• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN PERAN GANDA PEREMPUAN

3.3 Peran pada Ranah Publik

3.3.3 Politik/Pemerintahan

Selain tokoh perempuan Irewa dan Jingi yang membuktikan kekuatan perempuan, adapun tokoh perempuan lainnya yaitu Ibu Selvi. Ibu Selvi adalah seorang ibu yang memiliki 2 anak dan kedua anaknya itu sedang menempuh pendidikan. Anaknya yang pertama adalah laki-laki sedang kuliah di sebuah universitas di Kota Anjaya dan yang kedua anak perempuan kelas 3 SMA. Ibu Selvi baru saja kehilangan suaminya. Namun, Ibu Selvi tidak terpuruk ketika ditinggalkan suaminya. Ibu Selvi menjadi perempuan yang memiliki kegiatan positif pada sebuah kelompok kerja perempuan dan juga seorang camat.

107) Ibu Selvi adalah ibu dua anak yang sudah besar-besar. Yang pertama, laki-laki, kuliah di sebuah universitas di Kota Anjaya. Yang kedua, perempuan, sudah kelas tiga SMA. Suaminya baru saja meninggal. Sebelum menjadi kepala distrik, Ibu Selvi punya kegiatan dengan perempuan lain di sebuah kelompok kerja. Kegiatan mereka antara lain mengumpulkan noken dari mama-mama di kampung dan membantu menjualkannya. Noken ini adalah noken khusus yang terbuat dari kulit kayu yang susah didapat. Juga kalung manik-manik dan mata kalungnya dari buah di hutan. Jadi Ibu Selvi memang sudah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perempuan sejak lama (Dorothea, 2015:189)

Kehadiran Ibu Selvi dalam kehidupan Irewa tidak hanya dikenal sebagai seorang janda yang mempunyai 2 orang anak saja, tetapi kehadirannya sebagai seorang camat yang berkecimpung dibidang politik/pemerintahan dan memiliki semangat dalam diri untuk membebaskan perempuan mulai balita sampai dewasa dari bahaya penyakit HIV-AIDS. Setelah ditinggal suaminya ia bukanlah perempuan yang lemah melainkan ia menjadi perempuan yang kuat dalam melanjutkan hidupnya juga merawat kedua anaknya.

Peran pada ranah domestik dalam roman IRP dialami oleh tokoh Irewa, sedangkan peran pada ranah publik dialami oleh tokoh Irewa, Jingi, dan Ibu Selvi. Ketiga tokoh perempuan ini telah menjadi bukti kepada publik bahwa perempuan dapat hidup mandiri dan bekerja di publik.

Irewa sudah bisa membuktikan bahwa ia adalah perempuan Hobone yang kuat dan juga membuktikan bahwa perempuan itu mandiri dan tidak bergantung pada laki- laki. Selain Irewa bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya, Irewa juga mencari cara agar anak-anaknya bisa sekolah. Irewa sudah tidak memikirkan suaminya Malom yang masih betah dengan kehidupan kelamnya. Kejahatan Malom yang luar biasa adalah Malom selalu pergi ke tempat pelacuran dan masih saja mengabaikan keluarganya, Malom juga menjual tanah bahkan rumah mereka, dan uang hasil jualan tersebut dipakai untuk kebutuhannya sendiri.

Kemandirian dari Jingi dan Ibu Selvi meyakinkan Irewa untuk mengerjakan peran ganda yang dijalaninya. Jingi selalu mendukung Irewa untuk melanjutkan kegiatannya dengan cara selalu menyampaikan info-info tentang kesehatan kepada

perempuan Papua. Ibu Selvi menawarkan kerja sama bersama Irewa untuk menjadi seorang guru dalam membimbing perempuan Papua. Mereka menjadi satu tim yang menyatu dengan tujuan yang sama membimbing perempuan-perempuan agar selalu hidup sehat.

Ketiga tokoh perempuan dalam IRP memberi bukti bahwa pandangan terhadap perempuan sebagai makhluk ciptaan yang lemah dan tidak dapat diandalkan merupakan pandangan yang salah. Ketiga tokoh perempuan ini telah menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih kuat dibandingkan laki-laki. Mereka menjalankan peran ganda serta membuktikan seorang perempuan dapat hidup mandiri dan sukses tanpa harus bergantung pada laki-laki.

3.4. Rangkuman

Dalam bab III ini telah dilakukan penelitian tentang peran ganda yang digambarkan melalui tokoh Irewa, Jingi, dan Ibu Selvi. Peran ganda dalam IRP karya Dorothea Rosa Herliany meliputi peran pada ranah domestik yang terdiri dari proses regenerasi, tanggung jawab rumah tangga, dan melayani suami. Peran pada ranah publik dalam IRP meliputi tanggung jawab ekonomi rumah tangga, aktualisasi diri, dan politik/pemerintahan.

Irewa, Jingi dan Ibu Selvi dalam IRP termasuk tokoh perempuan yang secara tidak disengajai menjunjung emansipasi perempuan. Irewa dan Ibu Selvi berani membiayai anak-anaknya sendiri dengan hasil jerih payah mereka dan tidak bergantung pada laki-laki serta mau menjadi perempuan mandiri. Sementara itu,

tokoh Jingi juga merupakan perempuan yang dapat hidup mandiri dengan membiayai sekolah dokternya dari hasil kerjanya sendiri seabagai dokter keliling. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan juga perjuangan ketiga tokoh perempuan ini termasuk tokoh perempuan yang berusaha menyetarakan hak dengan kaum laki-laki, secara khusus mereka membuktikkan bahwa perempuan layak tampil publik dan perempuan dapat hidup mandiri.

Sementara itu, kesimpulan dari penelitian pada IRP dan saran bagi peneliti selanjutnya yang akan menggunakan IRP ini, akan dibahas pada bab IV.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Alur dalam roman IRP diceritakan secara runtut yang terdiri tiga tahap yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap awal Irewa dan Meage bersekolah di Kampung Aitubu. Setelah dewasa mereka dipertemukan kembali di Sungai Warsor, mereka mulai jatuh cinta dan saling mengingat satu sama lain. Meage memutuskan untuk menikahi Irewa. Namun, hal buruk terjadi karena Irewa diculik oleh Malom laki-laki yang sudah lama mengagumi Irewa dan mau memperistri Irewa. Tahap tengah, Irewa harus menjadi perempuan Hobone yang kuat. Irewa harus menyesuaikan kehidupan Hobone yang berbeda dari Aitubu. Irewa juga harus menjalankan peran ganda karena Malom tidak bertanggung jawab atas dirinya dan anak-anaknya. Tahap akhir, Irewa mulai bangkit dan menjadi perempuan mandiri. Irewa harus memenuhi kebutuhan sekolah anaknya dan untuk kelangsungan hidup mereka. Pekerjaan Irewa dimulai dengan menjual sayur-sayur, babi-babi yang dipeliharanya sampai pada akhirnya bekerja sebagai guru di Distrik Yark.

Peran tokoh dalam IRP terdiri atas tokoh protagonis yaitu Irewa, karena Irewa merupakan tokoh yang pertama kali mengalami masalah dan berperan sebagai penggerak alur. Selanjutnya, tokoh yang menimbulkan konflik adalah Malom yang disebut sebagai tokoh antagonis karena sumber masalahnya berasal dari Malom ketika ia menculik Irewa. Malom tidak mendapat perhatian dan pendidikan yang

sama seperti Meage dari keluarganya. Oleh sebab itu, sifat dan perilaku Malom sudah menunjukkan latar belakang hidupnya. Sementara itu, tokoh tritagonis dalam novel IRP adalah Meage. Meage merupakan tokoh laki-laki yang berkembang lebih maju dibandingkan para tokoh lainnya dalam IRP. Meage termasuk laki-laki yang lebih cerdas karena sejak kecil ia hidup di Papua dan dididik oleh orangtua angkatnya. Akan tetapi, Meage harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di Jerman karena pada saat itu Meage mendapat masalah sejak bergabung bersama grup musik tradisional Farandus yang dianggap melawan pemerintah.

Selanjutnya yang termasuk dalam tokoh tritagonis adalah Jingi dan Ibu Selvi. Tokoh Jingi adalah saudara kembar Irewa yang bekerja sebagai seorang dokter. Jingi adalah seorang perempuan yang mandiri dan memiliki hidup lebih baik dibandingkan Irewa. Adapun Ibu Selvi, seorang janda yang memutuskan hidup sendiri bersama anak-anaknya. Ia adalah seorang camat perempuan yang berhasil membantu Irewa keluar dari masalah-masalah yang dihadapi Irewa. Kedua tokoh ini mempunyai kaitan erat dengan tokoh protagonis. Analisis struktur cerita ini digunakan sebagai dasar untuk menganalisis peran ganda yang dialami oleh tokoh Irewa dalam ranah domestik dan dalam ranah publik yang juga dialami oleh Jingi dan Ibu Selvi.

IRP mencakup tiga latar, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat dalam roman IRP adalah Kampung Aitubu, Kampung Hobone, Distrik Yark (Disyark), Belanda, dan Jerman. Latar waktu dalam IRP terjadi pada masa pemilu

tahun 1977 dan latar sosial dalam novel ini membahas tentang kebudayaan pada masyarakat Kampung Aitubu, tetapi lebih banyak memaparkan kebudayaan yang terjadi di Kampung Hobone. Perempuan Hobone harus menjadi perempuan yang kuat, mereka harus bisa menyelam, bekerja di ladang, merawat pohon sagu, melayani suami, mengandung, melahirkan sendiri, dan merawat anak. Selain itu, harus menjadi tipe perempuan Hobone yang cantik, patuh, dan tidak pernah melawan laki-laki (suami). Secara adat, laki-laki di Kampung Hobone dipercaya hanya bertugas memberi benih kepada perempuan untuk melahirkan keturunan yang banyak.

Peran domestik yang tergambar pada IRP adalah proses regenerasi, pendidikan anak, tanggung jawab rumah tangga, dan melayani suami, sedangkan peran publik yang tergambar dalam IRP adalah tanggung jawab ekonomi rumah tangga, aktualisasi diri, dan politik/pemerintahan. Pada peran domestik yang dialami oleh Irewa dapat dilihat ketika ia mengandung dan keguguran berkali-kali, melayani keinginan seksual suaminya kapan pun suaminya mau serta mengurus semua hal yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga dengan ekonomi yang sangat terbatas.

Irewa kemudian mengubah nasibnya dan mulai bekerja menjual babi-babi yang dimilikinya, menyelam dan menangkap ikan lalu dijual ke pasar dan hasilnya digunakan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Irewa juga menjadi seorang guru yang mengajarkan perempuan Papua bagaimana cara menjaga kesehatan mereka, anak-anak, dan para remaja. Saat Jingi sedang kuliah kedokteran di Manado, Jingi sering ke rumah sakit Aitubu dan menyumbangkan tenaganya bersama ibu angkatnya

untuk bekerja di rumah sakit. Setelah lulus, akhirnya Jingi memutuskan bekerja sebagai dokter keliling di Aitubu karena ia melihat banyak masyarakat Aitubu yang mengidap penyakit berbahaya seperti malaria dan HIV-AIDS. Hasil kerjanya dipakai Jingi untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya di Belanda. Ibu Selvi seorang camat perempuan juga memutuskan untuk tidak menikah dan turut membimbing perempuan Papua bersama Irewa. Melalui ketiga tokoh ini dapat dibuktikan bahwa mereka tidak mau hidup bergantung kepada laki-laki, mereka yakin bahwa mereka lebih mandiri dan kuat dibandingkan laki-laki. Dapat disimpulkan juga bahwa perempuan layak tampil publik. Perempuan juga dapat diandalkan dan bukan lagi makhluk yang dipandang lemah. Hal tersebut digambarkan lewat tokoh Irewa, Jingi, dan Ibu Selvi.

Di samping pembahasan peran ganda perempuan, ditemukan kehidupan budaya yang sangat melekat pada Kampung Hobone dan Kampung Aitubu. Kedua kampung ini sangat taat pada adat yang sudah dipercayai mereka secara turun- temurun. Hal tersebut dapat dilihat lewat upacara-upacara adat yang dijalankan oleh mereka serta pembagian kerja antara laki-laki perempuan menurut kepercayaan masyarakat Kampung Hobone. Kedua aspek inilah yang sangat melekat dalam kehidupan kedua kampung ini.

Berdasarkan hasil penelitian dalam IRP dapat dibuktikan bahwa pengaruh luarlah yang membawa perubahan bagi Meage, Jingi, dan Irewa. Meage mendapat ajaran dari orangtua angkatnya bahwa menolong orang sakit adalah yang paling diutamakan. Meage diajarkan untuk selalu peka kepada sesama yang membutuhkan

pertolongan. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika ia merawat seorang perempuan yang ditemukannya di hutan dalam keadaan terluka. Dilanjutkan dengan Jingi, sejak kecil ia selalu dibawa Suster Wawuntu atau Sustre Karolin ke rumah sakit Aitubu dan kedua ibu angkatnya ini selalu mengajarkan tentang ilmu kesehatan kepada Jingi. Akhirnya, saat Jingi sudah dewasa Jingi memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dan memilih jurusan kedokteran. Ilmu-ilmu kesehatan yang didapatkan Jingi dari Suter Wawuntu dan Suter Karolin juga dari kuliahnya diajarkan kepada Irewa. Irewa kemudian menerapkan ilmu-ilmu tersebut untuk membimbing perempuan Papua. Kegiatan-kegiatannya dilihat oleh Ibu Selvi sehingga Irewa ditawarkan bekerja sebagai guru dan akhirnya ia memiliki ekonomi yang memadai untuk biaya hidupnya bersama keempat anaknya. Oleh sebab itu, pengaruh-pengaruh dari luar inilah yang merubah mereka menjadi orang-orang yang berlatarbelakang lebih baik dibanding masyarakat Aitubu dan Hobone.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipastikan apabila Meage, Jingi, dan Irewa tidak mendapatkan pengetahuan dari luar, maka kehidupan Irewa tetap sebagai seorang istri yang terus-menerus pasrah mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Jingi mungkin sudah meninggal dan tidak akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Padahal pada waktu itu seorang dokter merupakan pekerjaan yang sangat mapan. Kemudian dilanjutkan dengan Meage, ia akan menjadi laki-laki yang tidak memperoleh perubahan lebih maju daripada laki-laki dari Kampung Aitubu dan Hobone dan hal yang terjadi pada diri Malom pun bisa terjadi pada diri Meage.

4.2 Saran

Dalam penelitian ini terhadap roman IRP karya Dorothea Rosa Herliany ini difokuskan pada peran ganda perempuan yang meliputi peran domestik dan peran publik. Di balik menjalankan kedua peran tersebut terdapat kekerasan seksual, dan perjuangan menyetarakan hak antara laki-laki dan perempuan. Sangat disarankan bagi peneliti selanjutnya yang menggunakan IRP ini melakukan penelitian yang berkaitan dengan ilmu budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Amongpraja, Kemala Motik, (ed. Munandar). 1985. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjaun Psikolog. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)

Arismaningtyas, Thatit Nirmala. 2016. ”Campur Kode dalam Novel Isinga Roman Papua, Karya Dorothea Rosa Herliany”. Skripsi. Kediri. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Nusantara Persatuan Guru Republik Indonesia UN PGRI

Arivia, Gadis, 2003. Filsafat Berspektif Feminis,Jakarta Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan (YJP)

Djoharwinarlien Sri, 2012. Dilema Kesetaraan Gender Refleksi dan Respons Praktis:center for Politics and Govermant (PolGov) Fisipol UGM. Yogyakarta

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Hamzah, a. adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama, Bandung:CV ROSDA

Herliany, Dorothea Rosa. 2105. ISINGA ROMAN PAPUA, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hosniyeh. 2015. “Tokoh Utama dalam Novel Isinga Roman Papua Karya Dorothea Rosa Herliany. Dalam Jurnal Nosi Vol. 3, No. 2, Agustus 2015.

Munandar, Ashar Sunyoto, (ed. Munandar) 1985. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Kajian Psikologi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)

Nurgiyantoro, Burhan, 1994. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Rahmayanti. “Representasi Stereotip Perempuan dalam Roman Papua Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany (Kajian Kritik Sastra Feminis). Dalam Seminar Nasional dan Launching ADOBSI.

Rahmanto, B. 2016. “Isinga Roman Multi Dimensional”, disajikan dalam seminar bedah buku yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tanggal 04 Mey 2016, hlm. 1-2.

Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tjahjono, Liberatus Tengsoe, tanpa tahun. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi: Nusa Indah

Soegono,Dandy,dkk.,eds.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Suharto dan Sugihastuti, 2010. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Wahyuningtyas, Sri dan Santosa, Wijaya Heru. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi, Surakarta: Yuma Pustaka

PROFIL PENULIS

Theresia Chrisantini Hariate Wungo lahir di Weetobula pada 01 Juli 1994. Pada tahun 1998-2000, ia menempuh pendidikan pertama kali di TK Sta. Theresia, Weetobula, Sumba Barat Daya. Pada tahun 2000-2006 menempuh pendidikan SDK Weetobula, Sumba Barat Daya . Pada tahun 2006-2009, ia menempuh pendidikan SMP Katolik Stela Maris, Waikabubak, Sumba Barat. Pada tahun 2009-2012, ia menempuh pendidikan SMA Katolik Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur. Kemudian, pada tahun 2012 ia memulai studi S1-nya di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Pada tahun 2016, ia mengakhiri masa studinya dengan penelitian untuk tugas

akhirnya yang berjudul “Peran Ganda Perempuan dalam

ISINGA

ROMAN PAPUA

Dokumen terkait