• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PERJANJIAN ASURANSI SYAR’AH A. Tinjauan Umum Tentang Asuransi Syariah Serta Pengaturannya

C. Prinsip–Prinsip dalam Asuransi Syari’ah

Dalam asuransi dikenal beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam mengadakan perjanjian asuransi dikenal ada beberapa Prinsip–prinsip kepentingan terhadap barang yang di asuransikan.50

49http.//fiesumyhilc.wordpress.com/2012/06/19/asuransi-syariah/. Diakses pada tanggal 27 september 2016.

50Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009) hal, 84.

Prinsip – prinsip tersebut yaitu:

1. Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest)

Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Inrusable Interest) merupakan syarat mutlak untuk mengadakan perjanjian asuransi.Apabila pihak tertanggung atau pihak yang dipertanggungkan tidak memiliki kepentingan pada saat mengadakan perjanjian auransi, dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak sah atau batal demi hukum.51

Diharuskannya ada prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) dalam perjanjian asuransi dengan maksud untuk mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian. Hal itu disebabkan, apabila seseorang yang tidak mempunyai kepentingan atas suatu objek tersebut, maka akibatnya tanpa menderita kerugian orang tersebut akan mendapat ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki menimpa objek dimaksud.

Prinsip kepentingan yang diasuransikan ini diatur dalam pasal 250 KUHD yang berbunyi:

“Apabila seseorang yang telah mengadakan asuransi untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan asuransi, pada saat diadakannya asuransi itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang diasuransikan itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberi ganti.”

52

51Ibid, hal. 31.

52 H. Man Suparman Sastrawijdjaja, Aspek-Aspek Asuransi dan Surat Berharga, ( Bandung : PT. Alumni , 2003), hal. 16.

Sri Rejeki Hartono, memberikan metode bagaimana mendeteksi apakah seseorang memiliki kepentingan atau tidak dalam asuransi dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

a. Seberapa jauh keterkaitan tertanggung terhadap benda/objek perjanjian asuransi terhadap terjadinya peristiwa yang diperjanjikan;

b. Apakah peristiwa yang terjadi menyebabkan kerugian atau tidak terhadap tertanggung.53

Dalam Kontrak asuransi, itikad baik saja belum cukup tetapi dituntut yang terbaik dari itikad baik dari calon tertanggung. Hal ini dikarenakan tertanggung yang dinilai lebih memahami tentang objek yang akan dipertanggungkan, maka tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta material yang berkaitan objek pertanggungan tersebut secara akurat dan lengkap kepada Underwriter.

2. Prinsip Itikad Baik yang Sempurna (Utmost Goodfaith)

54

Prinsip itikad baik yang sempurna (Utmost Good Faith) menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum kontrak ditutup dan bukan dipenuhi dalam rangka pelaksanaan kontrak yang sudah ditutup seperti itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 KUH Perdata.

“Underwriter adalah sebutan yang diberikan kepada orang yang bertanggung jawab dalam perusahaan asuransi untuk menilai resiko yang akan dipertanggungkan, menentukan apakah menerima atau menolak resiko, atau menerima sebagian. Dan mengkalkulasi besaran premium yang wajar untuk suatu resiko yang dipertanggungkan”.

55

“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal – hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak Prinsip itikad baik yang sempurna ini juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dalam Pasal 251 KUHD disebutkan:

53 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.12.

54Kun Wahyu Wardana, Op, Cit, hal. 34.

55H. Gunanto,Asuransi Kebakaran di Indonesia, ( Tanggerang : Logos Wacana Ilmu, 2003), hal. 12.

akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat – syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.”

Mengenai kapan saja masa berlakunya prinsip itikad baik yang sempurna ini yang harus dimiliki oleh para pihak dalam perjanjian asuransi terutama tertanggung.

AM. Hasan Ali, memiliki pendapatnya sendiri bahwa kewajiban untuk memberikan fakta – fakta penting tersebut berlaku:

a. Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat para pihak menyetujui kontrak tersebut.

b. Pada saat perpanjangan kontrak tersebut

c. Pada saat terjadi perubahan kontrak asuransi dan mengenai hal – hal yang ada kaitannya dengan perubahan – perubahan itu.56

56AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tujuan Analisis Historis dan Praktis, (Jakarta : Perdana Media, 2004), hal,20.

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip itikad baik yang sempurna (Utmost Good Faith) atau kejujuran yang sempurna harus selalu ada dari tertanggung untuk mengungkapkan seluruh fakta material yang dinilai akan berpengaruh terhadap keputusan seorang Underwriter.

Jadi, itikad baik yang sempurna dalam suatu perjanjian merupakan suatu sikap yang dilandasi oleh kejujuran, tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat merugikan pihak lain yang harus dilakukan oleh para pihak yang membuat perjanjian.

3. Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle)

Merupakan salah satu prinsip dalam perjanjian asuransi yang menyatakan bahwa besarnya penggantian kerugian dari penanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh – sungguh diderita oleh tertanggung. Penerapan prinsip keseimbangan (Indemnity Principle) dalam asuransi ini, sekaligus menjadi pembeda bahwa asuransi tidak sama dengan perjudian. Dalam perjudian tidak dikenal ganti rugi bagi yang kalah.Kerugian akibat kekalahan yang diderita dalam perjudian merupakan konsekuensi yang harus diterima.57

Sedangkan dalam asuransi, ganti rugi merupakan suatu tujuan bahwa asuransi merupakan risk transfer mechanism.Mengalihkan atau membagi resiko yang kemungkinan akan diderita atau dihadapi tertanggung atas suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Namun, satu hal yang perlu diketahui dalam prinsip keseimbangan (Indemnity Principle) ini, bahwa tertanggung tidak diperkenankan untuk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya. Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi harus terlebih dahulu diketahui berapa nilai atau harga dari objek yang diasuransikan.Sedangkan dalam asuransi jiwa yang tidak dapat diukur secara finansial kerugian yang diderita, maka prinsip kepentingan ini tidak berlaku.Jadi, besarnya ganti rugi yang dibayarkan kepada tertanggung ditentukan oleh berapa nilai pertanggungan (manfaat) yang dikehendaki dan kesanggupan dari tertanggung dalam membayar

57 Kun Wahyu Wardana, Op. Cit. hal. 38.

preminya.Semakin besar nilai pertanggungan yang dikehendaki, maka semakin besar pula nilai premi yang harus dibayarkan.58

Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untuk menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap objek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis. Tapi, suatu hal yang pelu diketahui, bahwa subrogasi hanya berlaku untuk contract of indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendapatkan penggantian lebih dari kerugian yang dideritanya.

4. Prinsip Subrogasi.

59

Prinsip subrogasi ini timbul karena dalam hukum berlaku Pasal 1365 KUH Perdata yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut bertanggung jawab dengan mengganti kerugian tersebut kepada pihak yang dirugikan. Dalam bahasa lain, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepda pihak yang menyebabkan kerugian. Oleh karena itu, untuk menghindari tertanggung mendapatkan keuntungan atas pemberlakuan pasal tersebut, yang Pemahaman prinsip subrogasi ini juga diatur dalam ketentuan pasal 284 KUHD yang mengatur subrogasi sebagai berikut:

“Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang – orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut dan tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang – orang ketiga itu.”

58Ibid, hal. 39.

59Ibid, hal. 42.

memungkinkan tertanggung mendapatkan pemenuhan kembali kerugian dari perusahaan asuransi sebagai penanggung dan pihak ketiga yang manjadi penyebab kerugian, maka subrogasi menjadi prinsip yang menyertai prinsip keseimbangan.60

Prinsiputamadalamsuransisyariahadalahta’awanu ‘ala al birr wa al-taqwa(tolong- menolonglahkamusekaliandalamkebaikandantakwa)

danal-ta’min (rasa

aman).61

1. Saling bertanggungjawab, yang berarti para peserta asuransi tafakul memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. Hal ini dapat diperhatikan dari hadist-hadist berikut :

Prinsipinimenjadikanparaanggotaatauparapesertaasuransisebagaisebua hkeluargabesar yang satudenganlainnyasalingmenjamindanmenanggungresiko.

Hal inidisebabkantransaksi yang dibuatdalamasuransitafakuladalahakadtabaduli(salingmenukar) yang

selamainidigunakanolehasuransikonvensional,

yaitupertukaranpembayaranpremidenganuangpertanggungan.

Para pakarekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu :

“Maksud hadist :

60Ibid, hal. 43.

61 H. A. Dzajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (sebuah Pengenalan), ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 120.

‘Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh (jasad) apabila satu dari anggotanya tidaksehat, maka akan berpengaruh kepada seluruh tubuh’ (HR. Bukhari dan Muslim).

“Maksud hadist :

‘Seorang mukmin dengan mukmin yang lain (dalam suatu masyarakat) seperti sebuah bangunan di mana tiap-tiap bagian dalam bangunan itu mengukuhkan bagian-bagian yang lain’ (HR. Bukhari dan Muslim).

Maksud hadist :

‘setiap kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang di bawah tanggung jawabmu’ (HR. Bukhari dan Muslim).

Maksud hadist :

‘Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri’ (HR. Bukhari).

Maksud hadist :

‘Barang siapa yang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri’ (HR. Bukhari).

Rasa tanggung jawab terhadap sesame merupakan kewajiban setiap muslim.

Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa dan harmonis.

Dengan prinsip ini, maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.

2. Saling bekerjasama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta asuransi tafakul yang satu dengan yang lainnya saling bekerjasama dan saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang diartikan :

“Bekerjasamalah kamu pada perkara-perkara kebajikan dan takwa, dan jangan bekerjasama dalam perkara-perkara dosa dan permusuhan”.

Hadist juga membicarakan perkara seperti ini, di antaranya yaitu :

“Maksud hadist :

‘Sesiapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya’ (HR.

Bukhari Muslim dan Abu Daud).

Maksud hadist :

‘Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong saudaranya’ (HR.

Ahmad dan Abu Daud).”

Dengan prinsip ini maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban hidup bersama dan saling menolong di antara sesama umat manusia.

3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi tafakul akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy ayat 4 yang artinya: “(Allah) yang telah menyediakan makanan untuk menghilangkan bahaya kelaparan dan menyelamatkan / mengamankan mereka dari marabahaya ketakutan.”

Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 126 yang artinya:

“Ketika Nabi Ibrahim berdoaYaTuhanku, jadikan negeri ini aman dan selamat.”

Di antara sabda Rasullah yang mengandung maksud perlunya saling melindungi adalah :

“Maksud hadist :

‘Sesungguhnya seseorang yang beriman ialah sesiapa yang boleh memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga manusia.’ (HR. Ibnu Majah)

“Maksud hadist :

‘Rasullah bersabda : Demi diriku dalam kekuasaan Allah, bahwa siapa pun tidak masuk surge kalau tidak memberi perlindungan jirannya yang terhimpit.’ (HR.

Ahmad)

“Maksud hadist :

‘Tidaklah seiman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan jirannya menatap kelaparan.’(HR. al-Bazar).

Dengan begitu maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.62

1. Saling bertanggung jawab;

Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi tafakul yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah, yakni :

2. Saling bekerja sama atau saling membantu;

62Gemala Dewi, LL.M, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2007), hal. 146 - 148

3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain;

4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.63

Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar bentuk usaha asuransi dapat terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.

1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian ada dua bentuk :

a. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis. Secara konvensional, kontrak atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep syariah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad tafakul atau tolong-menolong dan saling menjamin dimana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.

b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan perusahaan asuransi berasal.

Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep tafakul, setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk

63Ibid, hal. 149.

ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep tafakul diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh para peserta.

2. Maisir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar.

3. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep tafakul dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.64

64Muhammad Syafi’i Antonio, “Prinsip Dasar Operasi Asuransi Takaful” dalam Arbiterase Islam di Indonesia, ( Jakarta : Badan Arbiterase Muamalat Indonesia, 2001), hal. 148.

BAB IV

PELAKSANAAN SISTEM OPERASIONAL ASURANSI SYARI’AH BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014

TENTANG PERASURANSIAN

Pada PT. Asuransi Takaful Keluarga Cabang Medan

A. Sistem Operasional Asuransi Syari’ah pada PT. Asuransi Takaful