau pada permukiman Kampung Nelayan
Belawan Medan
Jumlah kelompok massa bangunan (island) yang terbentuk
Jumlah pulau (island) yang terbentuk
Jumlah kelompok massa bangunan (island) yang terbentuk
Berdasarkan hasil analisa Sobreira dan Gomes (2001), terdapat banyak
kelompok-kelompok massa bangunan yang berdiri sendiri (s=1) (Gambar 5.11). Hal ini juga terdapat pada permukiman informal Kampung Nelayan di mana pulau
yang terisolasi sendiri berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan kelompok massa bangunan yang berdempetan. Pada grafik permukiman informal di Nairobi, setelah titik s=1, grafik terus menurun hingga beranjak naik kembali pada titik s=5
(Gambar 5.11). Sedangkan pada area Kampung Nelayan, setelah titik s=1 grafik terus menurun hingga menaik pada titik s=6 (Gambar 5.12). Kemudian pada
permukiman di Nairobi, titik di grafik meningkat kembali pada s=8. Pada permukiman di Kampung Nelayan, titik beranjak naik pada titik s=9.
Pola ini dapat terlihat mirip karena pada permukiman informal di Nairobi, jumlah kelompok-kelompok massa bangunan (s=island) mencapai s=8. Jauh lebih sedikit dibandingkan pada permukiman Kampung Nelayan dengan kelompok
massa bangunan (s=island) yang mencapai s=21 (Gambar 5.13).
0
Gambar 5.13 Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau pada permukiman Kampung Nelayan
Belawan Medan dengan permukiman di Nairobi, Kenya
Jumlah kelompok massa bangunan (island) yang terbentuk
5.3. Susunan Pemanfaatan Ruang dengan Jaringan Prasarana
Pola spasial suatu permukiman ditentukan oleh bentuk yang melekat pada ruang. Daerah pesisir pantai dan daerah yang tidak berada pada pesisir pantai
memiliki perbedaan terkait keadaan spasial ruangnya dikarenakan oleh kondisi fisik tapak atau keadaan lingkungannya. Pola spasial diidentifikasi melalui sistem blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Sedangkan
sistem struktur berhubungan dengan fungsi atau penggunaan lahan. Untuk sistem blok massa, bangunan dibedakan berdasarkan fungsi. Fungsi tersebut dibedakan
atas fungsi hunian, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi ibadah, fungsi MCK, dan lain-lain (Gambar 5.14). Pada daerah Kampung Nelayan ini, massa dapat dibedakan atas bangunan yang mempunyai kepemilikan yang sah dan
Gambar 5.14 Peta Penggunaan Lahan pada kawasan Kampung Nelayan Keterangan Gambar:
: Permukiman
: Perdagangan dan Jasa : Coastal Port
Tabel 5.4 Luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Jalan Gulama
Lokasi Keterangan Penggunaan
Lahan pada Permukiman
Luas Fungsi Permukiman
(a) Jalan Gulama Pada Jalan Gulama,
sebagian besar lokasi ini memiliki fungsi sebagai hunian. Setelah itu terdapat banyak lokasi ekonomi seperti toko kelontong, rumah makan, atau bengkel. Sebagian besar dari aktivitas ekonomi ini dilakukan di dalam rumah pemilik toko sehingga toko bergabung dengan fungsi hunian.
Pada area
permukiman tidak terencana di Jalan Gulama, fungsi
fungsinya pada lokasi permukiman informal di Jalan
kondisi yang kurang baik seperti berlumpur dan dijadikan tempat pembuangan sampah tidak resmi. Pada Jalan Gulama juga terdapat banyak hunian yang digunakan sebagai tempat perdagangan seperti toko kelontong atau rumah makan.
(b) Jalan Hiu Sedangkan pada
Jalan Hiu, fungsi paling luas adalah area ruang terbuka atau lahan kosong. Luas area ruang terbuka lebih besar dibandingkan area hunian. Pada area Jalan Hiu tidak terdapat permukiman dengan struktur bangunan di bawah standard. Namun, akibat dari bangunan yang berdiri di pinggiran pantai, area tersebut termasuk permukiman informal sebab berdiri di atas tanah yang bukan milik pribadi. Selain itu di Jalan Hiu juga terdapat
Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan
fungsinya pada lokasi permukiman informal di Jalan Hiu.
sekolah tidak termasuk area adalah salah satu dari empat buah lorong yang tersambung dengan Jalan T. M. Pahlawan. Pada area ini, luas lahan paling banyak digunakan untuk fungsi hunian. Luas hunian berkisar antara 22 m2 sampai 180 m2. Pada area Lorong Bakti juga terdapat coastal port atau tempat berlabuh kapal nelayan. Kapal-kapal tersebut ditambatkan di depan jalan hunian penduduk.
Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Lorong Bakti.
jalan kecil sebagai sambungan antara kedua area permukiman. Pada Lorong Amal terdapat 26 massa dengan fungsi hunian dan memiliki luas sekitar 1976,18 m2. Pada area ini juga terdapat coastal port yang berada di depan hunian pemukim seperti pada Lorong Bakti. permukiman tidak terencana di kawasan ini. Peta penggunaan lahan menunjukkan lokasi area ruang terbuka lebih luas dibandingkan area permukiman. Area ruang
Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Lorong Sukur.
sebagian digunakan sebagai kuburan. Massa hunian ada 92 buah dan terdapat jalan-jalan atau gang-gang sempit yang menghubungkan satu rumah dengan rumah jaringan jalan tidak terencana dan terbentuk akibat dari pola hunian yang menciptakan ruang kosong sebagai tempat berlalu lalang.
(f) Lorong Supir Lorong terakhir yang
tersambung dengan Jalan T. M. Pahlawan bernama Lorong Supir. Lorong Supir adalah lorong dengan
Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Lorong Supir.
Lorong Sukur
Keterangan Gambar:
: Permukiman
pada lokasi ini. Pada lokasi ini terdapat 223 buah massa dengan fungsi hunian. Selain itu, pada lokasi ini juga terdapat fungsi hunian dengan luas terbesar dibandingkan dengan area permukiman informal yang lain pada Kampung Nelayan Belawan Medan. Selain itu, hanya pada lokasi permukiman informal ini terdapat fungsi peribadatan.