CITRA PEREMPUAN DALAM ROMAN ISINGA KARYA DOROTHEA ROSA HERLIANY
KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS
Skripsi
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S-1) Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
,mm
Oleh Dorce Kasi NIM: 124114017
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2017
PERSEMBAHAN
Jadilah diri sendiri untuk menggapai impian, percayalah Tuhan turut bekerja dan jadikan
keluarga dan orang lain sebagai motivator.
Karya ini saya persembahkan untuk keluarga : Thomas Kasih dan almarhumah Sarlota Isba
Rut Benselina Kasih, Aser Kasih, almarhumah Fransina Kasih, Alfons Kasih, Dina Mandacan, Marta Mandacan, Ruben Isba, Marthen Isba,Thomas Isba,
Moto
Banyak hal yang kupikirkan dalam hidup ini tetapi kuasa Tuhan bekerja melebihi segalanya.
Biarkanlah dirimu dibentuk dan diproses oleh Tuhan
Maka, terlaksanalah apa yang dipikirkan asalkan kita tetap percaya Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau
pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita (Efesus 3:20).
Tuhanlah yang menjadikan bumi dengan kekuatan-Nya, yang menegakkan dunia dengan kebijaksanaan-Nya, dan yang membentangkan langit dengan akal budi-Nya (Yeremia 10:12).
Sadhar dan mereka membentuk dan memprosesku
Mengenal dan memahami Bahasa, Budaya dan Sastra
Aku bertumbuh karena mereka yang membimbingku dan doa kalian
Terima kasih untuk segalanya, kini ku belum tersadar seutuhnya
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang maha kuasa yang telah mencurahkan anugrah-Nya kepada penulis, untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Citra Perempuan dalam Roman ISINGA Kajian Kritik Sastra Feminis. Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada program studi Sastra Indonesia.
Penulis menyadari tidak bisa mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan motivasi dari dosen, keluarga dan teman-teman. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tulus kepada:
1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum, selaku Pembimbing I yang meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberi semangat kepada penulis dalam menulis skripsi.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, selaku Pembimbing II yang memberikan masukan
dalam penulisan skripsi.
3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang sabar dan
memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis dalam mengerjakan skripsi.
4. Dosen Prodi Sastra Indonesia, almarhum Drs. Hery Antono, M.Hum, Dr. Yoseph
Yapi Taum, M.Hum, Prof. Dr.I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Dra. Fr. Tjandrasih
Adji, M.Hum, Drs.F.X Santosa, M.Hum, Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A dan
dosen mata kuliah tertentu.
5. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Sastra yang telah membantu penulis dalam
administrasi akademik selama kuliah.
6. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Sanata Dharma yang membantu dalam
menyediakan buku-buku referensi yang digunakan oleh peneliti.
7. Kedua orang tua penulis Thomas Kasih dan Rut Benselina Kasih yang dengan tulus
mendoakan penulis dan membantu penulis secara moril dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Kedua kakak dan adik penulis Marta Mandacan, Aser Kasih dan Alfons Kasih yang
telah mendukung dalam doa dan memberikan semangat kepada penulis selama
kuliah hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia Angkatan 2012: Bella, Carlos, Gaby,
Lina, Mey, Novia, Ovi, Patrick, Peng, Retha, Roby, Santi, Silvy, Venta dan Wily.
Terima kasih untuk kebersamaan, perhatian dan motivator bagi penulis.
ABSTRAK
Kasi, Dorce. 2017. “Citra Perempuan dalam roman ISINGA karya Dorothea Rosa Herliany Kajian Kritik Sastra Feminis”. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Peneliti menganalisis citra perempuan dalan roman ISINGA karya Dorothea Rosa Herliany dengan kajian kritik sastra feminis. Tujuan dalam penelitian yaitu (1) mendeskripsikan unsur alur, tokoh dan penokohan dan latar serta (2) mendeskripsikan dan menafsirkan citra perempuan dalam roman Isinga. Ada dua teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) teori struktural yaitu teori yang menganalisis unsur alur, tokoh dan penokohan dan latar dalam roman Isinga dan (2) teori kritik sastra feminis menganalisis citra perempuan dalam roman Isinga. Peneliti menggunakan metode pengumpulan data dan studi pustaka, metode analisis data dengan metode formal dan analisis isi dan metode penyajian hasil analisis data dengan deskriptif kualitatif.
Alur roman Isinga terdiri atas tiga tahap yakni tahap awal, tahap tengah dan tahap akhir. Tahap awal menceritakan tentang Meage dan Irewa yang saling jatuh cinta dan menurut adat mereka sudah menjadi suami dan istri tetapi belum tinggal serumah karena Irewa belum menstruasi. Irewa diculik Malom dan perang antarperkampungan Aitubu dan Hobone terjadi. Tahap tengah, Irewa sudah menjadi istri Malom sedangkan Meage pergi meninggalkan kampung Aitubu karena perang dan Irewa yang sudah menjadi Malom. Tahap akhir menggambarkan Irewa yang menjadi guru atau edukatif kesehatan bagi para perempuan Papua. Penghasilan yang ia dapatkan ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak-anaknya. Tokoh utama dalam roman Isinga adalah Irewa, yang menjadi lawan adalah Malom sedangkan tokoh tambahan adalah Meage, Jingi, Ibu Selvi dan suster Karolin dan suster Wawuntu. Irewa berperan sebagai tokoh utama karena ia yang banyak diceritakan dalam roman Isinga, Malom menjadi tokoh lawan karena ia yang membuat Irewa mengalami beban hidup sedangkan Meage, Jingi, ibu Selvi dan suster Karolin dan suster Wawuntu memiliki hubungan secara langsung dengan Irewa. Latar dalam roman Isinga adalah (1) latar tempat secara luas adalah kampung Aitubu, kampung Hobone, Distrik Yar dan Jerman sedangkan latar tempat secara sempit adalah sekolah, rumah sakit, sungai Warsor, rumah humia dan yowi, kebun dan pasar (2) latar waktu secara luas terjadi pada tahun 1977 saat pemilihan umum sedangkan latar waktu secara sempit adalah pagi dan malam dan (3) latar sosial dalam roman Isinga menggambarkan kebudayaan kampung Aitubu dan Hobone.Analisis citra perempuan dalam roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany adalah citra diri perempuan dalam aspek fisik dan psikis tokoh Irewa, Jingi, ibu Selvi dan suster Karolin dan suster Wawuntu sedangkan citra sosial perempuan dalam bidang domestik hanya difokuskan pada tokoh Irewa yakni Irewa sebagai istri, ibu dari anak dan ibu tumah tanggadan citra sosial perempuan dalam bidang publik dari segi ekonomi, segi pendidikan, segi kesehatan, segi budaya dan segi pemerintahan.Dari perspektif feminis, hubungan kekuasaan laki-laki- perempuan tidak seimbang. Perempuan menempati posisi subordinasi terhadap laki-laki tetapi dalam hal pendidikan dan mata pencaharian.
ABSTRACT
Kasi, Dorce. 2017. “Women‟s Image Depicted in ISINGA Romance by Dorothea Rosa Herliany: Feminism Approach in Literature. An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesia Literature, Literature Faculty, Sanata Dharma University.
This research analyzes the women‟s image depicted in the ISINGA romance by Dorothea Rosa Herliany, using the feminism approach in literature. This research purposed (1) describing the elements of plot, character and characterization, and setting, and (2) describing and interpreting women‟s image in the ISINGA romance. The theories used in this research are (1) the structural theory to analyze the elements of plot, character and characterization, and setting in the ISINGA romance, and (2) the theory of feminism approach in literature to analyze women‟s image in ISINGA. The researcher uses data collection and literature study method, data analysis method with formal method and content analysis and presentation method of data analysis result with qualitative descriptive.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMNING... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
MOTO... vii
KATA PENGANTAR... viii
ABSTRAK... ix
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah... 6
1.3 Tinjuan Penelitian... 6
1.4 Manfaat Penelitian... 7
1.5 Tinjauan Pustaka... 7
1.6 Landasan Teori... 8
1.6.1 Kajian Struktural... 9
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan... 10
1.6.1.2 Alur... 10
1.6.1.3 Latar... 12
1.6.2 Kajian Kritik Sastra Feminis... 13
1.6.3 Citra Perempuan... 15
1.6.3.1 Citra Diri Perempuan... 16
1.6.3.2 Citra Sosial Perempuan... 17
1.7 Metode penelitian... 18
1.7.1 Metode Pengumpulan Data... 18
1.7.2 Metode Analisis Data... 18
1.7.3 Metode Penyajian Data... 18
1.8 Sumber Data... 19
1.9 Sistematika Penyajian Data... 19
BAB II UNSUR ALUR, TOKOH DAN PENOKOHAN SERTA LATAR ROMAN ISINGA 2.1Pengantar... 20
2.2Alur... 20
2.2.1 Tahap Awal... 20
2.2.2 Tahap Tengah... 21
2.2.3 Tahap Akhir... 23
2.3Tokoh dan Penokohan... 24
2.3.1 Tokoh Utama (Irewa)... 27
2.3.2 Tokoh Lawan (Malom)... 36
2.3.3 Tokoh Tambahan ... 38
2.4Latar... 46
2.4.1 Latar Tempat... 46
2.4.1.1Latar Tempat luas... 46
2.4.1.2 Latar Tempat sempit... 49
2.4.2 Latar Waktu... 51
2.4.2.1 Latar Waktu Luas... 51
2.4.2.2 Latar Waktu Sempit... 52
2.4.3 Latar Sosial... 53
2.5 Rangkuman... 57
BAB III CITRA PEREMPUAN DALAM ROMAN ISINGA KARYA DOROTHEA ROSA HERLIANY
3.1 Pengantar... 61
3.2 Citra Diri Perempuan... 61
3.2.1 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Fisik... 62
3.2.2 Citra Diri Perempuan dalam Aspek Psikis... 73
3.3 Citra Sosial Perempuan... 87
3.3.1 Citra Sosial Perempuan dalam Bidang Domestik... 88
3.3.2 Citra Sosial Perempuan dalam Bidang Publik... 90
3.3.2.1 Segi Ekonomi... 90
3.3.2.2 Segi Pendidikan... 91
3.3.2.3 Segi Kesehatan... ... 92
3.3.2.4 Segi Budaya... 95
3.3.2.5 Segi Pemerintahan... 100
3.4 Rangkuman... 100
BAB IV PENUTUP... 106
4.1 Simpulan... 106
4.2 Saran... 112
DAFTAR PUSTAKA... 113
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Sastra merupakan institusi sosial yang memakai bahasa sebagai mediumnya untuk
menyajikan kehidupan yang terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru
alam dan dunia subjektif manusia. Hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra
sebagai dokumen sosial, potret kenyataan sosial yang ditarik dari karya sastra. Menurut
Warton dan pengikutnya (via Wellek dan Warren, 1990:109-122), sastra merupakan gudang
adat-istiadat. Penciptaan sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam
masyarakat (Rampan, 1984:16 via Sugihastuti dan Saptiawan).
Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur
sosial masyarakat, fungsi dan peran setiap anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin
di antara seluruh anggotanya. Sederhananya karya sastra menggambarkan unsur-unsur
masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Banyak pandangan negatif tentang kaum
perempuan di antaranya meliputi fungsi, peran dan kedudukan mereka dalam kehidupan
masyarakat, salah satunya stereotip bahwa perempuan merupakan kaum yang lemah sedangkan
laki-laki ialah kaum yang kuat. Perempuan sebagai lawan jenis dari laki-laki, digambarkan
dengan citra-citra tertentu yang mengesankan inferioritas perempuan, baik dalam struktur
sosial maupun budaya.Sistem inferioritas dibagi dalam pembagian kerja yang menyangkut
fungsi dan peran perempuan. Terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa perempuan tidak
hanya berperan sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga bagi keluarga, tetapi juga secara sosial
dan budaya dalam lingkup yang luas (Sugihastuti dan Saptiawan, 2010:82-83).Dalam
perspektif feminisme ada dua terminologi yang menggambarkan ruang kerja bagi perempuan
Ruang domestik melingkupi aktivitas rumah tangga sedangkan ruang publik
menyangkut aktivitas di luar rumah, interaksi dengan masyarakat dan lingkungan kerja.
Perempuan diidentikkan dengan fungsi sosialnya sebagai pekerja rumah tangga. Artinya
perempuan bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga seperti mengasuh anak,
membersihkaan rumah, mencuci dan menanak nasi. Ruang publik didominasi laki-laki karena
fungsi-fungsi pencarian sumber daya ekonomi dilakukan mereka (Sugihastuti dan Saptiawan,
2010:84). Maka, kaum perempuan tidak hanya dicitrakan sebagai istri, ibu rumah tangga,
mengasuh anak, membersihkan rumah dan melayani suami tetapi perempuan juga dicitrakan
sebagai perempuan yang mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Hal inilah yang
dialami tokoh Irewa dalam roman Isinga (I) karya Dorothea Rosa Herliany.
Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indra yang diungkapkan lewat kata-kata,
gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Oleh karena itu,
citra adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan
yang menunjukkan perwajahan dan citra ciri khas perempuan sebagai individu dan makhluk
sosial (Pradopo, 1997:80). Untuk itu, citra perempuan berkaitan dengan situasi sosial
masyarakat yang berlaku pada tempat atau daerah tertentu. Salah satu karya sastra yang
mengandung ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan, yang berkaitan dengan citra
perempuan adalah roman Isingakarya Dorothea Rosa Herliany. Roman ini ditulis oleh
Dorothea Rosa Herliany yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Januari 2015 dan
mendapatkan penghargaan bergensi Kusala Sastra Khatulistiwa 2015. Cerita dalam roman ini
mengangkat adat-istiadat, ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan di beberapa
daerah di pegunungan Papua khususnya kampung Aitubu dan Hobone.Situasi sosial
Oleh sebab itu, penelitian ini mengacu pada citra perempuan dalam roman Isingakarya
Dorothea Rosa Herliany (DRH). Roman Isinga mengisahkan cinta segi tiga antara Meage
Aromba, Irewa Ongge, dan Malom Wos. Cerita ini berawal dari dua anak remaja yakni Irewa
Ongge dan Meage Aromba. Penceritaan diawali oleh Meage Aromba yang mengikuti upacara
wit pada usia 9 tahun. Upacara wit dilakukan untuk membersihkan dan menghindarkan anak
dari kutukan dan bahaya, setelah upacara wit dilaksanakan anak-anak lelaki boleh tinggal di
rumah yowi. Rumah yowi merupakan tempat tinggal bagi kaum pria sedangkan rumah humia
untuk para wanita. Sekitar dua tahun setelah upacara wit ada upacara adat yang lebih besar lagi
yakni upacara muruwal, yang diyakini upacara untuk laki-laki dan tidak boleh diketahui para
perempuan. Upacara muruwal dipercaya sebagai perkenalan ke alam.
Irewa tampak cantik dan matang (nime) sedangkan Meage Aromba terlihat menarik
dan gagah. Irewa berlari mendekat ke arah penari dan lebih dekat dengan bunyi tifa yang di
mainkan oleh Meage, sejak itu Irewa mulai mengagumi bunyi tifa yang dimainkan Meage.
Setelah itu, mereka dipertemukan di sungai Warsor ketika Irewa diguncang arus sungai. Saat
yang sama Meage sedang melewati jembatan dan melihat Irewa yang melambaikan tangan
meminta pertolongan. Meage pun turun ke tengah sungai dan mengendong Irewa ke pinggir.
Pertemuan itu membuat mereka merasakan sesuatu yang istimewa dan jantung mereka bergetar
kencang. Meage memutuskan untuk menyatakan cintanya kepada Irewa dengan memberikan
betatas dan sayuran sebagai sarana, untuk mengetahui isi hati perempuan karena ini merupakan
tradisi masyarakat suku Aitubu. Betatas dan sayuran itu diterima Irewa karena ia juga
menyukai Meage. Meage memberitahukan hubungannya dengan Irewa kepada nenek dan
ibunya, kedua orangtua angkatnya Bapak Leon dan Mama Lea, dan para laki-laki dirumah yowi
Irewa adalah kekasih Meage dan mereka sudah diakatakan sebagai suami istri tetapi
mereka belum bisa tinggal serumah karena Irewa belum menstruasi. Saat menstruasi pertama
bagi Irewa, Malom Wos menculik Irewa. Seorang laki-laki yang menyukai dan melamar Irewa
dua kali tetapi Irewa menolak karena ia tidak menyukai Malom Wos. Pemuda kampung Aitubu
dan Hobene berperang karena beberapa pemuda Hobone mencurik babi-babi milik orang
Aitubu. Untuk perdamaian kedua kampung tersebut Malom mengusulkan untuk menjadikan
Irewa sebagai alat damai (yonime) dalam bahasa setempat. Demi perdamaian kedua kampung
itu, Irewa mau menikah dengan Malom meskipun ia tidak mencintainya. Kehidupan Irewa
berubah setelah menikah dengan Malom, ia mulai bekerja keras mencari umbi-umbian dan
ikan untuk dikonsumsi sehari-hari. Irewa mengandung dan melahirkan setelah 10 hari
melahirkan ia harus melayani Malom kalau tidak ia dipukul dan disiksa dan akibatnya Irewa
sakit. Ketika Irewa sakit dan dibawa kerumah sakit ia bertemu dengan Jingi saudara
kembarnya. Masyarakat Aitubu mempercayai bahwa ada seorang perempuan yang melahirkan
dua anak kembar satu di antaranya harus dibunuh. Dulu Jingi dihanyutkan ke sungai lalu
diasuh oleh Suster Karolin dan suster Wawuntu yang kemudian dibesarkan di Manado.
Jingi pun menyelesaikan studinya dan menjadi dokter. Irewa menderita penyakit sifilis
karena Malom yang berhubungan dengan pelacuran ketika ia pergi ke Surabaya tetapi Irewa
pun diselamatkan oleh Jingi. Kehidupan Irewa berlanjut dan Jingi melanjutkan kuliah di bidang
kedokteran di Belanda. Setelah Jingi pergi, Irewa mengalami perubahan baik yakni menjadi
seorang guru dan mengajar tentang ilmu kesehatan kepada para perempuan. Irewa mengurus
anak-anaknya dan mengajar di ruang Marya sedangkan Meage mengalami peristiwa buruk.
Meage sering dipanggil polisi untuk memberikan keterangan tentang grup musik farandus
Kekhawatiran dokter Leon dan mama Lea terhadap peristiwa yang dialami Meage
sehingga mereka meminta Meage tinggal di Jerman bersama mereka. Meage dan Jingi bertemu
di Jerman ketika ada acara Karnaval Maastrich. Malam semakin gelap Jingi memeluk tubuh
Meage dan tak sadar ia menciumnya. Irewa meminta Jingi untuk menikah dengan Meage,
tetapi Jingi tidak mendengarkan Irewa karena ia berpikir hal itu menyakiti hati saudaranya.
Jingi sedang memikirkan kejadian malam karnaval sedangkan Meage ingin balik ke Papua.
Citra perempuan terpengaruh karena budaya dan sosial masyarakat suku Aitubu dan
Hobone yang berada di pegunungan Megafu Papua yang melatarbelakanginya. Oleh sebab itu,
penulis menggunakan kajian kritik sastra feminis. Hal yang mendasar pada citra perempuan
dalam roman Isinga adalah kehidupan masyarakat Aitubu dan Hobone yang masih kental
dengan adat-istidat. Perempuan dijadikan alat untuk berdamai, menikah dan melayani suami
tanpa batasan, bekerja keras mencari bahan makanan berupa umbi dan ikan untuk kebutuhan
keluarga, mengandung dan melahirkan bahkan keguguran karena terus bekerja. Kebudayaan
dan adat-istiadat yang masih berlangsung dan permusuhan antara kampung Aitubu dan Hobone
sejak nenek moyang, dapat menimbulkan peperangan dan menyebabkan banyak korban yang
meninggal dalam peristiwa itu.
Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk memilih dan meneliti topik ini
sebagai objek penelitian dengan beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, roman Isinga (I)
dilatarbelakangi oleh persoalan adat-istiadat, antropologis, sosio-ekonimis-politis dalam
kesenjagan sosial, konflik sosial, dekriminasi ras dan ketidakadilan gender. Kedua, roman
Isinga (I) saat ini belum banyak yang meneliti dari segi kritik sastra feminis khususnya
mengenai citra perempuan. Namun, sudah ada yang meneliti dari segi feminisme sosialis yakni
Ketiga, peneliti akan meneliti tokoh Irewa yang terpaksa menikah dengan Malom
karena, ia dijadikan alat pendamai antardua perkampungan yakni Aitubu dan Hobone. Untuk
itu, penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca untuk memahami kehidupan
masyarakat Aitubu dan Hobone yang terdapat di roman Isinga (I) pada khususnya. Namun,
untuk mengungkapkan citra perempuan dalam roman Isinga secara terperinci terlebih dahulu
peneliti menganalisis unsur alur, tokoh dan penokohan serta latar karena cerita yang
ditampilkan merupakan representasi dari realitas sosial yang dialami masyarakat Aitubu dan
Hobone. Dengan begitu, peneliti dan pembaca dapat menilai bahwa karya sastra merupakan
potret kenyataan kehidupan sosial-budaya disuatu daerah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah-masalah dalam penelitian
ini sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana unsur alur, tokoh dan penokohan serta latar dalam roman Isinga karya
Dorothea Rosa Herliany?
1.2.2 Bagaimana citra perempuan yang tergambar pada roman Isingakarya Dorothea Rosa
Herliany?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka penelitian ini bertujuan untuk:
1.3.1 Mendeskripsikan unsur alur, tokoh dan penokohan serta latar dalam roman Isinga
karya Dorothea Rosa Herliny.
1.3.2. Mendeskripsikan dan menafsirkan citra perempuan dalam roman Isinga karya
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan terhadap roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany, ini
diharapkan untuk memberikan suatu manfaat bagi program studi Sastra Indonesia secara
teoretis atau pun secara praktis. Untuk mengembangkan ilmu sastra dan kritik sastra feminis.
Hasil penulisan ini bermanfaat untuk menambah kajian sastra perempuan melalui roman Isinga
karya Dorothea Rosa Herliany. Penelitian ini juga diharapkan menambah kajian studi budaya,
yaitu adat dan budaya suku Aitubu dan Hobone di pegunungan Megafu Papua.
1.5Tinjauan Pustaka
Sejauh ini peneliti menemukan enam peneliti yang membicarakan roman Isinga karya
Dorothea Rosa Herliany dalam bentuk resensi, makalah, dan skripsi. Pertama, roman Isinga
dibahas oleh Widyanuari Eka Putra yang ber judul “Mengorek Luka Perempuan Tanah Papua”
sebagai resensi, yang berisi pengajakan pembaca untuk menjelajahi Papua lewat roman Isinga.
Tragedi percintaan Meage dan Irewa yang berlatar konflik-kultural, isu gender dan aktivisme.
Roman ini menyajikan kisah percintaan sebagai siasat menampilkan uraian
etnografis-sosiologis tanah Papua. Kedua, roman Isinga di bahas B. Rahmanto (2016) dalam makalah
yang berjudul “Isinga Roman Papua Multi Dimensional”, pembahasan roman tersebut dari
dimensi antropologis, sosio-ekomis-politis dalam wujud kesenjangan sosial, konflik sosial,
diskriminasi ras, dan dimensi feminis dalam aroma ketidakadilan gender, yang diolah dalam
jalinan kisah cinta segi tiga yang berdarah di Tanah Papua. Jadi, secara kritis peneliti
membahas tentang struktur cerita. Ketiga, roman Isinga diteliti oleh Hosniyeh dengan judul
“Citra Tokoh Utama dalam roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany dalam bentuk
Persoalan yang dibahas dalam makalah adalah untuk mengetahui citra diri tokoh utama,
untuk mengetahui peran sosial dalam keluarga dan peran sosial perempuan dalammasyarakat.
Citra diri perempuan secra fisik dan psikis, citra sosial perempuan dalam keluarga dan
lingkungan. Keempat, roman Isinga dibahas oleh Chrisantini dalam bentuk skripsi yang
berjudul “Peran Ganda Perempuan dalam Isinga Roman Papua dengan Kajian Kritik Sastra Feminisme”. Peneliti membahas tentang struktur roman Isinga dan penggambaran peran ganda
perempuan dalam roman Isinga. Kelima, Rahmi Rahmayani juga meneliti roman Isinga yang
berjudul “Representasi Stereotip Perempuan Papua dalam Roman Papua Isinga karya Dorothea”. Rahmi membahas 1) satu atau beberapa tokoh perempuan yang terdapat pada
sebuah karya sastra, 2) mencari status atau kedudukan tokoh perempuan tersebut di dalam
masyarakat, 3) mencari tahu tujuan hidup dari tokoh perempuan tersebut di dalam masyarakat,
4) memperhatikan apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh perempuan.
Keenam, roman Isinga diteliti oleh Thati Nirmala Arismaningratyas (2016) sebagai skripsi
yang berjudul “Campur Kode dalam roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany”.
Pembahasan dalam skripsi ini yakni wujud campur kode dan fungsi kode yang terdapat dalam
roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, maka
peneliti dapat menggunakan bahan kajiannya untuk menambah penelitian ini. Peneliti belum
menemukan penelitian dengan subyek yang sama mengenai citra perempuan. Akan tetapi, ada
beberapa penelitian yang sama dalam mengkaji roman Isinga dengan pendekatan Feminisme
Sosialis yakni citra diri perempuan.
1.6 Landasan Teori
Dalam landasan teori penelitian menggunakan tiga landasan teori. Pertama, kajian
Kajian struktural dilakukan karena merupakan unsur penting dalam menganalisis
unsur-unsur karya sastra terlebih dulu sebelum mengkaji citra perempuan. Kedua, kajian kritik
sastra feminis dan ketiga yakni citra perempuan.
1.6.1 Kajian Struktural
Roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany merupakan sebuah karya sastra yang
termasuk dalam roman. Roman merupakan karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelaku
menurut watak dan isi jiwa masing-masing (cerita) percintaan (KBBI, 2008:1180).
Nurgiyantoro, (2007:37) menerangkan bahwa analisis struktural karya sastra dalam hal
fiksi, dapat mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang
bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan diekspresikan, misalnya, bagaimana keadaan
peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan tema.Dengan
demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi
dan keterkaitkan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan
keseluruhan. Namun, hal yang penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur
itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseruluhan yang
ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah
struktur yang kompleks dan unik, disamping setiap karya mempunyai ciri kekompleksan dan
keunikkanya sendiri dan hal inilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu
dengan karya yang lain. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi
unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseruluhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko dan &
Rahmanto, 1986:136). Analisis mikroteks berupa kata-kata dan kalimat, atau kalimat dalam
1.6.1.1Tokoh dan Penokohan
Tokoh dapat dilihat pada siapa orang yang berperan sebagai pelaku dalam cerita.
Abrams (1981:20) memaparkan tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya sastra naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan dapat memiliki moral dan
kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Menurut Jones (1968:33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (dalam Nurgiyantoro, 2007:165). Penokohan
mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca (Nurgiyantoro, 2005:166). Berdasarkan fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu tokoh utama dan tokoh lawan serta tokoh tambahan (dalam
Nurgiyantoro, 2007:178-179).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam prosa yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling diceritakan sebagai pelaku kejadian maupun
yang dikenai kejadian atau tokoh yang dikagumi sedangkan tokoh lawan merupakan penyebab
terjadinya konflik. Tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam
cerita tetapi kehadirannya sangat dapat membantu tokoh utama.
Pada penjelasan tersebut, berarti tokoh utama adalah tokoh yang diceritakan dari awal
sampai dengan akhirnya, tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya mendukung jalannya
cerita sedangkan penokohan memberikan gambaran perwatakan tokoh yang jelas kepada
pembaca.
Alur merupakan unsur fiksi yang penting. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1965:14)
mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadin, namun tiap kejadian hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan terjadinya peristiwa yang
lain. Abrams (1981:137) mengemukakan bahwa plot merupakan struktur peristiwa-peristiwa,
yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa untuk
mencapai efek emosional dan efek artistik. Plot dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
plot lurus (plot maju atau progresif) berisi peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau
diceritakan pada awal hingga akhir. Alur sorot-balik (plot flash back atau plot regresif) berisi
peristiwa yang dikisahkan tidak kronologis. Plot campuran berisi peristiwa gabungan dari plot
progresif dan plot regresif. Berdasarkan pendapat itu, sehingga plot merupakan urutan
peristiwa dalam suatu karya sastra yang menyebabkan terjadinya peristiwa lain yang
membentuk sebuah cerita. Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, unity.
Antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih
dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Kaitan antara
peristiwa haruslah jelas, logis, yang mungkin diawal, tengah atau akhir (Nurgiyantoro, 2007:
142). Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa
sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (begining), tahap tengah (midle), dan tahap akhir
(end).
1. Tahap awal merupakan sebuah cerita yang disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap awal adalah tahap yang memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita yang dimunculkan, konflik sedikit demi sedikit.
Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi.
3. Tahap akhir ialah sebuah cerita, atau dapat juga disebut tahap pelarian.
(Nurgiyantoro, 2007:142-145). Adapun lima tahapan plot lain yang dikemukakan oleh Tafsir dan kelima tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tahap situation: tahap penyituasian
2. Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik 3. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik
4. Tahap climax: tahap klimaks
5. Tahap denouement: tahap penyelesaian
Nurgiyantoro (2007:153) mengemukakan bahwa pembedaan plot berdasarkan kriteria
urutan waktu, secara teoretis dalam dua kategori: kronologis dan kronologis. Yang pertama
disebut plot lurus maju atau yang dinamakan progresif, sedangkan yang kedua adalah
sorot-balik, mudur (flash-back) yang disebut sebagai regresif. Plot yang terdapat dalam novel disebut
progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang
pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian.
Secara runtut cerita diambil dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik),
tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian) sedangkan kejadian-kejadian
yang dikisahkan kronologis, dan cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar
merupakan cerita awal secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan
akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 2007:153-154).Oleh sebab
itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam
buku Pengkajian Fiksi, yaitu membedakan tiga tahap awal, tengah dan tahap akhir.
1.6.1.3Latar
Latar menurut Abrams (1981:175) adalah landas tumpu, pernyataan pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan
Nurgiyantoro (1981:227-233) membedakan latar menjadi tiga unsur pokok yaitu: latar
tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra seperti desa, sungai, jalan dan
hutan. Latar waktu adalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
sastra misalnya tahun, musim, hari, dan jam, sedangkan latar sosial hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di dalam karya satra,misalnya kebiasaan hidup,
adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap. Berdasarkan
pendapat itu, dapat ditarik simpulan bahwa latar adalah suatu lingkungan atau tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa dalam karya sastra yang meliputi latar tempat, latar waktu dan
latar sosial. Untuk itu, penulis mengkaji latar yang dibagi menjadi latar fisik, latar sosial,
tempat dan waktu dalam roman Isinga karya DRH.
1.6.2 Kajian Kritik Sastra Feminis
Feminisme adalah sebuah teori yang mengungkapkan harga diri perempuan dan harga
diri semua perempuan. Kritik sastra feminis merupakan landasan yang kuat untuk menyatukan
pendirian bahwa seorang perempuan dapat secara sadar membaca karya sebagai perempuan
(Sugihastuti & Saptiawan, 2010:100).
Yasa (2012:41) kritik sastra feminis bukan berarti kritik tentang perempuan atau
pengkritik perempuan. Kritik sastra feminis adalah pengkritikan terhadap karya sastra, yang
mana pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang
banyak berhubungan dengan budaya sastra dan kehidupan. Jenis kelamin inilah yang membuat
perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakkan, dan pada faktor luar yang
mempengaruhi situasi karang-mengarang. Kritik sastra feminis adalah alas yang kuat
menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan,
Kritik sastra feminis merupakan kenyataan konstruksi sosial jender yang mendorong
citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem, dan tradisi masyarakat di berbagai
bidang (Sugihastuti, 2009:19). Secara leksikal, feminisme diartikan sebagai gerakan
perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (
Moeliono dan Sugihastuti, 2005: 18). Feminisme liberal memandang persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan dibidang politik, ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Ratna (2006:184) menyatakan bahwa
feminis dalam arti luas merupakan gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu
yang dimarginalkan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam
bidang politik ekonomi, maupun kehidupan sosialnya.
Kritik sastra feminis mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan
paham tertentu selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu
tertentu tentang pengarang. Selain itu, kritik ini berusaha mengindetifikasi suatu pengalaman
dan perspektif pemikiran laki-laki dan cerita yang dikemas sebagai pengalaman manusia dalam
sastra (Showalter via Culler, 1983:50 via Sugihastuti dan Sofia, 2009:20). Kritik sastra feminis
dapat dipetakan sebagai kritik sastra Anglo-Amerika yang terdiri atas pendekatan citra
perempuan (image of women) dan pendekatan penulis perempuan (women writers) serta kritik
sastra Pranci atau pascastrukturalis (Culler via Sugihatuti dan Sofia, 2009:21). Problem lain
ialah adanya kebiasaan bahwa perempuan cenderung hanya dilihat dalam hubungannya dengan
laki-laki (Ruthven via Sugihastuti, 2009:23). Padahal karya sastra seharusnya memberikan
model-model peran, menyaring rasa identitas perempuan dengan menggambarkan perempuan
seperti apakah mereka, mengaktualisasikan dengan identitas yang tidak tergantung dengan
Hal ini untuk mengungkapkan citra perempuan yang dilakukan dengan menggunakan
kritik sastra feminis yang bersifat kualitatif sehingga data-data yang mendeskripsikan status
dan peran perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan (Sugihastuti,
2009:25). Penelitian terhadap roman Isinga (I) dilakukan dengan menggunakan feminisme
yang memandang adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status
perempuan (Fakih, 1999:95). Oleh sebab itu, peneliti menggunakan bantuan ideologi feminis
untuk mengklarifikasi beberapa citra karena kajian feminis memiliki hubungan dengan citra
perempuan. Teori kajian kritik sastra feminis menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki hak yang sama, sedangkan citra perempuan adalah gambaran tentang karakter yang
dilakukan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Maka akan dipaparkan teori citra
perempuan.
1.6.3 Citra Perempuan
Karya sastra dapat memberikan model-model peran, menyaring identitas perempuan
dengan menggambarkan perempuan seperti apakah mereka, mengaktualisasikan dengan
identitasnya yang tidak tergantung dengan laki-laki (Register via Ruthven, 1990:74 via Sofia).
Dengan begitu, citra perempuan merupakan sebuah gambaran pengalaman indra yang
diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh
kata-kata. Citra dalam penelitian ini mengacu pada gambaran pikiran manusia. Gambaran
pikiran adalah sebuah efek dalam penangkapan yang sangat menyerupai gambaran yang
dihasilkan dan dilihat dengan mata, saraf, penglihatan, dan daerah-daerah otak yang
berhubungan atau yang bersangkutan. Jadi, citra perempuan adalah semua wujud gambaran
mental spritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan perwajahan dan ciri
Dalam hal ini, citra perempuan yang akan dibahas meliputi citra diri seorang
perempuan baik fisis dan psikis, citra sosial perempuan dapat berhubungan dengan keluarga
dan masyarakat dimana ia berada, serta perempuan dalam budaya suku Aitubu pegunungan
Megafu Papua secara khususnya.
1.6.3.1 Citra Diri Perempuan
Citra diri perempuan terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai pendirian dan
pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya. Perempuan mempunyai kemampuan untuk
berkembang dan membangun dirinya berdasarkan pada pola pilihannya sendiri. Perempuan
bertanggung jawab atas potensi diri sendiri sebagai makhluk individu. Citra diri perempuan
memperlihatkan bahwa apa yang dipandang sebagai perilkau wanita bergantung pada
bagaimana aspek fisis dan psikis diasosiasikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat (Sugihastuti, 2000:113).
Citra diri perempuan itu abstrasikan dan diklasifikasikan sebagai citra fisis dan citra
psikis perempuan. Dalam aspek fisis, citra perempuan itu khas dilihat melalui
pengalaman-pengalaman tertentu yang hanya dialaminya dan tidak dialami oleh pria misalnya melahirkan
dan merawat anak (Sugihasturi, 2000:85). Dan masa perkawinan dapat mengisyaratkan bahwa
secara fisis, perempuan ditunjukan sebagai perempuan dewasa (Sugihastuti, 2000:85).Dalam
aspek psikis kejiwaan perempuan dewasa oleh sikap pertanggungjawaban penuh terhadap diri
sendiri, nasib sendiri, dan pembentukan diri sendiri (Kartono via Sugihastuti, 2000:100).
Pengungkapan citra diri perempuan yang dilakukan dengan pendekatan kajian kritik sastra
feminis bersifat kualitatif sehingga jenis data yang diambil pun bersifat kualitatif, misalnya
data yang mendeskripsikan citra diri perempuan dan citra sosial perempuan dalam keluarga dan
Penelitan citra diri perempuan secara fisis dan psikis berguna untuk memaparkan dan
menafsirkan citra diri tokoh perempuan pada roman Isinga.
1.6.3.2 Citra Sosial Perempuan
Citra perempuan sosial merupakan citra perempuan yang berhubungan erat dengan
norma dan sistem nilai yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tempat, perempuan
menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antar manusia. Kelompok masyarakat
itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas (Sugihastuti, 2000:143). Dalam
aspek keluarga, yaitu citra sosial perempuan berhubungan dengan perannya sebagai istri, ibu,
dan sebagai anggota keluarga yang semuanya menimbulkan konsekuesi sikap sosial yang
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Citra sosial perempuan dalam sikap
sosialnya terbentuk karena pengalama pribadi, pengalaman budaya dan pengalaman sosialnya
(Sugihastuti, 2000:xvi). Perempuan masih dianggap the second class yang sering disebut
sebagai “warga kelas dua” yang keberadaanya tidak dapat diperhitungkan Abdullah (dalam
Hermawati, 2007:21).Dalam pembagian tugas di dalam keluarga (domestic) dan di luar
keluarga (puclic). Perempuan mendapatkan peran domestik dan laki-laki mendapatkan peran
publik. Dalam kehidupan keluarga-keluarga di desa, istri memegang peranan dalam mengatur
rumah tangga, suami menurut “aturan” yang dibuat istrinya. Pembagian peran ini sangat
berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, khususnya
keputusan dalam kehidupan masyarakat. Menurut (Subadio dan Ihromi T.O., 9183) bahwa
perempuan diakui dan terbukti mereka mempunyai kemampuan dan kekuatan kalau diberi
kesempatan dalam berperan di bidang publik. Dalam penelitian ini, akan ditafsirkan citra sosial
perempuan dalam (publik) dan keluarga (domestik), karena perempuan tidak hanya berperan
Namun, peranan perempuan sangatlah penting dalam sektor publik, yaitu mencari
nafkah yang pada dasarnya berhubungan dengan masyarakat luar.
1.7 Metode Penelitian
Dalam metode penelitian dapat dilakukan dengan tiga hal yakni (i) pengumpulan data, (ii)
analisis data, (iii) dan penyajian hasil analisis data. Tiga hal ini akan diuraikan satu persatu
dalam penelitian ini.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pustaka dengan
menganalisis struktural dan citra perempuan pada roman Isingakarya Dorothea Rosa Herliany
yang diterbitkan pada tahun 2015.Oleh sebab itu, data yang diperoleh dari sumber tertulis yang
berupa penyimakan dan pencatatan tentang kata-kata yang mengandung citra perempuan yang
meliputi: citra diri perempuan yang dilihat dari citra fisik dan psikis, atau citra sosial
perempuan dianalisis dari keluarga dan dilingkungan masyarakat dan perempuan dalam
budaya suku Aitubu dan Hobone di Papua.
1.7.2 Metode Analisis Data
Langkah selanjutnya adalah metode analisis data terhadap objek yang dipilih. Setelah
data diklasfikasi kemudian data dianalisis dengan metodeformal dan metode analisis isi.
Metode formal adalah metode yang mempertimbangkan aspek bentuk yakni struktur karya
sastra (strukturalisme), sedangkan analisis isi berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara
verbal, dalam bentuk bahasa maupun nonverbal (Ratna, 2012:48-49).
Pada tahap penyajian data yakni data yang telah dianalisis kemudian datanya disajikan
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
1.8 Sumber Data
Judul : Isinga Roman Papua
Pengarang : Dorothea Rosa Herliany
Tahun Terbit : 2015
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 209 halaman
1.9 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian terbagi menjadi 4 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi
mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, dan sistematika penyajian. Latar belakang memaparkan alasan dalam
penelitian. Rumusan masalah menguraikan masalah-masalah dalam penelitian. Manfaat
penelitian menjelaskan manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian. Tinjauan pustaka
memaparkan pustaka mengenai beberapa peneliti roman Isinga. Landasan teori memaparkan
teori yang digunakan. Metode penelitian memberikan secara rinci tentang teknik pengumpulan
data, teknik analisis data yang digunakan. Bab II berisi struktural berupa alur, tokoh,
penokohan, serta latar pada roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Bab III membahas
tentang citra perempuan dalam roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Bab IV memberi
BAB II
ANALISIS UNSUR ALUR, TOKOH DAN PENOKOHAN
SERTA LATAR ROMAN ISINGA
2.1 Pengantar
Dalam bab II, peneliti menganalisis unsur alur yang dibagi menjadi alur awal, alur
tengah, dan alur akhir, tokoh dan penokohan serta latar. Alur berkaitan dengan jalan cerita yang
dilalui tokoh dalam roman Isinga. Tokoh dan penokohan dapat berperan sebagai pelaku dalam
cerita untuk memberikan gambaran tentang karakter dalam roman Isinga. Latar
menggambarkan suatu tempat atau situasi para tokoh dalam cerita.
2.2 Alur
2.2.1 Tahap Awal
Pada tahap awal penulis mengisahkan tentang seorang laki-laki yang bernama Meage
dari masyarakat Aitubu, yang mengikuti upacara adat wit dan muruwal ketika ia berumur 9
tahun. Upacara wit adalah upacara bagi anak laki-laki yang berumur 8-10 tahun supaya mereka
dibersihkan dan dihindarkan dari kutukan dan bahaya lain, sedangkan upacara muruwal
dilakukan untuk perkenalan ke alam. Irewa dan Meage berasal dari kampung Aitubu, mereka
juga dipertemukan secara tidak langsung pada upacara adat, dan di “sekolah dasar” setahun.
Namun, Irewa dan Meage dipertemukan secara langsung di sungai Warsor ketika Irewa sedang
mencuci sayuran-sayuran, setelah selesai mencuci sayuran ia terjatuh karena derasnya air
sehingga Meage menyelamatkanya. Peristiwa itu membuat Irewa dan Meage merasakan
Meage memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Irewa dengan
memberikan betatas dan sayur-sayuran, untuk mengetahui isi hati Irewa dan apakah Irewa juga
memiliki perasaan yang sama. Irewa menerima cinta Meage, ia langsung memberitahukan
kabar bahagianya kepada mama dan neneknya, orangtua asuhnya, dan pemuda di rumah yowi.
Meage melamar Irewa dan mereka sudah mengikuti berbagai ritual dan kedua remaja ini sudah
dikatakan sah sebagai suami istri. Akan tetapi, Irewa belum menstruasi sehingga Meage harus
menunggunya. Ketika Irewa menstruasi pertama ada upacara adat untuknya. Upacara pertama
sudah dilaksanakan dan upacara kedua akan dilakukan esok harinya tetapi Irewa diculik
Malom dari kampung Hobone. Malom adalah lelaki yang pernah menyatakan cinta kepada
Irewa tetapi Irewa menolak. Malom Wos tidak pernah menyerah ia mencoba lagi namun Irewa
menolaknya sehingga ia melakukan kecurangan terhadap Irewa.
2.2.2 Tahap Tengah
Alur bagian tengah ini mengisahkan penculikan terhadap Irewa yang membuat Meage
marah. Saat terjadi perang Meage ingin datang ke Hobone tetapi ada beberapa orang yang sakit
dan ia menolongnya. Setelah itu ia menghilang ke hutan dan ia terus melangkah hingga sampai
di kampung Yebikon. Masyarakat Hobone memberi tawaran bahwa Aitubu setuju untuk
berdamai Irewa menjadi istri Malom dan tidak berdamai Irewa tetap menjadi istri Malom.
Dengan terpaksa masyarakat Aitubu menerima Irewa menikah dengan Malom walaupun bapak
Labobar tahu anaknya Irewa tidak mencintai Malom. Bapak Labobar melakukan ini karena ia
ingin kampung Aitubu dan Hobone berdamai. Setelah menikah dengan Malom kehidupan
Irewa harus mencari makan dengan berkebun, menangkap ikan di sungai, mengandung
dan melahirkan banyak anak dengan jarak yang dekat. Irewa bahkan mengalami keguguran,
melahirkan dan keguguran lagi karena ia banyak bekerja. Malom ingin memiliki banyak anak
laki-laki dan ia meminta Irewa melayaninya kemudian Irewa melahirkan anak perempuan
kedua yang diberi nama Kiwana. Kelahiran Kiwana tidak membuat Malom merasa puas, ia
meminta Irewa untuk bersetubuh dan Irewa hamil tetapi ia keguguran, hamil lagi dan
melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ansel. Irewa diperlakukan dengan tidak
adil, ia tidak di hormati, dan ia disiksa dan dipukul Malom kalau Irewa tidak menyediakan
makan untuknya. Kampung Hobone mengalami musim kekeringan panjang sehingga kebun
milik Irewa tidak menghasilkan betatas dan sayuran. Hal ini mengakibatkan keluarga Irewa
tidak mendapatkan makan dan mereka kelaparan. Peristiwa itu membuat Irewa memutuskan
untuk pergi ke kampung Aitubu bertemu dengan mama Kame. Irewa mendertita penyakit
malaria karena ia kekurangan makan. Mama Kame membawa Irewa ke rumah sakit dan ia
diperiksa suster Wawuntu dan saudara kembarnya Jingi. Di rumah sakit, Irewa dan mama
Kame serta Jingi dipertemukan. Suster Wawuntu menceritakan semua kejadian yang ia dan
suster Karolin lakukan kepada mama Kame. Jingi diasuh oleh suster Karolin dan suster
Wawuntu sehingga ia lebih muda, pandai, dan sehat daripada Irewa.
Irewa terkena penyakit sifilis karena berhubungan dengan Malom dan Irewa kaget
dengan penyakit yang dideritanya. Penyakit ini berasal dari Malom sejak ia mengikuti lomba di
Surabaya dan bersetubuh dengan perempuan-perempuan muda. Jiwa kemanusian dan
kepedulian Irewa mendorongnya untuk menyampaikan ilmu kesehatan kepada perempuan dan
remaja, agar menjaga kesehatan dari penyakit-penyakit HIV-AIDS. Dalam pengajarannya ia
2.2.3 Tahap Akhir
Penculikan terjadi dan perang antarperkampungan Aitubu dan Hobone berlangsung.
Meage pergi menghilang dari kampung Aitubu dan tidak pernah kembali. Ia terus melangkah
hingga sampai ke tengah hutan dan terus melangkah dan tiba di kampung Yebikon. Di
kampung ini Meage bertemu dengan Silak teman sejak “sekolah dasar” di Aitubu. Meage
sudah berada di kampung Yebikon selama tujuh tahun pada tahun 1983, ia juga mengajarkan
pengetahuan-pengetahuan yang diketahuinya yakni membaca, menulis, berhitung, pengetahuan
di bidang kesehatan, pertanian dan agama. Setelah tujuh tahun di Yebikon Meage
dipertemukan dengan grup musik tradisional Farandus yang dipimpin oleh bapak Rumanus.
Bapak Rumanus mengajak Meage untuk bergabung sebagai pemain musik tifa dan Meage
bergabung juga. Bapak Rumanus melihat bahwa Meage memiliki jiwa seorang pemimpin, ia
menyampaikan kepada Meage kalau terjadi apa-apa dengannya Meagelah yang memimpin
grup musik Farandus. Grup musik tradisonal Farandus terdengar di mana-mana sehingga
pemerintah menganggap grup ini melawan pemerintah. Bapak Rumanus ditangkap polisi
setelah itu ia dikabarkan meninggal dan grup musik Farandus dipimpin oleh Meage. Tidak
lama kemudian Meage juga ditahan polisi karena hal yang sama dengan bapak Rumanus, ia
dipukul dan disiksa polisi. Dokter Leon dan mama Lea mendengar hal yang dialami Meage dan
mereka meminta Meage untuk sementara tinggal di Jerman bersama mereka. Meage belajar
bahasa Jerman dari Alys keponakanya mama Lea dan belajar banyak hal dari ayah angkatnya.
Meage merasa senang di Jerman tetapi ia merindukan suasana alam Papua. Irewa mengalami
perubahan baik sejak ia bertemu dengan ibu Selvi kepala distrik Yar, ia di percayakan sebagai
seorang guru di ruang Marya. Ia bekerja sebagai pembimbing untuk mengajar ilmu kesehatan
Kehidupan Irewa semakin hari semakin baik dan hasil kerjanya ia gunakan untuk biaya
sekolah anak-anaknya. Irewa dan ibu Selvi menamai ruang Marya dari bahasa daerah yang
artinya busur karena mereka ingin menjadi busur dan panahnya adalah para
perempuan-perempuan Papua. Irewa sibuk dengan pekerjaannya dan merawat anak-anaknya sedangkan
suaminya Malom masih tetap dengan kebiasaan buruknya yakni sering bahkan setiap hari pergi
ke tempat pelacuran.
Alur dalam roman Isinga karya DRH merupakan alur maju karena awal cerita di mulai
ketika Irewa remaja, Irewa diculik Malom, Irewa dijadikan alat damai, Irewa menghadapi masa
sulit setelah menikah dengan Malom, Irewa bekerja untuk mencukupi kehidupan rumah tangga
seperti berkebun dan menangkap ikan, Irewa hamil dan keguguran, hamil lagi dan melahirkan,
ia merawat anak-anaknya, Irewa dipertemukan dengan Jingi, Irewa menjual hasil kebun dan
babi-babinya untuk biaya sekolah anaknya-anaknya, sewa kios dan pegangan hidup dan diakhir
cerita Irewa bekerja sebagai guru atau edukatif kesehatan bagi anak-anak, remaja dan para
perempuan di distrik Yar bersama dengan ibu Selvi.
2.3 Tokoh dan Penokohan
Tokoh dapat dilihat dari siapa orang yang berperan sebagai pelaku sedangkan
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita (Jones via Nurgiyantoro, 2007:65). Tokoh dapat dibagi menjadi tiga yaitu (1)
tokoh utama, (2) tokoh lawan dan (3) tokoh tambahan. Irewa berperan sebagai tokoh utama,
Malom sebagai tokoh lawan sedangkan Meage, Jingi, ibu Selvi, dan suster Karolin dan suster
Wawuntu berperan sebagai tokoh tambahan dalam roman Isinga. Tokoh tambahan adalah
tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat dapat
Irewa menjadi tokoh utama karena ia yang paling banyak diceritakan dalam roman
Isinga (I), serta memiliki hubungan secara langsung dengan tokoh-tokoh yang lain dan ia juga
menghadapi berbagai ketidakadilan dalam lingkungan masyarakat dan keluarga. Malom Wos
menjadi tokoh lawan dalam roman Isinga karena ia merupakan tokoh yang membuat Irewa
menghadapi masalah. Tokoh Meage, Jingi, ibu Selvi serta suster Karolin dan suster Wawuntu
adalah tokoh tambahan pada roman Isinga karena beberapa tokoh ini berhubungan langsung
dengan tokoh Irewa Ongge, dan dapat menggerakkan alur cerita.
Penokohan dalam roman Isinga memberikan gambaran tentang perwatakan para tokoh
seperti Irewa, Malom, Meage, Jingi, ibu Selvi serta suster Wawuntu dan suster Karolin.
Penggambaran watak Irewa sebagai seorang perempuan yang menghadapi beban hidup setelah
menikah dengan Malom. Irewa memilik karakter penurut dan tidak bisa menolak ketika
dijadikan alat damai untuk perdamaian kampung Aitubu dan Hobone. Irewa memiliki karakter
bertanggung jawab terhadap keluarga, Irewa juga pintar, Irewa mendapat perlakukan kasar dari
suaminya dan mengalami ketidakadilan gender, serta menjadi guru atau edukatif kesehatan.
Malom digambarkan sebagai tokoh yang melamar Irewa tetapi ia tolak Irewa dan untuk
mendapatkan Irewa Malom menculik Irewa. Malom bersifat kasar terhadap Irewa setelah
menikahi Irewa. Malom digambarkan sebagai tokoh yang egois, hanya berburu dan berperang
serta tidak bertanggung jawab terhadap keluarga seperti mencari makanan dan menjaga
anak-anaknya. Meage digambarkan sebagai tokoh yang mencintai Irewa dan akan menikah dengan
Irewa tetapi Irewa diculik. Meage memiliki sifat yang baik dan menolong orang sakit tetapi
Meage cepat menyerah dan tidak berusaha mendapatkan Irewa kembali. Meage menjadi
edukatif pendidikan ketika ia berada di kampung Yebikon. Meage menjadi pemimpin musik
Tetapi Meage keluar dan ia pergi ke Jerman tinggal dengan dokter Leon dan mama Lea.
Jingi digambarkan sebagai saudara kembar Irewa dan ia di rawat suster Wawuntu dan suster
Karolin. Jingi digambarkan berbeda dengan Irewa, dari kecil hingga dewasa Jingi tidak
mengalami berbagai beban hidup seperti Irewa. Jingi seorang dokter yang menolong Irewa dan
membantu Irewa dalam memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang penyakit HIV-AIDS.
Ibu Selvi digambarkan sebagai kepala distrik Yar, ia memiliki sifat peduli terhadap nasib
anak-anak, remaja dan para perempuan di distrik Yar. Ibu Selvi adalah seorang tokoh yang
menolong Irewa dalam aspek ekonomi dan memberi pencerahan bagi masyarakat distrik Yar.
Suster Wawuntu dan suster Karolin digambarkan sebagai perawat yang bersifat baik dan
memiliki jiwa kemanusiaan terhadap sesama serta tidak percaya akan tradisi masyarakat
Aitubu. Suster Wawuntu dan suster Karolin adalah seorang perawat di Aitubu dan mereka juga
orangtua Jingi. Suster Wawuntu dan suster Karolin bertanggung jawab dalam biaya hidup dan
sekolah Jingi.
Penulis menyimpulkan bahwa tokoh dalam roman Isinga adalah Irewa, Malom, Meage,
Jingi, ibu Selvi serta suster Wawuntu dan suster Karolin. Penokohan dalam Isinga
menggambarkan tokoh Irewa sebagai perempuan yang bertanggung jawab terhadap keluarga
nasib para perempuan, mendapat perlakuan kasar dari Malom, mengalami ketidakadilan dalam
masyarakat dan rumah tangga. Malom digambarkan sebagai laki-laki egois, hanya berburu dan
berperang serta tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Meage digambarkan sebagai
laki-laki yang mencintai Irewa, menolong orang sakit, pengajar di kampung Yebikon dan mudah
menyerah dalam mendapatkan Irewa. Jingi digambarkan sebagai saudara kembar Irewa dan
seorang dokter sedangkan ibu Selvi digambarkan sebagai seorang perempuan yang membantu
Irewa. Suster Wawuntu dan suster Karolin digambarkan sebagai perawat di kampung Aitubu
Penjelasan tokoh dan penokohan tersebut membantu menganalisis tokoh-tokoh dalam
roman Isinga seperti berikut.
2.3.1 Irewa
Bagian awal penulis menggambarkan tokoh Irewa secara fisik sebagai gadis cilik yang
memilikikulit kusam dan berkulit hitam. Irewa adalah seorang remaja yang ingin tahu suatu hal
dengan mendengarkan pelajaran yang diberikan kepada para murid dikelas, dan ia juga tidak
merasa bosan. Awal tahun pelajaran sekolah hanya menerima 15 orang anak. Di kampung
Aitubu ada rumah yang dijadikan “sekolah dasar” dan juga dijadikan tempat ibadah pada hari
minggu yang dipimpin oleh pendeta Ruben. Berikut bukti kutipannya:
1) Irewa Ongge tampak berlari-lari dari atas lereng gunung menuju ke lapangan di bawah. Gadis cilik ini lalu bergabung di antara kerumunan banyak orang. Karena berlari di tanah berdebu, kulitnya pun jadi kusam. Menempel pada kulitnya yang hitam. Ia sendirian saja.Pada awal tahun pelajaran, sekolah hanya menerima lima beras siswa. Karena sekolah merupakan hal baru bagi orang Aitubu, pada hari pertama sekolah dimulai, banyak anak-anak Aitubu menonton dari luar. Kebanyakkan anak laki-laki. Hanya satu yang perempuan. Irewa. Hari-hari berikutnya, rasa ingin tahu sudah selesai. Yang ikut datang jadi berkurang. Lama-lama tinggal satu-dua. Irewa tetap disitu. Tak pernah bosan. Ia senang mendengarkan semua pelajaran yang diberikan untuk para murid di dalam kelas. Kalau hari minggu, sekolah difungsikan sebagai gereja. Yang menjadi pemimpin adalah Pendeta Ruben (Herliany, 2015:8 dan 16).
Di sekolah setahun Irewa mengetahui banyak hal dan Irewa dan Meage dipertemukan
disungai Warsor. Irewa diguncang arus dan terjatuh tetapi ia ditolong Meage yang sedang
lewat diatas jembatan. Pertemuan ini membuat mereka merasa sesuatu yang istimewa sehingga
Meage memutuskan untuk menyatakan cintanya kepada Irewa melalui betatas dan sayuran dan
Irewa pun menerima Meage. Berbagai ritual tata pelamaran antara keluarga Meage dan
Namun, mereka belum tinggal bersama karena Irewa belum menstruasi. Hal ini dapat
dibuktikan pada kutipan dibawah ini:
2) Berbagai ritual tata cara pelamaran antara keluarga Meage dan keluarga Irewa dilaksanakan. Bapak Meage diwakili oleh Falimo dan saudara laki-laki Mama Meage yang lain. Sebetulnya sudah ada kata persetujuan di antara kedua keluarga. Dengan demikian secara resmi Meage sudah diterima sebagai suami Irewa. Namun Meage masih harus menunggu beberapa waktu. Karena Irewa belum menstruasi, Irewa tetap tinggal di rumah bersama mama dan saudara-saudaranya yang lain (Herliany, 2015:31).
Irewa diberitahu mama Kame bahwa ia mengalamai menstruasi dan akan ada upacara
baginya dan ia pun sangat senang. Irewa mengikuti semua upacara dan memakan betatas dan
minum air suci setelah dukun membacakan mantra. Irewa hanya tinggal di rumah dan tidak
boleh keluar karena masih ada upacara lain yang diikuti. Irewa diculik Malom Wos saat ia
sendirian di rumah. Berikut kutipannya:
3) Irewa diberitahu ia sudah menstruasi. Irewa merasa senang. Irewa diberitahu, akan ada upacara untuknya. Setelah Irewa makan betatas suci dan minum air suci itu, ia harus tinggal di dalam rumah. Tidak boleh keluar-keluar. Begitulah larangan yang merupakan bagian dari upacara ini. Besok pagi masih ada lanjutan upacara lain untuknya. Mama Kame lalu pergi berkebun. Dukun dan bapak Labobar pergi ke rumah yowi. Saat Irewa sendirian itulah, Malom datang dan menculik Irewa (Herliany, 2015:44-45).
Sudah sejak lama perkampungan Hobone dan Aitubu bermusuhan. Awalnya anak muda
Hobone menculik babi-babi milik orang Aitubu dan pemuda lainnya menebang pohon yang
sudah diberi tanda dan ditambah lagi Malom menculik Irewa. Malom mengusulkan kalau
Irewa dijadikan alat damai dan orang berpengaruh setuju dengan pendapatnya Malom.
Masyarakat Hobone memberikan dua syarat yaitu mau berdamai atau berperang. Jika kedua
kampung berdamai maka Irewa menjadi istri Malom atau syarat kedua berperang, tetapi Irewa
4) Perkampungan Hobone dan perkampungan Aitubu sudah lama bermusuhan. Pada mulanya beberapa anak muda Hobone menculik babi-babi milik seseorang dari Aitubu yang dipelihara diluar wilayah hunian. Setelah itu, pemuda lainnya menebang sebuha pohon yang sudah diberi tanda larangan (seiye), dipasang daun pandan kering melilit ke batang pohon.Malom yang dari tadi belum bicara, menyampaikan pendapatnya. “Bagaimana kalau Irewa kita jadikan alat untuk berdamai?”Kalau Aitubu setuju berdamai, berarti Irewa menjadi istri Malom. Kalau tak setuju damai, Irewa tetap menjadi istri Malom dan Aitubu-Hobone berperan lagi (Herliany, 2015: 34 &47-48).
Kehidupan Irewa pun berubah setelah ia menikah dengan Malom Wos karena banyak
hal baru yang ia pelajari, untuk menyesuaikan diri di kampung Hobone seperti menangkap
ikan, mengenal buah-buahan seperti matoa, mangga, rambutan dan kanguru. Irewa mengalami
perubahan berat karena ia mencari makan, berkebun, menangkap ikan, membersihkan rumput
dari kebun sagu, memelihara babi, mengandung, keguguran, melahirkan dan merawat anak.
Irewa juga diberitahu untuk memilih kayu bakar yang nyala baik seperti kayu garis, matoa, dan
waru atau kasuari dan ia juga baru mengenal danau. Berikut buktinya:
5) Cara menangkap ikan adalah satu hal baru yang harus dipelajari Irewa agar bisa menyesuaikan diri untuk hidup di Hobone. Kalau cara mengolah (menokok) sagu, Irewa sudah tahu, tapi ia tidak pandai. Tapi disini ada buah-buahan yang baru dikenal Irewa. Seperti matoa, mangga, dan rambutan. Binatang yang baru dilihat Irewa adalah kanguru. Untuk kayu bakar, Irewa diberitahu sebaiknya ambillah dari kayu garis, matoa, waru atau kayu kasuari. Jenis-jenis itu jika dibakar, kayunya bisa menyalah dengan baik. Begitulah, Irewa langsung mempelajari banyak hal. Hal yang benar-benar baru baginya adalah seputar danau (Herliany, 2015:58-59).
Letak geografis Lembah Tolabugi Hobone sangat rendah dan tanahnya tidak subur
membuat Irewa harus mengerjakan kebun di tempat yang jauh, dan mencari ikan di danau
membuatnya lelah. Irewa harus menyediakan makan bagi keluarga dalam keadaan apapun
karena ini tugasnya. Irewa bisa beradaptasi dengan lingkungan Hobone tetapi Irewa juga
kehilangan bayinya karena pekerjaan berat. Nyanyian mama-mama Hobone membuat Irewa
merasa senang dantenang sehingga ia mengandung dan melahirkan anak kedua yang bernama
Irewa pun lebih cepat belajar dari mama-mama bagaimana merawat bayi. Setelah Irewa
melahirkan ia harus melakukan pekerjaan sehari-sehari. Irewa hamil lagi saat Kiwana berumur
satu tahun dan melahirkan Mery anak ketiganya seorang diri karena ia sudah tahu proses
persalinan. Irewa jatuh sakit karena ia seorang diri dalam merawat kedua anaknya dan
menyiapkan makanan untuk keluarganya. Jadi, Irewa dicitrakan sebagai perempuan yang kuat
dalam mencukupi kebutuhan keluarga dengan berkebun dan menangkap ikan di danau. Berikut
kutipannya:
6) Pekerjaan di kebun sagu yang jauh dan juga mencari ikan di danau adalah hal yang menguras tenaganya. Kini Irewa harus mengerjakannya sendiri. Lembah Tolabugi ini letaknya lebih rendah daripada Lembah Piriom di Aitubu. Orang menyebutnya oloblok (daerah rendah). Tanah di Aitubu ada di soli (daerah tinggi. Lebih subur. Mutu tanahnya bagus. Karena itu, orang Hobone harus bekerja keras daripada orang-orang Aitbu. Semua perempuan di pegunungan Megafu punya tugas menyediakan makan bagi keluarga masing-masing. Dalam keadaan bagaimanapun, tugas itu harus dilakukan. Mama Fos yang baru datang mengantarkan betatas, kaget. Ia memeriksa keadaan Irewa. Ia tahu, Irewa keguguran. Irewa sudah bisa menyesuaikan diri dilingkungan masyarakat Hobone. Ia sering merasakan pekerjaan berat.
Nyanyian-nyanyian itu sungguh membuat hati Irewa senang. Hatinya mulai tenang tinggal bersama para perempuan mama-mama Hobone. Irewa sudah hamil lagi anaknya yang kedua. Melalui lagu-lagu yang nyanyikan mama-mama Hobone, Irewa mendapatkan banyak nasehat.Proses persalinan berlangsung sekitar dua jam. Setelah itu, mama bidan membimbing Irewa kembali ke rumah humia. Bayi Irewa dalam dekapan tangannya. Malom diberitahu, anaknya sudah lahir. Perempuan. Mama bidan lalu pergi ke sungai. Tali pusar dibuang sambil mengucapkan mantra. Irewa cepat belajar dari para mama di Dusun Perem bagaimana merawat bayi. Bayi pertamanya ia beri nama Kiwana. Dua hari setelah melahirkan, Irewa sudah harus bekerja di kebun...(Herliany, 2015: 62-65&69).
7) Pekerjaan bertambah berat dengan adanya Mery dan Kiwana yang masih kecil itu. Tanggung jawab tentang anak dan tentang makanan, adalah tanggung jawab perempuan.Laki-laki Megafu tak pernah mengurus dua hal itu. Karena semua itu, Irewa jatuh sakit. Bagian dalam di kelopak matanya pucat. Kulitnya juga pucat, kekuningan (Herliany, 2015:72).
Irewa keguguran karena melakukan pekerjaan berat dan kurang makan dan belum lama
Irewa merasa hidupnya semakin berat karena kelahiran anak-anaknya yang masih kecil
dan Malom yang terbiasa memukulinya. Perlakuan