• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan ( Flare Gas ) di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Minyak Tugu Barat

Grafik/Tabel

NEW INVESTMENT

5.3.2. Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan ( Flare Gas ) di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Minyak Tugu Barat

Berdasarkan hasil pengamatan selama di lapangan, pemanfaatan gas ikutan dan potensi yang dimiliki oleh Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat adalah sebagai berikut.

a. Pemanfaatan Produksi Minyak dan Gas

Lapangan Tugu Barat Komplek menghasilkan produk berupa minyak dan gas bumi, dengan perincian sebagai berikut:

¾ Minyak.

Minyak yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek dimanfaatkan untuk keperluan Kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, dengan cara dikirim ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) Tugu Barat melalui pipa trunk line (pipa

utama) bersama-sama minyak mentah hasil dari Lapangan Mundu, Blok Jatibarang.

¾ Gas alam (non associated),

Gas alam yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek digunakan untuk berbagai keperluan, yakni:

1. Untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang.

2. Untuk memasok Kilang Mundu untuk selanjutnya diproses (stripping) menjadi gas LPG.

3. Untuk memasok keperluan gas konsumen industri yakni memasok PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon.

¾ Gas alam (associated), dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku (feed stock) pada proses mini LPG plant.

b. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat

Hingga saat ini gas ikutan merupakan gas yang keluar ke lingkungan dari reservoar gas bumi pada saat dilakukan produksi gas, dan untuk menghilangkannya biasanya dilakukan dengan cara membakar gas ikutan tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 31. Pada dasarnya pemanfaatan gas ikutan (flare gas) seperti yang dirancang di atas ini, akan sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai aspek, karena dengan dimanfaatkannya gas ikutan ini akan dapat menambah pasokan gas alam (lean gas) dan menambah pasokan LPG dalam negeri, khususnya di Jawa Barat yang saat ini permintaan (demand) untuk berbagai keperluannya semakin meningkat.

Gambar 34. Gas ikutan (flaring) yang akan di manfaatkan oleh PT.SDK Gas Ikutan

(Flaring Gas ) yang akan di manfaatkan

Berdasarkan hasil perhitungan potensi gas ikutan (flare gas) yang ada di Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya diperkirakan berjumlah 10 juta sampai 11 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), dan hingga saat ini masih belum termanfaatkan. Pada saat dilakukan penelitian ini terindikasi bahwa potensi gas ikutan yang belum termanfaatkan tersebut mempunyai potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan karena Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya mampu menyediakan gas ikutan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan baku (feed stock) dalam jumlah 10 sampai dengan 11 MMSCFD untuk jangka waktu 10 tahun (2009 s/d 2019). Hal ini di dukung oleh hasil reservoir studi cadangan yang dilakukan oleh PT SDK yang memperlihatkan bahwa produksi cadangan gas ikutan diperkirakan lebih dari 11.5 MMSCFD, dan jumlah tersebut akan relatif konsisten untuk kurun waktu lebih dari 15 tahun (PT SDK, 2007). Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh PT.Pertamina EP Region Jawa, (2008) bahwa potensi gas ikutan mulai tahun 2005 hingga tahun 2015 di Lapangan Tugu Barat Komplek dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Potensi produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam MMSCFD) Kabupaten Indramayu

Lokasi Tahun

TGB-A TGB-B TGB-C Tudung TGB-D PCT Total

2005 3,36 2,52 - - - 1,86 7,74 2006 3,19 1,95 3,50 - - 1,47 10,11 2007 3,03 1,50 3,50 - 1,50 4,73 14,26 2008 2,90 1,16 3,50 - 1,50 4,49 13,55 2009 2,08 0,90 3,50 - 1,50 4,25 12,23 2010 1,20 0,70 3,50 - 1,50 4,04 10,94 2011 0,68 0,54 3,50 - 1,50 3,82 10,04 2012 0,60 0,43 3,50 2,90 1,60 2,52 11,55 2013 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,50 11,51 2014 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,49 11,50 2015 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,49 11,50 Keterangan :

TGB-A = Lapangan Tugu Barat Komplek A TGB-B = Lapangan Tugu Barat Komplek B TGB-C = Lapangan Tugu Barat Komplek C TGB-D = Lapangan Tugu Barat Komplek D PCT = Lapangan Pasir Catang

Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa, 2008

Selain dilihat dari jumlah seperti tersebut di atas, kondisi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat juga dapat dilihat dari kecukupan cadangan gas tersebut, yang dapat dilihat dari nilai GOR (gas to oil ratio)-nya. Adapun nilai GOR ini

didapat berdasarkan volume gas ikutan yang terkandung dalam reservoir minyak, yang dihitung dengan perhitungan persamaan Darcy untuk aliran multi fasa, adapun cara menghitungnya volume gas (cubic feet) dibagi volume oil (barrel), sebagai berikut:

Input gas = 11 mmscf -Æ berapa barrel oil equivalent (BOE)?

= 11 x konstanta (179,6000000135) = 1975,6 barrel oil equivalent GOR = 1975,6 / 500 = 3,95

Dalam hal ini jika nilai GOR lebih dari 1 mengandung arti bahwa nilai tersebut bagus, dalam arti cadangan gas tersebut cukup). Dari perhitungan GOR yang ada di Lapangan Tugu Barat seperti tersebut di atas, memperlihatkan bahwa nilai GOR Lapangan Tugu Barat adalah 3,95. Kondisi ini memperlihatkan bahwa cadangan gas yang terdapat di Lapangan Tugu Barat masuk pada kategori cukup. Hal ini mengandung arti bahwa berdasarkan cadangan gas tersebut, maka industri pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi yang baik untuk dilaksanakan dan dikembangkan, sehingga akan bermanfaat secara ekonomi karena gas ikutan akan diolah menjadi LPG dan CO2 yang bernilai ekonomis bahkan LPG-nya dapat mengganti minyak tanah yang subsidinya sangat tinggi.

Pemanfaatan gas ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi lepasnya GRK ke atmosfir dalam jumlah yang sangat banyak, yakni gas CO2 sebanyak 635,613 ton CO2 perhari dan lepasnya gas metan sebanyak 1051,97 ton perhari; serta akan mengurangi bahan pencemar udara berupa nitrogen sebanyak 40,8167 ton perhari. Pemanfaatan gas ikutan juga sekaligus dapat membuka lapangan pekerjaan baru, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Mengingat cukup melimpahnya gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, sehingga sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam rangka memaksimalkan produksi dan ekonomi sekaligus meminimalkan pencemaran lingkungan, maka PT.Pertamina harus berupaya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya (reasonable endavour) untuk menyalurkan gas kepada PT.SDK sebesar 11.5 mmscfd dengan komposisi apa adanya yang diproduksi dari Lapangan milik PERTAMINA di komplek Tugu Barat dan Pasir Catang. Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi yang tinggi dalam menghasilkan gas ikutan. Jika gas ikutan tersebut hanya hilang ke udara atau

dibakar seperti yang saat ini terjadi (Gambar 34), berpengaruh jiwa manusia pada dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (mengeksploitasi gas) akan mengakibatkan konsentrasi GRK di atmosfir mengalami penambahan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Murdiarso (2003) dan CCSP (2003), bahwa konsentrasi GRK selalu meningkat akibat pola hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya dalam rangka mengurangi hal tersebut, maka lepas atau dibakarnya gas ikutan harus diminimalkan.

Upaya pemanfaatan gas ikutan ini harus segera diwujudkan mengingat gas ikutan tidak hanya akan dihasilkan di Lapangan Tugu Barat, namun akan dihasilkan dari seluruh reservoar minyak dan gas bumi yang ada di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh belahan bumi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hidayati (2001) yang mengatakan bahwa berdasarkan data historis rata-rata, suhu udara di Indonesia meningkat sebesar 0.30C per tahun sejak tahun 1900 dan telah mengakibatkan curah hujan berkurang 2 % hingga 3 % terutama pada bulan Desember – Februari. Sejalan pula dengan hasil penelitian Hidayati (1990); Rozari, Hidayati dan Manan (1992); Hidayati, Abdullah dan Suharsono (1999) yang mengatakan bahwa suhu di sebagian besar wilayah Indonesia terutama siang hari meningkat, namun curah hujannya tidak menunjukkan pola yang sama. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan banyaknya gas ikutan yang dibuang atau dibakar, dikuatirkan akan semakin mempertinggi perubahan suhu dan semakin menurunkan curah hujan. Dan berdasarkan pendugaan iklim dengan menggunakan model sistem iklim untuk menduga iklim dunia pada masa yang akan datang, yang merupakan model sirkulasi udara global GCMs (Global Circulation Models) yaitu : CCCM (Canadian Climate Cetre Model), GISS ( NASA’s Goddard Institute for Space Studies), GFDL (NOAA’s Geophysical Fluid Dynamics Laboratory) dan UKMO (United Kingdom Meteorological Office); diprediksi bahwa suhu global akan naik sebesar 2,80 hingga 5,20C dan presipitasi global akan naik sebesar 7 % hingga 16 % jika konsentrasi CO2 menjadi 2 kali lipat (Indonesian Country Study Team on Climate Change, 1998).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka gas ikutan yang jumlahnya banyak dengan kandungan CO2-nya yang bervariasi pada setiap lapangan minyak (Syahrial dan Bioletty, 2007), apalagi eksploitasi minyak dan gas bumi semakin meningkat; harus segera dimanfaatkan dan dijadikan produk yang

bernilai ekonomis. Jika gas ikutan tersebut dapat dimanfaatkan kembali, maka perusahaan migas tersebut dapat dikatakan sudah melakukan produksi bersih atau sudah menciptakan mekanisme pembangunan bersih. Namun demikian karena sifatnya spesifik pada setiap lokasi, maka dalam pemanfaatannya, harus dilakukan teknologi yang spesifik sesuai dengan sifat gas ikutan di lokasi tersebut.

c. Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat

Pada dasarnya gas dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu feedgas, sweet gas, dan CO2. Berdasarkan hasil analisis terhadap komposisi pada ketiga jenis gas tersebut, ternyata ketiga gas tersebut memiliki komposisi yang berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya. Adapun komposisi ketiga gas tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Analisa komposisi gas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu Process Streams

Composition Feed Gas (%) Sweet Gas (%) C02 (%) CO2 39,73* 0,26 90,79 Methane 50,14* 82,66 0,57 Ethane 3,69* 6,08 0,04 Propane 2,44* 4,03 0,02 i-Butane 0,45* 0,74 0,002 n-Butane 0,73* 1,21 0,003 i-Pentane 0,21* 0,35 0,0005 n-Pentane 0,19* 0,31 0,0004 n-Hexane 0,49* 0,81 0,0012 n-Heptane 0,00* 0,00 0,00 n-Octane 0,00* 0,00 0,00 Nitrogen 1,94* 3,20 0,0130 Water 0,00* 0,34 8,56 MDEA 0,00* 8,33 5,16 Temperature F 110,00* 120,49 119.,99 Pressure Psia 190,00* 507,00 20,00 Mass Flow lb/h 21.161,80 8.722,15 12.946,20 Std Vapor Volumetric Flow MMSCFD 6,50* 3,92 2,83 Sumber : Corelabs, 2007

Tabel 11 memperlihatkan bahwa gas ikutan baik yang masuk pada kategori feed gas maupun sweet gas mempunyai kandungan karbondioksida dan metan yang tinggi, padahal baik karbondioksida maupun gas metan merupakan gas rumah kaca yang jumlahnya paling dominan diantara gas rumah kaca lainnya yang dapat mengakibatkan munculnya efek rumah kaca (Abrahamson, 1989). Pada Tabel 12 juga terlihat bahwa kandungan CO2 pada feed gas kurang lebih 39,73%, pada sweet gas hanya 0,26%, dan pada gas karbon dioksida, kurang lebih 90,79%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa jika feed gas akan dimanfaatkan, maka karbondioksida yang terdapat pada feed gas tersebut harus dipisahkan terlebih dahulu, karena jika di dalamnya terdapat karbondioksida sejumlah itu, maka selain kalorinya menjadi rendah, juga akan mengakibatkan tekanan yang rendah, sehingga menyulitkan dalam mengkonversi feed gas tersebut. Namun demikian karbon dioksida tersebut masih dapat dimanfaatkan. Berbeda dengan pada feedgas, kandungan CO2 pada sweet gas sangat rendah, sehingga sweet gas dapat langsung diolah.

Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa kandungan gas methane pada sweet gas lebih tinggi dari pada feed gas dan CO2 yaitu mencapai 82,66 % sedangkan feed gas dan CO2 hanya bernilai masing-masing 50,14 % dan 0,57 %. Hal yang sama ditunjukkan pada kandungan ethane, propane, i-butane, n-nutane, i-pentane, n-pentane dan n-hexane lebih tinggi pada sweet gas dibandingkan dengan feed gas dan CO2. Kandungan n-heptane dan n-oktane tidak ditemukan baik pada feed gas, sweet gas dan CO2, demikian juga halnya dengan air dan MDEA tidak ditemukan pada feed gas sedangkan pada sweet gas dan CO2 terdapat air dan MDEA dengan komposisi masing-masing 0,34 % dan 8,33 % untuk sweetgas dan 8,56 % dan 5,16 % untuk CO2.

Hasil analisis terhadap ketiga gas ini juga memperlihatkan adanya perbedaan temperatur. Sweet gas memiliki temperatur yang lebih tinggi yaitu sebesar 120,49 oF dibandingkan dengan feed gas dan CO2 dengan temperatur masing-masing sebesar 110,00 oF dan 119,00 oF, namun perbedaan temperatur ini tidak terlalu nyata. Selain adanya perbedaan temperatur, ketiga gas tersebut juga mempunyai perbedaan tekanan (pressure), yaitu sweet gas memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan feedgas dan CO2. Tekanan pada sweetgas mencapai 507,00 Psia sedangkan pada feedgas dan CO2 hanya mencapai 190,00 Psia dan 20,00 Psia.

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa baik proses streams feed gas, sweet gas dan CO2 terdapat gas nitrogen dengan konsentrasi berturut-turut 1,94%; 3,2% dan 0,0130%. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian mengingat CO2 dan nitrogen yang lepas ke atmosfir akan berubah menjadi NOx

yang jika hujan akan berubah menjadi asam karbonat (H2CO3) dan nitogen akan berubah menjadi asam nitrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Finley (2001) yang mengatakan bahwa hujan asam (acid rain) adalah turunnya derajat kemasaman (pH) air hujan karena terjadinya reaksi antara zat-zat pencemar dengan air di udara membentuk suatu komposisi baru di udara yang bersifat asam dan turun bersama air hujan, sehingga air hujan yang turun mempunyai nilai pH yang rendah. Air hujan pada kondisi normal mempunyai nilai pH 5,6. Hujan asam biasa terjadi di daerah industri yaitu merupakan efek dari pelepasan zat-zat pencemar SOx dan NOx ke udara dengan konsentrasi yang besar. Pengaruh hujan asam tidak selalu langsung mematikan tanaman (Anonim, 2003)

d. Penyaluran dan Pemasaran Produksi Gas Kilang Tugu Barat

Mengingat tingginya potensi gas rumah ikutan di Kilang Tugu Barat dan dalam rangka melakukan proses produksi bersih sekaligus akan mendatangkan keuntungan ekonomi dan melindungi lingkungan, maka gas ikutan disarankan untuk diolah kembali menjadi lean gas, kondensat atau LPG dan CO2-nya juga dipisahkan untuk tujuan komersial. Selanjutnya hasil pengolahan gas ikutan ini menjadi milik PERTAMINA, sehingga selanjutnya PERTAMINA memasarkan hasilnya.

Dalam pemasaran hasil olahan gas ikutan ini, produk berupa LPG dan kondensat sebaiknya dijual ke perusahaan lain atau yang biasa dikenal dengan istilah mitra usaha lain (bisa melalui penunjukkan atau pola lain), untuk itu ada baiknya perusahaan pembeli (mitra usaha lain) diikat dengan kontrak kerja sama jangka panjang. Namun untuk produksi lean gas, ada baiknya PT SDK menyalurkannya ke transmisi gas utama PERTAMINA misalnya ke PERTAMINA Cemara. Untuk itu PT SDK idealnya membangun jalur instalasi pipa gas terlebih dahulu yang mempunyai diameter 4 inch sepanjang 22.7 km dari Kilang Tugu Barat ke jalur transmiisi gas utama PERTAMINA di Cemara. Untuk keperluan tersebut, maka mitra usaha lain yang sebaiknya ada adalah :