• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Perempuan dalam Konstruksi Sosial yang Dipresentasikan dalam Cerita Rakyat Tuban

Program Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-Universitas PGRI Ronggolawe Tuban

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Posisi Perempuan dalam Konstruksi Sosial yang Dipresentasikan dalam Cerita Rakyat Tuban

Pengkajian posisi perempuan dalam konstruksi sosial yang terdapat dalam Cerita rakyat Tuban, tidak terlepas dari konsep gender. Konsep tersebut berbeda dengan seks. Perempuan dalam konstruksi sosial, berkaitan dengan gender sebagai tatanan yang berkaitan dengan perbedaan posisi, peran, dan relasi antara laki-laki dan perempuan. Menurut Fakih (2012:8), gender adalah suatu konsep kultural yang digunakan untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat.

Dengan demikian, gender adalah kelamin sosial yang diberikan oleh masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (Thoyib dan Lutfiah, 2015:199).

Kritik sastra feminis mendasarkan diri pada kesetaraan dan keadilan gender dengan memberikan perhatian kepada perempuan. Perhatian tersebut dilakukan karena perempuan dipandang sebagai wilayah yang dirugikan dan tersubordinasi. Sebagaimana dalam cerita-cerita rakyat Tuban, perempuan dipandang kodratnya sebagai perempuan, dikekang, lemah, dan disubordinasi.

Berdasarkan kaca mata kritik feminisme sastra, perempuan dalam cerita rakyat Tuban menuntut adanya keadilan dalam konstruksi sosial. Perempuan tidak memandang dirinya sebagai perempuan yang harus ditata, diatur, atau dituntun berdasarkan kehendak laki-laki. Perempuan dalam cerita rakyat Tuban menghendaki kesetaraan dalam perlakuaan sosial. Hal ini tampak pada cerita rakyat Putri Nglirip.

Sebagai seorang putri Adipati, Putri tersebut menyukai Jaka Lelana dari golongan rakyat jelata. Sang adipati menentang kehendak putrinya. Akhirnya, Jaka Lelana dibunuh prajurit Kadipaten atas perintah Adi Pati. Putri Nglirip mendengar hal itu, ia membantah, mengapa dirinya tidak dapat mencintai rakyat jelata, sedangkan sang Adipati, ayahnya, telah memboyong perawan desa ke kadipaten untuk dijadikan istri. Perawan desa itu tidak lain adalah ibu putri Nglirip. (cerita rakyat Putri Nglirip, wawancara Mahmudi, dilakukan bulan Agustus 2012, dokumen lengkap ada pada peneliti)

Putri Nglirip menghendaki kesetaraan dalam konstruksi sosial. Akan tetapi, usaha tersebut hanya sia-sia. Perempuan tidak memiliki peran dalam konstruksi sosial. Hal inilah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam cerita Putri Nglirip. Perbedaan ini kemudian melahirkan berbagai ketidakadilan terhadap perempuan. Sebagaimana dikemukakan Fakih (2012:12), ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana laki-laki dan perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut. ketidakadilan gender dalam cerita Putri Nglirip pun merupakan struktur dan tatanan yang sudah mapan di lingkungan istana. Perempuan harus mengikuti tatanan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, perempuan dianggap tidak penting dalam keputusan politik. Dengan kata lain, perempuan mengalami subordinasi. Dalam konstruksi sosial cerita Putri Nglirip, posisi perempuan tidak begitu penting. Keputusan sepenuhnya dikendalikan oleh laki-laki, dalam hal ini adalah Adipati, selaku ayah Putri Nglirip.

Ketidakadilan gender memunculkan kekerasan. Sebagaimana tindak kekerasan yang dilakukan oleh Adipati. Kekerasan tersebut berbentuk kekerasan fisik dan mental. Kekerasan fisik dilakukan kepada Jaka Lelana, kekasih Putri Nglirip. Secara sadar Adipati tersebut membunuh Jaka Lelana, karena nantinya akan menjadi penghalang untuk mengendalikan perempuan. Kekerasan mental dilakukan kepada Putri Nglirip, bahwa pembunuhan terhadap Jaka Lelana menyebabkan mental perempuan menjadi lemah dan tak berdaya. Hal inilah, perempuan tampak tidak memiliki kekuatan apa-apa. Perempuan dijadikan korban atas politik dan kekuasaan.

KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA & BUDAYA (KS2B) 2016 | 37

Hal serupa terjadi dalam cerita Lanjar Maibit. Kekerasan mental terhadap perempuan terjadi karena laki-laki dipandang sebagai superior. Perempuan dipandang sebagai inferior. Dalam pengertian ini, perempuan dipandang tidak penting sehingga keputusan terletak pada laki-laki. Perempuan harus mengikutinya. Dalam cerita ini, perempuan secara mental dikekang dalam persoalan rumah tangga. Laki-laki boleh meninggalkan rumah ketika terjadi persoalan dalam rumah tangga, sedangkan perempuan harus tetap di rumah. Dalam cerita ini, Minak Anggrung putra Adipati Padangan, suami Lanjar Maibit meninggalkan rumah, karena cemburu melihat kedekatan Sri Penganti dengan teman dekatnya, Jaka Grentheng. Ia memiliki alasan kuat untuk meninggalkan rumah, yaitu berburu. Kecemburuan ini, pada akhir cerita, memunculkan kekerasan fisik, yaitu pembunuhan terhadap Jaka Grentheng oleh Minak Anggrung. Melihat hal itu, untuk membuktikan kesetiaan Lanjar Maibit kepada Minak Anggrung, Lanjar Maibit ikut bunuh diri. Bunuh diri dilakukan karena tidak ada cara lain untuk menjelaskan bahwa ia tidak pernah selingkuh dengan teman dekatnya.

Sri Penganti bunuh diri melihat saudaranya yang tidak bersalah dibunuh oleh Minak Anggrung. Ia memastikan bahwa dirinya tidak ada rasa apa pun terhadap Jaka Grentheng. Ia tulus mencintai Minak Anggrung, tidak ada yang lain di hatinya. Dengan kalimat lain, Sri Penganti bunuh diri untuk menyatakan bahwa dirinya benar-benar mencintai Minak Anggrung. Ia meminta kepada Minak Anggrung, saat ia sekarat bahwa liang kuburnya disatukan dengan Jaka Grentheng dengan posisi muka berhadapan. Apabila posisinya tetap setelah dikuburkan, berarti ia bersalah. Apabila posisi muka jasad Sri Penganti bertolak belakang dengan Jaka Grentheng, berarti dia tidak bersalah (Cerita Rakyat Lanjar Maibit, wawancara Nur Sahid tanggal 3 Mei 2014, dokumen lengkap ada pada peneliti) Dari dua cerita tersebut, yang perlu dikritisi yaitu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan yang dimaksudkan di dalam cerita tersebut adalah kekerasan yang lebih mengarah kekerasan mental. Kekerasan semacam ini lebih halus, daripada kekerasan fisik. Di samping itu, kekerasan fisik fisik pun ada, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan tersebut tercermin dalam ketragisan Lanjar Maibit di dalam membina rumah tangganya. Lanjar Maibit harus bunuh diri, demi mempertahankan kehormatannya sebagai seorang istri yang setia. Fakih (2012:18) menyebut kekerasan tersebut dengan istilah serangan fisik dalam kehidupan berumah tangga (domestic violence).

Kekerasan secara terselubung terjadi dalam cerita Lanjar Maibit, karena perempuan dalam posisi subordinasi dan inferior (lemah). Posisi tersebut, dipandang oleh laki-laki bahwa perempuan, adalah lahan strategis untuk dimiliki dan diperebutkan. Sebagaimana diungkapkan Purbani (2013:375), bahwa para tokoh perempuan menghadapi problem diskriminasi, subordinasi, dan kekerasan (fisik dan simbolik) masyarakat patriarki. Perjuangan perempuan untuk menghapus diskriminasi, subordinasi, dan kekerasan tersebut.

Suatu ketika, Sri Penganti mencuci dan mandi di Sendang Maibit, Dalang Bedaya Maner mengintip. Dalang tersebut naik pohon Kedoya. Ia melihat lekuk tubuh yang tersingkap selendang. Keberadaan Dalang Bedaya Maner diketahui Sri penganti, karena bayangan di permukaan air Sendang. Melihat bayangan tersebut, Lanjar Maibit lari begitu saja tanpa memperhatikan barang bawaannya. Dari ketakutan itu, cincin Lanjar Maibit tertinggal di sendang. Lantas cincin tersebut diambil oleh Dalang Bedoyo Maner. (Cerita Rakyat Lanjar Maibit, wawancara Supardi, tanggal 3 Mei 2014, dokumen lengkap ada pada peneliti)

Tindak kekerasan semacam ini, dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya menyentuh atau memegang tubuh. Kekerasan semacam ini, dilakukan dengan berbagai

38 | KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA & BUDAYA (KS2B) 2016

cara dan kesempatan tanpa adanya kerelaan si pemilik tubuh. Dengan perkataan lain, Sri Penganti atau lebih dikenal dengan Lanjar Maibit tidak rela konstruksi tubunya dilihat oleh orang lain. Kekerasan yang lain, karena perempuan dipandang inferior, terjadi ketika Minak Cepala mengejar Lanjar Maibit untuk dikawini.

Minak Cepala merasa dibohongi oleh Sri Penganti. Lantas ia, mengejar ke mana pun Sri Penganti berada untuk menagih janji yaitu Sri Penganti mempersilakan dirinya dikawini oleh orang yang menemukan cincinnya. Ke manapun Sri Penganti melarikan diri terus dikejar. Berahi untuk mengawini Sri Penganti menggebu. Akhirnya, Sri Penganti kembali ke Temayang mencari perlindungan. (Cerita Rakyat Lanjar Maibit, wawancara Supardi, tanggal 3 Mei 2014, dokumen lengkap ada pada peneliti).

Pemaksaan kehendak terhadap perempuan terjadi, karena belenggu yang diciptakan perempuan sendiri. Belenggu tersebut muncul sebagai akibat pendobrakan konstruksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Lanjar Maibit tidak mau dikatakan lemah, hanya berada di rumah. Lantas ia keluar rumah, demi membuktikan cintanya kepada Minak Anggrung. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh Lanjar Maibit justru membelenggu dirinya. Berawal dari perebutan cincin, Ia diperebutkan laki-laki, lantas berujung malapetaka bagi diri dan keluarganya.

Konstruksi perempuan dalam ruang sosial diperebutkan pula dalam cerita-cerita rakyat Tuban yang lain. Perempuan menginginkan kesetaraan gender dalam konstruksi sosial. Sebagaimana dalam cerita Putri Nyikut, Putri Panggung, dan Rara Ombo. Ketiga cerita tersebut menuntut adanya kesetaraan perlakuan perempuan dalam ruang sosial. Tokoh perempuan dalam cerita tersebut, memilih meninggalkan istana atau rumah untuk mendapatkan kebebasan dari kekangan laki-laki. Hal semacam ini juga terjadi dalam cerita Putri Nglirip. Putri Nglirip memilih bertapa di balik air terjun, daripada harus diperlakukan tidak adil oleh ayahnya.

Sang putri pun akhirnya bertapa di salah satu goa di balik air terjun di tengah hutan, air terjun Nglirip. Putri yang patah hati ini menutup diri menolak ditemui siapapun. Hingga kini sesekali sang putri muncul tengah mengambil air di dasar air terjun Nglirip (Cerita Putri Nglirip, wawancara Mahmudi dilakukan bulan Agustus 2012, dokumen lengkap ada pada peneliti).

Apabila dicermati lebih mendalam, manifestasi ketidakadilan gender terhadap posisi perempuan banyak terjadi di lingkup istana yang dekat dengan kekuasaan. Meskipun tidak menampik manifestasi tersebut terjadi di dalam lingkungan rumah tangga seperti yang terjadi dalam cerita Lanjar Maibit. Laki-laki yang dekat dengan istana, memosisikan dirinya lebih superior dan perempuan dipandang dalam posisi inferior. Manifestasi yang mengasumsikan bias gender, telah mengakar di dalam keyakinan laki- laki dan perempuan berdampak buruk terhadap kehidupan laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan gender yang tercermin dalam konstruksi sosial cerita rakyat Tuban, sama- sama merugikan bagi perempuan dan laki-laki.

Dengan demikian, diperlukan pemahaman terhadap perempuan Tuban. Perempuan Tuban, yang dipandang inferior, melakukan pendobrakan bahwa ia bukan lemah seperti tampak pada fisiknya. Perempuan dalam cerita rakyat Tuban memilih cara yang berbeda untuk mendapatkan kemerdekaan. Perempuan Tuban, di satu sisi, dalam menghadapi persoalan ketidakadilan, memilih meninggalkan rumah atau istana. Perlawanan terhadap laki-laki dalam konstruksi sosial lebih halus, tidak terbuka secara fisik, atau radikal seperti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan feminis barat, baik gerakan feminis Amerika, Inggris, atau Prancis (Barry, 2010:147)

KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA & BUDAYA (KS2B) 2016 | 39 2. Kekuasaan Laki-laki Terhadap Perempuan dalam Cerita Rakyat Tuban

Feminis marxis menyoroti di dalam sistem patriarki, seorang perempuan adalah makhluk yang harus di-rumah-kan. Perempuan yang sudah menikah harus melayani laki- laki, menjaga anaknya, dan melakukan pekerjaan lain yang berkaitan dengan perempuan. Feminis Marxis mencoba mengangkat sistem kelas yang ada dalam kultur patriarki di mana laki-laki adalah kelas pertama, sedangkan perempuan adalah kelas kedua sebagai kelas yang tersubordinasi (Thoyib dan Lutfiah, 2015:201)

Sama halnya dengan pandangan Hariwijaya, sebagaimana dikutip oleh Roqib (2007:71), bahwa bias gender menempatkan perempuan harus mengalah dan berbuat baik seperti tatkala dimadu. Meskipun dimadu perempuan jawa harus tetap setia kepada suaminya.

Berbeda halnya dengan kesetiaan perempuan terhadap laki-laki dalam cerita rakyat

Tuban. Laki-laki di dalam cerita rakyat Tuban, dipandang memiliki power (kekuatan) untuk

menguasai perempuan. Seperti halnya kekuatan yang dimiliki oleh ayah Putri Nglirip, untuk “menjinakkan” Putri Nglirip. Berdasarkan cerita Putri Nglirip, perempuan tidak boleh menentukan nasibnya sendiri. Nasib perempuan sepenuhnya dikendalikan oleh kekuasaan laki-laki. Pilihan dan pedoman hidup perempuan ditentukan oleh laki-laki yang menguasainya.

Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan tercermin pula dalam cerita-cerita rakyat Tuban yang lain, seperti Sri Huning, Lanjar Maibit, Putri Gunung Nyikut, Roro Ombo, dan Putri Panggung. Cerita-cerita tersebut memiliki kesamaan, bahwa tokoh perempuan dalam cerita rakyat tersebut sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh laki-laki istana. Lanjar Maibit dikuasai oleh Minak Anggrung, putra mahkota Kadipaten Padangan, diperebutkan oleh Minak Cepala, Lurah Logawe, diperebutkan pula oleh Dalang Bedaya. Pada akhir cerita, Lanjar Maibit mati karena bunuh diri. Kematian Lanjar Maibit tidak lain terjadi karena kekuasaan laki-laki atas perempuan.

Cerita rakyat Tuban yang lain, Sri Huning adalah putri asuh Adipati Wilatikta. Ia mencintai kakak angkatnya yang bernama Raden Wiratmaja. Sri Huning melakukan segala hal untuk menerjemahkan cintanya. Dalam cerita tersebut, lagi-lagi perempuan dalam bayang-bayang laki-laki istana. Bayang-bayang tersebut, mengakar dalam hati Sri Huning, bahkan ketika mengetahui Wiratmaja dijodohkan dengan Kumalaretna, putri Adipati Bojonegoro, ia tidak merasa kalah bersaing.

Sri Huning bahkan rela berperang bersama Raden Wiratmaja untuk membuktikan cintanya. Peperangan tersebut dalam rangka membantu Kadipaten Bojonegoro yang diserang Kadipaten Lamongan. Sri Huning dan Raden Wiratmaja tewas dalam peperangan tersebut (Cerita Sri Huning Mustika Tuban, Wawancara Djaman, 13 Februari 2016).

Berdasarkan cerita tersebut, Sri Huning menjadi tokoh perempuan pahlawan Tuban. Dibalik ketokohan Sri Huning tersebut, sebenarnya ada yang tersembunyi, yaitu pengaruh kekuasan laki-laki istana terhadap perempuan. Perempuan dalam hal ini, merupakan kelas kedua. Ia memosisikan dirinya sebagai makhluk yang dikuasai.

Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan juga tercermin dalam cerita rakyat Rara Ombo, Putri Nyikut, dan Putri Panggung. Perempuan dalam ketiga cerita rakyat tersebut menjadi orang yang terasing. Keterasingan itu terjadi karena pengaruh laki-laki yang berkuasa. Putri Nyikut harus mengasingkan diri ke Bukit Nyikut, untuk melepaskan diri dari kekangan laki-laki, dalam hal ini suami. Ia lebih memilih menjadi pedagang kain tenun daripada harus ditekan suaminya.

Putri Panggung sengaja diasingkan oleh ayahnya karena sulit diatur. Di dalam cerita tersebut, Putri Panggung terkenal sebagai perempuan brutal penentang ayahnya. Ia memiliki kegemaran untuk menggoda laki-laki. Hal ini, mengakibatkan ayah Putri

40 | KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA & BUDAYA (KS2B) 2016

Panggung harus menahan rasa malu, mengingat ia adalah orang yang terhormat. Menurut etika istana, seorang perempuan harus anggun, lembut kepada laki-laki, penyabar, dan santun. Sikap demikian, tidak terdapat dalam diri Putri Panggung. Kehadiran Putri Panggung di istana menambah masalah. Apalagi, ia tidak pernah taat kepada ayahnya. Dengan perkataan lain, Putri Panggung ingin setara dengan laki-laki yang suka menggoda perempuan, berburu, dan bertindak seenaknya saja. Akan tetapi, hal tersebut mendapat kecaman dari ayahnya. Hak-hak sebagai perempuan yang merdeka, cenderung dikuasai oleh ayahnya. Hal ini, dikarenakan sikap dan perilaku Putri Panggung bertentangan dengan norma-norma istana.

Cerita Rara Ombo pun demikian, karena perlawanannya terhadap laki-laki, ia diusir dari istana. Kemudian ia memilih mengasingkan diri ke daerah (tegalan) perladangan, jauh dari istana. Ia memilih menjadi pembatik daripada harus dikekang oleh suaminya.

Kekuasaan laki-laki yang memandang perempuan berada di kelas kedua atau kelas subordinasi, menyebabkan perempuan berada dalam realitas yang lain. Perempuan dalam cerita rakyat Tuban, sebagai akibat subordinasi laki-laki, mengalami kehidupan yang tragis. Purbani (2013:375), bahwa para tokoh perempuan ingin menghapus diskriminasi, subordinasi, dan kekerasan yang berujung pada kehidupan tragis.

Perlawanan yang dilakukan untuk mendobrak dominasi kekuasaan laki-laki, sia-

sia. Perlawanan tersebut, bahkan berujung kesengsaraan. Perempuan dalam cerita rakyat Tuban dipresentasikan sebagai makhluk yang tidak berdaya dan selalu di posisi bawah. Posisi di bawah dipresentasikan sebagai posisi yang tidak merdeka, dikekang, dan berujung ketragisan.

Berangkat dari kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, Gilman (dalam Thornham, 2010:29) berargumen bahwa feminitas adalah penindasan yang dibentuk secara cultural dan ideologis. Dengan demikian, perempuan adalah perempuan sebagaimana kondisi biologis. Kekuasan perempuan yang menempatkan perempuan yang dikuasai oleh laki-laki menyebabkan perempuan adalah jenis kelamin, mereka bukan siapa-siapa selain perempuan.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan kritik sastra feminis terhadap perempuan dalam cerita rakyat Tuban, dapat disimpulkan bahwa perempuan berada dalam dimensi yang sempit dalam konstruksi sosial. Fenomena kehidupan masyarakat dalam cerita rakyat Tuban yang didominasi oleh laki-laki, memunculkan ketidakadilan dan ketertindasan kultur maupun sosial terhadap perempuan. Fenomena kehidupan tersebut, menunjukkan potensi cerita rakyat untuk memberikan pemecahan terhadap permasalahan kekinian.

Konstruksi sosial dalam cerita rakyat Tuban merupakan gagasan yang dicita- citakan perempuan dalam cerita untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan. Gagasan tersebut, memunculkan fenomena penindasan terhadap perempuan. Selain itu,

ketidakadilan terhadap perempuan mengakibatkan perempuan berada dalam posisi ‘yang

lain’ dalam kehidupan sosial dan budaya. Hal ini, memunculkan ideologi, bahwa perempuan menolak atau melawan bias-bias di dalam masyarakat. Perempuan menginginkan posisi yang merdeka dominasi laki-laki.

Di samping itu, kekuasaan laki-laki yang memandang perempuan berada di kelas kedua atau kelas subordinasi, menyebabkan perempuan berada dalam realitas yang lain. Perempuan dalam cerita rakyat Tuban, sebagai akibat subordinasi laki-laki, mengalami kehidupan yang tragis. Selain itu, perempuan dipandang sebagai makhluk yang harus

KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA & BUDAYA (KS2B) 2016 | 41

dikuasai oleh laki-laki baik secara konsruksi sosial, politik maupun biologi. Akibat dari konstruksi sosial dan kekuasaan laki-laki, perempuan dalam cerita rakyat Tuban memilih untuk mengasingkan diri dari kekangan patriarki. Pengasingan diri merupakan bentuk perlawanan untuk mendapatkan kesetaraan diwujudkan dalam bentuk yang lain yaitu menjauhkan diri dari jaring-jaring laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan

Aplikasi. Yogyakarta:CAPS.

Santoso, Wijayanti M. 2011. Sosiologi Feminisme: Konstruksi Perempuan dalam Industri Media.

Yogyakarta: LKIS.

Musthafa, Bachrudin. 2008. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung

Andersen, Margaret L.1983. Thinking About Women: Sosiological and Feminist Perspectives. New York: Macmillan Pubhlishing Co, Inc.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Madsen, L. Deborah. 2000. Feminist Theory and Literary Practice. London: Pluto Press.

Prastowo, Andi. 2010. Menguasai Teknik-teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:

Diva Press.

Bungin, 2003:64; Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta:Kencama

Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora

pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Spradley (2007:61) Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. (diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana.

Sudikan, Setya Yuwana. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: Pustaka Ilalang Group.

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purbani,Widyastuti. 2013. Watak dan Perjuangan Perempuan dalam Novel-Novel Karya Penulis

Perempuan Indonesia dan Malaysia Awal Abad Ke-21. Jurnal Litera Volume 12, nomor 2, oktober 2013. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

42 | KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA & BUDAYA (KS2B) 2016

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya.

Yogyakarta: Jalasutra.

Thoyib, Muhammad Edy dan Lutfiah, Zumrotun. 2015. Konstruksi Gender dalam Cerpen

Jaring Laba-Laba Karya Ratna Idraswari Ibrahim, Proseding seminar Nasional Bahasa dan Sastra (Senabastra VII), Prodi Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura: Antilia Master Quality.

KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA & BUDAYA (KS2B) 2016 | 43

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA:

SUMBER NILAI DIDIK & ESTETIS