• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

E. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Potret Gaya Hidup Hedonis Mahasiswa FISIP UIN Jakarta

Sebelum memulai pembahasan mengenai potret gaya hidup hedonis di kalangan Mahasiswa, perlu untuk membahas terlebih dahulu mengenai definisi gaya hidup hedonis itu sendiri. Pembahasan ini sebagai pengantar untuk melihat apa makna sebenarnya dari gaya hidup hedonis ini sebelum dikaitkan ke dalam ranah kalangan Mahasiswa.

Gaya hidup hedonis merupakan sebuah bentuk gaya hidup yang muncul setelah terjadinya modernisasi massive di lingkungan masyarakat kita saat ini. Makna dari gaya hidup hedonis ini sejatinya berbeda bagi setiap masyarakat terutama dikalangan mahasiswa.

Seperti menurut Ayu “hedonis itu tergantung dari dirinya masing-masing ka karna biasanya yang suka hedon itu identik dengan belanja dan boroskan, kalaw aku sendiri sih gak ngerasa hedon bangat ka, masih bisa ke control lah buat belanja”69

Walaupun setiap masyarakat memiliki perbedaan makna mengenai gaya hidup hedonis ini, namun konsep awal dari pada gaya hidup hedonis ini ialah sebuah gaya hidup yang menjadikan hidup senang di dunia sebagai tujuan hidupnya. Bahwa sesuatu yang menyenangkan adalah hal yang baik dan segala hal yang membuat seorang individu tidak senang adalah hal yang tidak baik.

Maksud dari hal-hal yang dirasakan menyenangkan di dunia adalah berorientasi kepada hal-hal yang berhubungan dengan material. Gaya hidup

69 Lampiran, Transkip Wawancara, Ayu, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 10 September 2019

hedonis cenderung berkaitan dengan budaya konsumtif masyarakat yang pada saat ini memang senang untuk membeli barang-barang yang akan membuat mereka berada di posisi lebih hebat atau setara dengan orang-orang yang berada dikalangan sosialita tersebut dibandingkan dengan barang yang mereka butuhkan.

Seperti Menurut Amalia “Gaya hidup hedonis yang biasa dilakukan oleh seseorang kalau menurutku adalah ketika seorang individu tersebut terlalu konsumtif tanpa melihat kebutuhannya.”70

Karena identik dengan pengkonsumsian barang atau melakukan aktifitas mewah, maka gaya hidup ini terlihat hanya dapat dilakukan oleh masyarakat kelas sosial atas atau masyarakat pada umur dewasa produktif yang sudah memiliki penghasilan sendiri sehingga memiliki modal sosial yang cukup untuk mengimbangi gaya hidup hedonisnya. Namun, seiring semakin meluasnya dampak daripada modernisasi dan berkembangnya teknologi saat ini maka pelaku dari gaya hidup hedonis ini pun kian meluas ke ranah masyarakat pada kelompok usia remaja akhir (Mahasiswa). Hanya saja, aktifitas pemenuhannya yang berbeda dengan masyarakat dari kelas sosial golongan atas.

Menyebarnya gaya hidup hedonis di kalangan mahasiswa ini tentu tidak lepas daripada adanya fakta bahwa diusianya para mahasiswa ini sedang dalam masa pencarian jati diri sehingga menjadi lebih sensitif dan peka terhadap lingkungan pergaulannya. Hal ini kemudian menjadi cukup menarik karena dapat penulis ungkapkan bahwa kebanyakan dari para Mahasiswa ini masih bergantung secara keuangan terhadap orangtuanya. Mahasiswa yang rata-rata berumur 18 sampai dengan 22 tahun ini mayoritas masih mengandalkan uang jajan pemberian orangtua untuk sekedar membeli barang kesukaan, barang high class atau sejenisnya, serta nongkrong bersama teman-teman demi mendukung gaya hidupnya yang hedonis ini,

70

Lampiran, Transkip Wawancara, Amalia, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 16 September 2019

tetapi ada beberapa yang sudah bekerja part time dan membeli barang-barang yang mereka suka dengan uang sendiri, dan ada juga yang berbisnis, sehingga bisa membeli barang-barang mewah dengan penghasilan mereka sendiri sebagai mahasiwa.

Selain bentuk gaya hidup hedonis yang terlihat dari bagaimana cara masyarakat mengkonsumsi barang-barang mewah ternyata di lapangan peneliti menemukan bentuk lain dari pengaplikasian gaya hidup hedonis ini. Di zaman sekarang, mahasiswa yang dianggap hedonis adalah mereka yang suka untuk memamerkan kegiatan sehari-harinya di media sosial. Seperti halnya yang disampaikan oleh Akmal

“Gaya hidup yang biasa dilakukan oleh para mahasiswa berbentuk seperti pamer aktivitas yang dilakukan di media sosialnya masing-masing Gaya hidup mahasiswa hedon yah buang-buang duit ka (sambil tertawa), suka belanja-belanja gitu ka. Yah biasanya hedon mahasiswa itu pasti bisa keliatan dari gaya hidupnya dia ke kampus ka, style pakaianya, sepatu, sama brang- barang yang dia gunakan.”71

Seperti yang diketahui, bahwa modernisasi membawa dampak yang begitu besar terhadap perkembangan teknologi di tengah-tengah masyarakat dewasa ini. Media sosial sebagai dampak dari perkembangan teknologi pun mulai banyak berkontribusi untuk memudahkan aktifitas masyarakat seperti dalam hal memudahkan komunikasi. Banyak dari masyarakat saat ini yang tidak bisa jauh dari penggunaan media sosial karena mendapatkan berbagai macam informasi melalui platform tersebut. Pengguna media sosial mayoritas adalah remaja termasuk para mahasiswa sehingga banyak dari mereka yang memanfaatkan fungsi dari media sosial ini untuk membagikan tentang kegiatan yang dilakukannya sehari-hari dengan maksud agar teman-teman sebayanya mengetahui kegiatan apa yang sedang dilakukan. Tindakan membagikan kegiatan sehari-hari melalui media sosial sebenarnya sah-sah saja untuk dilakukan namun akan berbahaya apabila kita membagikan sesuatu yang tidak sebenarnya kita lakukan dengan tujuan

71

Lampiran, Transkip Wawancara, Akmal Saputra , Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 10 September 2019.

hanya untuk pamer kepada orang lain sehingga orang-orang tersebut menganggap bahwasanya kehidupan kita adalah lebih baik daripada mereka. Usaha seseorang untuk menjalani gaya hidup hedonis ini bermacam- macam bentuknya. Namun, yang banyak disayangkan adalah jika seorang individu dalam suatu lingkungan masyarakat menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Seperti yang sering didengar mengenai para pelaku Social Climber (Panjat Sosial). Individu yang melakukan perbuatan Social Climber ini biasanya akan bergantung terhadap temannya yang memiliki modal sosial yang besar atau dapat disebut memiliki keuangan yang berlebih. Selain itu, ciri-ciri lainnya adalah ia akan senantiasa membeli barang branded namun yang palsu (kw). Hal ini ia lakukan agar lingkungannya tetap memberikannya label sebagai orang yang hedon karena bagi mereka yang senantiasa melakukan usaha ini bahwa menjadi individu yang menjalani gaya hidup seperti ini sangat penting sebagai salah satu bentuk usaha mereka untuk dipandang lebih dibandingkan dengan orang yang lain. Prestige seperti ini yang nantinya akan memberikan power yang lebih terhadap pride (harga diri) mereka karena bagi mereka hidup di dunia tidak bisa menjadi sama seperti orang lain mereka senang menjadi pusat perhatian dan berada di posisi atas sebuah kelas sosial dalam suatu lingkungan masyarakat.

Menurut Disa mengenai fenomena Social Climber ialah: “Social Climber ini sebenernya sangat disayangkan ya karna ehh pertama dia apa namanya menghalalkan segala cara gitu misalnya dia sampe nipu orang untuk kesenangan dirinya sendiri kayak yang tadi gue udah jelasin juga apa namanya misalnya dia sampe jualan dan dia nipu sebenernya tujuannya buat kesenengan dia sendiri kayak misalnya dia ngikutin gaya hidup masa kini yang apa-apa harus keluar malem, apa-apa harus ke club gitu kan misalnya nongkrong di sana di sini misalnya elo ngeliat temen lo nongkrong di Hatchi lo juga pengen nongkrong di Hatchi tapi lo ngga punya duit misalnya gitu kan karna setiap malem pasti ada yang harus nongkrong gitu kan. Jadinya, apa ya sangat disayangkan sih trus sekarang kan orang-orang udah pinter ya menilai orang gitu loh kayak yaelah ini orang keliatan kali maksudnya ehh fake banget gitu loh fakenya tuh ehh gimana ya fakenya pura-pura kaya gitu loh padahal sebenernya tuh lo ngga mampu gitu ya jangan gitu banget. Misalkan lo keliatan di sosmed tajir banget ya ini orang gini-gini padahal ngga

misalnya nih kita berdua, sama Shabel misalkan kita berdua nongkrong trus pas pulang gue ngos-ngosan karna gue udah ngeluarin duit banyak atau misalkan gue udah make kartu kredit trus akhir bulan gue bingung nih gimana cara buat ngegantinya gitu jadi sangat disayangkan aja ngehalalin demi kesenangan semata duniawinya. Mendingan kita jadi diri sendiri biarin orang lain kayak gimana tapi kita apa adanya aja jangan yang kayak lu ga mampu tapi sok-sokan mampu gitu sih menurut aku.”72

Dari tanggapan di atas mengenai social climber, bahwasanya individu yang melakukan tindakan gaya hidup hedonis ini merupakan orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan ingin dianggap lebih baik atau setara dengan lingkungannya yang melakukan gaya hidup hedonis ini juga. Ia tidak memperdulikan keterbatasan modal sosial yang ia miliki yang terpenting ialah ia dapat hidup dengan mendapatkan pengakuan dari lingkungan di sekitarnya.

Namun menurut Abdul yang merupakan salah satu dari informan penelitian ini memiliki anggapan lain terkait fenomena social climber ini bahwasanya:

“Fenomena social Climber yaitu seseorang yg mempunyai sifat kejiwaan sih, segala sesuatu yg harus di publis agar status sosialnya di akui. Padahal hal itu bisa menjadi penyakit.. Apalagi sekarang bukan saja remeja tetapi anak², bahkan orang tua pun ikut2 dengan hal itu. Dan itu pun bisa merusak moral bangsa”.73

Di dalam fenomena ini bisa di cerna bahwasanya masyarakat bisa rusak moralnya karna sosial climber yaitu suatu penyakit yang ada di sekitar masyarakat, terutama masa remaja cendrung tidak memikirkan efek samping yang berkepanjangan, karna tidak memikirkan efek kedepanya seperti apa, hanya mementingkan kehidupn dunia, yaitu citra masyarakat yang di lihat dengan manusia agar bisa dipandang bagus dan diakui oleh masyarakat. Selanjutnya menurut Tias yang merupakan salah satu dari informan

72

Lampiran, Transkip Wawancara, Disa, Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 17 September 2019.

73 Lampiran, Transkip Wawancara, Abdul Walid, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 September 2019.

penelitian ini memiliki anggapan lain terkait fenomena social climber ini bahwasanya:

“Sosial climber itu semacem Panjat sosial mungkin ada roblem diri dia sendiri yah mungkin membuat dia panjat sosial, tapi sebenarnya mungkin dia gak berniat untuk panjat sosial, tapi dalam prakteknya dia melakukanya, ada beberapa yang kaya gitu, (social climber) ini berdampak hanya kepada diri kita sendiri dan tidak berpengaruh apalagi sampai merugikan orang lain maka sah-sah aja untuk dilakukan”.74

Masyarakat yang menjalani gaya hidup hedonis ini menyukai segala hal yang berhubungan dengan kemewahan. Barang-barang mewah, tempat- tempat mewah hingga hobi mewah pun kerap mereka jalani demi aktualisasi diri terhadap gaya hidup ini. Seperti yang dikutip dari tokoh Sosiologi yakni Jean P. Baudrillard mengenai budaya konsumerisme masyarakat saat ini bahwa menurutnya masyarakat dewasa ini sudah menggeser nilai suatu objek yang dibelinya. Dari yang awalnya suatu objek tersebut memang sesuai dengan kebutuhannya sampai sekarang orang sudah tidak lagi memikirkan nilai tukar dan nilai guna objek tersebut pada dirinya tetapi lebih ke penanda kelas sosial bagi si individu yang membelinya status dan kedudukan seseorang di dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh barang yang ia beli dan gunakan.75

Hal ini juga ternyata kerap dijalani oleh para Mahasiswa FISIP UIN Jakarta yang bergaya hidup hedonis seperti halnya mereka menyukai barang- barang branded yang tergolong mewah karena berharga lebih tinggi daripada yang lain. Selain itu, mereka kerap menganggap bahwa barang mewah akan lebih awet karena secara kualitas lebih bagus sebanding dengan harga yang diberikan. Untuk mereka yang bergaya hidup hedonis kebiasaan untuk membeli barang branded tersebut akan sebanding dengan status dan kedudukan sosial yang akan mereka dapatkan nantinya.

74 Lampiran, Transkip Wawancara, Anggraini Tias, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 10 September 2019.

Seperti menurut dodi “ditanya sering ya bisa dibilang hampir semua barang gue ya bermereklah. Kalo gue mentingin bermerek, soalnya karna pertama ehh karna harga. Gua mikirnya, kalo harga sama merek sama kualitas tuh ngga ngebohongin. Ketika lo beli yang kw murah tapi ngga awet ya buat apa? Mendingan sekalian yang mahal tapi ya awet gitu loh. Lebih baik punya satu tapi asli daripada punya banyak tapi kw kalo gue sih mikirnya gitu”.76

Untuk mendapatkan barang-barang original (asli) biasanya masyarakat diharuskan mengeluarkan uang yang tidak sedikit, karna kualitas barang original lebih terpercaya di bandingkan barang (KW). Namun, hal ini kemudian tidak menjadi kendala karena bagi mereka yang menjalani gaya hidup hedonis ini lebih baik mengeluarkan lebih banyak uang dibanding harus ketinggalan zaman. Banyak orang yang menilai seseorang dari apa yang dia pakai sehingga pernyataan yang seperti inilah yang membuat masyarakat di zaman sekarang berlomba-lomba untuk membeli segala macam barang yang lagi digemari atau kekinian di tengah masyarakat, terutama para remaja dan mahasiswa, masih sangat terpengaruh dengan lingkungan teman sepermainan, karna biasanya jika temenya menggunakan produk original semua, maka harus menuntut untuk membeli produk original juga.

Selain terlihat dari kebiasaan masyarakat saat ini untuk mengkonsumsi barang-barang branded, gaya hidup hedonis yang kerap dijalani oleh Mahasiswa ialah kebiasaan mereka untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Menghabiskan waktu di luar rumah bersama dengan teman sepergaulan kerap menjadi pilihan utama yang dipilih oleh para Mahasiswa baik di hari biasa maupun hari libur. Kerap kali peneliti menemui beberapa Mahasiswa FISIP UIN Jakarta yang lebih memilih nongkrong terlebih dahulu setelah selesai jam kuliah dibandingkan langsung pulang ke rumah masing-masing. Biasanya, mereka berdiskusi tentang materi kuliah yang mereka pelajari di kelas atau sekedar mengobrol dan bersenda gurau untuk melepas penat.

76

Lampiran, Transkip Wawancara, Dodi Mario Akbar , Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 18 September 2019.

Kegiatan nongkrong ini sebenarnya sering kita temukan dan bukanlah sesuatu yang istimewa karena sudah menjadi budaya tersendiri bagi para Mahasiswa. Namun, ada perbedaan tersendiri yang biasa dilakukan oleh para Mahasiswa yang menjalani gaya hidup hedonis ini. Mereka mengaku terkadang setelah pulang kuliah dan pada saat weekend lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah yakni seperti di Mall atau Cafe. Selain itu, beberapa dari para narasumber mengaku kerap kali mengerjakan tugas kuliahnya di Cafe atau Restaurant. Seperti yang disampaikan oleh Sakhna, ia mengungkapkan bahwa ia lebih memilih mengerjakan tugas kuliah yakni skripsinya saat ini di Cafe dengan Live Music dibandingkan dengan di rumah karena ia merasa lebih semangat ketika berada di luar rumah. Jadi, ia bisa sekaligus berkumpul bersama dengan teman-temannya namun tetap fokus menyelesaikan studinya.

Seperti menurut dodi yang ia tuturkan dalam wawancara dengan peneliti bahwa “Kalo gua biasanya kalo hari-hari kuliah abis jam-jam kuliah tuh ya kan siang ampe sore mungkin gua nongkrong masih di kampus tuh tapi kalo sabtu-minggu berhubung kita libur kan jadi keluarnya malem. Nah, kalo hari kuliah tuh siang gua di kampus nah menjelang ya sore ampe malem ya gua paling pindah sih geser ada yang kadang-kadang balik tapi ya kadang-kadang ke kedai-kedai kopi gitu kan.Kebetulan gua sering jaga di kedai (tersenyum), jadi gua main ke situ. Nah, tap kalo sabtu - minggu biasanya gua lebih sering kearah bisa dibilang yaa ke Mall lah kalo ngga ke Mall ke kedai sih karna gua lagi sering ngopi. Jadi ya, ke Mall kalo ngga ke Mall di kedai gitu”.77

Selain itu, pemilihan tempat untuk menghabiskan waktu bersama teman- teman merupakan hal yang penting bagi para Mahasiswa saat ini. Kebanyakan dari mereka mengaku untuk memilih tempat yang instagramable dan fancy untuk kepentingan posting di social media mereka masing-masing. Instagramable merupakan ungkapan bagi suatu tempat yang memiliki suasana yang menarik dan bagus untuk dijadikan latar foto baik foto diri maupun foto suasana yang tujuannya dapat menarik perhatian

77

Lampiran, Transkip Wawancara, Dodi Mario Akbar , Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 18 September 2019.

orang lain ketika di share ke media sosial yakni Instagram atau hanya untuk memperindah kontennya. Sedangkan, fancy merupakan ungkapan bagi suatu tempat yang memiliki suasana yang terkesan mewah dan mahal. Pemilihan tempat yang berorientasi kepada dua hal tersebut menjadi fakta pendukung bahwa ada andil dari sifat ingin pamer dan menunjukkan kesenangan duniawi yang dimilikinya kepada orang lain yang merupakan follower (pengikut) sosial media mereka.

Seperti menurut Amalia “aku sih biasanya ngabisin waktu sama temen-temen ya kalo ngga di kosanku, ya di cafe kak biar cari suasana baru, sama temen-temen di cafe mana gitu karna aku suka post di Instagram”78

Selain itu, pemilihan tempat untuk menghabiskan waktu bersama teman- teman merupakan hal yang penting bagi para Mahasiswa saat ini. Kebanyakan dari mereka mengaku untuk memilih tempat yang instagramable dan fancy untuk kepentingan posting di social media mereka masing-masing. Instagramable merupakan ungkapan bagi suatu tempat yang memiliki suasana yang menarik dan bagus untuk dijadikan latar foto baik foto diri maupun foto suasana yang tujuannya dapat menarik perhatian orang lain ketika di share ke media sosial yakni Instagram atau hanya untuk memperindah kontennya. Sedangkan, fancy merupakan ungkapan bagi suatu tempat yang memiliki suasana yang terkesan mewah dan mahal. Pemilihan tempat yang berorientasi kepada dua hal tersebut menjadi fakta pendukung bahwa ada andil dari sifat ingin pamer dan menunjukkan kesenangan duniawi yang dimilikinya kepada orang lain yang merupakan follower (pengikut) sosial media mereka.

Lalu, mahasiswa ini dikatakan menjalani gaya hidup hedonis yakni dikarenakan mereka berpakaian up to date atau yang saat ini dapat dikatakan sebagai kekinian. Ketika mahasiswa/i lainnya menganggap bahwa pergi ke kampus tidak mengharuskan mereka untuk berdandan maka para penganut gaya hidup ini merasa sebaliknya. Mereka merasa bahwa citra diri

78

Lampiran, Transkip Wawancara, Amalia Hanifa Unsi Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 16 September 2019.

terrepresentasikan dari penampilan luar yakni pakaian yang dikenakan maka dari itu mereka rela untuk berpenampilan lebih ekstra agar representasi diri mereka dihadapan mahasiswa lain menjadi lebih baik. Selain itu, hal tersebut tidak jarang menumbuhkan rasa di diri mereka untuk menjadi role model (panutan) berpakaian bagi teman-temannya yang lain sehingga semakin banyak pujian yang datang atas apresiasi orang lain terhadap usahanya tersebut maka semakin senang lah mereka untuk menciptakan image diri tersebut.

Membawa mobil atau kendaraan bermotor keluaran terbaru akan terlihat begitu menonjol di lingkungan kampus FISIP UIN Jakarta. Jadi, tidak mengherankan apabila ada mahasiswa/i melakukan hal tersebut maka orang lain akan mengganggap bahwa mereka bergaya hidup hedonis. Hal ini juga dikarenakan masih banyaknya jumlah mahasiswa yang peneliti lihat di lokasi penelitian menggunakan transportasi online dan publik. Selain itu, mempunyai gadget berupa smartphone keluaran luar negeri seharga di atas 5 juta rupiah dan seringnya mereka berlibur ke luar negeri juga merupakan ciri- ciri mahasiswa bergaya hidup hedonis yang ada di lingkungan kampus FISIP UIN Jakarta. Hal ini menjadi begitu istimewa karena dibandingkan dengan para mahasiswa lain di kampus FISIP UIN Jakarta yang tidak seberuntung mereka kemudian menjadikan mereka begitu menonjol di lingkungannya tersebut.