• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSIAL TANGGA DAN HALANG

Dalam dokumen Diktat Fismod (Halaman 117-123)

f Frekuensi gelombang yang datang

PERSAMAAN SCHRODINGER

4.14 POTENSIAL TANGGA DAN HALANG

Dalam jenis persoalan umum berikut, kita akan menganalisis apa yang terjadi apabila sebuah partikel yang sedang bergerak (juga dalam satu dimensi) dalam suatu daerah berpotensial tetap tiba-tiba bergerak memasuki suatu daerah berpotensial berbeda yang juga tetap nilainya. Kita tidak akan membahas

113

pemecahan persoalan ini secara terinci, tetapi karena metode pemecahannya sama, kita dapat menentukan secara garis besar langkah-langkah yang perlu diambil untuk mendapatkan pemecahan tersebut. Dalam bahasan ini kita akan mengambil 𝐸 sebagai energi total (yang tetap) dari partikel dan π‘‰π‘œ sebagai energi potensial tetapnya.

1. Apabila 𝐸 lebih besar daripada π‘‰π‘œ, maka pemecahan persamaan Schrodingernya berbentuk

πœ“ π‘₯ = 𝐴 sin π‘˜π‘₯ + 𝐡 cos π‘˜π‘₯ (4.50)

Dimana

π‘˜ = 2π‘š

Δ§2 (𝐸 βˆ’ 𝑉0) (4.51)

A dan B adalah dua tetapan yang dapat ditentukan dari syarat normalisasi dan kekontinuan. Sebagai contoh, tinjau potensial tangga yang di perlihatkan pada gambar 4.9:

GAMBAR 4.9 Potensial tangga dengan tinggi V0

Jika E adalah energi total dan lebih besar dari V0 , maka kia dengan mudah dapat menuliskan pemecahan persamaan Schrodinger dalam kedua daerah ini sebgai berikut: πœ“0 π‘₯ = 𝐴 sin π‘˜0π‘₯ + 𝐡 cos π‘˜0π‘₯ π‘˜0 = 2π‘šπΈ ℏ2 x < 0 (4.52a) πœ“1 π‘₯ = 𝐢 sin π‘˜1π‘₯ + 𝐷 cos π‘˜1π‘₯ π‘˜1 = 2π‘š ℏ2 (𝐸 βˆ’ 𝑉0) x > 0 (4.52b) X=0 V0 V(x) = 0 = 0 x < 0 x β‰₯ 0

114

Hubungan antara keempat tetapan A,B,C dan D, dapat dicari dengan menerapkan persyaratan bahwa πœ“ π‘₯ π‘‘π‘Žπ‘› πœ“β€² 𝑦 = π‘‘πœ“/𝑑π‘₯ haruslah kontinu pada batas kedua daerah; jadi πœ“0 0 = πœ“1 0 , πœ“0β€² 0 = πœ“1β€²(0). Perhatikan bahwa penerapan syarat kekontinuan menjamin peralihan mulus dari gelombang yang satu ke yang lainpada titik batas.

Sekali lagi, kita dapat menggunakan persamaan π‘’π‘–πœƒ = π‘π‘œπ‘ πœƒ + 𝑖 sin πœƒ untuk menstransformasikan kedua pemecahan ini dari bentuk sinus dan kosinus kedalam bentuk kompleks, yakni :

πœ“0 π‘₯ = π΄β€²π‘’π‘–π‘˜0π‘₯ + π΅β€²π‘’βˆ’π‘–π‘˜0π‘₯ x < 0 (4.53a) πœ“1 π‘₯ = πΆβ€²π‘’π‘–π‘˜0π‘₯ + π·β€²π‘’βˆ’π‘–π‘˜0π‘₯ x > 0 (4.53b) Apabila ketergantungan pada waktu dimasukkan dengan mengalikan masing-masing suku dengan π‘’βˆ’π‘–πœ”π‘‘, maka kita dapat menafsirkan masing-masing komponen gelombang ini. Ingatlah bahwa (π‘˜π‘₯ βˆ’ πœ”π‘‘) adalah fase gelombang yang bergerak dalam arah x positif, sedangkan (π‘˜π‘₯ + πœ”π‘‘) adalah fase gelombang yang bergerak dalam arah x negatif, dan bahwa kuadrat nilai mutlak dari tiap-tiap koefisien memberikan intensitas dari komponen gelombang yang bersangkutan. Pada daerah x < 0, Persamaan (4.53a) menyatakan superposisi antara sebuah gelombang berintensitas 𝐴′ 2 yang bergerak dalam arah x positif (dari –x menuju 0) dengan sebuah gelombang beintensitas 𝐡′ 2.

Yang bergerak dalam arah x negatif. Andaikanlah kita maksudkan pemecahan ini menyatakan partikel-partikel yang mulanya datang dari bagian sebelah kiri potensial. Maka 𝐴′ 2 memberikan intensitas gelombang datang (atau lebih tepat lagi, gelombang deBroglie yang menyatakan berkas partikel datang) dan 𝐡′ 2 memberikan intensitas gelombang pantul. Nisbah 𝐡′ 2/ 𝐴′ 2 memberikan fraksi intensitas gelombang datang. Dalam daerah x > 0, gelombang dengan intensitas 𝐷′ 2yang bergerak dalam arah negatif x (dari x = +∞ menuju x=0) tidak dapat hadir jika partikel –partikelnya kita tembakkan dari sebelah kiri, jadi untuk situasi percobaan istimewa ini. Kita dapat mengambil 𝐷′ sama dengan nol. Dengan demikian intensitas gelombang tranmisi ini adalah 𝐢′ 2.

115

Dapat menganalisis semua pemecahan di atas dari sudut pandang energi kinetik. Pada daerah di mana energi kinetik partikel adalah terbesar momentum linear p (= 2π‘šπΎ) akan menjadi pula yang terbesar., dan panjang gelombang deBroglie πœ†(= 𝑕/𝑝) akan menjadi yang terkecil. Jadi, panjang gelombang deBroglie dalam daerah x > 0 lebih kecil daripada yang di dalam daerah x < 0.

2. Apabila E lebih kecil daripada V0, maka kita peroleh pemecahan berbeda :

πœ“ π‘₯ = π΄π‘’π‘˜π‘₯ + π΅π‘’βˆ’π‘˜π‘₯ (4.54)

Dimana

π‘˜ = 2π‘š

ℏ2 (𝑉0βˆ’ 𝐸) (4.55)

Jika daerah pemecahan ini meliputi dari +∞ atau -∞, kita harus menjaga agar πœ“ tidak menjadi takhingga dengan pengambilan A atau B sama dengan nol; jika daerahnya hanya mencakup koordinat x yang berhingga, hal ini tidaj perlu dilakukan.

Sebagai salah satu contohnya, jika dalam soal sebelumnya, E lebih kecil daripada V0, maka pemecahan bagi πœ“0 (untuk x < 0) akan tetap diberikan oleh persamaan (4.52a) atau (4.53a) , tetapi pemecahan πœ“1 (untuk x > 0) menjadi :

πœ“ π‘₯ = πΆπ‘’π‘˜1π‘₯+ π·π‘’βˆ’π‘˜1π‘₯ π‘˜ = 2π‘š

ℏ2 (𝑉0βˆ’ 𝐸) (4.56) Sekali lagi, kita harus memastikan bahwa semua pemecahan ini bersambung mulus pada batas – batas daerah berlaku masing-masingnya; penerapan syarat batas ini dilakukan seperti pada kasus sebelumnya. (Kita mengambil C = 0 agar mengindari πœ“1(x) menjadi takhingga bila xβ†’ +∞ ).

Rapat probabilitas dalam daerah x > 0 adalah πœ“1 2, yang menurut persamaan (4.56) adalah sebanding dengan π‘’βˆ’2π‘˜1π‘₯. Jika kita definisikan jarak terobosan Ξ”π‘₯ sebagai jarak dari x = 0 hingga ke titik di mana probabilitasnya menurun menjadi 1

𝑒 , maka

116 βˆ†π‘₯ = 1 2π‘˜1 = 1 2 ℏ 2π‘š (𝑉0βˆ’πΈ) (4.57) Agar partikel dapat memasuki daerah x > 0, ia harus sekurang-kurangnya mendapat tambahan energi sebesar V0 – E agar dapat melampaui tangga potensial; jadi, ia harus memperoleh tambahan energi kinetik jika ia memasuki daerah x > 0. Tentu saja, ini melanggar kekekalan energi bila partikel memperoleh sembarangtambahan energi secara tiba-tiba, tetapi menurut hubungan ketidakpastian βˆ†πΈ βˆ†π‘‘ ~ℏ, kekekalan energi tidak berlaku pada selang waktu yang lebih kecil daripada βˆ†π‘‘ kecuali hingga suatu jumlah energi sebesar βˆ†πΈ ~ℏ/βˆ†π‘‘. Artinya, jika partikel β€œmeminjam” sejumlah energi βˆ†πΈ dan β€œmengembalikannya” dalam selang waktu βˆ†π‘‘ ~ℏ/βˆ†πΈ, maka kita sebagai pengamat tetap percaya bahwa energi adalah kekal. Andaikanlah kita meminjam sejumlah energi tertentu yang cukup untuk menyebabkan partikel memiliki suatu energi kinetik K dalam daerah terlarang. Dengan energi tersebut, berapa jauhkan partikel menembus daerah terlatang ini?

Energi β€œpinjaman” adalah 𝑉0 βˆ’ 𝐸 + 𝐾; suku (𝑉0 βˆ’ 𝐸) mengangkat partikel ke puncak tangga dan suku sisa K memberikan geraknya. Energinya harus kita kembalikan dalam selang waktu

βˆ†π‘‘ = ℏ

π‘‰π‘œ βˆ’πΈ+𝐾 (4.58)

Karena partikel bergerak dengan laju = 2𝐾/π‘š, maka jarak yang dapat ditempuhna adalah βˆ†π‘₯ =1 2π‘£βˆ†π‘‘ =1 2 2𝐾 π‘š ℏ π‘‰π‘œ βˆ’πΈ+𝐾 (4.59)

(Hadirnya faktor Β½ disebabkan karena dalam selang waktu βˆ†π‘‘ partikel harus menerobosi jarak βˆ†π‘₯ dan kemudian kembali).

Dalam limit 𝐾 β†’ 0, maka, menurut Persamaan (4.59) jarak terobos βˆ†π‘₯ menuju nol, karena partikel memiliki kecepatan nol; begitu pula, βˆ†π‘₯ β†’ 0 dalam limit 𝐾 β†’ ∞, karena selang waktu tempuhnya βˆ†π‘‘ dapat dikatakan nol. Di antara keda limit ini, harus terdapatsuatu nilai maksimum dari βˆ†π‘₯ untuk suatu nilai K

117

tertentu. Dengan mendeferensiasikan Persamaan (4.59), maka nilai maksimum ini dapat kita cari, yaitu:

βˆ†π‘₯π‘šπ‘Žπ‘˜π‘  = 1 2

ℏ

2π‘š (𝑉0βˆ’πΈ) (4.60) Nilai βˆ†π‘₯ ini identik dengan Persamaan (4.57). Hasil ini memperlihatkan bahwa percobaan ke dalam daerah terlarang yang diberikan oleh Persamaan Shrodinger sesuai dengan hubungan ketidakpastian. (Kesesuaian antara Persamaan (4.57) dan (4.60) agaknya merupakan suatu kebetulan karena faktor 1/e) yang dipergunakan untuk memperoleh (4.57) dipilih secara sembarang). Apa yang sebenarnya kita perlihatkan adalah bahwa Persamaan Schrodinger memberikan taksiran yang sama seperti yang diberikan oleh hubungan ketidakpastian Heisenberg).

Partikel dengan energi E yang lebih kecil daripada V0datang dari sebelah kiri. Dari pengalaman kita di depan, kita terdorong untuk memperkirakan bahwa pemecahannya berbentuk sinus dalam daerah x < 0 (sebuah gelombang datang dan pantul), eksponensial dalam daerah 0 ≀ x ≀ a, dan sinus kembali dalam daerah x > a (gelombang transmisi). Intensitas gelombang transmisi dapat dicari dengan menerapkan secara tepat syarat-syarat kontinu, yang tidak akan dibahas disini; yang mana didapati bergantung pada energi partikel dan tinggi serta lebar potensial ahalang. Secara klasik, partikel tidak pernah dapat muncul di x > a, karena tidak memiliki energi yang cukup untuk melewati halangan potensial. Situasi ini adalah contoh dari efek terobos halang (barrier penetration), yang dalam mekanika kuantum seringkali disebut dengan nama efek terowongan (tunneling). Partikel memang tidak pernah dapat diamati berada dalam daerah terlarang klasik 0 ≀ x ≀ a, tetapi ia dapat β€œmenerowong” melalui daerah tersebut sehingga teramati pada daerah x > a.

Berikut kita tinjau tiga contoh nyata efek terowongan ini. V(x) = 0 x < 0 = V0 0 ≀ x ≀ a = 0 x > a

118

Dalam dokumen Diktat Fismod (Halaman 117-123)

Dokumen terkait