• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syarat Sah Perjanjian Asuransi serta Para Pihak dalam Perjanjian Asuransi Asuransi

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ASURANSI UMUM A. Perjanjian Asuransi serta Unsur – Unsur Perjanjian Asuransi

C. Syarat Sah Perjanjian Asuransi serta Para Pihak dalam Perjanjian Asuransi Asuransi

a. Prinsip Idemnity, yaitu perjanjian asuransi bertujuan memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung yag disebabkan oleh bahaya sebagaimana ditentukan dalam polis.

b. Prinsip kepentingan (insurable interest),yaitu pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu harus mempunyai kepentingan dengan objek yang diasuransikan, kepentingan mana dinilai dengan uang.

c. Prinsip kejujuran yang sempurna (utmost good faith), yaitu kewajiban tertanggung menginformasikan segala sesuatu yang diketahuinya mengenai objek yang dipertanggungkan secara benar.

d. Prinsip subrogasi (subrogation, yaitu bila tertanggung telah menerima ganti rugi ternyata mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka tertanggung tidak berhak menerimanya, dan hak itu beralih kepada penanggung.24

C. Syarat Sah Perjanjian Asuransi serta Para Pihak dalam Perjanjian Asuransi

1. Syarat Sah nya Suatu Perjanjian Asuransi

Sesuai dengan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, maka ketentuan umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat berlaku pula dalam perjanjian asuransi sebagai perjanjian khusus.

24 Yusuf Shopie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen – Instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 168.

Dengan demikian, para pihak tunduk pula pada beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Sebagai suatu perjanjian, maka asuransi juga dikuasai oleh ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Yang dimaksud dengan sepakat ialah kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok yang menjadi tujuan perjanjian itu diadakan. Apa yang diinginkan pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain. Kedua pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik (dua arah). Dengan kesepakatan antara kedua pihak itu berarti kedua pihak mempunyai kebebasan dan tidak mendapat tekanan dari pihak lain. Kalau tidak ada kebebasan dan terdapatnya tekanan dari pihak lain maka akibatnya perjanjian itu mempunyai cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat digambarkan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara kedua belah pihak. Sepakat para pihak ini merupakan azaz yang esensial.

2. Cakap untuk membuat perjanjian.

Syarat ini menentukan bahwa orang yang membuat perjanjian harus cakap untuk berbuat menurut hukum. Pada azaznya setiap orang yang sudah dewasa atau aqil baligh dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum, kecuali seperti yang ditentukan dalam pasal 1330 KUHPerdata, yaitu :

a. Orang-orang yang belum dewasa (belum berumur 21 tahun).

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

c. Orang perempuan yang telah bersuami dalm hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

Syarat ketiga ini mengharuskan setiap membuat perjanjian harus member gambaran yang cukup jelas. Syarat ini perlu agar dapat menetapkan kewajiban-kewajiban para pihak kalau terjadi persengketaan.

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat keempat ini adanya perjanjian ialah adanya sebab yang halal. Undang-undang tidak memberi pengertian mengenai sebab. Yang dimaksud dengan sebab (causa) bukanlah hubungan sebab akibat dan juga bukan sebab yang mendorong (motif) untuk mengadakan perjanjian, karena yang menjadi motif (dorongan) orang mengadakan perjanjian tidak menjadi masalah bagi hukum.

Yurisprudensi member tafsiran terhadap sebab yaitu isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat sebab (causa) ini dalam praktek merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Hakim dapat menguji apakah tujuan perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Sebab tidak halal ialah suatu sebab yang bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan ketertiban umum atau bertentangan dengan kesusilaan.25

25 Sri Redjeki Hartono, Op, Cit., hal 22.

Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, karena menyangkut orang-orang (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian. Dan apabila syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan (nietig verklaard). Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat objektif karena menyangkut dengan perjanjian itu sendiri yang menjadi objek dari perbuatan hukum itu. Jika salah satu dari kedua syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian yang diadakan itu dianggap tidak ada. Perjanjian yang demikian adalah batal demi hukum (absolute nietigheid), yang berarti tidak perlu lagi diminta pembatalannya oleh para pihak.

Secara khusus syarat sahnya perjanjian asuransi menurut KUHD yaitu : 1.Harus ada kepentingan (pasal 250 KUHD)

2. Adanya pemberitahuan (pasal 251 KUHD)

Syarat yang pertama dipertegas oleh pasal 1321 KUHPerdata yang menetapkan : “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau peroleh dengan paksaan atau penipuan. Hal ini juga menyangkut dengan subjek kesepakatan. Kekhilafan atau kesesatan disini terbagi atas dua bentuk, yaitu :

a. kekhilafan atau kesesatan mengenai orangnya yang dinamaka eror in persona.

b. kekhilafan atau kesesatan mengenai hakekat barangnya, dinamakan eror in substantia.

kekhilafan atau kesesatan mengenai hakekat benda yang diperjanjikan maksudnya alasan yang sesungguhnya bagi kedua belah pihak untuk mengadakan

perjanjian.26

Ketentuan Syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata harus memenuhi keempat syarat yang telah dibuat diatas. Apabila syarat pertama atau syarat kedua tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat Lebih jelasnya dapat kita lihat dalam pasal 1322 KUHPerdata, yang berbunyi :

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kehilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengikat dirinya orang tersebut”.

Pada pasal 1323 KUHPerdata yang menetapkan : “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat siati perjannjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.

Maka yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian.

Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.

Penipuan merupakan suatu alasan pembatalan perjanjian apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

26 Djannius Djamin dan Syamsul Arifin, Op, Cit., hal.35.

dibatalkan. Dan apabila syarat ketiga atau syarat keempat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata itu umum bagi perjanjian pertanggungan (perjanjian asuransi) masih terus dilengkapi ketentuan pada pasal 251 KUHD yang mengharuskan adanya pemberitahuan tentang semua keadaan yang diketahui oleh tertanggung mengenai benda yang dipertanggungkan.

Untuk lebih jelas pasal 251 KUHD berbunyi :

“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapa pun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya perjanjian itu tidak akan ditutupi dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan”.

Pada dasarnya ketentuan pasal 251 KUHD ini tidak berbeda dengan ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, karena keduanya merupakan penipuan yang mengakibatkan perjanjian yang dapat dibatalkan.

Mengenai syarat ketiga KUHPerdata “suatu hal tertentu”, bagi perjanjian pertanggungan baru dipandang ada, bila dalam pertanggungan itu ada kepentingan yang dipertanggungkan. Kalau kepentingan itu tidak ada, maka penanggung tidak diwajibkan membayar ganti rugi, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 250 KUHD yang berbunyi : “Apabila seorang mengadakan pertanggungan untuk dirinya sendiri atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai

kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi”.

Hal-hal itulah yang merupakan syarat-syarat sahnya perjanjian pertanggungan, bila mana sebagai syarat-syarat yang diuraikan diatas dipenuhi oleh pihak-pihak maka perjanjian pertanggungan yang mereka buat adalah sah, dan berkekuatan mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pihak penanggung dan pihak tertanggung).27

2. Pihak – Pihak yang Terdapat dalam Perjanjian Asuransi

Untuk mengetahui siapa-siapa saja pihak yang terlibat dalam perjanjian asuransi, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari subjek hukum itu sendiri sebab perjanjian asuransi juga sama halnya dengan perjanjian lainnya dimana salah satu sahnya perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak-pihak yang memenuhi kriteria sebagai subjek hukum.

Subjek hukum itu sendiri adalah segala sesuatu pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari manusia dan badan hukum. Jadi, sebagai subjek hukum, baik manusia maupun badan hukum mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum dimana mereka dapat mengadakan persetujuan-persetujuan. Pada dasarnya, manusia dikatakan sebagai subjek hukum pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Bahkan seorang anak yang masih berada dalam kandungan ibunya dapat dikatakan sebagai subjek hukum bilamana kepentingannya mengkehendakinya.28

27Ibid, hal.36.

28Lihat Pasal 2 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Walaupun hukum menentukan bahwa setiap orang tanpa terkecuali memiliki hak-hak, akan tetapi pada dasarnya tidaklah semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-hak tersebut. Dalam hal ini ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dinyatakan “tidak cakap” atau “kurang cakap”

untuk bertindak sendiri melakukan perbuatan hukum tetapi mereka harus dibantu atau diwakilkan oleh orang lain.

Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan untuk melakukan sendiri perbuatan hukum adalah :

a. Orang yang nasih dibawah umur, yakni belum mencapai usia 21 tahun atau belum dewasa.

b. Orang-orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros, yaitu mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele).29

Demikan juga halnya dalam perjanjian selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum yaitu disatu pihak seseorang atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu, dan dilain pihak ada seseorang atau suatu badan hukum yang mendapat hak atau pelaksanaan kewajiban itu. Oleh karena itu dalam suatu perjanjian ada pihak yang berkewajiban dan ada pihak yang berhak.30

Berbeda halnya dalam perjanjian asuransi, yang merupakan perjanjian timbal balik, dimana satu pihak tidak selalu menjadi pihak yang berhak, melainkan dari sudut lain mempunyai beban kewajiban juga terhadap pihak lain, yang dengan demikian tidak selalu menjadi pihak yang berkewajiban

29 Lihat Pasal 2 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

30Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Op, Cit., hal.30.

melainkanmenjadi pihak yang berhak terhadap kewajiban dari pihak pertama yang harus dilaksankan.31

a. Pihak penanggung adalah perusahaan asuransi yang memberikan pertanggungan dan mengadakan perjanjian tanggung menanggung dengan pemegang polis. Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang mendapatkan izin usaha peransuransian dari pemerintah atau regulator. Maka pihak penanggunglah yang akan mengalihkan atau menanggung resiko yang dialami oleh pihak tertanggung, tetapi resiko yang ditanggung oleh perusahaan asuransi apabila pihak tertanggung telah memberikan premi kepada pihak penanggung.

Jadi, dengan adanya premi ini, pihak penanggung mengikatkan dirinya untuk menanggung resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak tertanggung.

Maka, dalam setiap mengadakan perjanjian asuransi, haruslah sekurang-kurangnya ada 2 (dua) pihak dimana pihak yang satu disebut penanggung dan pihak lain disebut tertanggung. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pihak penanggung dan pihak tertanggung adalah sebagai berikut :

Pihak tertanggung adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi atau perjanjian reasuransi. Pihak tertanggung sebagai orang-orang yang berkepentingan mengadakan perjanjian asuransi adalah sebagai pihak yang berkewajiban untuk membayar premi kepada penanggung, sekaligus atau berangsur-angsur, dengan tujuan akan mendapatkan penggantian atas kerugian yang mungkin akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi.

31Ibid, hal.31.

BAB III

ASPEK HUKUM PERJANJIAN ASURANSI SYAR’AH