ABSTRAK
Wungo, Theresia Chrisantini Hariate. 2016. “Peran Ganda Perempuan dalam ISINGA: ROMAN PAPUA Karya Dorothea Rosa Herliany Kajian Kritik Sastra Feminis”. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Peneliti menganalisis peran ganda perempuan dalam ISINGA: ROMAN PAPUA karya Dorothea Rosa Herliany dengan kajian kritik sastra feminis. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan struktur roman IRP yang terdiri dari alur, tokoh dan penokohan, dan latar serta (2) mendeskripsikan gambaran peran ganda perempuan dalam roman IRP. Penelitian ini menggunakan teori struktural untuk menganalisis struktur roman serta teori kritik sastra feminis juga untuk menganalisis gambaran peran ganda perempuan dalam IRP. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi. Metode penyajian hasil analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Alur dalam novel ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap awal digambarkan ketika Irewa dan Meage bertemu di Sungai Warsor. Pertemuan ini membuat mereka saling mengingat satu sama lain. Akhirnya, Meage memutuskan untuk menikahi Irewa. Akan tetapi, Irewa diculik Malom saat masa menstruasi pertama Irewa. Penculikan ini menimbulkan peperangan antara Kampung Aitubu dan Kampung Hobone. Tahap tengah digambarkan dengan perang yang terus berlanjut dan demi menghentikan perang tersebut, Irewa harus menjadi istri Malom. Mendengar pernikahan Malom dan Irewa, Meage meninggalkan Kampung Aitubu. Tahap akhir digambarkan dengan kehidupan Irewa yang sudah berubah. Irewa bekerja sebagai seorang guru yang bertugas membimbing perempuan Papua. Hasilnya itu ia gunakan untuk membiayai kehidupan rumah tangganya dan anak-anaknya. Tokoh protagonis dalam roman ini adalah Irewa, karena Irewa paling banyak diceritakan dan memiliki hubungan langsung dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh antagonis adalah Malom karena ia yang menjadi penyebab masalah yang menimpa tokoh protagonis. Tokoh tritagonis adalah Meage, Jingi dan Ibu Selvi karena ketiga tokoh ini mempunyai keterkaitan dengan tokoh protagonis. Latar terbagi menjadi tiga bagian yaitu latar tempat (Kampung Aitubu, Kampung Hobone, Distrik Yark, Belanda, dan Jerman), latar waktu (pemilu tahun 1977), dan latar sosial (latar sosial budaya yang meliputi rangakaian adat-istiadat dan pembagian kerja laki-laki dan perempuan menurut kepercayaan Kampung Hobone).
ABSTRACT
Wungo, Theresia Chrisantini Hariate. 2016. Women’s Double Role in ISINGA, Papua Romance by Dorothea Rosa Herliany: A Study of Feminist Literary Criticism. An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesia Literature Study Program, Literature Faculty, Sanata Dharma University.
This research analyzes women’s double role in ISINGA, a Papua romance by Dorothea Rosa Herliany, and uses feminism literary criticism approach. The purposes of this research are (1) to describe the romance structure of IRP romance which consists of plot, character and characterization, and settings and (2) to describe the illustration of double role as a figure in IRP romance. This research uses structural theory to analyze the romance’s structure and feminism literary criticism theory to analyze the illustration of women’s double role in IRP romance. The data collection method used is library research. The method of this research is content analysis methods. Moreover, the method of result presenting analysis used is qualitative descriptive.
The plot of this novel consists of three stages and starts from early stage, middle stage, and last stage. The early stage is described when Irewa and Meage met in Warsor river. The meeting makes them remember each other. Finally, Meage decided to marry Irewa. However, Irewa is being kidnap by Malom in her first menstruate. This caused a war between Aitubu village and Hobone village. The middle stage describes the war that happen continuously and in order to stop the war Irewa must become Malom’s wife. When Meage heard this news, he decided to left Aitubu village. The final stage is described with Irewa life has changed . Irewa worked as a teacher in charge of guiding the women of Papua . The result is that he used to finance his home life and her children. The protagonist character in this romance is Irewa because she becomes the most-told and has direct relationship with others characters. The antagonist character is Malom because he becomes the reason of the problem happen to protagonist character. While the tritagonist characters are Meage, Jingi and Madam Selvi because these characters have relationship with protagonist character. The setting consists of three parts which are setting of place (Aitubu Village, Hobone Village, Yark District, Dutch and Germany), setting of time (Indonesia general election in 1977), and the social setting (cultural social setting which consists of custom and tradition and the division of men and women according to Hobone village belief)
PERAN GANDA PEREMPUAN DALAM ISINGA
ROMAN PAPUAKARYA DOROTHEA ROSA HERLIANY
KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Theresia Chrisantini Hariate Wungo
NIM 124114013
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PERAN GANDA PEREMPUAN DALAM ISINGA
ROMAN PAPUAKARYA DOROTHEA ROSA HERLIANY
KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Theresia Chrisantini Hariate Wungo
NIM 124114013
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
vi
PERSEMBAHAN
Sebuah perjuangan yang dilakukan dengan hati yang tulus,
menjadikan kita manusia yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain
Karya ini saya persembahkan untuk keluarga :
Bernardus B. Wungo dan Mariety P. Winye,
vii MOTTO
Jika kita bilang kita tidak bisa, berarti kita tidak akan bisa,
tetapi jika kita bilang kita bisa, kita akan menjadi luar biasa
Dalam kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar.
Tetapi kita dapat melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar
“Mother Teresa”
Serahkanlah segala kekuatiran kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan restu-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Ganda Perempuan
dalam Novel
ISINGA
ROMAN PAPUA Kajian Kritik Sastra Feminis. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studiSastra Indonesia.
Penulis menyadari bahwa banyak bantuan dan dukungan yang diterima dalam
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dari hati yang paling dalam serta tidak
mengurangi rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum, selaku Pembimbing I yang dengan sabar
membimbing penulis serta memberi semangat dan setia memberikan
waktu kepada penulis dalam bimbingan skripsi.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, selaku Pembimbing II yang selalu
memberikan waktunya dan masukan-masukan kepada penulis serta
dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu sabar memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Drs. Hery Antono, M. Hum, Dr.
Yoseph Yapi Taum, M.Hum, Prof. Dr.I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Dra.
Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, Drs. F.X Santosa, M.Hum, Sony Christian
Sudarsono, S.S., M.A serta dosen-dosen mata kuliah tertentu.
5. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Sastra yang telah membantu penulis
ix
6. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Sanata Dharma yang telah
membantu dalam menyediakan buku-buku referensi yang dibutuhkan oleh
peneliti.
7. Kedua orang tua penulis Bernardus B. Wungo dan Mariety P. Winye yang
telah memberikan doa dan dukungan baik secara moril dam materil,
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Keempat kakak penulis Bobby Wungo, Ronny Wungo, Jefry Wungo, dan
Angelin Wungo, dan tak lupa juga ketiga kakak ipar penulis Juary Ama,
Andrayana Sabrina, dan Karina yang telah memberikan perhatian dan
dukungan kepada penulis. Kedua ponakan penulis Axelia Ina dan Sean
Wungo.
9. Untuk yang terkasih Valentino Milla terima kasih atas dukungan,
kesabaran dan nasihat yang diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10.Untuk teman-teman Djisansi, Aksosegen, dan Genexiis yang mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.Untuk Ibu Agnes Triana Sulistyaningsih terima kasih atas kesabaran,
motivasi dan nasihat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
12.Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia Angkatan 2012: Bella,
Carlos, Gaby, Kasi, Lina, Mey, Novia, Ovy, Patrik, Peng, Retha, Roby,
Silvy, Venta, dan Wily. Terima kasih atas kebersaman dan kekompakaan
yang luar biasa dalam mengerjakan skripsi ini.
13.Untuk sahabat dan sepupu penulis Beccy, Venty, dan Oppy. Terima kasih
atas persaudaraan dan persahabatan serta dukungan dan nasihat yang
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
14.Untuk sahabat tersayang Ellen Boro di Kupang terima kasih untuk
xi ABSTRAK
Wungo, Theresia Chrisantini Hariate. 2016. “Peran Ganda Perempuan dalam
ISINGA: ROMAN PAPUA Karya Dorothea Rosa Herliany Kajian Kritik Sastra Feminis”. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Peneliti menganalisis peran ganda perempuan dalam ISINGA: ROMAN PAPUA karya Dorothea Rosa Herliany dengan kajian kritik sastra feminis. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan struktur roman IRP yang terdiri dari alur, tokoh dan penokohan, dan latar serta (2) mendeskripsikan gambaran peran ganda perempuan dalam roman IRP. Penelitian ini menggunakan teori struktural untuk menganalisis struktur roman serta teori kritik sastra feminis juga untuk menganalisis gambaran peran ganda perempuan dalamIRP. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi. Metode penyajian hasil analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Alur dalam novel ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap awal digambarkan ketika Irewa dan Meage bertemu di Sungai Warsor. Pertemuan ini membuat mereka saling mengingat satu sama lain. Akhirnya, Meage memutuskan untuk menikahi Irewa. Akan tetapi, Irewa diculik Malom saat masa menstruasi pertama Irewa. Penculikan ini menimbulkan peperangan antara Kampung Aitubu dan Kampung Hobone. Tahap tengah digambarkan dengan perang yang terus berlanjut dan demi menghentikan perang tersebut, Irewa harus menjadi istri Malom. Mendengar pernikahan Malom dan Irewa, Meage meninggalkan Kampung Aitubu. Tahap akhir digambarkan dengan kehidupan Irewa yang sudah berubah. Irewa bekerja sebagai seorang guru yang bertugas membimbing perempuan Papua. Hasilnya itu ia gunakan untuk membiayai kehidupan rumah tangganya dan anak-anaknya. Tokoh protagonis dalam roman ini adalah Irewa, karena Irewa paling banyak diceritakan dan memiliki hubungan langsung dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh antagonis adalah Malom karena ia yang menjadi penyebab masalah yang menimpa tokoh protagonis. Tokoh tritagonis adalah Meage, Jingi dan Ibu Selvi karena ketiga tokoh ini mempunyai keterkaitan dengan tokoh protagonis. Latar terbagi menjadi tiga bagian yaitu latar tempat (Kampung Aitubu, Kampung Hobone, Distrik Yark, Belanda, dan Jerman), latar waktu (pemilu tahun 1977), dan latar sosial (latar sosial budaya yang meliputi rangakaian adat-istiadat dan pembagian kerja laki-laki dan perempuan menurut kepercayaan Kampung Hobone).
Analisis peran ganda perempuan yang terdapat dalam roman
xii ABSTRACT
Wungo, Theresia Chrisantini Hariate. 2016. Women’s Double Role in ISINGA, Papua Romance by Dorothea Rosa Herliany: A Study of Feminist Literary Criticism. An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesia Literature Study Program, Literature Faculty, Sanata Dharma University.
This research analyzes women’s double role in ISINGA, a Papua romance by Dorothea Rosa Herliany, and uses feminism literary criticism approach. The purposes of this research are (1) to describe the romance structure of IRPromance which consists of plot, character and characterization, and settings and (2) to describe the illustration of double role as a figure in IRP romance. This research uses structural theory to analyze the romance’s structure and feminism literary criticism theory to analyze the illustration of women’s double role in IRP romance. The data collection method used is library research. The method of this research is content analysis methods. Moreover, the method of result presenting analysis used is qualitative descriptive.
The plot of this novel consists of three stages and starts from early stage, middle stage, and last stage. The early stage is described when Irewa and Meage met in Warsor river. The meeting makes them remember each other. Finally, Meage decided to marry Irewa. However, Irewa is being kidnap by Malom in her first menstruate. This caused a war between Aitubu village and Hobone village. The middle stage describes the war that happen continuously and in order to stop the war Irewa must become Malom’s wife. When Meage heard this news, he decided to left Aitubu village. The final stage is described with Irewa life has changed . Irewa worked as a teacher in charge of guiding the women of Papua . The result is that he used to finance his home life and her children. The protagonist character in this romance is Irewa because she becomes the most-told and has direct relationship with others characters. The antagonist character is Malom because he becomes the reason of the problem happen to protagonist character. While the tritagonist characters are Meage, Jingi and Madam Selvi because these characters have relationship with protagonist character. The setting consists of three parts which are setting of place (Aitubu Village, Hobone Village, Yark District, Dutch and Germany), setting of time (Indonesia general election in 1977), and the social setting (cultural social setting which consists of custom and tradition and the division of men and women according to Hobone village belief)
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……….ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………...iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………...v
HALAMAN PERSEMBAHAN ………...vi
MOTTO ……….vii
KATA PENGANTAR ………..viii
ABSTRAK ……….xi
ABSTRACT ………xii
DAFTAR ISI ………..xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
I.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 7
1.5 Tinjauan Pustaka ... 7
1.6 Landasan Teori ... 8
1.6.1 Kajian Struktural ... 9
xiv
1.6.1.2 Tokoh dan Penokohan ... 11
1.6.1.3 Latar ... 12
1.6.2 Kritik Sastra Feminis ... 13
1.6.2.1 Peran Ganda Perempuan ... 16
1.7 Metode Penelitian ... 17
1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 17
1.7.2 Metode Analisis Data ... 18
1.8.3 Metode Penyajian Data ... 18
1.9 Sumber Data ... 18
1.10 Sistematika Penyajian ... 18
BAB II STRUKTUR ROMAN ISINGAROMAN PAPUA 2.1 Pengantar ... 20
2.2 Alur ... 20
2.2.1 Tahap Awal ... 21
2.2.2 Tahap Tengah ... 22
2.2.3 Tahap Akhir ... 23
2.3 Tokoh dan Penokohan ... 25
2.3.1 Protagonis: Irewa ... 25
2.3.2 Antagonis: Malom ... 35
2.3.3 Tritagonis ... 39
xv
2.4.1 Latar Tempat ... 49
2.4.1.1 Latar Tempat Luas ... 49
2.4.1.2 Latar Tempat Sempit ... 53
2.4.2 Latar Waktu ... 54
2.4.2.1 Latar Waktu Luas ... 54
2.4.2.2 Latar Waktu Sempit ... 55
2.4.4 Latar Sosial ... 57
2.5 Rangkuman ... 62
BAB III GAMBARAN PERAN GANDA PEREMPUAN DALAM ISINGA ROMAN PAPUA 3.1 Pengantar ... 65
3.2 Peran pada Ranah Domestik ... 65
3.2.1 Proses Regenerasi ... 66
3.2.2 Pendidikan Anak-anak ... 69
3.2.3 Tanggung Jawab Rumah Tangga ... 70
3.2.4 Melayani Suami ... 72
3.3 Peran pada Ranah Publik ... 74
3.3.1 Tanggung Jawab Ekonomi Rumah Tangga ... 75
3.3.2 Aktualisasi Diri ... 77
3.3.3 Politik/Pemerintahan ... 81
xvi BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ... 85
4.2 Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 91
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Seringkali kita dihadapkan dengan persoalan terkait feminis.
Persoalan-persoalan yang sering terjadi adalah kekerasan gender berupa pemerkosaan,
perdagangan perempuan, pelecehan seksual. Akan tetapi, muncul persoalan baru
tentang peran ganda yang terdiri dari peran domestik dan peran publik. Berdasarkan
peran tersebut timbullah pertanyaan tentang siapa yang pantas berada di ranah
domestik atau pun ranah publik.
Peran ganda merupakan sebuah persoalan penting dalam kajian feminisme.
Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak antara kaum
perempuan dan laki-laki (Moeliono, dkk, 1988:241 dalam Sugihastuti, 2002:18).
Dalam pandangan tradisional, peran antara perempuan dan laki-laki seringkali
dibedakan secara tegas. Ada tugas dan fungsi tertentu yang dianggap menjadi tugas
dan fungsi perempuan yang tidak layak dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu,
dalam kritik sasta feminis, dikenal istilah peran publik (yang dipercaya menjadi peran
laki-laki) dan peran domestik (yang dipercaya menjadi peran perempuan).
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin,
domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Kaum laki-laki
dianggap sebagai sosok yang kuat, tangguh dan lebih berkuasa, mencari nafkah, dan
pekerjaan yang berat semuanya hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, berakibat semua
pekerjaan publik menjadi tanggung jawab laki-laki pula (Fakih, 2012:21).
ISINGA ROMAN PAPUA (selanjutnya ditulis IRP) merupakan roman yang ditulis
oleh seorang yang dikenal sebagai penyair yaitu, Dorothea Rosa Herliany yang
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada Januari 2015 dan mendapat
penghargaan sastra bergengsi Kusala Sastra Khatulistiwa 2015. Roman ini memiliki
latar belakang penceritaan beberapa daerah di pedalaman Papua. Daerah Papua yang
dimaksudkan ini adalah suatu kampung di daerah Pegunungan Megafu, yaitu dari
Kampung Hobone dan Kampung Aitubu. Kedua kampung yang sangat melekat
dengan antropologis, menceritakan tentang adat istiadat yang masih ditaati oleh
masyarakat. Kedua kampung ini menjadi pusat penceritaan dalam roman IRP. Penceritaannya tentang peran ganda pun nampak dalam novel ini.
Cerita dalam roman ini berawal dari 2 anak kecil. Irewa Ongge dan Meage
Aromba. Penceritaan dimulai dari Meage yang saat itu berumur 9 tahun sudah
mengikuti upacara wit. Upacara wit ini tidak hanya diikuti oleh Meage, tetapi seluruh
laki-laki remaja Kampung Aitubu dengan tujuan mereka dibersihkan, dihindarkan
dari kutukan dan bahaya lain. Setelah mengikuti upacara wit, mereka dipisahkan dari
keluarga mereka dan tinggal di rumah Yowi. Rumah tempat tinggal yang dikhususkan
wit, upacara muruwal yang dipercaya sebagai upacara perkenalan ke alam, mereka dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan upacara ini tidak boleh diketahui oleh
kaum perempuan diselenggarakan.
Meage tampak tampil gagah dan dewasa sambil memainkan tifanya. Irewa
berlari masuk ke dalam area penari, namun tatapan Irewa kembali bukan ke arah
penari. Irewa mengalihkan pandangan ke arah laki-laki yang sedang memainkan tifa,
Sejak saat itu Irewa mengagumi tifa dan pemain alat musik itu. Beberapa hari
kemudian, mereka dipertemukan lagi di Sungai Warsor. Saat itu Meage sedang
berjalan di sekitar sungai itu tepatnya disuatu jembatan. Ia melihat Irewa seperti
membutuhkan pertolongan. Melihat Irewa yang sedang melambaikan tangannya
mencari pegangan. Meage menuju ke arah Irewa, menolong dan menggendong Irewa.
Saat itulah tubuh Irewa dan Meage berdekatan, menempel dan mereka merasakan
getaran yang berbeda. Jantung yang berdegup kencang.
Meage memutuskan untuk menyatakan cinta pada Irewa. Meage begitu yakin
kalau Irewa memang memiliki rasa yang sama seperti yang dirasakan Meage. Betatas
dan sayuranlah yang menjadi sarana dalam tradisi Aitubu untuk mengetahui isi hati
perempuan. Akhirnya, keinginan Meage terwujud betatas dan sayuran itu diterima
Irewa. Tanpa pikir panjang Meage bertemu Mama dan neneknya dan kedua orang
tua angkatnya Bapak Leon dan Mama Lea. Semuanya menyetujui keinginan Meage
Setelah mengikuti upacara adat Irewa dan Meage sudah bisa dikatakan resmi
menjadi suami istri. Namun, Meage harus bersabar karena ia harus menunggu Irewa
menstruasi pertama terlebih dahulu lalu upacara besar bisa diadakan. Apabila Irewa
belum menstruasi ia masih tinggal bersama orangtuanya. Kejadian mengejutkan
menimpa Meage. Irewa diculik oleh Malom. Seorang laki-laki yang memang dari
dulu kala mengagumi dan menaruh hati pada Irewa. Sayangnya, Irewa sama sekali
tidak membalas perasaan Malom.
Kampung Hobone dan kampung Aitubu perang, karena penculikan Irewa.
Malom tetap mempertahankan Irewa untuk menjadi istrinya. Melihat perang terus
berlanjut akhirnya kampung Hobone memberi penawaran kepada kampung Aitubu
apabila perang dihentikan maka kedua kampung ini berdamai tapi Irewa tetap
menjadi istri Malom, tetapi kalau perang tetap berjalan Irewa tetap menjadi istri
Malom. Akhirnya kampung Aitubu memilih untuk berdamai dan Irewa menjadi istri
Malom. Meage marah besar. Meage lari dan menghilang saat terjadi peperangan dan
mendengar Irewa akan menikah dengan Malom. Kehidupan Irewa berubah, Irewa
menjadi istri Malom. Malom memiliki latar belakang harus mempunyai anak laki-laki
sebanyak-banyaknya. Irewa dipaksa melayani Malom selang 10 hari melahirkan,
sampai Irewa sakit. Irewa harus menghidupi keluarga kecilnya, anak-anaknya
termasuk suaminya. Jika tidak, Irewa akan dipukul dan disiksa. Begitupun seterusnya
Irewa kemudian dipertemukan dengan Jingi. Jingi adalah saudara kembar
Irewa. Adapun kepercayaan masyarakat Aitubu, apabila seorang wanita melahirkan
anak kembar salah satunya harus dibuang atau dibunuh. Namun, saat mama Kame
melahirkan bayi kembar dan suster Karolin dan Suster Wawuntu yang membantu
persalinan Mama Kame bersedia merawat Jingi sampai Jingi menjadi seorang dokter.
Tak lama Irewa mengidap penyakit sifilis, hal ini disebabkan Malom melakukan
hubungan intim dengan para pelacur. Jingi berhasil menyembuhkan saudara
kembarnya. Setelah itu Jingi harus memperdalam ilmu kedokterannya ke Belanda.
Kehidupan Irewa tetap berlanjut. Irewa banyak mengalami perubahan positif,
ia menjadi guru yang dipercaya mengajar kepada para perempuan Papua tentang
menjaga kesehatan dan tubuh mereka. Begitu juga kehidupan Meage, sampai suatu
hari Meage tinggal sementara di Jerman, karena ia sering dipanggil polisi untuk
dimintai keterangan perihal grup musik Farandus yang dianggap melawan
pemerintah. Meage cukup lama tinggal di sana. Suatu ketika Jingi mencium bibir
Meage karena yakin kalau Meage juga mencintai dia dan juga yakin karena Irewa
menitipkan pesan kepada Jingi untuk menikah dengan Meage. Sayangnya, Meage
tidak memiliki rasa apa-apa terhadap Jingi. Dalam benak Meage ia ingin pulang ke
Papua.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik memilih dan meneliti topik tersebut
sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan berikut ini. Pertama, peneliti
daerah Papua. Peran ganda yang harus dijalaninya dengan beberapa masalah yang
menghampirinya. Kedua, sampai dengan saat ini penelitian dari sisi feminis
khususnya tentang peran gnada belum banyak yang meneliti, oleh sebab itu peneliti
melakukan penelitian tentang peran ganda. Ketiga, roman IRP memiliki alur cerita yang berlatarbelakang sisi kehidupan orang timur dan menghadirkan penceritaan
yang sangat mendalam baik dari sisi antropologis maupun kehidupan sosial.
1.2Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang mendasari penelitian ini dibuktikan lewat beberapa
pertanyaan di bawah ini:
1.2.1 Bagaimanakah struktur roman IRP yang terdiri dari alur, tokoh, penokohan, dan latar?
1.2.2 Bagaimanakah gambaran peran ganda pada tokoh Irewa dalam roman
IRP?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
1.3.1 Mendeskripsikan struktur roman IRP yang terdiri dari alur, tokoh, penokohan, dan latar.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil dalam penelitian ini adalah gambaran tentang peran ganda perempuan
yang terdapat dalam roman IRP karya Dorothea Rosa Herliany yang dikaji menurut kritik sastra feminis. Penelitian ini memliki dua jenis manfaat yaitu manfaat secara
teoretis dan manfaat secara praktis. Manfaat teoretis diharapkan berguna bagi ilmu
pengetahuan dalam ilmu sastra yang secara spesifik membahas tentang peran ganda
melalui kritik sastra feminis. Adapun manfaat secara praktis yaitu menambah
wawasan pembaca serta menjadi salah satu referensi bacaan tentang peran ganda
dalam roman IRP.
1.5Tinjauan Pustaka
Roman IRP pernah dibahas oleh B. Rahmanto (2016) berjudul “Isinga Roman
Multi Dimensional”. Makalah tersebut membahas tinjauan kritis terhadap struktur
cerita IRP dan dimensinya dengan latar waktu yang panjang namun dalam jumlah halaman yang terbatas.
IRP juga diteliti oleh Thatit Nirmala Arismaningtyas (2016) dalam bentuk skripsi dengan judul “Campur Kode dalam Novel Isinga Roman Papua, Karya
Dorothea Rosa Herliany”. Dalam skripsi ini, peneliti membahas wujud campur kode dan fungsi campur kode yang terdapat dalam novel Karya Dhorotea Rosa Herliany.
IRP juga diteliti oleh Hosniyeh (2015) dengan judul “Tokoh Utama dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany”. Permasalahan yang dibahas adalah
masyarakat, citra diri tokoh utama perempuan dalam novel IRP yang terdiri dari citra fisik dan citra psikis.
Peneltian tentang IRP juga dilakukan oleh Rahmi Rahmayati dengan judul “Representasi Stereotip Perempuan Papua dalam Roman Papua Isinga Karya
Dorothea Rosa Herliany (Kajian Kritik Sastra Feminis)”. Penelitian ini membahas 1)
satu atau beberapa tokoh perempuan yang terdapat pada sebuah karya sastra, 2) status
atau kedudukan tokoh perempuan tersebut di dalam masyarakat, 3) tujuan hidup dari
tokoh perempuan tersebut di dalam masyarakat, 4) apa yang dipikirkan, dilakukan,
dan dikatakan oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut.
Berdasarkan tinjauan penelitian di atas, peneliti menggunakan bahan-bahan
kajian tersebut untuk menambah kajian penelitian ini. Peneliti belum menemukan
penelitian dengan subyek yang sama dengan penelitian ini terkait peran ganda.
Namun, peneliti melihat terdapat beberapa penelitian yang sama yaitu mengkaji IRP dengan Kritik Feminis dan Kajian Struktural.
1.6 Landasan Teori
Dalam studi ini, peneliti menggunakan dua landasan teori, yaitu teori kajian
struktural (yang dibatasi pada kajian alur, tokoh, penokohanan, dan latar), dan kritik
sastra feminis khususnya tentang peran ganda. Pembatasan pada alur, tokoh,
penokohan, dan latar dimaksudkan peneliti karena alur, tokoh, penokohan, dan latar
merupakan unsur paling penting dalam menganalisis peran ganda yang dijalankan
1.6.1 Kajian Struktural
IRP karya Dorothea Rosa Herliany ini merupakan sebuah karya yang tergolong dalam roman. Ditelaah dari arti katanya, roman merupakan karangan prosa yang
melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing; (cerita)
percintaan (KBBI edisi keempat, 2008: 1180). Analisis roman ini yang digunakan
untuk menganalisis kajian struktural.
Nurgiyantoro, (2005:37) menjelaskan bahwa analisis struktural karya sastra
dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan
mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan.
Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan
peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, amanat, dan
tema.
Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan
secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra secara
bersama. Hal yang paling penting dalam analisis struktural adalah bagaimana
hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik
dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat
bahwa karya sastra merupakan kompleks yang unik, di samping setiap karya sastra
memiliki ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri dan hal inilah yang
membedakan karya sastra yang satu dengan karya yang lain. Analisis struktural dapat
wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko & Rahmanto dalam Nurgiyantoro,
1994:38). Analisis mikroteks berupa analisis kata-kata dan kalimat, atau
kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar.
1.6.1.1Alur
Alur merupakan cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para
tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2005:114). Menurut Stanton (dalam Sugihastuti,
2002:46) alur adalah cerita yang berisi urutan peristiwa, tetapi setiap peristiwa itu
dihubungkan secara kausal. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
peristiwa yang lain.
Berdasarkan kriteria urutan waktu alur dibedakan atas plot lurus atau plot
progresif yang dimaksudkan ialah peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis,
peristiwa yang pertama kali diikuti oleh (atau menyebabkan terjadinya)
peristiwa-peristiwa yang kemudian. Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal
(penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat,
klimaks), dan akhir (penyelesaian) (Nurgiyantoro, 2005:153-154)
Kedua, alur sorot balik atau flash-back yaitu urutan kejadian yang dikisahkan
dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai
dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan
mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal ceita
1.6.1.2Tokoh dan Penokohan
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002:165) memaparkan tokoh cerita adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan). Penokohan
mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005:166). Berdasarkan peran, maka tokoh
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
A. Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya
secara populer disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma,
nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro,
(2005:178). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan
kita, harapan-harapan kita, pembaca. Maka, kita sering mengenalinya sebagai
memeilki kesamaan dengan kita, pemasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga
sebagai permasalahan kita, demikian pula halnya dalam menyikapinya. Singkatnya,
segala apa yang dirasa, dipikir, dan dilakukan tokoh itu sekaligus mewakili kita.
Identifikasi diri terhadap tokoh yang demikian merupakan empati yang diberikan
B. Tokoh Antagonis
Nurgiyantoro (2005:179) menjelaskan tokoh antagonis penyebab terjadinya
konflik. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut, beroposisi dengan tokoh
protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin.
Penyebab terjadinya konflik dalam novel, berupa tokoh antagonis, kekuatan
antagonis, atau keduanya sekaligus.
C. Tokoh Tritagonis
Tjahjono (1988:143) menjelaskan tokoh tritagonis adalah tokoh yang selalu
bertindak sebagai pihak ketiga yang berusaha menjadi juru damai dalam konflik yang
terjadi antara tokoh protagonis dengan tokoh-tokoh antagonis. Orang-orang lain yang
berpihak pada kedua kubu, atau yang berada di luar keduanya disebut sebagai tokoh
tritagonis (Hamzah, 1985:106).
1.6.1.3 Latar
Latar atau setting yang disebut sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005:216).
Selanjutnya Nurgiyantoro juga menyebutkan latar memberikan pijakan cerita secara
konkret dan jelas kepada para pembaca. Berbicara mengenai latar akan ditemukan
beberapa unsur dalam latar yaitu latar tempat (latar luas dan sempit), latar waktu (luas
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuh karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial
menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
1.6.2 Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis merupakan alat yang kuat untuk menyatukan pendirian
bahwa seseorang dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan,
dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan (Sugihastuti, 2002:5-6).
Yoder (dalam Sugihastuti, 2002:5) menyebut bahwa kritik sastra feminis itu
bukan berarti pengkritik perempuan atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang
pengarang perempuan, arti sederhananya kritik sastra feminis adalah pengkritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin
yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin
inilah yang membuat perbedaan antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada
diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi
situasi karang-mengarang.
Kritik sastra feminis adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak
yang meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun
mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh
kaum laki-laki (Djayanegara dalam Sugihastuti, 2002:61).
Feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Dalam pengertian yang lebih sempit jika dikaitkan dalam karya sastra baik dalam
kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan
demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak,
sedangkan dalam ilmu kontemporer dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender
(Ratna, 2012:184).
Ratna menyebutkan sejarah munculnya feminisme pada akhir abad ke-20,
khususnya di Barat, feminisme dan pascamodernisme merupakan gejala-gejala
masyarakat yang sangat penting. Feminisme termasuk salah satu kasus yang
menggoncangkan sistem nilai yang telah mapan, mendekonstruksi sistem pemikiran
tunggal, narasi-narasi besar, religi, patriarki, ideologi, dan sebagainya (Ratna, 2012,
185). Dalam sastra perihal feminisme sudah dipermasalahkan sejak tahun 1920-an
yang ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai Pustaka dengan mengemukakan
masalah-masalah kawin paksa. Kemudian dilanjutkan pada periode 1930-an yang
diawali dengan novel Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana (Ratna,
2012:191).
Dalam feminisme terdapat isu-isu dominan yaitu marginalisasi perempuan
menjadi pemimpin, dan menempatkan perempuan pada tempat yang tidak penting),
stereotipe (pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu), kekerasan
(serangan atau invasi (assaut) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang), beban kerja (kaum perempuan dianggap sebagai peran domestik dan
menjadi tanggung jawab mereka) (Fakih, 2012:14-21).
Berbagai macam isu yang terjadi perihal feminisme, namun, peneliti tidak
menganalisis semua bentuk isu-isu feminisme tersebut, peneliti hanya menganalisis
peran ganda perempuan yang dalam hal ini dimaksudkan adanya beban kerja dalam
novel yang diteliti oleh peneliti. Tanpa dipungkiri, ternyata sampai dengan saat ini
masih ditemukan juga masalah-masalah beban kerja yang dilakukan oleh perempuan.
Teori feminisme bukan merupakan teori yang tunggal. Gadis Arivia
(2003:87-110) mengatakan bahwa teori feminisme berbicara tentang feminisme liberal,
feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis. Feminisme liberal merupakan
konsep pembicaraan mengenai perjuangan membebaskan kaum perempuan dari
penindasan peranan gender, yaitu peranan yang diberikan kepada perempuan karena
berdasarkan jenis kelaminnya. Feminisme radikal memfokuskan diri pada akar
permasalahan ketertindasan perempuan. Feminisme marxis dan sosialis, feminisme
sosialis lebih menekankan penindasan gender di samping penindasan kelas sebagai
salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sementara itu, feminisme
marxis membicarakan persoalan utama yang hanya terletak pada masalah kelas yang
menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan (Arivia, 2003:99-110).
1.6.2.1Peran Ganda Perempuan
Peran ganda merupakan peran yang terdiri dari dua peran, yaitu peran pada
ranah domestik dan peran pada ranah publik.
A. Peran Perempuan pada Ranah Domestik
Menurut Djoharwinarlien (2012:68) pekerjaan sektor domestik di rumah tangga
menghantui dua puluh empat jam, setiap hari, satu minggu penuh. Mulai dari
membereskan urusan rumah, melayani suami hingga mengurus anak. Seolah-olah ada
konstruksi alam bawah sadar yang membingkai bahwa setiap pekerjaan domestik
adalah tanggung jawab seorang perempuan. Menurut pandangan sejarah, wanita di
berbagai masyarakat memainkan banyak peran. Peran seorang perempuan dalam
ranah domestik pada umumnya ialah mengandung, melahirkan, merawat anak,
melakukan pekerjaan rumah, mendidik anak, dan melayani suami. Sifat keibuan
inilah yang paling dasar dalam diri perempuan.
B. Peran Wanita pada Ranah Publik
Fakih (1996:21) mengatakan kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga yang berakibat bahwa
semua pekerjaan domestik merupakan tanggung jawab kaum perempuan.
Menurut Djoharwinarlien (2012:70-71) terdapat istilah kuno yang menjelaskan
dan dapur. Perempuan berhak mengejar visi hidupnya, termasuk berkarier di ruang
publik, masuk ranah politik.
Munandar (1985:50) menyebutkan selain menjadi anggota keluarga inti, setiap
orang juga menjadi anggota dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Seorang wanita
yang telah berkeluarga, di samping perannya sebagai istri, sebagai ibu dan pengurus
rumah tangga, juga dapat berperan sebagai anggota keluarga RT, anggota keluarga
arisan, mencari nafkah, tampil di hadapan publik dan tentu saja sebagai anggota
masyarakat Indonesia, yang paling penting bagi setiap wanita ialah bahwa ia
menyadari bermacam-macam perannya, dan tahu yang diharapkan daripada sebagai
anggota dari tiap-tiap kelompok sosial tersebut, sebagai anggota keluarga inti
maupun sebagai anggota keluarga dalam arti yang lebih luas.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, (i) pengumpulan data, (ii) analisis
data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut akan diuraikan masing-masing tahap
dalam penelitian ini.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka.
Studi pustaka yang dilaku kan adalah membaca teks karya sastra, dalam hal ini yaitu
artikel-artikel dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan objek penelitian yakni peran
ganda perempuan dalam roman IRP.
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan adalah metode formal dan metode analisis
isi. Metode formal adalah metode yang tidak bisa dilepaskan dengan teori
strukturalisme. Sementara itu, metode analisis isi berhubungan dengan isi
komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal (Ratna, 2012, 48-49).
1.7.3 Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif berupa
hasil analisis struktur dan feminisme.
1.8 Sumber Data
Judul : ISINGA ROMAN PAPUA
Pengarang : Dorothea Rosa Herliany
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2015
Halaman : 209 halaman
1.9 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari 4 bab. Bab I merupakan pendahuluan.
Bab pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
belakang menguraikan alasan penulis melakukan penelitian ini. Rumusan masalah
menguraikan masalah-masalah yang ditemukan saat penelitian. Tujuan penelitian
mendeskripsikan tujuan diadakan penelitian. Manfaat penelitian memaparkan
manfaat yang bisa diperoleh dari hasil penelitian. Tinjauan pustaka mengemukakan
pustaka tentang beberapa kajian tentang roman IRP dan resepsi sastra terhadap karya
sastra ini. Landasan teori memaparkan teori yang digunakan sebagai landasan dalam
penelitian. Metode penelitian memberikan perincian teknik pengumpulan data, teknik
analisis, data yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab II berisi struktural yang dibatasi pada alur, tokoh, penokohan, dan latar
BAB II
STRUKTUR ROMAN ISINGA
ROMAN PAPUA2.1 Pengantar
Dalam Bab II ini, peneliti akan menganalisis struktur roman IRP yang dibatasi
pada unsur alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Alur berkaitan dengan sebab-akibat
terjadinya peristiwa dalam novel. Tokoh dan penokohan digunakan untuk
mengungkapkan tokoh-tokoh serta watak dari tokoh-tokoh dalam roman. Latar
digunakan untuk menjelaskan situasi yang dialami oleh tokoh.
2.2 Alur
Alur merupakan cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para
tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2005:114).
Nurgiyantoro (2005:153-154) menyebutkan secara runtut cerita dimulai dari
tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik
meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Alur dalam roman IRP dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik)
2.2.1 Tahap Awal
Irewa dan Meage dipertemukan pertama kali saat mereka bersekolah di
“sekolah dasar”. Kedua remaja yang berasal dari Kampung Aitubu itu dipertemukan
kembali di Sungai Warsor. Saat itu, Irewa sedang mencuci sayur-sayuran. Setelah
selesai mencuci sayuran, ia menuju ke tengah sungai, namun ia tidak sadar bahwa
aliran air sungai itu sangat deras. Irewa terjatuh dan kemudian melambaikan tangan
mencoba mencari benda yang dapat dijadikannya pegangan untuk menahan tubuhnya
agar tidak terbawa arus air. Meage melihat ke arah tangan tersebut dan dengan cepat
menolong lalu menggendong Irewa keluar dari sungai Warsor. Tubuh mereka
bersentuhan dan mereka sama-sama merasakan getaran yang berbeda.
Sejak kejadian itu, Meage meyakinkan diri untuk mengungkapkan
perasaannya lewat betatas dan sayur-sayuran. Irewa menerima cinta Meage dan
Meage ingin menikahi Irewa. Keputusan menikahi Irewa semakin bulat. Kabar
gembira tersebut disampaikan Meage kepada keluarganya. Semua rangkaian adat
sudah diikuti mereka berdua, tinggal satu upacara adat yang akan diikuti mereka yaitu
ketika Irewa mendapat menstruasi pertama. Setelah itu mereka diperbolehkan tinggal
bersama.
Beberapa waktu sebelum Meage menyatakan cintanya kepada Irewa, ada
pemuda lain bernama Malom Wos dari Kampung Hobone yang sudah berulang kali
menyatakan cinta kepada Irewa bahkan ingin memperistri Irewa. Akan tetapi, cinta
Malom selalu ditolak Irewa. Saat Irewa sendiri di rumahnya setelah mengikuti
2.2.2. Tahap Tengah
Mendengar Irewa diculik, Meage marah besar. Meage kemudian menghilang
dan tidak kembali ke kampung Aitubu. Penawaran perdamaian disampaikan
Kampung Hobone kepada Kampung Aitubu. Penawaran pertama apabila ingin
berdamai, perang dihentikan tetapi Irewa akan menjadi isteri Malom, penawaran
kedua apabila tidak ingin berdamai perang berlanjut dan Irewa juga akan menjadi
isteri Malom. Kampung Aitubu menerima penawaran pertama dan dengan terpaksa
Irewa bersedia dinikahi Malom.
Kehidupan Irewa berubah karena ia menjadi tulang punggung keluarga
barunya. Ia mencari makan, ke kebun, ke sungai, mengandung dan melahirkan anak
dengan jarak yang sangat dekat. Irewa mengalami keguguran karena saat hamil ia
menanggung banyak pekerjaan yang berat. Malom tidak peduli dengan keadaan
Irewa. Malom meminta bersetubuh dan kemudian Irewa hamil. Lahirlah anak kedua
perempuan. Malom marah dan meminta bersetubuh lagi karena Malom ingin
mempunyai anak laki-laki sebanyak-banyaknya. Irewa hamil dan lahir anak laki-laki.
Tak puas dua anak, Malom meminta bersetubuh lagi. Hamil, keguguran, hamil
melahirkan, itulah yang dirasakan Irewa. Irewa juga mendapat perlakuan kasar dari
Malom, Irewa disiksa, dipukul, ditendang apabila makanan tidak tersedia di rumah
juga saat Irewa melawan perlakuan kasar dari suaminya itu.
Irewa menderita sakit malaria dan dibawa ke rumah sakit lalu diperiksa oleh
Suster Wawuntu dan satu suster pembantu bernama Jingi. Setelah mendengar cerita
Irewa. Jingi dan Irewa tampak bahagia karena mereka saling mengetahui bahwa
mereka adalah saudara kembar.
Tak lama kemudian Irewa menderita penyakit sifilis. Penyakit kelamin ini
berasal dari Malom semenjak Malom ke kota Surabaya untuk mengikuti suatu
perlombaan. Malom berhubungan intim dengan wanita penghibur di sebuah tempat
bernama “dolly”. Irewa kemudian dirawat oleh Jingi dan akhirnya sembuh. Jingi
mengingatkan kepada Irewa untuk selalu menyampaikan kepada
perempuan-perempuan di Papua agar menjaga kesehatan mereka. Irewa juga harus
menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan penyakit kelamin tersebut kepada
perempuan Papua sehingga mereka terhindar dari penyakit-penyakit menular.
2.2.3 Tahap Akhir
Meage menghilang dan tidak pulang ke Kampung Aitubu. Meage akhirnya
bertemu kawan lamanya saat di “sekolah dasar” yaitu Silak di kampung Yebikon.
Silak memperkenalkan Meage ke masyarakat Kampung Yebikon. Meage cukup lama
tinggal di kampung Yebikon. Meage banyak membantu masyarakat di Yebikon dan
banyak ilmu yang ia ajarkan kepada mereka.
Meage kemudian pergi meninggalkan Yebikon dan bergabung bersama tim
musik tradisional di bawah pimpinan Bapa Rumanus, pendiri grup musik Farandus.
Bapa Ramanus ditangkap oleh pihak pemerintah dan meninggal. Bapa Rumanus dan
posisi bapa Rumanus. Meage juga mengalami hal yang sama. Meage ditahan polisi,
disiksa oleh puluhan orang, ditendang dan dipukul.
Akhir cerita, Meage diminta oleh orang tua angkatnya untuk pergi ke Jerman
dan tinggal bersama mereka. Dokter Leon selalu mendengar kabar buruk yang
dialami anak angkatnya itu. Meage tinggal di Jerman sekitar belasan tahun. Meage
mulai akrab dengan kehidupan kota. Akan tetapi, Meage selalu memikirkan kampung
halamannya. Sementara itu, kehidupan Irewa pun di Papua juga menjadi lebih baik.
Irewa bekerja di Distrik Yar tepatnya di ruangan Ruang Marya. Irewa ditugaskan
sebagai perempuan yang dapat membimbing perempuan-perempuan Papua dengan
mengajarkan kesehatan, membuat kerajinan tangan seperti noken dengan bahan yang
lebih modern, yaitu dari benang wol. Irewa menjadi perempuan yang bisa mengubah
sedikit demi sedikit kehidupan perempuan Papua menjadi lebih baik.
Perempuan-perempuan Papua rajin membuat noken dan hampir setiap hari bertemu Irewa dan
belajar bersama. Marya artinya busur. Oleh sebab itu Irewa mengatakan Irewa dan
kawannya Selvi menjadi busur dan panahnya adalah para perempuan yang dipakai
untuk membunuh hal-hal buruk.
Kehidupan Irewa menjadi lebih baik. Akan tetapi, suaminya Malom lebih
buruk karena setiap hari selalu pergi ke tempat pelacuran. Malom tidak bertanggung
jawab atas Irewa juga anak-anaknya. Kejadian yang menimpa Malom tidak
dihiraukan Irewa. Irewa saat itu hanya memikirkan hidupnya bersama anak-anaknya
2.3 Tokoh dan Penokohan
Berdasarkan peran tokoh dalam novel ini, tokoh terdiri dari tokoh protagonis,
tokoh antagonis, tokoh tritagonis dan tokoh tambahan. Tokoh protagonis dalam
roman IRP adalah Irewa, sedangkan tokoh antagonis adalah Malom, tokoh tritagonis adalah Meage, sementara tokoh tambahan adalah Jingi dan Ibu Selvi.
Tokoh Irewa menjadi tokoh protagonis dalam roman IRP karena Irewa paling
banyak diceritakan serta menjadi tokoh yang memiliki hubungan langsung dengan
tokoh-tokoh lain. Irewa juga menjadi tokoh yang banyak menghadapi permasalahan.
Tokoh Malom merupakan tokoh antagonis dalam roman IRP karena ia yang menjadi penyebab masalah yang menimpa tokoh Irewa. Masalah itu juga
menimbulkan peperangan antara dua kampung, akibat ia menculik Irewa yang
harusnya menjadi istri Meage.
Tokoh Meage, Jingi dan Ibu Selvi merupakan tokoh tritagonis dalam roman
IRP karena ketiga tokoh ini berpihak pada tokoh protagonis dan mempunyai keterkaitan dengan tokoh protagonis (Irewa). Berikut ini akan dipaparkan penokohan
masing-masing tokoh.
2.3.1 Protagonis: Irewa
Pada awal cerita, secara fisik Irewa digambarkan sebagai gadis cilik yang
memiliki kulit berwarna hitam. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat kutipan di bawah
1) Irewa Ongge tampak berlari dari atas lereng gunung menuju ke lapangan di bawah. Gadis cilik ini lalu bergabung di rumunan banyak orang. Karena di tanah berdebu, kulitnya pun kusam. Menempel pada kulitnya yang hitam. Ia sendirian saja (Dorothea, 2015: 8).
Irewa juga digambarkan sebagai anak yang selalu ingin tahu tentang hal baru
yang belum diketahui atau dipahaminya. Di Kampung Aitubu terdapat “sekolah
dasar” yang dibangun oleh salah seorang pendeta dan Irewa mulai mengenyam
pendidikan di sekolah tersebut. Irewa menjadi satu-satunya murid perempuan yang
tampak bersemangat untuk belajar dengan penuh rasa keingintahuannya. Berikut
bukti kutipannya.
2) Pada awal tahun pelajaran, sekolah hanya menerima lima belas siswa. Karena sekolah merupakan hal yang baru bagi orang Aitubu, pada hari pertama sekolah dimulai, banyak anak-anak Aitubu menonton dari luar. Kebanyakan hanya anak laki-laki. Hanya satu yang perempuan, Irewa. Hari-hari berikutnya, rasa ingin tahu sudah selesai. Yang ikut datang jadi berkurang. Lama-lama tinggal satu-dua. Irewa tetap di situ. Tidak pernah merasa bosan. Ia senang mendengarkan semua pelajaran yang diberikan untuk para murid di dalam kelas (Dorothea, 2015:16)
Irewa mengikuti pelajaran yang disampaikan. Banyak hal-hal baru yang baru
diketahui Irewa saat di sekolah. Kehidupan Irewa semakin hari terus berlanjut. Irewa
kemudian dipertemukan dengan Meage. Pertemuan Irewa dan Meage terjadi saat
Meage menolong Irewa yang hampir terhanyut di Sungai Warsor. Pertemuan kali ini
membuat mereka saling mengingat satu sama lain.
Meage memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya kepada Irewa lewat
menyampaikan kabar bahagia ini kepada keluarganya. Adat demi adat sudah diikuti
mereka berdua. Namun, kali ini Irewa dan Meage harus bersabar karena Irewa harus
mendapat menstruasi pertama dan kemudian mereka diperbolehkan untuk tinggal
bersama.
3) Tak lama, dilanjutkan upacara adat perkawinan. Ada banyak babi-babi lagi dibakar batu panas. Betatas. Sayur-sayuran. Mantra. Dukun. Tarian sampai pagi. Musik. Irewa teringat tifa dan seorang laki-laki yang memikat hatinya (Dorothea, 2015:55)
Irewa mendapat menstruasi pertama dan langsung mengikuti upacara adat.
Setelah upacara adat selesai, Irewa sendiri di rumahnya dan tidak diperbolehkan
keluar rumah, karena ia harus mengikuti upacara adat lain untuknya. Malom sudah
lama menanti upacara menstruasi pertama bagi seorang gadis dan Irewa diculik
Malom. Berikut bukti kutipannya.
4) Setelah Irewa makan betatas suci dan minum air suci, ia harus tinggal di dalam rumah. Tidak boleh keluar-keluar. Begitulah larangan yang merupakan bagian dari upacara ini. Besok pagi masih ada lanjutan upacara lain untuknya. Mama Kame lalu pergi berkebun. Dukun dan bapa Labobar pergi ke Rumah Yowi. Saat Irewa sendirian itulah, Malom datang dan menculik Irewa (Dorothea, 2015:45)
Penculikan Irewa menyebabkan perang antara Kampung Hobone dan Aitubu.
Demi perdamaian kedua kampung tersebut, Kampung Hobone memberikan dua
syarat, pertama kedua kampung berdamai dan Irewa menjadi istri Malom dan syarat
kedua, kedua kampung tetap berperang tapi Irewa menjadi istri Malom. Kampung
Kehidupan Irewa berubah setelah menikah dengan Malom. Perubahan
pertamanya ia banyak menanggung beban kerja. Ia menjadi tulang punggung rumah
tangganya, mencari makan, ke kebun, ke sungai, hamil, keguguran, hamil dan
melahirkan. Irewa harus banyak belajar menjadi seorang istri dan kepala rumah
tangga serta yang paling penting ia harus menjadi perempuan Hobone yang kuat.
5) Cara menangkap ikan adalah satu hal baru yang harus dipelajari Irewa agar bisa menyesuaikan diri untuk hidup di Hobone. Kalau cara mengolah (menokok) sagu, Irewa sudah tahu, tapi ia tidak pandai (Dorothea, 2015:58)
Irewa selalu mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Irewa selalu mendapat
tamparan ketika Irewa membela diri dari perlakuan kasar Malom ditambah lagi ketika
makanan tidak tersedia di rumah. Irewa juga berkali-kali hamil, pernah keguguran
dan pernah melahirkan. Hal ini disebabkan karena Irewa banyak menanggung
pekerjaan berat dan kurangnya zat gizi makanan yang dibutuhkan layaknya ibu hamil.
Berikut bukti kutipannya.
6) Mama Fos yang baru datang mengantarkan betatas, kaget. Ia memeriksa keadaan Irewa. Ia tahu, Irewa keguguran (Dorothea, 2015:63)
8) Proses persalinan berlangsung sekitar dua jam. Setelah itu mama bidan membimbing Irewa kembali ke Rumah Humia. Bayi Irewa dalam dekapan tangannya. Malom diberitahu, anaknya sudah lahir. Perempuan. Mama bidan lalu pergi ke sungai. Tali pusar dibuang sambil mengucapkan mantra (Dorothea, 2015: 69)
Setelah hamil, Irewa keguguran, lalu hamil lagi dan melahirkan anak
perempuan yang diberi nama Kiwana. Belum cukup lama Irewa melahirkan, sekitar
sepuluh hari Irewa terpaksa harus memenuhi permintaan Malom untuk berhubungan
intim. Namun, keadaan Irewa tidak dikhawatirkan oleh suaminya sendiri. Berikut
bukti kutipannya.
9) Hanya sepuluh hari setelah Irewa melahirkan, Malom sudah minta Irewa melayani bersetubuh. Malom bilang, ia ingin anak laki-laki. Anak laki-laki adalah tuntutan. Istri pertama Malom dulu belum memberi anak pada Malom sudah keburu meninggal. Saudara-saudara Malom yang laki-laki, semuanya meninggal pada saat berperang. Itulah sebab orangtua Malom mendukung ketika Malom ingin punya
istri lagi… (Dorothea, 2015:69-70)
10)Irewa memaksakan diri melayani permintaan Malom. Tak senang. Tegang. Kelaminnya terasa nyeri. Sakit. Irewa harus menghadapi apa saja yang terjadi atas dirinya. Begitulah juga yang dialami semua
Anak kedua Irewa sudah berumur satu tahun. Irewa juga sudah melahirkan
anak ketiga berjenis kelamin perempuan dan ia melahirkan sendiri. Setelah menikah
dengan Malom Irewa harus menjadi perempuan mandiri dan kuat sesuai kepercayaan
masyarakat Hobone. Irewa juga harus pandai membedakan mana yang sakit perut
biasa dan sakit perut akan melahirkan.
11)Ketika Kiwana masih berumur satu tahun, Irewa sudah hamil lagi. Sembilan bulan kemudian melahirkan. Kali ini Irewa sudah tahu segala sesuatu urusan melahirkan. Ia lakukan persalinan itu sendirian. Di rumah. Di dekat tungku. Di situ ada abu panas. Irewa akan membutuhkannya nanti. Irewa menyiapkan selembar daun pisang yang lebar. Kini Irewa sudah bisa membedakan perut sakit. Sakit biasa atau sakit akan melahirkan. Ketika perutnya sudah merasakan akan melahirkan, ia jongkok di atas daun pisang itu. Kakinya gemetaran. Perempuan hamil merasakan segala macam rasa sakit saat melahirkan bayi. Kesakitan yang dulu dirasakan, kini mengatur napas. Menekan lagi beberapa kali pada waktu yang tepat. Akhirnya bayi keluar. Perempuan lagi (Dorothea, 2015:70-71)
Irewa kini mempunyai dua anak perempuan, anak pertama diberi nama
Kiwana dan kedua Mery. Belum lama melahirkan, Irewa hamil lagi. Namun, karena
banyak pekerjaan berat yang ditanggungnya selama hamil ketiga ini, Irewa
mengalami keguguran. Lagi-lagi Malom tidak peduli dengan keadaan Irewa. Irewa
diminta untuk bersetubuh lagi dan Irewa hamil untuk yang keempat kalinya dengan
jarak yang begitu singkat.
Setelah Irewa melahirkan anak laki-laki, jarak 4 tahun lagi Irewa hamil dan
melahirkan anak perempuan diberi nama Nela. Irewa pernah hamil lagi namun
keguguran dan kemudian hamil tetapi melahirkan bayi yang tidak mempunyai kulit
perut dan meninggal. Selain itu, Irewa pernah hamil dan melahirkan namun anaknya
meninggal karena menderita penyakit diare.
Beginilah nasib Irewa, ia harus hamil, melahirkan, keguguran, dan kehilangan
bayi. Jika dihitung sejak awal kehamilan Irewa sampai anak yang terakhir, ia hamil
1 anaknya meninggal karena tidak memiliki tali perut dan satunya terkena penyakit
diare serta mengalami keguguran 2 kali. Berikut kutipannya.
12)Begitulah hari-hari Irewa. Seperti sudah ditetapkan bahwa ia harus terus-menerus bekerja. Juga harus terus-menerus beranak. Setelah anak yang kedua itu, Irewa hamil lagi. Tapi akrena karena pekerjaan berat dan makan kurang, kembali Irewa keguguran. Tak lama, Malom mengajak bersetubuh lagi seorang laki-laki. Lalu Irewa hamil lagi. Anak yang lahir dan hidup kali ini seorang laki-laki. Diberi nama Ansel . Jadi dalam waktu yang singkat Irewa sudah punya tiga orang anak. Perempuan, perempuan, laki-laki. Irewa tahu perkara anak, tak ada selesai. Ia harus terus-menerus mau menerima ajakan Malom bersetubuh. Malom ingin anak laki-laki sebanyak-banyaknya (Dorothea, 2015:73)
13)Akibat tanah banyak yang longsor, tanaman betatas yang dikerjakan Irewa juga hilang. Irewa hanya berharap dari ladang yang lain yang
tidak longsor….
Anaknya yang pertama, Kiwana, untung saja sudah bersuami dan hidup terpisah. Tapi anak Irewa sudah bertambah seorang lagi, Nella. Waktu itu, Ansel anaknya yang ketiga, masih menyusu sampai umur 4 tahun. Setelah Ansel lepas dari menyusui itu, Irewa hamil lagi dan
setahun kemudian lahir anaknya yang paling kecil itu. Jadi 3 anak…
(Dorothea, 2015:137)
Kecerdasan Irewa dengan tidak mengabaikan jumlah kehamilannya
membedakan Irewa dan perempuan Hobone yang lain. Setelah melewati masa hamil
dan keguguran, Irewa harus memikirkan nasib anak-anaknya. Irewa harus
memikirkan bagaimana mendapatkan makanan untuk anak-anaknya dan apa yang
dibutuhkan di rumah tangganya. Pada akhir cerita, Irewa mulai menjual
sayur-sayuran, menjual babi-babi yang dipeliharanya, menyewa kios untuk berdagang dan
pada akhirnya ia ditawarkan bekerja sama oleh camat baru di Disyark yaitu ibu Selvi.
Semua usaha yang dilakukan Irewa untuk mendapatkan uang karena ia harus
membiayai kehidupan rumah tangganya dan pada waktu Kiwana dan Mery nanti
menikah. Berikut kutipannya.
15) Malom tak bekerja . Kalau ia menjual tanah, uang itu dipakainya untuk dirinya sendiri. Jadi Irewa yang harus memikirkan semua kebutuhan keluarga. Yang terakhir babi milik Irewa hanya tinggal dua ekor saja. Ladang yang dulu tanahnya longsor, sudah dijual oleh Malom. Begitu pula ladang-ladangnya yang lain. Untuk menghidupi keluarga, Irewa lalu menjual dua ekor babinya itu. Uangnya dipakai untuk beberapa keperluan. Untuk sewa kios di pasar. Sedikit untuk mencicil utang pedagang pasar waktu Ansel masuk SMA. Sedikit untuk pegangan biaya hidup dan anak-anaknya. Sejak saat itu Irewa tak lagi menjual hasil kebun miliknya sendiri, tapi menjual sayur, buah, dan lainnya milik para perempuan di kampung-kampung. Dari situlah anak-anaknya bisa makan dan ada sedikit uang untuk biaya lain (Dorothea, 2015:183-184)
Selain membiayai kehidupan rumah tangga, Irewa mementingkan pendidikan
untuk anak-anaknya, walaupun kondisi ekonomi Irewa tidak stabil dan tidak adanya
tanggung jawab Malom sebagai pencari nafkah. Irewa merasa pendidikan itu penting,
16)Malom sering pergi ke “kota” distrik sejak sore. Pagi baru pulang… Irewa sudah merasakan hidupnya lebih ringan kalau ia tak memikirkan Malom. Ia hanya tinggal memikirkan bagaimana bisa terus menghidupi anak-anaknya. Mery sudah punya suami juga. Tinggal Ansel dan Nella. Nella masih SD di Hobone. SD adalah satu-satunya sekolah yang ada di Hobone. Ansel SMP di Distrir Yar (Dorothea, 2015:152)
17)Setelah mereka sekeluarga pindah, Irewa langsung mencarikan sekolah dasar baru bagi Nella. Nella tak harus tak harus lama mengganggur. Ia meneruskan sekolahnya di situ. Ansel masih tetap di
kelas satu SMA. Meneruskan sekolahnya di situ… (Dorothea,
2015:184)
Hidup Irewa menjadi lebih baik, karena banyak disibukkan dengan kegiatan
yang positif. Setelah Irewa selesai berdagang di pasar, ia melanjutkan kegiatan
menyampaikan kepada para perempuan bahayanya penyakit HIV-AIDS. Mendengar
kegiatan positif yang dijalankan Irewa di Papua, Ibu Selvi menawarkan kerja kepada
Irewa menjadi seorang guru. Irewa dan Ibu Selvi kini menjadi tim yang kompak
untuk membimbing perempuan Papua. Irewa dan Ibu Selvi memang belum lama
saling mengenal satu sama lain, tetapi mereka menjadi rekan kerja yang sudah sangat
akrab, baik dalam membagi pengalaman mereka maupun saling memberi pendapat.
Berikut bukti kutipannya.
18)“Irewa, kalau sa (saya) membangun sebuah ruang di kantor distrik ini untuk kegiatan perempuan, apakah kau mau menjadi guru bagi
mereka?”